Yesus Sebagai Role Model Kepemimpinan
PENDALAMAN
ARTI DAN MAKNA PEMIMPIN ATAU KEPEMIMPINAN DALAM ROLE MODEL YESUS SEBAGAI
PEMIMPIN
Ewen Josua Silitonga
I.
PENDAHULUAN
Kepemimpinan
yang baik merupakan salah satu faktor keberhasilan dari sebuah organisasi atau
kegiatan. Dalam sebuah peperangan dalam menaklukkan wilayah Persia, Aleksander
Agung pernah mengatakan “Aku tidak takut pada pasukan singa yang dipimpin oleh
domba; Aku takut akan pasukan domba yang dipimpin oleh seekor singa.”[1]
Ucapan ini disampaikan untuk menggambarkan bahwa kepemimpinan yang kuat, dapat
mempengaruhi dan mengubah orang-orang yang lemah menjadi sekelompok pasukan
tempur yang kuat, sebaliknya kepemimpinan yang lemah justru mengubah kumpulan
kesatria menjadi tidak berguna. Kepemimpinan mengambil peran penting bagi
kualitas sebuah organisasi maupun tim kerja.
Dalam
dunia gereja, kepemimpinan juga mengambil peranan penting bagi kemajuan
pelayanan gereja maupun pertumbuhan kerohanian jemaat. Dalam survey yang
dilakukan Barna Institute dan World Vision menemukan bahwa empat dari lima
orang mengafirmasi bahwa masyarakat saat ini mengalami krisis kepemimpinan,
bahkan dari 82% dari orang dewasa usia 18-35 tahunj yang disurvei menyatakan
hal serupa.[2]
Lebih dalam lagi, dalam dunia gereja, Barna menyatakan bahwa lebih dari
setengah (64%) orang Kristen mengatakan bahwa masalah terbesar dalam kepemimpinan
adalah integritas, 40% menyebutkan tentang keotentikan, 38% mengenai
kedisiplinan, dan yang mengejutkan 31% menyatakan tidak adanya kegairahan akan
Allah (passion of God), 7% tidak memiliki kerendahan hati, dan 5% tidak
memiliki tujuan.[3]
Kondisi ini menunjukkan menjadi salah satu faktor penting mengapa kekristenan
dan pertumbuhan gereja menjadi salah satu yang terlambat bahkan cenderung
mengalami penurunan di Eropa dan Amerika menurut Pew Research Center.[4]
Hal ini menunjukkan bahwa gereja perlu belajar kepemimpinan dan membentuk
pemimpin yang baik untuk dapat menghadapi perubahan zaman ini. Oleh karena itu,
penulis dalam makalah ini akan mencoba membahas mengenai kepemimpinan,
khususnya kepemimpinan Yesus sebagai role model utama dalam Kekristenan.
II.
ARTI
DAN MAKNA KEPEMIMPINAN YESUS
2.1
Definisi
Kepemimpinan
Untuk
memahami bagaimana kepemimpinan Yesus, tentu penting bagi penulis dan pembaca
untuk menyamakan perspektif mengenai kepemimpinan itu sendiri. Secara umum,
kepemimpinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
memiliki arti “perihal pemimpin; cara memimpin”[5]
Segala sesuatu terkait karakter, cara, dan model seseorang memimpin merupakan
bagian dari kepemimpinan itu sendiri. Dalam Oxford
English Dictionary, kata kepemimpinan memiliki dua makna: pertama, menekankan
kepada posisi atau jabatan.[6]
Kedua, menekankan pada kemampuan atau kapasitas yang dimiliki oleh seorang
pemimpin.[7]
Dari beberapa definisi di atas, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan memiliki makna kemampuan, kapasitas, dan status/jabatan yang
dimiliki atau harus dimiliki oleh seseorang untuk dapat memimpin.
Pemahaman
mengenai kepemimpinan telah banyak disampaikan dan dibahas oleh beberapa ahli.
George R. Terry mengartikan kepemimpinan sebagai kegiatan mempengaruhi orang
lain supaya memiliki tujuan yang sama yaitu mencapai tujuan organisasi.[8]
Serupa dengan itu, A. Dale Timple menambahkan bahwa kepemimpinan membuat orang
lain secara sukarela ikut serta untuk mencapai tujuan bersama (organisasi).[9]
Sedangkan menurut Solikin, Fatchurahman, dan Supardi, kepemimpinan adalah
“kemampuan seseorang mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk melakukan
sesuatu sesuai tujuan bersama yang meliputi proses mempengaruhi dalam
menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai
tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya.”[10]
Singkatnya, John C. Maxwell merangkum makna kepemimpinan sebagai pengaruh (influence).[11]
Dengan demikian, kepemimpinan tidak hanya mengenai tujuan, perkembangan, atau
memotivasi orang lain namun bagaimana membentuk pribadi yang mampu memberi
dampak dan menggerakkan orang lain.
2.2
Kepemimpinan
Menurut PL dan PB
Dalam
Perjanjian Lama, kata pemimpin diambil dari kata Ibrani Sar (שַׂר
) yang memiliki arti kepala suku, penguasa,
pemimpin, atau pangeran. Baker menjelaskan bahwa kata ini utamanya digunakan
secara resmi merujuk pada otoritas seorang pemimpin. Dalam konteks keimaman
biasanya digunakan untuk merujuk Imam Kepala yang memimpin imam-imam lainnya.[12]
Dalam Perjanjian Lama, pemimpin juga sering digambarkan dengan jabatan Raja
atau dalam bahasa Ibrani menggunakan kata melekh
(מֶלֶךְ). Dalam beberapa konteks, terminologi ini digunakan untuk
menekankan seseorang dengan kekuasaan dan otoritas, tidak jarang juga
disematkan kepada figur ilahi seperti dewa maupun Tuhan.[13]
Tidak mengherankan jika Nebukadnezar meminta rakyatnya sujud menyembah dia
(Daniel 3). Hal ini menjadi salah satu praktik di mana pemimpin atau raja tidak
jarang dikenal sebagai anak dewa atau bahkan sosok dari dewa itu sendiri
sehingga mereka menerima penyembahan bahkan meminta rakyat menyembahnya.
