Yesus Sebagai Role Model Kepemimpinan

 

PENDALAMAN ARTI DAN MAKNA PEMIMPIN ATAU KEPEMIMPINAN DALAM ROLE MODEL YESUS SEBAGAI PEMIMPIN

Ewen Josua Silitonga

I.                   PENDAHULUAN

Kepemimpinan yang baik merupakan salah satu faktor keberhasilan dari sebuah organisasi atau kegiatan. Dalam sebuah peperangan dalam menaklukkan wilayah Persia, Aleksander Agung pernah mengatakan “Aku tidak takut pada pasukan singa yang dipimpin oleh domba; Aku takut akan pasukan domba yang dipimpin oleh seekor singa.”[1] Ucapan ini disampaikan untuk menggambarkan bahwa kepemimpinan yang kuat, dapat mempengaruhi dan mengubah orang-orang yang lemah menjadi sekelompok pasukan tempur yang kuat, sebaliknya kepemimpinan yang lemah justru mengubah kumpulan kesatria menjadi tidak berguna. Kepemimpinan mengambil peran penting bagi kualitas sebuah organisasi maupun tim kerja.

Dalam dunia gereja, kepemimpinan juga mengambil peranan penting bagi kemajuan pelayanan gereja maupun pertumbuhan kerohanian jemaat. Dalam survey yang dilakukan Barna Institute dan World Vision menemukan bahwa empat dari lima orang mengafirmasi bahwa masyarakat saat ini mengalami krisis kepemimpinan, bahkan dari 82% dari orang dewasa usia 18-35 tahunj yang disurvei menyatakan hal serupa.[2] Lebih dalam lagi, dalam dunia gereja, Barna menyatakan bahwa lebih dari setengah (64%) orang Kristen mengatakan bahwa masalah terbesar dalam kepemimpinan adalah integritas, 40% menyebutkan tentang keotentikan, 38% mengenai kedisiplinan, dan yang mengejutkan 31% menyatakan tidak adanya kegairahan akan Allah (passion of God), 7% tidak memiliki kerendahan hati, dan 5% tidak memiliki tujuan.[3] Kondisi ini menunjukkan menjadi salah satu faktor penting mengapa kekristenan dan pertumbuhan gereja menjadi salah satu yang terlambat bahkan cenderung mengalami penurunan di Eropa dan Amerika menurut Pew Research Center.[4] Hal ini menunjukkan bahwa gereja perlu belajar kepemimpinan dan membentuk pemimpin yang baik untuk dapat menghadapi perubahan zaman ini. Oleh karena itu, penulis dalam makalah ini akan mencoba membahas mengenai kepemimpinan, khususnya kepemimpinan Yesus sebagai role model utama dalam Kekristenan.

 

II.                ARTI DAN MAKNA KEPEMIMPINAN YESUS

2.1  Definisi Kepemimpinan

Untuk memahami bagaimana kepemimpinan Yesus, tentu penting bagi penulis dan pembaca untuk menyamakan perspektif mengenai kepemimpinan itu sendiri. Secara umum, kepemimpinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti “perihal pemimpin; cara memimpin”[5] Segala sesuatu terkait karakter, cara, dan model seseorang memimpin merupakan bagian dari kepemimpinan itu sendiri. Dalam Oxford English Dictionary, kata kepemimpinan memiliki dua makna: pertama, menekankan kepada posisi atau jabatan.[6] Kedua, menekankan pada kemampuan atau kapasitas yang dimiliki oleh seorang pemimpin.[7] Dari beberapa definisi di atas, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan memiliki makna kemampuan, kapasitas, dan status/jabatan yang dimiliki atau harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat memimpin.

Pemahaman mengenai kepemimpinan telah banyak disampaikan dan dibahas oleh beberapa ahli. George R. Terry mengartikan kepemimpinan sebagai kegiatan mempengaruhi orang lain supaya memiliki tujuan yang sama yaitu mencapai tujuan organisasi.[8] Serupa dengan itu, A. Dale Timple menambahkan bahwa kepemimpinan membuat orang lain secara sukarela ikut serta untuk mencapai tujuan bersama (organisasi).[9] Sedangkan menurut Solikin, Fatchurahman, dan Supardi, kepemimpinan adalah “kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan sesuatu sesuai tujuan bersama yang meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.”[10] Singkatnya, John C. Maxwell merangkum makna kepemimpinan sebagai pengaruh (influence).[11] Dengan demikian, kepemimpinan tidak hanya mengenai tujuan, perkembangan, atau memotivasi orang lain namun bagaimana membentuk pribadi yang mampu memberi dampak dan menggerakkan orang lain.

2.2  Kepemimpinan Menurut PL dan PB

Dalam Perjanjian Lama, kata pemimpin diambil dari kata Ibrani Sar (שַׂר ) yang memiliki arti kepala suku, penguasa, pemimpin, atau pangeran. Baker menjelaskan bahwa kata ini utamanya digunakan secara resmi merujuk pada otoritas seorang pemimpin. Dalam konteks keimaman biasanya digunakan untuk merujuk Imam Kepala yang memimpin imam-imam lainnya.[12] Dalam Perjanjian Lama, pemimpin juga sering digambarkan dengan jabatan Raja atau dalam bahasa Ibrani menggunakan kata melekh (מֶלֶךְ). Dalam beberapa konteks, terminologi ini digunakan untuk menekankan seseorang dengan kekuasaan dan otoritas, tidak jarang juga disematkan kepada figur ilahi seperti dewa maupun Tuhan.[13] Tidak mengherankan jika Nebukadnezar meminta rakyatnya sujud menyembah dia (Daniel 3). Hal ini menjadi salah satu praktik di mana pemimpin atau raja tidak jarang dikenal sebagai anak dewa atau bahkan sosok dari dewa itu sendiri sehingga mereka menerima penyembahan bahkan meminta rakyat menyembahnya.

