Bohong / Dusta Menurut Etika Kristen

 


BOLEHKAH ORANG KRISTEN BERBOHONG?

(Bohong Dari Perspektif Etika Kristen)

Ewen Josua Silitonga

 

Pendahuluan

Di dalam kehidupan kita, tidak dapat dipungkiri bahwa kita pernah berbohong. Walau pun kadang kala alasan kita melakukan kebohongan demi kebaikan. Apakah orang Kristen bisa berbohong? Kita akan membahas dalam paper kali ini tentang BOLEHKAH ORANG KRISTEN BERBOHONG (Bohong dari persfektif Etika Kristen).

Pengertian Bohong

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bohong adalah tidak sesuai dengan hal atau keadaan yang sebenarnya; dusta; bukan yang sebenarnya; palsu.[1] Bohong adalah pernyataan yang salah dibuat oleh seseorang dengan tujuan agar pendengar percaya.[2] Sedangkan berbohong adalah menyatakan sesuatu yang tidak benar; berbuat bohong; berdusta.[3] Untuk berkata “benar dan jujur”, tidak berbohong diperlukan “keberanian” tersendiri. Berbohong sengaja dilakukan, karena sering kali orang “takut” resikonya dari pada berkata jujur dan benar, maka yang dipilih adalah berkata bohong demi “mengamankan” dirinya sendiri. Sikap tutup mulut atau “membisu”, dan sikap tidak mau terlibat dalam persoalan orang lain meskipun ia “tahu yang benar” adalah sikap “berbohong”, karena tidak mau memberikan kesaksian yang benar. Akibatnya orang lain itu “menderita” dan merugi karena dianggap bersalah, meskipun sebenarnya ia tidak bersalah.[4] Beberapa ahli mengelompokkan bentuk dosa berbohong menjadi beberapa kategori. J. Douma mengategorikan dosa karena lidah ke dalam bentuk-bentuk berikut: memfitnah, gosip, menghakimi, berbohong (yang terdiri dari bohong yang jahat, bohong yang lucu, bohong darurat, dan bohong putih), dan memutarbalikkan perkataan orang lain.[5] Sedangkan J. Verkuyl mengelompokkan kebenaran dan kebohongan dalam penggunaan lidah menjadi delapan dimensi, yaitu: di depan hakim; dalam kehidupan umum; dalam diplomasi; dalam percakapan; dalam melaporkan kenyataan dan keadaan; dalam mendidik anak-anak; dalam sopan santun; dan dalam keadaan darurat.[6] Kebohongan adalah suatu ketidaksesuaian yang disadari antara pikiran dan perkataan, tidak memadai sama sekali. Kebohongan adalah penolakan, penyangkalan, dan perusakan yang disadari dan disengaja atas realitas yang diciptakan Allah dan yang berada di dalam Allah, tidak peduli apakah tujuan ini dicapai melalui perkataan atau melalui diam. Kebohongan juga disebut kepalsuan, adalah jenis penipuan dalam bentuk pernyataan yang tidak benar, terutama dengan maksud untuk menipu orang lain, seringkali dengan niat lebih lanjut untuk menjaga rahasia atau reputasi, menolong orang lain, melindungi diri sendiri, mencari keuntungan, atau untuk menghindari hukuman atau tolakan untuk satu tindakan.[7] Berbohong adalah menyatakan sesuatu yang tahu tidak benar. Namun sering kita mendengar kata-kata “berbohong demi kebaikan (sering disebut sebagai bohong putih), demi mejaga perasaan orang lain dan sebagainya. Bohong putih adalah kebohongan yang diucapkan untuk bersikap sopan atau untuk menghentikan seseorang agar tidak kecewa dengan kebenaran.[8] Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English mendefinisikan white lie (bohong putih) sebagai lie considered to be harmless, especially one told for the sake of being polite (kebohongan yang dianggap tidak berbahaya, apalagi yang diceritakan demi sopan santun).[9] Sedangkan dalam Merriam Webster mendefinisikan bohong putih adalah kebohongan tentang hal kecil atau tidak penting yang dikatakan seseorang untuk menghindari menyakiti orang lain.[10]