Dalam
Perjanjian Baru, kata pemimpin menggunakan kata arkhon (ἄρχων) yang berarti pemimpin, penguasa, atau
tuan. Diambil dari kata dasar archḗ
yang berarti permulaan atau yang pertama, posisi pertama atau yang diutamakan.[14]
Konsep ini ingin menekankan dua makna yaitu: Pertama, para pemimpin dianggap
sebagai orang yang membangun atau mengawali peradaban atau lahirnya sebuah
Negara/kerajaan. Kedua, lebih menekankan pada posisi pemimpin sebagai orang
nomor satu di Negara tersebut, yang paling penting dan utama. Dalam dunia
Perjanjian Baru, status sebagai arkhon
dipahami berbeda-beda sesuai konteks sosialnya. Bagi orang Yahudi, arkhon dalam kehidupan keyahudian
dipegang oleh para Sanhedrin (Mat. 9:18, 23; Mark 3:22 dan Luke 8:41).
Merekalah yang mengatur dan mengelola kehidupan masyarakat dalam konteks
keagamaan Yahudi atau sinagoge. Sedangkan dalam konteks yang lebih umum, Arkhon dapat merujuk kepada kepala atau
pemimpin pemerintahan (Mat. 20:25; Kis. 4:26; Rm. 13:3; 1Kor. 2:6, 8, dll),
maupun sipil seperti Imam Besar (Kis. 23:5), Hakim (Luk. 12:58; Kis. 16:19)
atau orang-orang berpengaruh seperti orang Farisi, Saduki, maupun sekte lainnya
(Luk. 14:1; 18:18; 23:13, 35; 24:20; Yoh. 3:1, 7:45, 50; 7:26, 48; 12:42, dan
seterusnya). Sedangkan dalam konteks eskatologis, Arkhon dipahami sebagai Mesias, sang Raja di atas segala Raja (Why.
1:5).[15]
Dari pemahaman ini, maka seorang pemimpin tidak hanya berbicara mengenai posisi
namun juga pengaruh dan tugas di tengah masyarakat.
Kehadiran
Yesus dalam dunia bukan hanya untuk menebus dosa umat-Nya. Lebih daripada itu,
dalam Perjanjian Lama, Mesias digambarkan sebagai Raja yang akan memerintah
Israel kembali (Mikha 5:1). Ia yang akan memimpin umat Allah untuk
selama-lama-Nya (2Sam. 7:10-15). Konsep tentang Mesias sebagai pemimpin bagi
umat Israel Perjanjian Lama mengalami perluasan dalam Perjanjian Baru. Mesias
tidak lagi digambarkan sebagai pemimpin bagi Israel namun pemimpin bagi setiap
orang percaya. Ia adalah kepala dari tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung dan
lebih utama dari segala sesuatu. (Kol. 1:18 ITB). Yesus hadir bukan hanya
menjadi penebus namun juga pemimpin. Jika demikian, bagaimana bentuk
kepemimpinan Yesus dan karakter kepemimpinan apa saja yang ditampilkan Yesus
dalam kehidupan-Nya?
2.2.1
Kepemimpinan
dalam Latar Belakang Perjanjian Baru (Romawi dan Yunani)
Sebelum memahami mengenai model dan
karakter kepimpinan dari Yesus, sangat penting untuk memahami latar belakang
sosial terkait dengan kepemimpinan di era Perjanjian Baru. Perjanjian Baru merupakan hasil dari pengaruh
dunia Romawi-Yunani. Pada masa itu, Kerajaan Romawi telah menguasai sepertiga
wilayah bumi mulai dari Asia kecil, Eropa, hingga Mesir. Oleh karena itu,
hampir seluruh wilayah jajahan Romawi mengalami perubahan tatanan sosial
politik, tidak terkecuali di tanah Israel.
Kepemimpinan dalam struktur politik
Romawi ada beberapa tingkatan, antara lain: Kaisar, Patriakh, dan Senat.
Sedangkan secara sosial, kerajaan Romawi dibagi dalam dua divisi yaitu
Patriakhian dan Plebeian. Patriakhian merupakan sekelompok kecil orang-orang
yang hidup dalam tingkatan elite, biasanya mereka adalah anggota senat
masyarakat dan para pemimpin pemerintahan. Sedangkan, Plebeian merupakan sekelompok
besar orang umum yang hidup tanpa jabatan pemerintahan seperti Tuan tanah,
pedagang, budak, dan profesi lainnya.[16]
Meskipun demikian, kelompok sosial ini tidak sepenuhnya tanpa kuasa. Beberapa
memiliki kekuasaan dan kapasitas sebagai pemimpin sosial, beberapa dihargai
karena kapasitas finansialnya.
Kata kaisar diambil dari nama “Caesar”, awalnya ini merupakan nama
keluarga yang terkenal pada abad ketiga masehi. Dalam perkembangannya, sebutan
kaisar digunakan sebagai jabatan pemerintahan Romawi, khususnya nama bagi para
raja Roma.[17]
Kaisar merupakan jabatan kepemimpinan tertinggi untuk orang yang berkuasa di
seluruh kerajaan Romawi. Sedangkan Patriakh dalam konteks Romawi dianggap
sebagai tua-tua masyarakat. Mereka biasanya masuk dalam bagian Senat Pemerintahan
yang mewakili polis-polis.[18]
Senat adalah komunitas para pemimpin polis yang terpilih mewakili komunitasnya
untuk mengatur jalannya kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam menetapkan
hukum dan aturan bermasyarakat. Dalam komunitas Israel, jabatan senat setara
dengan Sanhedrin yang merupakan tua-tua kota untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat.[19]
Sedangkan, Kaisar dalam konteks Israel, memiliki kesetaraan dengan Raja.
Menariknya, dalam sejarah kehidupan bangsa Israel, konsep raja dalam tatanan
politik sebenarnya baru muncul terakhir. Israel lebih mengenal jabatan
kepemimpinan imam dan nabi dalam perjanjian dengan Allah.[20]
Bedanya, dalam era Perjanjian Baru, Raja
Israel merupakan raja yang ditunjuk oleh Kaisar Roma. Oleh sebab itu, tidak
mengherankan jika muncul skeptisisme terhadap pemimpin Israel sebab banyak
masyarakat Israel memandang bahwa raja Israel seperti Herodes hanyalah raja
boneka untuk kepentingan politik Romawi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan
jika pada masa Herodes, harapan akan hadirnya pemimpin mesianik masih sangat
kuat. Hal ini terbukti dari sikap orang Israel ketika menyambut Yesus memasuki
Yerusalem (Mat. 21:1-11).