Dalam Perjanjian Baru, kata pemimpin menggunakan kata arkhon (ἄρχων) yang berarti pemimpin, penguasa, atau tuan. Diambil dari kata dasar archḗ yang berarti permulaan atau yang pertama, posisi pertama atau yang diutamakan.[14] Konsep ini ingin menekankan dua makna yaitu: Pertama, para pemimpin dianggap sebagai orang yang membangun atau mengawali peradaban atau lahirnya sebuah Negara/kerajaan. Kedua, lebih menekankan pada posisi pemimpin sebagai orang nomor satu di Negara tersebut, yang paling penting dan utama. Dalam dunia Perjanjian Baru, status sebagai arkhon dipahami berbeda-beda sesuai konteks sosialnya. Bagi orang Yahudi, arkhon dalam kehidupan keyahudian dipegang oleh para Sanhedrin (Mat. 9:18, 23; Mark 3:22 dan Luke 8:41). Merekalah yang mengatur dan mengelola kehidupan masyarakat dalam konteks keagamaan Yahudi atau sinagoge. Sedangkan dalam konteks yang lebih umum, Arkhon dapat merujuk kepada kepala atau pemimpin pemerintahan (Mat. 20:25; Kis. 4:26; Rm. 13:3; 1Kor. 2:6, 8, dll), maupun sipil seperti Imam Besar (Kis. 23:5), Hakim (Luk. 12:58; Kis. 16:19) atau orang-orang berpengaruh seperti orang Farisi, Saduki, maupun sekte lainnya (Luk. 14:1; 18:18; 23:13, 35; 24:20; Yoh. 3:1, 7:45, 50; 7:26, 48; 12:42, dan seterusnya). Sedangkan dalam konteks eskatologis, Arkhon dipahami sebagai Mesias, sang Raja di atas segala Raja (Why. 1:5).[15] Dari pemahaman ini, maka seorang pemimpin tidak hanya berbicara mengenai posisi namun juga pengaruh dan tugas di tengah masyarakat.

Kehadiran Yesus dalam dunia bukan hanya untuk menebus dosa umat-Nya. Lebih daripada itu, dalam Perjanjian Lama, Mesias digambarkan sebagai Raja yang akan memerintah Israel kembali (Mikha 5:1). Ia yang akan memimpin umat Allah untuk selama-lama-Nya (2Sam. 7:10-15). Konsep tentang Mesias sebagai pemimpin bagi umat Israel Perjanjian Lama mengalami perluasan dalam Perjanjian Baru. Mesias tidak lagi digambarkan sebagai pemimpin bagi Israel namun pemimpin bagi setiap orang percaya. Ia adalah kepala dari tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung dan lebih utama dari segala sesuatu. (Kol. 1:18 ITB). Yesus hadir bukan hanya menjadi penebus namun juga pemimpin. Jika demikian, bagaimana bentuk kepemimpinan Yesus dan karakter kepemimpinan apa saja yang ditampilkan Yesus dalam kehidupan-Nya?

2.2.1        Kepemimpinan dalam Latar Belakang Perjanjian Baru (Romawi dan Yunani)

Sebelum memahami mengenai model dan karakter kepimpinan dari Yesus, sangat penting untuk memahami latar belakang sosial terkait dengan kepemimpinan di era Perjanjian Baru.  Perjanjian Baru merupakan hasil dari pengaruh dunia Romawi-Yunani. Pada masa itu, Kerajaan Romawi telah menguasai sepertiga wilayah bumi mulai dari Asia kecil, Eropa, hingga Mesir. Oleh karena itu, hampir seluruh wilayah jajahan Romawi mengalami perubahan tatanan sosial politik, tidak terkecuali di tanah Israel.

Kepemimpinan dalam struktur politik Romawi ada beberapa tingkatan, antara lain: Kaisar, Patriakh, dan Senat. Sedangkan secara sosial, kerajaan Romawi dibagi dalam dua divisi yaitu Patriakhian dan Plebeian. Patriakhian merupakan sekelompok kecil orang-orang yang hidup dalam tingkatan elite, biasanya mereka adalah anggota senat masyarakat dan para pemimpin pemerintahan. Sedangkan, Plebeian merupakan sekelompok besar orang umum yang hidup tanpa jabatan pemerintahan seperti Tuan tanah, pedagang, budak, dan profesi lainnya.[16] Meskipun demikian, kelompok sosial ini tidak sepenuhnya tanpa kuasa. Beberapa memiliki kekuasaan dan kapasitas sebagai pemimpin sosial, beberapa dihargai karena kapasitas finansialnya.

Kata kaisar diambil dari nama “Caesar”, awalnya ini merupakan nama keluarga yang terkenal pada abad ketiga masehi. Dalam perkembangannya, sebutan kaisar digunakan sebagai jabatan pemerintahan Romawi, khususnya nama bagi para raja Roma.[17] Kaisar merupakan jabatan kepemimpinan tertinggi untuk orang yang berkuasa di seluruh kerajaan Romawi. Sedangkan Patriakh dalam konteks Romawi dianggap sebagai tua-tua masyarakat. Mereka biasanya masuk dalam bagian Senat Pemerintahan yang mewakili polis-polis.[18] Senat adalah komunitas para pemimpin polis yang terpilih mewakili komunitasnya untuk mengatur jalannya kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam menetapkan hukum dan aturan bermasyarakat. Dalam komunitas Israel, jabatan senat setara dengan Sanhedrin yang merupakan tua-tua kota untuk mengatur kehidupan bermasyarakat.[19] Sedangkan, Kaisar dalam konteks Israel, memiliki kesetaraan dengan Raja. Menariknya, dalam sejarah kehidupan bangsa Israel, konsep raja dalam tatanan politik sebenarnya baru muncul terakhir. Israel lebih mengenal jabatan kepemimpinan imam dan nabi dalam perjanjian dengan Allah.[20] Bedanya, dalam era Perjanjian Baru,  Raja Israel merupakan raja yang ditunjuk oleh Kaisar Roma. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika muncul skeptisisme terhadap pemimpin Israel sebab banyak masyarakat Israel memandang bahwa raja Israel seperti Herodes hanyalah raja boneka untuk kepentingan politik Romawi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika pada masa Herodes, harapan akan hadirnya pemimpin mesianik masih sangat kuat. Hal ini terbukti dari sikap orang Israel ketika menyambut Yesus memasuki Yerusalem (Mat. 21:1-11).