Berbohong demi kebaikan (bohong putih) adalah mengatakan dengan tidak sebenarnya demi kebaikan diri sendiri atau orang lain. Berbohong demi kebaikan merupakan suatu inisiatif yang semata-mata untuk menolong seseorang atau diri sendiri dari hal yang buruk yang akan menimpanya. Dalam hal ini orang tersebut tidak menemui  alternatif lain, kecuali dengan cara berbohong. Berbohong demi kebaikan memiliki beberapa tujuan diantaranya yaitu: menyelamatkan nyawa dari ancaman kematian, menerapkan kasih yang lebih besar, dan  membela yang tidak bersalah. Beberapa orang yang berbohong karena diperhadapkan pada situasi yang sangat pelik, oleh karena masalah yang sangat pelik. Dari defenisi di atas, dapat disimpulan bahwa bohong demi kebaikan (bohong putih) adalah suatu tindakan komunikasi yang dengan sengaja menyembunyikan sebagin atau seluruh kebenaran dengan motivasi untuk menjaga kesopanan, menghindarkan diri sendiri atau orang lain dari dipermalukan, dan membawakan kebaikan bagi orang yang menyampaikan maupun yang mendengar.

 

Pandangan Agama-agama Tentang Bohong Atau Dusta

Pandangan Agama Suku Primitif

Menurut J. Verkuyl, dalam agama-agama suku (agama-agama primitif), hanya terdapat sedikit sekali kesadaran , bahwa berbohong/berdusta adalah dosa. Bahkah sebagian besar dari agama-agama primitif itu menganggap bohong sebagai suatu hal yang lumrah. Sehingga tidak mengherankan di antara mereka terdapat banyak orang yang berbohong. Orang membohongi kawannya, bahkan membohongi “berhalanya”, membohongi “arwah leluhurnya”, membohongi “hantu-hantu dan roh-roh lainnya”. [11] Dalam agama suku atau agama primitif, bohong itu lumrah dan biasa karena hal itu bertalian dengan pengaruh magi (sihir) dan takhyul yang bercokol dalam agama primitif tersebut. Suasana sihir dan takhyul adalah suasana kebohongan. Takhyul menghapuskan batas-batas antara kebenaran dan kebohongan. Takhyul lebih suka kepada kebohongan dan menjauhkan diri dari kebenaran. Demikian juga dengan sihir. Sihir itu hidup, bernapas dan beroperasi di dalam kebohongan. Secara sadar atau tidak sadar, para ahli sihir bekerja dengan kebohongan yaitu tipu, khayalan-khayalan palsu, dan dengan akal bulus yang licin. Mereka berusaha mempengaruhi orang-orang dengan saran-saran mereka dan melakukan keajaiban-keajaiban dusta. Jadi, suasana sihir dan suasana manusia yang telah dipengaruhi oleh sihir adalah suasana kebohongan, membohongi diri sendiri, sombong dan menyesatkan.[12]Jadi dari hal di atas, kita dapat melihat bahwa menurut pandangan agama suku atau agama primitif bohong atau berbohong itu lumrah.

   Pandangan Agama Buddha dan Hindu

Dalam ajaran Gautama Buddha, kejujuran itu sangat penting. Tuntutan utama adalah kejujuran dan perjuangan melawan kebohongan. Agama Buddha dalam moralnya mengenal sedikit tentang Taurat Tuhan, tetapi tidak mengenal rahmat di dalam Yesus Kristus.[13] Sedangkan dalam agama Hindu, kebohongan pada umumnya dianggap sebagai perbuatan jahat, tetapi sebaliknya diperbolehkan dan dianjurkan pula dalam keadaan tertentu dan dengan syarat tertentu. Misalnya dalam kitab Jawa Kuno yang bernama Nitisastra, disebutkan bahwa dalam lima hal orang boleh berbohong, yaitu pada waktu meminang dan menikah, untuk melindungi hidupnya sendiri atau orang lain, untuk melindungi milik sendiri dan orang boleh berbohong dalam senda gurau. Tetapi selanjutnya dalam buku itu disebutkan, kalau engkau berbohong dalam hal lain-lainnya, maka engkau akan didudukkan di atas kuda dan dibawa lari ke neraka.[14] Jadi, dalam agama Buddha dan Hindu, kebohongan dianggap sebagai perbuatan yang jahat, sehingga kejujuran adalah tuntutan yang utama yaitu perjuangan melawan kebohongan. Namun, dalam hal-hal tertentu berbohong diizinkan.