2.2.2
Model-model
Kepemimpinan Yesus
Inkarnasi Kristus dalam dunia tidak
hanya menghadirkan Juru Selamat bagi manusia. Yesus datang untuk menjadi
pemimpin yang holistik bagi seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam Alkitab,
Yesus tidak hanya dipanggil sebagai guru yang memimpin perjalanan spiritual
para murid (Luk.18:18, Mat. 8:19, dst.), Ia juga dikenal sebagai Imam Besar
Agung (Ibr. 4:14) juga Raja Damai (Yes. 9:5, Mat. 2:2, dst). Dalam bagian ini,
penulis akan membahas bagaimana model-model kepemimpinan yang Yesus tunjukkan,
khususnya dalam tiga peranan-Nya.
i.
Kepemimpinan
dalam bingkai Mesianik
Yesus diakui sebagai Mesias oleh
orang-orang Kristen maupun beberapa aliran Yahudi Mesianik. Dalam bingkai
tersebut, Kekristenan maupun Yudaisme memiliki beberapa kesamaan dalam memahami
persona dari Mesias. Dalam Perjanjian Lama, Mesias selalu dikaitkan dengan Daud
sebagai Raja terbesar dalam sejarah kehidupan umat Israel. Yeremia 23:5
mengatakan “Sesungguhnya, waktunya akan datang, demikianlah firman TUHAN, bahwa
Aku akan menumbuhkan Tunas adil bagi Daud. Ia akan memerintah sebagai raja yang
bijaksana dan akan melakukan keadilan dan kebenaran di negeri.” Menariknya,
kata “Tunas Adil” dalam bahasa aslinya, צֶ֣מַח צַדִּ֑יק (tzamakh
Tzadiq) menggunakan permainan suara (Phoenician)
dari kata “benar” (Tzadeq) yang biasanya digunakan dalam puisi Timur Dekan Kuno
untuk menekankan makna bahwa benar dan kebenaran. Artinya, tunas adil tersebut
adalah pribadi yang benar-benar muncul dari kebenaran dan menghadirkan
kebenaran.[21]
Menurut penelusuran literatur kuno, konsep tunas sudah muncul jauh sebelum masa
Yeremia, yaitu dalam Inskripsi Penyembah Dewa Melqart, di Lapethos, Siprus.
Dalam Inkrispsi tersebut konsep “tunas resmi” muncul untuk melegitimasi raja
dari dinasti Ptolemik yang akan datang. [22]
Hal ini menunjukkan bahwa konsep tunas pada dasarnya sudah mengandung nuansa mesianik.
Dalam nuansa Mesianik, Perjanjian
Lama tidak hanya menunjukkan bahwa Mesias adalah seorang Raja yang meneruskan
takhta Daud. Lebih daripada itu, Yesaya 9:5-6 mengatakan
5 Sebab
seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita;
lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang:
Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. 6 Besar
kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud
dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan
keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya. (Yes. 9:5-6)
Teks
ini adalah salah satu bagian dari Perjanjian Lama yang menjadi rujukan tentang
kemesiasan. Pada bagian ini, Mesias yang dijanjikan Allah tidak hanya memiliki
satu sebutan namun beberapa gelar, yaitu Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa,
Bapa yang Kekal, Raja Damai. Menurut Oswalt, bentuk penyematan beberapa sebutan
kepada Raja sudah menjadi tradisi yang lazim dilakukan oleh bangsa-bangsa Timur
dekat kuno, seperti Mesir, Babilonia, dan lain sebagainya. Pemberian beberapa
sebutan juga tidak jarang dikaitkan dengan nama para Dewa dan kekuatannya,
contohnya “Raja yang Tangguh, seperti Ra di Sorga”.[23]
Pemberian beberapa sebutan kepada raja menunjukkan penghormatan dan tidak
jarang pengilahian kepada figur yang diagungkan. Dalam hal ini, Penyebutan
beberapa gelar sekaligus menunjukkan bahwa Mesias menjadi figur yang paling
dihormati. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Alkitab memberikan lebih
dari tiga gelar hanya kepada Mesias dan tidak kepada figur atau tokoh lain.
Keempat gelar tersebut memiliki
makna dan kelebihan masing-masing. Gelar pertama, Penasihat Ajaib, menjelaskan
bahwa Mesias tidak hanya memiliki kekuatan namun juga hikmat. Hikmat yang
dimaksud tidak hanya hikmat duniawi namun juga hikmat Rohani (1:26; 3:3; 5:21;
19:11–15, dst).[24]
Hal ini terkait dengan tema besar dari kitab Yesaya yang menunjukkan bagaimana
manusia pada masa itu telah kehilangan hikmat dan hidup dalam berbagai dosa,
kekalahan, bahkan maut. Karena itu, dalam Perjanjian Baru, Yesus dengan jelas
digambarkan sebagai seseorang yang penuh dengan hikmat yang sejati. Ia mampu
melawan godaan dosa bahkan menang atas maut (Luk. 24:46-48; Mat. 28:6, dst).
Gelar kedua, Allah yang perkasa. Menurut Oswalt, kata “perkasa” menunjukkan
bahwa Mesias tidak hanya sebagai Allah yang disembah seperti gambaran para dewa
namun seorang pejuang atau pahlawan perang.[25]
Frasa ini dipakai beberapa kali dalam Alkitab seperti dalam Yeremia 32:18,
Ulangan 10:17, dan Yesaya 10:21. Ketiga bagian ini sama-sama memiliki nuansa
peperangan di mana Allah digambarkan sebagai figur yang memimpin peperangan dan
memberi kebebasan atau kemenangan pada umat-Nya. Oleh karena itu, figur
Mesianik juga memiliki nuansa pengharapan akan pembebasan dan kemenangan.
Gelar ketiga, Bapa yang kekal. Gelar
ini cukup menarik jika merujuk kepada sosok yang dianggap sebagai Raja. Jabatan
Bapa tidak umum diberikan kepada para Raja sebagai gelar kehormatan. Meskipun
demikian, Oswalt menjelaskan bahwa gelar ini memberikan nuansa karakter seorang
Ayah yang pelindung, tahan menanggung penderitaan, dan rela berkorban untuk
anak-anak-Nya (Mat. 6:25,26; 11:27–30; 18:12–14; 23:9–12; Luk. 23:34; Rm.