 

2.2.2        Model-model Kepemimpinan Yesus

Inkarnasi Kristus dalam dunia tidak hanya menghadirkan Juru Selamat bagi manusia. Yesus datang untuk menjadi pemimpin yang holistik bagi seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam Alkitab, Yesus tidak hanya dipanggil sebagai guru yang memimpin perjalanan spiritual para murid (Luk.18:18, Mat. 8:19, dst.), Ia juga dikenal sebagai Imam Besar Agung (Ibr. 4:14) juga Raja Damai (Yes. 9:5, Mat. 2:2, dst). Dalam bagian ini, penulis akan membahas bagaimana model-model kepemimpinan yang Yesus tunjukkan, khususnya dalam tiga peranan-Nya.

                                i.            Kepemimpinan dalam bingkai Mesianik

Yesus diakui sebagai Mesias oleh orang-orang Kristen maupun beberapa aliran Yahudi Mesianik. Dalam bingkai tersebut, Kekristenan maupun Yudaisme memiliki beberapa kesamaan dalam memahami persona dari Mesias. Dalam Perjanjian Lama, Mesias selalu dikaitkan dengan Daud sebagai Raja terbesar dalam sejarah kehidupan umat Israel. Yeremia 23:5 mengatakan “Sesungguhnya, waktunya akan datang, demikianlah firman TUHAN, bahwa Aku akan menumbuhkan Tunas adil bagi Daud. Ia akan memerintah sebagai raja yang bijaksana dan akan melakukan keadilan dan kebenaran di negeri.” Menariknya, kata “Tunas Adil” dalam bahasa aslinya, צֶ֣מַח צַדִּ֑יק  (tzamakh Tzadiq) menggunakan permainan suara (Phoenician) dari kata “benar” (Tzadeq) yang biasanya digunakan dalam puisi Timur Dekan Kuno untuk menekankan makna bahwa benar dan kebenaran. Artinya, tunas adil tersebut adalah pribadi yang benar-benar muncul dari kebenaran dan menghadirkan kebenaran.[21] Menurut penelusuran literatur kuno, konsep tunas sudah muncul jauh sebelum masa Yeremia, yaitu dalam Inskripsi Penyembah Dewa Melqart, di Lapethos, Siprus. Dalam Inkrispsi tersebut konsep “tunas resmi” muncul untuk melegitimasi raja dari dinasti Ptolemik yang akan datang. [22] Hal ini menunjukkan bahwa konsep tunas pada dasarnya sudah mengandung nuansa mesianik.

Dalam nuansa Mesianik, Perjanjian Lama tidak hanya menunjukkan bahwa Mesias adalah seorang Raja yang meneruskan takhta Daud. Lebih daripada itu, Yesaya 9:5-6 mengatakan

5 Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. 6 Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya. (Yes. 9:5-6)

Teks ini adalah salah satu bagian dari Perjanjian Lama yang menjadi rujukan tentang kemesiasan. Pada bagian ini, Mesias yang dijanjikan Allah tidak hanya memiliki satu sebutan namun beberapa gelar, yaitu Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. Menurut Oswalt, bentuk penyematan beberapa sebutan kepada Raja sudah menjadi tradisi yang lazim dilakukan oleh bangsa-bangsa Timur dekat kuno, seperti Mesir, Babilonia, dan lain sebagainya. Pemberian beberapa sebutan juga tidak jarang dikaitkan dengan nama para Dewa dan kekuatannya, contohnya “Raja yang Tangguh, seperti Ra di Sorga”.[23] Pemberian beberapa sebutan kepada raja menunjukkan penghormatan dan tidak jarang pengilahian kepada figur yang diagungkan. Dalam hal ini, Penyebutan beberapa gelar sekaligus menunjukkan bahwa Mesias menjadi figur yang paling dihormati. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Alkitab memberikan lebih dari tiga gelar hanya kepada Mesias dan tidak kepada figur atau tokoh lain.

            Keempat gelar tersebut memiliki makna dan kelebihan masing-masing. Gelar pertama, Penasihat Ajaib, menjelaskan bahwa Mesias tidak hanya memiliki kekuatan namun juga hikmat. Hikmat yang dimaksud tidak hanya hikmat duniawi namun juga hikmat Rohani (1:26; 3:3; 5:21; 19:11–15, dst).[24] Hal ini terkait dengan tema besar dari kitab Yesaya yang menunjukkan bagaimana manusia pada masa itu telah kehilangan hikmat dan hidup dalam berbagai dosa, kekalahan, bahkan maut. Karena itu, dalam Perjanjian Baru, Yesus dengan jelas digambarkan sebagai seseorang yang penuh dengan hikmat yang sejati. Ia mampu melawan godaan dosa bahkan menang atas maut (Luk. 24:46-48; Mat. 28:6, dst). Gelar kedua, Allah yang perkasa. Menurut Oswalt, kata “perkasa” menunjukkan bahwa Mesias tidak hanya sebagai Allah yang disembah seperti gambaran para dewa namun seorang pejuang atau pahlawan perang.[25] Frasa ini dipakai beberapa kali dalam Alkitab seperti dalam Yeremia 32:18, Ulangan 10:17, dan Yesaya 10:21. Ketiga bagian ini sama-sama memiliki nuansa peperangan di mana Allah digambarkan sebagai figur yang memimpin peperangan dan memberi kebebasan atau kemenangan pada umat-Nya. Oleh karena itu, figur Mesianik juga memiliki nuansa pengharapan akan pembebasan dan kemenangan.