8:15–17).[26]
Gelar “Bapa” memang tidak disematkan kepada Kristus di masa kehidupan-Nya sebab
Yesus cenderung merujuk kepada Allah di Sorga sebagai Bapa untuk menekankan
relasi-Nya dengan Allah Bapa. Meskipun demikian, Alkitab mencatat dengan jelas
bagaimana karakter Kristus yang melindungi murid-murid, wanita pelacur yang
hendak dirajam batu, anak-anak kecil, dan banyak orang yang termarginalkan.
Yesus juga menanggung beban penderitaan bahkan rela mati untuk menebus dosa
manusia. Hal ini jelas menjadi bukti bahwa karakter Bapa yang kekal ada dalam
diri Kristus Yesus.
Terakhir, Mesias juga disebut sebagai
Raja Damai. Gelar ini hanya digunakan satu kali kepada Melkisedekh dalam Ibrani
7:2. Menurut Oswalt, gelar ini tidak hanya menunjukkan bahwa Raja tersebut akan
datang dalam damai namun juga menegakkan kedamaian itu sendiri.[27]
Hal ini sangat menarik untuk dicermati, baik dalam konteks Perjanjian Lama
maupun Yesaya secara khusus. Dalam konteks Yesaya, teks ini disampaikan dalam
kondisi gempuran dari pasukan Rezin dan Pekah ke Yerusalem (2 Raj. 15:37).[28]
Dalam kondisi seperti ini, harapan akan kedamaian tentu menjadi sesuatu yang
dirindukan. Tidak mengherankan jika konsep Raja Damai menjadi salah satu
gambaran dari pengharapan Mesianik. Konsep ini menjadi lawan dari realita
kebengisan yang dilakukan oleh para Raja demi beroleh kekuasaan. Lebih daripada
itu, dalam Perjanjian Baru, Yesus sebagai Raja Damai tidak hanya hadir dan
berjuang dengan jalan damai namun juga membawa kedamaian di tengah dunia serta
mendamaikan Tuhan dan Manusia. (Yes. 53:5; 57:19; 66:12; Luk. 2:14; Yoh. 16:33;
Rm. 5:1; Ibr. 12:14). Oleh karena itu, kepemimpinan Yesus sebagai Mesias
memiliki ciri kepemimpinan yang mendamaikan bukan menguasai. Hal ini jelas
berbeda dengan konteks kepemimpinan para Raja di Perjanjian Lama maupun Baru
yang berupaya menghadirkan kedamaian dengan cara menguasai atau menaklukkan.
Tidak mengherankan jika ada semboyan dalam bahasa Latin, Si vis Pacem, para bellum yang bermakna “Jika kau menginginkan
perdamaian, bersiap-siaplah untuk menghadapi perang”. Sekalipun dalam Alkitab,
Yesus digambarkan berperang melawan kuasa Iblis, tidak berarti bahwa Yesus
tidak membawa kedamaian. Justru kedamaian yang sesungguhnya hadir ketika Iblis
ditaklukkan, sebab kehancuran dan perang adalah manifestasi kehadiran si Jahat.
Singkatnya, dalam bingkai Mesianik,
kepemimpinan Yesus memiliki empat ciri yang menonjol yaitu, Berhikmat, Mampu
memberi pengharapan, kebebasan, atau kemenangan, Melindungi, mengayomi, dan
rela berkorban dan Mendamaikan.
Keempat ciri ini merupakan model
kepemimpinan Yesus dalam bingkai Mesianik. Dalam bagian ini, implementasi nyata
dari kehidupan kepemimpinan Yesus secara praktis ditunjukkan dalam tiga bagian,
yaitu kepemimpinan Yesus sebagai Raja, Guru, dan Imam.
ii.
Kepemimpinan
Yesus sebagai Raja
Kepemimpinan Yesus sebagai Raja
berbeda dengan asumsi para murid maupun orang-orang lain yang
mengelu-elukan-Nya di jalan memasuki gerbang Yerusalem. Dalam Perjanjian Lama
kata Raja (Melekh) muncul 2700 kali
dan Perjanjian Baru kata raja (Basileus)
muncul 125 kali. Hal ini menunjukkan bahwa peran raja pada kehidupan bangsa
Israel, khususnya dalam Perjanjian Lama sangat besar. Flanagan berpendapat
bahwa Raja dalam budaya Timur Dekat Kuno dipahami sebagai penguasa absolut.
Mereka tidak hanya memimpin secara politis namun menguasai secara ekonomi
hingga keagamaan untuk menghasilkan kesejahteraan dan keamanan.[29]
Tidak mengherankan jika banyak Raja di zaman kuno dianggap sebagai titisan
dewa, contohnya Firaun disebut anak dewa Ra atau Julius Caesar dikenal sebagai
titisan Zeus. Hal ini disebabkan karena kekuasaan mutlak dari para pemimpin
yang tidak hanya menguasai secara militer dan politik, namun hingga ranah
keagamaan.
Berbeda dengan para Raja pada
umumnya, kekuasaan Raja dalam tradisi Israel tidak mutlak. Sejak masa Saul
hingga Salomo, Alkitab mencatat bahwa para Raja secara langsung dipilih dan
ditentukan oleh Allah. Mereka juga ditahbiskan menjadi raja oleh para Imam atau
Hakim. Selain itu, Raja tidak memiliki hak untuk memimpin ritual keagamaan, contohnya
dalam peristiwa Saul (1Sam. 15:10-35). Hal ini menunjukkan bahwa Raja dalam
konteks Kerajaan Israel bukanlah pemimpin tunggal dan satu-satunya. Raja
hanyalah perwakilan dari Allah dalam bidang politik dan militer namun Pemimpin
sesungguhnya adalah Tuhan Allah.[30]
Hal ini terbukti dari beberapa bagian Alkitab yang menyebutkan bahwa Allah
adalah Raja Israel yang sejati (Mzm. 10:16; 29:10; 66:7; 146:10; Yer. 10:10;
Mikha 4:7; 1Tim. 1:17). Oleh sebab itu, raja Israel harus bertanggungjawab
secara langsung kepada Allah sebagai Raja sesungguhnya.
Dalam Perjanjian Baru, Yesus tidak
pernah menyebut diriNya sebagai Raja. Sebutan ini diberikan oleh orang-orang
lain kepada Yesus, baik sebagai harapan (Luk. 23:42) maupun penghinaan,
contohnya saat Yesus disalibkan (Mat. 27:37, 27:11, Mrk. 15:2). Yesus juga
tidak pernah memimpin gerakan bersifat politik ketika hidup di dunia. Fokus
pelayanan Yesus adalah untuk menegakkan kerajaan Allah di hati setiap orang.