Gelar ketiga, Bapa yang kekal. Gelar ini cukup menarik jika merujuk kepada sosok yang dianggap sebagai Raja. Jabatan Bapa tidak umum diberikan kepada para Raja sebagai gelar kehormatan. Meskipun demikian, Oswalt menjelaskan bahwa gelar ini memberikan nuansa karakter seorang Ayah yang pelindung, tahan menanggung penderitaan, dan rela berkorban untuk anak-anak-Nya (Mat. 6:25,26; 11:27–30; 18:12–14; 23:9–12; Luk. 23:34; Rm. 8:15–17).[26] Gelar “Bapa” memang tidak disematkan kepada Kristus di masa kehidupan-Nya sebab Yesus cenderung merujuk kepada Allah di Sorga sebagai Bapa untuk menekankan relasi-Nya dengan Allah Bapa. Meskipun demikian, Alkitab mencatat dengan jelas bagaimana karakter Kristus yang melindungi murid-murid, wanita pelacur yang hendak dirajam batu, anak-anak kecil, dan banyak orang yang termarginalkan. Yesus juga menanggung beban penderitaan bahkan rela mati untuk menebus dosa manusia. Hal ini jelas menjadi bukti bahwa karakter Bapa yang kekal ada dalam diri Kristus Yesus.

Terakhir, Mesias juga disebut sebagai Raja Damai. Gelar ini hanya digunakan satu kali kepada Melkisedekh dalam Ibrani 7:2. Menurut Oswalt, gelar ini tidak hanya menunjukkan bahwa Raja tersebut akan datang dalam damai namun juga menegakkan kedamaian itu sendiri.[27] Hal ini sangat menarik untuk dicermati, baik dalam konteks Perjanjian Lama maupun Yesaya secara khusus. Dalam konteks Yesaya, teks ini disampaikan dalam kondisi gempuran dari pasukan Rezin dan Pekah ke Yerusalem (2 Raj. 15:37).[28] Dalam kondisi seperti ini, harapan akan kedamaian tentu menjadi sesuatu yang dirindukan. Tidak mengherankan jika konsep Raja Damai menjadi salah satu gambaran dari pengharapan Mesianik. Konsep ini menjadi lawan dari realita kebengisan yang dilakukan oleh para Raja demi beroleh kekuasaan. Lebih daripada itu, dalam Perjanjian Baru, Yesus sebagai Raja Damai tidak hanya hadir dan berjuang dengan jalan damai namun juga membawa kedamaian di tengah dunia serta mendamaikan Tuhan dan Manusia. (Yes. 53:5; 57:19; 66:12; Luk. 2:14; Yoh. 16:33; Rm. 5:1; Ibr. 12:14). Oleh karena itu, kepemimpinan Yesus sebagai Mesias memiliki ciri kepemimpinan yang mendamaikan bukan menguasai. Hal ini jelas berbeda dengan konteks kepemimpinan para Raja di Perjanjian Lama maupun Baru yang berupaya menghadirkan kedamaian dengan cara menguasai atau menaklukkan. Tidak mengherankan jika ada semboyan dalam bahasa Latin, Si vis Pacem, para bellum yang bermakna “Jika kau menginginkan perdamaian, bersiap-siaplah untuk menghadapi perang”. Sekalipun dalam Alkitab, Yesus digambarkan berperang melawan kuasa Iblis, tidak berarti bahwa Yesus tidak membawa kedamaian. Justru kedamaian yang sesungguhnya hadir ketika Iblis ditaklukkan, sebab kehancuran dan perang adalah manifestasi kehadiran si Jahat.

Singkatnya, dalam bingkai Mesianik, kepemimpinan Yesus memiliki empat ciri yang menonjol yaitu, Berhikmat, Mampu memberi pengharapan, kebebasan, atau kemenangan, Melindungi, mengayomi, dan rela berkorban dan Mendamaikan.

Keempat ciri ini merupakan model kepemimpinan Yesus dalam bingkai Mesianik. Dalam bagian ini, implementasi nyata dari kehidupan kepemimpinan Yesus secara praktis ditunjukkan dalam tiga bagian, yaitu kepemimpinan Yesus sebagai Raja, Guru, dan Imam.

 

                              ii.            Kepemimpinan Yesus sebagai Raja

Kepemimpinan Yesus sebagai Raja berbeda dengan asumsi para murid maupun orang-orang lain yang mengelu-elukan-Nya di jalan memasuki gerbang Yerusalem. Dalam Perjanjian Lama kata Raja (Melekh) muncul 2700 kali dan Perjanjian Baru kata raja (Basileus) muncul 125 kali. Hal ini menunjukkan bahwa peran raja pada kehidupan bangsa Israel, khususnya dalam Perjanjian Lama sangat besar. Flanagan berpendapat bahwa Raja dalam budaya Timur Dekat Kuno dipahami sebagai penguasa absolut. Mereka tidak hanya memimpin secara politis namun menguasai secara ekonomi hingga keagamaan untuk menghasilkan kesejahteraan dan keamanan.[29] Tidak mengherankan jika banyak Raja di zaman kuno dianggap sebagai titisan dewa, contohnya Firaun disebut anak dewa Ra atau Julius Caesar dikenal sebagai titisan Zeus. Hal ini disebabkan karena kekuasaan mutlak dari para pemimpin yang tidak hanya menguasai secara militer dan politik, namun hingga ranah keagamaan.

Berbeda dengan para Raja pada umumnya, kekuasaan Raja dalam tradisi Israel tidak mutlak. Sejak masa Saul hingga Salomo, Alkitab mencatat bahwa para Raja secara langsung dipilih dan ditentukan oleh Allah. Mereka juga ditahbiskan menjadi raja oleh para Imam atau Hakim. Selain itu, Raja tidak memiliki hak untuk memimpin ritual keagamaan, contohnya dalam peristiwa Saul (1Sam. 15:10-35). Hal ini menunjukkan bahwa Raja dalam konteks Kerajaan Israel bukanlah pemimpin tunggal dan satu-satunya. Raja hanyalah perwakilan dari Allah dalam bidang politik dan militer namun Pemimpin sesungguhnya adalah Tuhan Allah.[30] Hal ini terbukti dari beberapa bagian Alkitab yang menyebutkan bahwa Allah adalah Raja Israel yang sejati (Mzm. 10:16; 29:10; 66:7; 146:10; Yer. 10:10; Mikha 4:7; 1Tim. 1:17). Oleh sebab itu, raja Israel harus bertanggungjawab secara langsung kepada Allah sebagai Raja sesungguhnya.