Meskipun demikian, Yesus sangat sadar bahwa hidupNya di dunia bertanggungjawab
penuh dengan Allah Bapa (Yoh. 6:36-37, 18:11, dst). Pelayanan Yesus di dunia
juga menghadirkan damai sejahtera dan perlindungan bagi mereka yang tertindas,
contohnya Yesus menyembuhkan banyak orang (Yoh. 5:1-18, Mat. 8-9, dst),
melindungi wanita yang tertangkap berzinah dan akan dirajam batu (Yoh. 8:1-11),
hingga mendamaikan kita dengan Allah Bapa melalui salib-Nya. Hal-hal ini
menunjukkan bagaimana Yesus sebagai Raja tidak hanya bertanggungjawab kepada
Bapa namun juga memberikan perlindungan dan kedamaian bagi orang-orang yang
percaya kepada-Nya.
iii.
Kepemimpinan
Yesus sebagai Guru
Dalam masa hidupnya, Yesus dikenal
sebagai guru yang mengajarkan banyak hal kepada murid-murid-Nya. Sebagai
seorang guru, Yesus sangat terampil dalam mengajar dan mendidik para murid. Ia
tidak hanya mampu berbicara kepada para ahli agama, orang farisi, namun juga
kepada pemungut cukai yang dianggap sebagai pendosa (Luk. 19:1-10), atau kepada
anak-anak yang dianggap tidak memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman (Mrk.
10:14). Hal ini membuktikan bahwa Yesus tidak hanya mampu melayani berbagai
macam orang, namun Ia juga menghargai semua orang dari berbagai macam latar
belakang kehidupannya. Sebagai seorang pemimpin, Yesus menunjukkan keterbukaan
dan hati yang lapang untuk mau memahami dan menghargai orang lain.
Yesus sebagai guru juga sangat
kreatif dalam mengajarkan nilai-nilai Kerajaan Allah. Ia tidak hanya mengajar
dengan menjelaskan namun juga melalui perumpamaan-perumpamaan, contoh-contoh,
serta tindakan nyata. Yesus juga mampu menyesuaikan cara mengajarNya kepada
pendengar atau lawan bicara yang sedang dihadapinya. Sebagai contoh, Yesus bisa
bersikap sangat lembut kepada anak-anak, perempuan berdosa, atau para pemungut
cukai. Namun Ia juga dapat bersikap tegas kepada murid-murid-Nya seperti
Petrus, atau kepada orang Farisi dan ahli Taurat. Hal ini menunjukkan bahwa
Yesus sangat paham berkomunikasi dengan siapa, untuk apa, dan dengan cara apa.
iv.
Kepemimpinan
Yesus sebagai Imam dan Nabi
Dalam Perjanjian Baru, Yesus disebut
beberapa kali oleh orang-orang sebagai nabi (Mat. 16:14, 21:11, 46, dst.), dan
secara tidak langsung Yesus juga menyatakan bahwa diri-Nya adalah nabi (Mat.
13:57). Dictionary of Biblical Imagery
mengatakan bahwa nabi dalam Alkitab memiliki tugas secara khusus untuk
mengajarkan Firman Allah, menjaga kehidupan umat agar terus beriman kepada
Allah, serta hidup dalam jalan yang benar.[31]
Untuk menjalankan hal tersebut, tidak heran para nabi dalam Perjanjian Lama
menyampaikan Firman Tuhan secara tegas bahkan beberapa nabi juga terus
berseru-seru mengkritik ketidakadilan dan kejahatan yang dilakukan oleh
pemerintah pada masanya, contoh: Mikha, Nehemia, Yeremia. Para nabi juga tidak
segan menegur para Raja, contohnya nabi Natan (2Sam. 12:1;14). Tindakan tegas
untuk menjaga kekudusan hidup juga ditunjukkan oleh Yesus dalam masa hidup-Nya.
Yesus tidak segan menegur para pemimpin agama dan ahli taurat, bahkan Ia berani
memporakporandakan Bait Suci yang dijadikan tempat berdagang oleh para Imam
saat itu. Yesus dengan tegas menegur orang farisi (Mat. 3:7, 12:34), ahli
Taurat (Mat. 23:33), bahkan Petrus (Mat. 16:23. Mrk. 8:33).
Yesus disebut sebagai Imam Besar
Agung oleh penulis Ibrani (Ibr. 4:14). Jabatan Imam ini tidak pernah disebutkan
dalam injil namun banyak disampaikan dalam surat Ibrani maupun dalam
kitab-kitab Perjanjian Lama. Jabatan imam dalam Injil justru digambarkan kurang
baik sebab para imam memiliki kecenderungan hidup nyaman dekat dengan
kekuasaan, contohnya imam-imam yang ditanyai oleh Herodes tentang kelahiran Yesus
(Mat. 2:3-6). Dalam kisah tersebut, para imam jelas mengetahui kelahiran Mesias
yang Allah janjikan namun mereka tidak datang kepada Mesias dan hanya berdiam
di istana Herodes. Hal ini berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh
orang-orang Majus yang justru menempuh perjalanan jauh untuk menyembah Mesias.
Berbeda dari para Imam pada masa
hidup-Nya. Sekalipun Yesus tidak memegang status sebagai Imam dalam strata
sosial masyarakat Israel, namun cara hidup-Nya telah menunjukkan posisi-Nya
sebagai Imam Besar. Dalam Perjanjian Lama, Imam memiliki fungsi secara khusus
dalam kehidupan sosial bangsa Israel. Menurut Dictionary of Biblical Imagery, Imam merupakan orang-orang pilihan
yang dipilih oleh Allah untuk menguduskan diri dan melayani Dia serta umat.
Dalam hal ini, tugas imam antara lain mengajarkan firman Allah dan menegaskan
aturan yang Allah tetapkan untuk menjaga kekudusan umat. Dalam Perjanjian Lama,
keimaman ditetapkan berdasarkan garis keturunan Harun demi menjaga aturan tegas
akan kekudusan hidup dan karakteristik yang baik.[32]
Menariknya, dalam perkembangan sejarah, kehidupan keimaman tampaknya tidak
sesuai dengan harapan Allah. Imam yang harusnya menjadi perantara Allah dan
manusia justru cenderung menggunakan otoritasnya untuk keuntungan pribadi. Tidak
jarang, ditemui imam-imam yang tidak melayani umat namun menyengsarakan umat
serta tidak memberikan contoh hidup yang baik, seperti Hofni dan Pineas (1Sam.