Dalam Perjanjian Baru, Yesus tidak pernah menyebut diriNya sebagai Raja. Sebutan ini diberikan oleh orang-orang lain kepada Yesus, baik sebagai harapan (Luk. 23:42) maupun penghinaan, contohnya saat Yesus disalibkan (Mat. 27:37, 27:11, Mrk. 15:2). Yesus juga tidak pernah memimpin gerakan bersifat politik ketika hidup di dunia. Fokus pelayanan Yesus adalah untuk menegakkan kerajaan Allah di hati setiap orang. Meskipun demikian, Yesus sangat sadar bahwa hidupNya di dunia bertanggungjawab penuh dengan Allah Bapa (Yoh. 6:36-37, 18:11, dst). Pelayanan Yesus di dunia juga menghadirkan damai sejahtera dan perlindungan bagi mereka yang tertindas, contohnya Yesus menyembuhkan banyak orang (Yoh. 5:1-18, Mat. 8-9, dst), melindungi wanita yang tertangkap berzinah dan akan dirajam batu (Yoh. 8:1-11), hingga mendamaikan kita dengan Allah Bapa melalui salib-Nya. Hal-hal ini menunjukkan bagaimana Yesus sebagai Raja tidak hanya bertanggungjawab kepada Bapa namun juga memberikan perlindungan dan kedamaian bagi orang-orang yang percaya kepada-Nya.

                            iii.            Kepemimpinan Yesus sebagai Guru

Dalam masa hidupnya, Yesus dikenal sebagai guru yang mengajarkan banyak hal kepada murid-murid-Nya. Sebagai seorang guru, Yesus sangat terampil dalam mengajar dan mendidik para murid. Ia tidak hanya mampu berbicara kepada para ahli agama, orang farisi, namun juga kepada pemungut cukai yang dianggap sebagai pendosa (Luk. 19:1-10), atau kepada anak-anak yang dianggap tidak memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman (Mrk. 10:14). Hal ini membuktikan bahwa Yesus tidak hanya mampu melayani berbagai macam orang, namun Ia juga menghargai semua orang dari berbagai macam latar belakang kehidupannya. Sebagai seorang pemimpin, Yesus menunjukkan keterbukaan dan hati yang lapang untuk mau memahami dan menghargai orang lain.

Yesus sebagai guru juga sangat kreatif dalam mengajarkan nilai-nilai Kerajaan Allah. Ia tidak hanya mengajar dengan menjelaskan namun juga melalui perumpamaan-perumpamaan, contoh-contoh, serta tindakan nyata. Yesus juga mampu menyesuaikan cara mengajarNya kepada pendengar atau lawan bicara yang sedang dihadapinya. Sebagai contoh, Yesus bisa bersikap sangat lembut kepada anak-anak, perempuan berdosa, atau para pemungut cukai. Namun Ia juga dapat bersikap tegas kepada murid-murid-Nya seperti Petrus, atau kepada orang Farisi dan ahli Taurat. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus sangat paham berkomunikasi dengan siapa, untuk apa, dan dengan cara apa.

                            iv.            Kepemimpinan Yesus sebagai Imam dan Nabi

Dalam Perjanjian Baru, Yesus disebut beberapa kali oleh orang-orang sebagai nabi (Mat. 16:14, 21:11, 46, dst.), dan secara tidak langsung Yesus juga menyatakan bahwa diri-Nya adalah nabi (Mat. 13:57). Dictionary of Biblical Imagery mengatakan bahwa nabi dalam Alkitab memiliki tugas secara khusus untuk mengajarkan Firman Allah, menjaga kehidupan umat agar terus beriman kepada Allah, serta hidup dalam jalan yang benar.[31] Untuk menjalankan hal tersebut, tidak heran para nabi dalam Perjanjian Lama menyampaikan Firman Tuhan secara tegas bahkan beberapa nabi juga terus berseru-seru mengkritik ketidakadilan dan kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah pada masanya, contoh: Mikha, Nehemia, Yeremia. Para nabi juga tidak segan menegur para Raja, contohnya nabi Natan (2Sam. 12:1;14). Tindakan tegas untuk menjaga kekudusan hidup juga ditunjukkan oleh Yesus dalam masa hidup-Nya. Yesus tidak segan menegur para pemimpin agama dan ahli taurat, bahkan Ia berani memporakporandakan Bait Suci yang dijadikan tempat berdagang oleh para Imam saat itu. Yesus dengan tegas menegur orang farisi (Mat. 3:7, 12:34), ahli Taurat (Mat. 23:33), bahkan Petrus (Mat. 16:23. Mrk. 8:33).

Yesus disebut sebagai Imam Besar Agung oleh penulis Ibrani (Ibr. 4:14). Jabatan Imam ini tidak pernah disebutkan dalam injil namun banyak disampaikan dalam surat Ibrani maupun dalam kitab-kitab Perjanjian Lama. Jabatan imam dalam Injil justru digambarkan kurang baik sebab para imam memiliki kecenderungan hidup nyaman dekat dengan kekuasaan, contohnya imam-imam yang ditanyai oleh Herodes tentang kelahiran Yesus (Mat. 2:3-6). Dalam kisah tersebut, para imam jelas mengetahui kelahiran Mesias yang Allah janjikan namun mereka tidak datang kepada Mesias dan hanya berdiam di istana Herodes. Hal ini berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Majus yang justru menempuh perjalanan jauh untuk menyembah Mesias.