2:11-17). Sekalipun Yesus tidak ada dalam posisi sebagai Imam berdasarkan
keturunan Harun, namun Ibrani menunjukkan bahwa keimaman Yesus berdasarkan
aturan Melkisedekh (Ibr. 5:6).[33]
Sebagai Imam, Yesus tidak hanya menjadi pengantara bagi umat dan Allah namun Ia
sendiri telah menjadi kurban yang hidup bagi umat untuk pengampunan dosa. Yesus
juga ditetapkan secara khusus untuk menjadi Mesias dan Imam Besar Agung. Ia
tidak hanya menjaga kekudusan hidup, namun juga mampu memahami duka umat dan
isi hati Allah. Tidak mengherankan jika penulis surat Ibrani mengatakan bahwa
“Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut
merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah
dicobai, hanya tidak berbuat dosa.” (Ibr. 4:15) Oleh karena itu, dalam
kepemimpinan Imam dan Nabi, Yesus memberikan beberapa nilai utama, yaitu tegas
dan berani menyatakan kebenaran serta menjaga kekudusan/integritas dan menjadi
perantara yang baik bagi Tuhan juga manusia.
2.3
Kualitas
dan Nilai-nilai Kepemimpinan Yesus.
Berdasarkan dengan penelusuran dari
model-model kepemimpinan Yesus, penulis menyimpulkan ada beberapa kualitas dan
nilai-nilai kepemimpinan yang penting untuk dimiliki oleh seorang pemimpin.
Dalam hal kualitas kepemimpinan, seorang pemimpin harusnya memiliki: Berhikmat,
Mampu memberikan pengharapan di tengah masalah, Melindungi mereka yang lemah
dan teraniaya, Tahan menanggung penderitaan, Rela berkorban, Bertanggungjawab,
Memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, Mau mengerti, memahami, dan
menghargai orang lain, Tegas dalam menyatakan kebenaran dan Mampu menjadi perantara
atau pendamai.
Selain
beberapa hal di atas, Model kepemimpinan Yesus juga menekankan beberapa
nilai-nilai penting, antara lain Kasih, Kebenaran, dan Integritas. Hal-hal
inilah yang menunjukkan kekuatan dari kepemimpinan Yesus.
III.
Relevansi
Kepemimpinan Kristus bagi Kepemimpinan Saat ini.
Di era modern ini, krisis
kepemimpinan terjadi baik dalam tingkat lokal, nasional, maupun dunia. Menurut
James MacGregor Burns, krisis kepemimpinan di era ini disebabkan oleh banyaknya
hadir pemimpin pria maupun wanita yang memiliki kemampuan rata-rata dan tidak
bertanggungjawab (The crisis of
leadership today is the mediocrity and irresponsibility of many of the men and
women in power).[34]
Artinya, salah satu isu kepemimpinan yang terjadi saat ini adalah kapasitas dan
kualitas dari pemimpin itu sendiri. Kapasitas berbicara tentang keterampilan
dan kemampuan seorang pemimpin dalam mengatur, memimpin, hingga kemampuan untuk
mengatasi permasalahan. Dalam bagian ini, Yesus telah memberikan contoh tentang
sikapnya yang tegas dalam menerapkan kebenaran. Yesus juga telah memberikan
contoh agar seorang pemimpin sanggup untuk bertahan di tengah kondisi-kondisi
sulit, memiliki keterampilan dalam berkomunikasi, dan mampu menjadi pengantara
yang baik di tengah keragamanan pihak-pihak yang dipimpinnya. Dengan demikian,
keterampilan untuk bernegosiasi, berdiskusi, juga berkomunikasi menjadi
kapasitas yang perlu dimiliki oleh para pemimpin saat ini.
Terkait dengan permasalahan ini,
Nyarwi Ahmad, Pengajar Departemen Ilmu Komunikasi UGM mengatakan bahwa
Pemerintah Indonesia memiliki kelemahan dalam hal mengkomunikasikan kebijakan
publik dan kinerja Pemerintah.[35]
Hal serupa juga disampaikan oleh Elizabeth Goenawan Ananto, Direktur Program MM
Komunikasi Universitas Trisakti, menjelaskan bahwa pemerintah harusnya tidak
hanya memikirkan tentang keselarasan gerak dari kebijakannya namun juga
menyelaraskan penyampaian publik yang dilakukan oleh perwakilan-perwakilan
instansi pemerintah agar terjadi keselarasan yang meminimalisir kesalahpahaman.[36]
Dari beberapa contoh di atas, keterampilan Yesus dalam mengkomunikasikan
ajarannya melalui contoh, perumpamaan, bahkan tindakan nyata menjadi salah satu
hal yang perlu dipelajari oleh para Pemimpin. Ketika Yesus berbicara dengan
orang-orang di pedesaan yang bekerja sebagai nelayan, contoh Petrus dan
Yakobus. Ia memanggil mereka untuk mengikut Dia dengan menyebut mereka sebagai
“penjala manusia” (Mat. 4:19). Ketika Yesus berbicara dengan lima ribu orang di
atas bukit, Ia menggunakan kalimat “Kamu adalah terang dunia. Kota yang
terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi.” (Mat. 5:14) untuk
memudahkan mereka melihat secara langsung dalam posisi mereka yang ada di atas
bukit bahwa mereka harus memberi dampak atau terang kepada orang-orang lain
yang ada di kota-kota di sekitar mereka. Keterampilan inilah yang tampaknya
sangat perlu dimiliki oleh para pemimpin saat ini.
Selain itu, seorang pemimpin juga
harus memiliki kualitas yang baik seperti bertanggungjawab, berintegritas,
jujur, rela berkorban, dan mau memahami serta menghargai orang lain. Hal-hal
inilah yang sulit untuk ditemukan dalam pemimpin saat ini. Tidak asing didengar
dalam berita bagaimana para pemimpin, pejabat publik, dan bahkan pemimpin agama
melakukan hal-hal yang tidak berintegritas seperti korupsi, berzinah, bahkan
hal-hal tidak manusiawi. Salah satu berita yang sedang viral beberapa waktu
terakhir ini adalah seorang Bupati ditangkap atas kasus korupsi dan mengejutkan
sekali bahwa ditemukan penjara di dalam rumahnya untuk menyiksa korban-korbannya.[37]
Berbeda dengan peristiwa tersebut, Yesus memberikan nilai yang penting bahwa
kepemimpinan bukanlah menanamkan rasa takut namun hormat dan kasih.