Berbeda dari para Imam pada masa hidup-Nya. Sekalipun Yesus tidak memegang status sebagai Imam dalam strata sosial masyarakat Israel, namun cara hidup-Nya telah menunjukkan posisi-Nya sebagai Imam Besar. Dalam Perjanjian Lama, Imam memiliki fungsi secara khusus dalam kehidupan sosial bangsa Israel. Menurut Dictionary of Biblical Imagery, Imam merupakan orang-orang pilihan yang dipilih oleh Allah untuk menguduskan diri dan melayani Dia serta umat. Dalam hal ini, tugas imam antara lain mengajarkan firman Allah dan menegaskan aturan yang Allah tetapkan untuk menjaga kekudusan umat. Dalam Perjanjian Lama, keimaman ditetapkan berdasarkan garis keturunan Harun demi menjaga aturan tegas akan kekudusan hidup dan karakteristik yang baik.[32] Menariknya, dalam perkembangan sejarah, kehidupan keimaman tampaknya tidak sesuai dengan harapan Allah. Imam yang harusnya menjadi perantara Allah dan manusia justru cenderung menggunakan otoritasnya untuk keuntungan pribadi. Tidak jarang, ditemui imam-imam yang tidak melayani umat namun menyengsarakan umat serta tidak memberikan contoh hidup yang baik, seperti Hofni dan Pineas (1Sam. 2:11-17). Sekalipun Yesus tidak ada dalam posisi sebagai Imam berdasarkan keturunan Harun, namun Ibrani menunjukkan bahwa keimaman Yesus berdasarkan aturan Melkisedekh (Ibr. 5:6).[33] Sebagai Imam, Yesus tidak hanya menjadi pengantara bagi umat dan Allah namun Ia sendiri telah menjadi kurban yang hidup bagi umat untuk pengampunan dosa. Yesus juga ditetapkan secara khusus untuk menjadi Mesias dan Imam Besar Agung. Ia tidak hanya menjaga kekudusan hidup, namun juga mampu memahami duka umat dan isi hati Allah. Tidak mengherankan jika penulis surat Ibrani mengatakan bahwa “Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” (Ibr. 4:15) Oleh karena itu, dalam kepemimpinan Imam dan Nabi, Yesus memberikan beberapa nilai utama, yaitu tegas dan berani menyatakan kebenaran serta menjaga kekudusan/integritas dan menjadi perantara yang baik bagi Tuhan juga manusia.

2.3  Kualitas dan Nilai-nilai Kepemimpinan Yesus.

Berdasarkan dengan penelusuran dari model-model kepemimpinan Yesus, penulis menyimpulkan ada beberapa kualitas dan nilai-nilai kepemimpinan yang penting untuk dimiliki oleh seorang pemimpin. Dalam hal kualitas kepemimpinan, seorang pemimpin harusnya memiliki: Berhikmat, Mampu memberikan pengharapan di tengah masalah, Melindungi mereka yang lemah dan teraniaya, Tahan menanggung penderitaan, Rela berkorban, Bertanggungjawab, Memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, Mau mengerti, memahami, dan menghargai orang lain, Tegas dalam menyatakan kebenaran dan Mampu menjadi perantara atau pendamai.

Selain beberapa hal di atas, Model kepemimpinan Yesus juga menekankan beberapa nilai-nilai penting, antara lain Kasih, Kebenaran, dan Integritas. Hal-hal inilah yang menunjukkan kekuatan dari kepemimpinan Yesus.

III.             Relevansi Kepemimpinan Kristus bagi Kepemimpinan Saat ini.

Di era modern ini, krisis kepemimpinan terjadi baik dalam tingkat lokal, nasional, maupun dunia. Menurut James MacGregor Burns, krisis kepemimpinan di era ini disebabkan oleh banyaknya hadir pemimpin pria maupun wanita yang memiliki kemampuan rata-rata dan tidak bertanggungjawab (The crisis of leadership today is the mediocrity and irresponsibility of many of the men and women in power).[34] Artinya, salah satu isu kepemimpinan yang terjadi saat ini adalah kapasitas dan kualitas dari pemimpin itu sendiri. Kapasitas berbicara tentang keterampilan dan kemampuan seorang pemimpin dalam mengatur, memimpin, hingga kemampuan untuk mengatasi permasalahan. Dalam bagian ini, Yesus telah memberikan contoh tentang sikapnya yang tegas dalam menerapkan kebenaran. Yesus juga telah memberikan contoh agar seorang pemimpin sanggup untuk bertahan di tengah kondisi-kondisi sulit, memiliki keterampilan dalam berkomunikasi, dan mampu menjadi pengantara yang baik di tengah keragamanan pihak-pihak yang dipimpinnya. Dengan demikian, keterampilan untuk bernegosiasi, berdiskusi, juga berkomunikasi menjadi kapasitas yang perlu dimiliki oleh para pemimpin saat ini.

Terkait dengan permasalahan ini, Nyarwi Ahmad, Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi UGM mengatakan bahwa Pemerintah Indonesia memiliki kelemahan dalam hal mengkomunikasikan kebijakan publik dan kinerja Pemerintah.[35] Hal serupa juga disampaikan oleh Elizabeth Goenawan Ananto, Direktur Program MM Komunikasi Universitas Trisakti, menjelaskan bahwa pemerintah harusnya tidak hanya memikirkan tentang keselarasan gerak dari kebijakannya namun juga menyelaraskan penyampaian publik yang dilakukan oleh perwakilan-perwakilan instansi pemerintah agar terjadi keselarasan yang meminimalisir kesalahpahaman.[36] Dari beberapa contoh di atas, keterampilan Yesus dalam mengkomunikasikan ajarannya melalui contoh, perumpamaan, bahkan tindakan nyata menjadi salah satu hal yang perlu dipelajari oleh para Pemimpin. Ketika Yesus berbicara dengan orang-orang di pedesaan yang bekerja sebagai nelayan, contoh Petrus dan Yakobus. Ia memanggil mereka untuk mengikut Dia dengan menyebut mereka sebagai “penjala manusia” (Mat. 4:19). Ketika Yesus berbicara dengan lima ribu orang di atas bukit, Ia menggunakan kalimat “Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.” (Mat. 5:14) untuk memudahkan mereka melihat secara langsung dalam posisi mereka yang ada di atas bukit bahwa mereka harus memberi dampak atau terang kepada orang-orang lain yang ada di kota-kota di sekitar mereka. Keterampilan inilah yang tampaknya sangat perlu dimiliki oleh para pemimpin saat ini.

Selain itu, seorang pemimpin juga harus memiliki kualitas yang baik seperti bertanggungjawab, berintegritas, jujur, rela berkorban, dan mau memahami serta menghargai orang lain. Hal-hal inilah yang sulit untuk ditemukan dalam pemimpin saat ini. Tidak asing didengar dalam berita bagaimana para pemimpin, pejabat publik, dan bahkan pemimpin agama melakukan hal-hal yang tidak berintegritas seperti korupsi, berzinah, bahkan hal-hal tidak manusiawi. Salah satu berita yang sedang viral beberapa waktu terakhir ini adalah seorang Bupati ditangkap atas kasus korupsi dan mengejutkan sekali bahwa ditemukan penjara di dalam rumahnya untuk menyiksa korban-korbannya.[37] Berbeda dengan peristiwa tersebut, Yesus memberikan nilai yang penting bahwa kepemimpinan bukanlah menanamkan rasa takut namun hormat dan kasih. Kepemimpinan Yesus bukan untuk mendominasi namun untuk melayani. Oleh karena itu, para pemimpin di zaman ini harusnya mulai beralih untuk tidak menjadikan jabatan dan kekuasaan sebagai alat untuk mendominasi namun sebagai alat untuk melayani, khususnya bagi mereka para pejabat public terlebih pejabat-pejabat gereja atau hamba-hamba Tuhan.

 

 

IV.             Penutup

Kepemimpinan Yesus adalah kepemimpinan yang melayani. Yesus tidak menjadikan jabatan atau kekuasaan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Sebaliknya, Yesus secara sadar menjadikan setiap kesempatan yang dimilikiNya untuk melayani Tuhan dan manusia. Dalam makalah ini, penulis juga menemukan bahwa dalam setiap jabatan atau gelar kepemimpinan yang Yesus terima selalu menunjukkan nilai-nilai dan kualitas kepemimpinan yang unik, contohnya kepemimpinan Yesus sebagai Raja menunjukkan nilai-nilai melindungi, menuntun, dan memberikan pengharapan. Kepemimpinan Yesus sebagai seorang Imam, menunjukkan integritas-Nya dalam menjaga kekudusan hidup dan menjadi perantara yang memahami penderitaan manusia ataupun keinginan Allah. Kepemimpinan Yesus sebagai guru juga menunjukkan bentuk kepemimpinan yang komunikatif dan mampu menghargai serta mengerti orang lain. Nilai-nilai inilah yang kemudian dapat dipelajari dan diaplikasikan bagi pemimpin-pemimpin saat ini.

Selain itu, kepemimpinan Yesus adalah kepemimpinan yang komunikatif. Yesus tidak hanya sanggup memahami visi Allah namun juga menyampaikannya kepada manusia dalam bahasa yang mudah dimengerti sesuai dengan kapasitas dan latar belakang kehidupannya. Dalam hal ini, keberhasilan kepemimpinan kadangkala bukan hanya ditentukan oleh kualitas program atau ketercapaian. Di era modern ini, keberhasilan kepemimpinan juga ditentukan oleh cara pemimpin mengkomunikasikan kebijakan dan hasil kinerjanya. Oleh karena itu, cara-cara komunikatif yang tepat sasaran dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh orang-orang yang dipimpin menjadi salah satu hal yang penting untuk dilakukan dan ditiru oleh para pemimpin di masa ini.

Akhirnya, sebagai seorang hamba Tuhan dan pembelajar teologi, kita adalah calon-calon pemimpin dan mungkin telah menjadi pemimpin di gereja, tempat pelayanan, keluarga, ataupun lingkungan masing-masing. Mari bersama untuk kita mulai dapat menerapkan beberapa hal penting yang telah ditemukan dalam kepemimpinan Kristus. Mari bersama kita menjadi pemimpin yang berintegritas, mau melayani, dan mampu berkomunikasi dengan baik kepada orang-orang yang kita pimpin agar pelayanan dan kepemimpinan kita berdampak baik kepada kehidupan mereka yang kita pimpin. Tuhan memberkati dan memampukan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

A.    Buku/Artikel

 

Baharuddin dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam Antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2012.

Baker, William., The Complete Word Study Dictionary: Old Testament. Chattanooga, Tennessee: AMG, 2003.

Burns, James MacGregors., “The Crisis of Leadership” dalam The Leader's Companion: Insights on Leadership Through the Ages, diedit oleh J. Thomas Warn. New York: Free Press, 1995.

Craigie, Peter. C., Word Biblical Commentary: Jeremiah 1-25. Dallas: Word, 2002.

Douglas. J., dan Tenney, M. C., New International Bible Dictionary. Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1987.

Flanagan, J. W. “King, Kingship.” dalam Eerdmans Dictionary of the Bible diedit oleh David Noel Freedman. Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans, 2000.

Gibson, James L., dkk.,. Organization: Behavior, Structure, and Processes. New York: McGraw-Hill, 1995.

Hersey, Paul., dan Blanchard, Kenneth H., Manajemen Perilaku Organisasi: Pendayagunaan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Erlangga, 1994.

________., “Leadership style: Attitudes and behaviors” dalam Training and Development Journal, vol. 36, No.5 (1982): 50–52.

Holladay, W. L., dan Hanson, P. D., Hermeneia: A Commentary on the Book of the Prophet Jeremiah, Chapters 1-25. Philadelphia: Fortress, 1986.

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Kurniawan, Paulus dan Budhi, Kembar Sri., Being a Leader. Bandung: ANDI, 2018.

Maxwell, John C., Developing the leader within you 2.0. Nashville, Tennessee: Harper Collins, 2018.

Oswalt,  J. N., The New International Commentary on the Old Testament: The Book of Isaiah. Chapters 1-39. Grand Rapids, Michigan: William. B. Eerdmans, 1986.

Oxford English Dictionary

Potter, David S., A Companion to the Roman Empire. Oxford: Blackwell, 2006.

Robbins, Stephen P., Perilaku Organisasi, edisi ke-7. Jakarta: Prehallindo, 1996.

Ryken, Leland., dkk., The Dictionary of Biblical Imagery. Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 2000.

Seitz, C. R., Interpretation A Bible Commentary for Teaching and Preaching: Isaiah 1-39. Louisville: John Knox, 1993.