Kepemimpinan Yesus bukan untuk mendominasi namun untuk melayani. Oleh karena
itu, para pemimpin di zaman ini harusnya mulai beralih untuk tidak menjadikan
jabatan dan kekuasaan sebagai alat untuk mendominasi namun sebagai alat untuk
melayani, khususnya bagi mereka para pejabat public terlebih pejabat-pejabat
gereja atau hamba-hamba Tuhan.
IV.
Penutup
Kepemimpinan
Yesus adalah kepemimpinan yang melayani. Yesus tidak menjadikan jabatan atau
kekuasaan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Sebaliknya, Yesus
secara sadar menjadikan setiap kesempatan yang dimilikiNya untuk melayani Tuhan
dan manusia. Dalam makalah ini, penulis juga menemukan bahwa dalam setiap
jabatan atau gelar kepemimpinan yang Yesus terima selalu menunjukkan
nilai-nilai dan kualitas kepemimpinan yang unik, contohnya kepemimpinan Yesus
sebagai Raja menunjukkan nilai-nilai melindungi, menuntun, dan memberikan
pengharapan. Kepemimpinan Yesus sebagai seorang Imam, menunjukkan
integritas-Nya dalam menjaga kekudusan hidup dan menjadi perantara yang
memahami penderitaan manusia ataupun keinginan Allah. Kepemimpinan Yesus
sebagai guru juga menunjukkan bentuk kepemimpinan yang komunikatif dan mampu
menghargai serta mengerti orang lain. Nilai-nilai inilah yang kemudian dapat
dipelajari dan diaplikasikan bagi pemimpin-pemimpin saat ini.
Selain
itu, kepemimpinan Yesus adalah kepemimpinan yang komunikatif. Yesus tidak hanya
sanggup memahami visi Allah namun juga menyampaikannya kepada manusia dalam
bahasa yang mudah dimengerti sesuai dengan kapasitas dan latar belakang
kehidupannya. Dalam hal ini, keberhasilan kepemimpinan kadangkala bukan hanya
ditentukan oleh kualitas program atau ketercapaian. Di era modern ini,
keberhasilan kepemimpinan juga ditentukan oleh cara pemimpin mengkomunikasikan
kebijakan dan hasil kinerjanya. Oleh karena itu, cara-cara komunikatif yang
tepat sasaran dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh orang-orang yang
dipimpin menjadi salah satu hal yang penting untuk dilakukan dan ditiru oleh
para pemimpin di masa ini.
Akhirnya,
sebagai seorang hamba Tuhan dan pembelajar teologi, kita adalah calon-calon
pemimpin dan mungkin telah menjadi pemimpin di gereja, tempat pelayanan,
keluarga, ataupun lingkungan masing-masing. Mari bersama untuk kita mulai dapat
menerapkan beberapa hal penting yang telah ditemukan dalam kepemimpinan
Kristus. Mari bersama kita menjadi pemimpin yang berintegritas, mau melayani,
dan mampu berkomunikasi dengan baik kepada orang-orang yang kita pimpin agar
pelayanan dan kepemimpinan kita berdampak baik kepada kehidupan mereka yang
kita pimpin. Tuhan memberkati dan memampukan.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku/Artikel
Baharuddin dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam Antara Teori
dan Praktik. Yogyakarta: AR-RUZZ Media, 2012.
Baker, William., The Complete Word Study Dictionary: Old
Testament. Chattanooga, Tennessee: AMG, 2003.
Burns, James MacGregors.,
“The Crisis of Leadership” dalam The
Leader's Companion: Insights on Leadership Through the Ages, diedit oleh J.
Thomas Warn. New York: Free Press, 1995.
Craigie, Peter. C., Word Biblical Commentary: Jeremiah 1-25.
Dallas: Word, 2002.
Douglas. J., dan Tenney,
M. C., New International Bible Dictionary.
Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1987.
Flanagan, J. W. “King,
Kingship.” dalam Eerdmans Dictionary of
the Bible diedit oleh David Noel Freedman. Grand Rapids, Michigan: William
B. Eerdmans, 2000.
Gibson, James L., dkk.,. Organization: Behavior, Structure, and
Processes. New York: McGraw-Hill, 1995.
Hersey, Paul., dan
Blanchard, Kenneth H., Manajemen Perilaku
Organisasi: Pendayagunaan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Erlangga, 1994.
________., “Leadership
style: Attitudes and behaviors” dalam Training
and Development Journal, vol. 36, No.5 (1982): 50–52.
Holladay, W. L., dan
Hanson, P. D., Hermeneia: A Commentary on
the Book of the Prophet Jeremiah, Chapters 1-25. Philadelphia: Fortress,
1986.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
Kurniawan, Paulus dan
Budhi, Kembar Sri., Being a Leader.
Bandung: ANDI, 2018.
Maxwell, John C., Developing the leader within you 2.0.
Nashville, Tennessee: Harper Collins, 2018.
Oswalt, J. N., The
New International Commentary on the Old Testament: The Book of Isaiah. Chapters
1-39. Grand Rapids, Michigan: William. B. Eerdmans, 1986.
Oxford
English Dictionary
Potter, David S., A Companion to the Roman Empire. Oxford:
Blackwell, 2006.
Robbins, Stephen P., Perilaku Organisasi, edisi ke-7. Jakarta:
Prehallindo, 1996.
Ryken, Leland., dkk., The Dictionary of Biblical Imagery.
Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 2000.
Seitz, C. R.,
Interpretation A Bible Commentary for Teaching and Preaching: Isaiah 1-39.
Louisville: John Knox, 1993.
Solikin, Asep.,
Fatchurahman, H.M., dan Supardi, “Pemimpin yang Melayani dalam Membangun Bangsa
yang Mandiri” dalam Jurnal Anterior,
Volume 16 Nomor 2 (Juni 2017); 90-103.
Thoha, Miftah., Kepemimpinan dalam Menejemen. Jakarta:
Rajagrafindo Persada, 2010.
Timple, A.Dale., Seri Manajemen Sumber Daya Manusia
Kepemimpinan. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000.
Zodhiates, Spiros., The Complete Word Study Dictionary: New
Testament. Chattanooga, Tennessee: AMG, 2000.
B.
Website
http://www.ensiklopediapramuka.com/2014/04/kepemimpinan-kepemimpinan-efektif-teori.html#:~:text=Dalam%20teori%203%20dimensi%20kepemimpinan,dipahami%20dalam%20konteks%20situasi%20kepemimpinan.
Diakses tanggal 28 Februari 2022.
https://ugm.ac.id/id/berita/19997-pejabat-publik-komunikator-utama-kebijakan-publik-bukan-influencer
diakses tanggal 20 Maret 2022.
https://www.barna.com/research/christians-on-leadership-calling-and-career/
diakses tanggal 27 Februari 2022.
https://www.barna.com/research/leadership-crisis/
diakses tanggal 27 Februari 2022.
https://www.brainyquote.com/quotes/alexander_the_great_391181 diakses tanggal 19 Februari 2022.
https://www.humasindonesia.id/ppid/berita/-masih-darurat-komunikasi-publik-ini-penyebab-kacaunya-komunikasi-publik-275
diakses tanggal 20 Maret 2022.
https://www.pewresearch.org/fact-tank/2015/04/07/christianity-is-poised-to-continue-its-southward-march/
diakses tanggal 27 Februari 2022.
https://www.tribunnews.com/regional/2022/01/24/fakta-penjara-manusia-di-rumah-bupati-langkat-lebih-dari-40-orang-pernah-ditahan
diakses tanggal 20 Maret 2022.
https://www.vedantu.com/commerce/likerts-system-of-management
diakses tanggal 27 Februari 2022.
[1] https://www.brainyquote.com/quotes/alexander_the_great_391181 diakses tanggal 19 Februari 2022.
[2] https://www.barna.com/research/leadership-crisis/
diakses tanggal 27 Februari 2022.
[3]https://www.barna.com/research/christians-on-leadership-calling-and-career/
diakses tanggal 27 Februari 2022.
[4] https://www.pewresearch.org/fact-tank/2015/04/07/christianity-is-poised-to-continue-its-southward-march/
diakses tanggal 27 Februari 2022.
[5] Kamus Besar Bahasa Indonesia,
s.v.v.”Kepemimpinan”.
[6]
Leadership is “the state or
position of being a leader”. Oxford
English Dictionary, s.v.v.”Leadership”.
[7]
Leadership is “the ability to be a
leader or the qualities a good leader should have”. Oxford English Dictionary, s.v.v.”Leadership”.
[8]
Miftah Thoha, Kepemimpinan dalam
Menejemen (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), 5.
[9]
A.Dale Timple, Seri Manajemen Sumber Daya
Manusia Kepemimpinan (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2000), 58.
[10]
Asep Solikin, H.M. Fatchurahman, dan Supardi, “Pemimpin yang Melayani dalam
Membangun Bangsa yang Mandiri” dalam Jurnal
Anterior, Volume 16 Nomor 2 (Juni 2017); 90-103.
[11]
John C. Maxwell, Developing the leader
within you 2.0 (Nashville, Tennessee: Harper Collins, 2018), 3.
[12] William Baker, The Complete Word
Study Dictionary: Old Testament (Chattanooga, Tennessee: AMG, 2003),
1195-1196.
[13] Baker, The Complete Word Study
Dictionary: Old Testament, 618.
[14] Spiros Zodhiates, The Complete
Word Study Dictionary: New Testament (Chattanooga, Tennessee: AMG, 2000),
757.
[15] Zodhiates, The Complete Word
Study Dictionary: New Testament, 758.
[16] Rowland Smith, “The Construction of the Past in the Roman Empire”
dalam A Companion to the Roman Empire,
diedit oleh David S. Potter (Oxford: Blackwell, 2006), 427-428.
[17] J. Douglas dan M. C. Tenney, New
International Bible Dictionary (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1987),
179.
[18] Greg Rowe, “The Emergence of Monarchy: 44 BCE–96 CE” dalam A Companion to the Roman Empire, 120.
[19] Douglas dan Tenney, New
International Bible Dictionary, 914.
[20] Leland Ryken, dkk., The
Dictionary of Biblical Imagery (Downers Grove, Illinois: InterVarsity,
2000), 477.
[21] Peter. C. Craigie, Word Biblical
Commentary: Jeremiah 1-25 (Dallas: Word, 2002), 330.
[22] W. L. Holladay dan P. D. Hanson, Hermeneia:
A Commentary on the Book of the Prophet Jeremiah, Chapters 1-25
(Philadelphia: Fortress, 1986), 618.
[23] J. N. Oswalt, The Book of Isaiah. Chapters 1-39. The New International
Commentary on the Old Testament (246). Grand Rapids, MI: Wm. B. Eerdmans, 1986.
[24] Oswalt, The Book of Isaiah,
247.
[25] Oswalt, The Book of Isaiah,
247.
[26] Oswalt, The Book of Isaiah,
248.
[27] Oswalt, The Book of Isaiah,
249.
[28] C. R. Seitz, (1993). Isaiah 1-39. Interpretation, a Bible commentary
for teaching and preaching (66). Louisville: John Knox, 1993.
[29] J. W. Flanagan, “King, Kingship.” dalam Eerdmans Dictionary of the Bible diedit oleh David Noel Freedman
(Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans, 2000), 766.
[30] Leland Ryken, dkk., Dictionary
of Biblical Imagery (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 2000), 478.
[31] Ryken, dkk., Dictionary of
Biblical Imagery, 673.
[32] Ryken, dkk., Dictionary of
Biblical Imagery, 662.
[33] Aturan Keimaman Melkisedek tidak berdasarkan garis keturunan Harun
sebab Melkisedek hidup sebelum Harus, yaitu sezaman dengan Abraham. Lebih
daripada itu, Melkisedek juga adalah Raja Salem. Dengan demikian, aturan
Melkisedek membuka peluang untuk Yesus memiliki dua peranan secara langsung
yaitu Imam dan Raja.
[34] James MacGregors Burns, “The Crisis of Leadership” dalam The Leader's Companion: Insights on
Leadership Through the Ages, diedit oleh J. Thomas Warn (New York: Free
Press, 1995), 10.
[35] https://ugm.ac.id/id/berita/19997-pejabat-publik-komunikator-utama-kebijakan-publik-bukan-influencer
diakses tanggal 20 Maret 2022.
[36] https://www.humasindonesia.id/ppid/berita/-masih-darurat-komunikasi-publik-ini-penyebab-kacaunya-komunikasi-publik-275
diakses tanggal 20 Maret 2022.