Solikin, Asep., Fatchurahman, H.M., dan Supardi, “Pemimpin yang Melayani dalam Membangun Bangsa yang Mandiri” dalam Jurnal Anterior, Volume 16 Nomor 2 (Juni 2017); 90-103.

Thoha, Miftah., Kepemimpinan dalam Menejemen. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010.

Timple, A.Dale., Seri Manajemen Sumber Daya Manusia Kepemimpinan. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000.

Zodhiates, Spiros., The Complete Word Study Dictionary: New Testament. Chattanooga, Tennessee: AMG, 2000.

 

B.     Website

 

http://www.ensiklopediapramuka.com/2014/04/kepemimpinan-kepemimpinan-efektif-teori.html#:~:text=Dalam%20teori%203%20dimensi%20kepemimpinan,dipahami%20dalam%20konteks%20situasi%20kepemimpinan. Diakses tanggal 28 Februari 2022.

https://ugm.ac.id/id/berita/19997-pejabat-publik-komunikator-utama-kebijakan-publik-bukan-influencer diakses tanggal 20 Maret 2022.

https://www.barna.com/research/christians-on-leadership-calling-and-career/ diakses tanggal 27 Februari 2022.

https://www.barna.com/research/leadership-crisis/ diakses tanggal 27 Februari 2022.

https://www.brainyquote.com/quotes/alexander_the_great_391181 diakses tanggal 19 Februari 2022.

https://www.humasindonesia.id/ppid/berita/-masih-darurat-komunikasi-publik-ini-penyebab-kacaunya-komunikasi-publik-275 diakses tanggal 20 Maret 2022.

https://www.pewresearch.org/fact-tank/2015/04/07/christianity-is-poised-to-continue-its-southward-march/ diakses tanggal 27 Februari 2022.

https://www.tribunnews.com/regional/2022/01/24/fakta-penjara-manusia-di-rumah-bupati-langkat-lebih-dari-40-orang-pernah-ditahan diakses tanggal 20 Maret 2022.

https://www.vedantu.com/commerce/likerts-system-of-management diakses tanggal 27 Februari 2022.

 

 

 



[2] https://www.barna.com/research/leadership-crisis/ diakses tanggal 27 Februari 2022.

[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v.v.”Kepemimpinan”.

[6] Leadership is “the state or position of being a leader”. Oxford English Dictionary, s.v.v.”Leadership”.

[7] Leadership is “the ability to be a leader or the qualities a good leader should have”. Oxford English Dictionary, s.v.v.”Leadership”.

[8] Miftah Thoha, Kepemimpinan dalam Menejemen (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), 5.

[9] A.Dale Timple, Seri Manajemen Sumber Daya Manusia Kepemimpinan (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000), 58.

 

[10] Asep Solikin, H.M. Fatchurahman, dan Supardi, “Pemimpin yang Melayani dalam Membangun Bangsa yang Mandiri” dalam Jurnal Anterior, Volume 16 Nomor 2 (Juni 2017); 90-103.

[11] John C. Maxwell, Developing the leader within you 2.0 (Nashville, Tennessee: Harper Collins, 2018), 3.

[12] William Baker, The Complete Word Study Dictionary: Old Testament (Chattanooga, Tennessee: AMG, 2003), 1195-1196.

[13] Baker, The Complete Word Study Dictionary: Old Testament, 618.

[14] Spiros Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary: New Testament (Chattanooga, Tennessee: AMG, 2000), 757.

[15] Zodhiates, The Complete Word Study Dictionary: New Testament, 758.

[16] Rowland Smith, “The Construction of the Past in the Roman Empire” dalam A Companion to the Roman Empire, diedit oleh David S. Potter (Oxford: Blackwell, 2006), 427-428.

[17] J. Douglas dan M. C. Tenney, New International Bible Dictionary (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1987), 179.

[18] Greg Rowe, “The Emergence of Monarchy: 44 BCE–96 CE” dalam A Companion to the Roman Empire, 120.

[19] Douglas dan Tenney, New International Bible Dictionary, 914.

[20] Leland Ryken, dkk., The Dictionary of Biblical Imagery (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 2000), 477.

[21] Peter. C. Craigie, Word Biblical Commentary: Jeremiah 1-25 (Dallas: Word, 2002), 330.

[22] W. L. Holladay dan P. D. Hanson, Hermeneia: A Commentary on the Book of the Prophet Jeremiah, Chapters 1-25 (Philadelphia: Fortress, 1986), 618.

[23] J. N. Oswalt, The Book of Isaiah. Chapters 1-39. The New International Commentary on the Old Testament (246). Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans, 1986.

[24] Oswalt, The Book of Isaiah, 247.

[25] Oswalt, The Book of Isaiah, 247.

[26] Oswalt, The Book of Isaiah, 248.

[27] Oswalt, The Book of Isaiah, 249.

[28] C. R. Seitz, (1993). Isaiah 1-39. Interpretation, a Bible commentary for teaching and preaching (66). Louisville: John Knox, 1993.

[29] J. W. Flanagan, “King, Kingship.” dalam Eerdmans Dictionary of the Bible diedit oleh David Noel Freedman (Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans, 2000), 766.

[30] Leland Ryken, dkk., Dictionary of Biblical Imagery (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 2000), 478.

[31] Ryken, dkk., Dictionary of Biblical Imagery, 673.

[32] Ryken, dkk., Dictionary of Biblical Imagery, 662.

[33] Aturan Keimaman Melkisedek tidak berdasarkan garis keturunan Harun sebab Melkisedek hidup sebelum Harus, yaitu sezaman dengan Abraham. Lebih daripada itu, Melkisedek juga adalah Raja Salem. Dengan demikian, aturan Melkisedek membuka peluang untuk Yesus memiliki dua peranan secara langsung yaitu Imam dan Raja.

[34] James MacGregors Burns, “The Crisis of Leadership” dalam The Leader's Companion: Insights on Leadership Through the Ages, diedit oleh J. Thomas Warn (New York: Free Press, 1995), 10.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url