 

 Pandangan Islam Tentang Bohong

Dalam pandangan etika Islam ada dibicarakan soal kebohongan dan kebenaran, khususnya dalam buku karangan Ghazali. Dalam buku itu Ghazali menerangkan, bahwa pada umumnya kebohongan itu dilarang. Tetapi dalam keadaan-keadaan tertentu bohong itu bukan hanya diperbolehkan saja, bahkan wajib. Tergantung dari tujuannya. Jika seseorang berbohong dengan tujuan yang baik, maka perbuatannya itu tidak tercela. Beberapa contoh dari keadaan atau hal-hal dimana orang boleh berbohong antara lain: pertama, kalau berbohong itu adalah untuk mengadakan perdamaian. Kedua, dalam kehidupan perkawinan, berbohong itu adalah untuk menghindari tuduhan-tuduhan suami atau isteri. Menurut Ghazali, bagaimana cara manusia dapat belajar berjuang melawan kebohongan ialah manusia harus memperbaiki dirinya sendiri, memupuk adat kebiasaan yang baik dan dengan demikian belajar mengalahkan dosa-dosanya dengan kekuatannya sendiri.[15] Jadi, menurut pandangan agama Islam juga, bohong itu dilarang, namun dalam hal-hal tertentu bohong itu tidak hanya diperbolehkan tetapi merupankan sesuatu yang wajib, tergantung dari tujuannya.

 Bohong Dalam Tinjauan Alkitab

Dalam bahasa Ibrani, bohong/ dusta disebut “sheker” yang artinya “palsu, bohong, tidak benar, salah atau keliru, tidak sah, atau pura-pura”. Dalam bahasa Yunani disebut “pseudomartureo” yang artinya “bohong, tidak benar, khianat atau tidak setia, atau palsu”.[16] Keluaran 20:16 dan Ulangan 5:20 kedua ayat ini berkata, “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu”. Ada dua pokok yang akan disimak berkaitan dengan ayat tersebut, yaitu, pertama, dengan kalimat pendek itu dapat ditarik kesimpulan bahwa dusta atau bohong adalah menyaksikan sesuatu yang tidak benar kepada seseorang dengan maksud yang disengaja. Menyaksikan berarti menyampaikan dengan kata-kata kepada orang lain hal yang tidak sesuai dengan fakta. Kedua, kata “jangan” berasal dari bahasa Ibrani “Lo”. Kata itu menunjukkan arti yang mutlak tanpa syarat. Berbeda dengan kata “Al” dalam bahasa Ibrani yang memiliki arti “jangan”, namun sifatnya kondisional atau bersyarat.[17] Dengan demikian, jangan berdusta memiliki arti tanpa syarat, artinya tidak boleh dilakukan dalam situasi apapun. Jika seseorang melakukannya, tentu Allah tidak berkenan, karena merupakan pelanggaran terhadap Firman Allah (dosa). Jangan mengucapkan saksi dusta berarti jangan “berbohong” tentang sesamamu. Tujuan hukum ini untuk “mencegah” terjadinya fitnah, ketidak-jujuran, dan ketidak-benaran dalam kehidupan umat Allah. Substansi dari larangan Tuhan ini adalah, “katakanlah yang benar dan jujur tentang sesamamu”

Alkitab secara konsisten melarang umat manusia melakukan kebohongan atau saksi dusta, melakukan tipu muslihat, kesaksian palsu, dusta yang diungkapkan dengan kata-kata, cara hidup palsu, baik dalam Perjanjian Lama (Kel 20:16; 23:1-3; Im 6:2-3; Ul 5:20; 19:15-19; Am 6:19; Hos 4:1-2; 7:3, 13; 12:1;  Yes 59:3-4; Yer 7:28; 9:3-5; 23:25-32; Zak 8:16-17) maupun dalam Perjanjian Baru (Mat 5:37; 19:18; Mrk 10:19; Luk 18:20; Yoh 8:44; Rm 1:25; Ef 4:25; Kol 3:9; Yak 3:14; 5:12; I Yoh 2:21, 27; Why 21:27; 22:15), karena sifat hakiki Allah adalah kebenaran, yakni Allah yang Benar (Yes 65:16; Mzm 31:6; I Yoh 5:20); Firman yang benar (Mzm 119:16; Yoh 17:17); dan Roh yang benar (Yoh 16:13). Setiap orang percaya adalah ciptaan baru di dalam Tuhan (2 Kor 5:17) lebih mempertegas larangan orang percaya untuk terlibat dalam dosa kebohongan atau saksi dusta. Manusia sebagai ciptaan yang baru sudah ditebus dari belenggu dosa dengan harga yang sudah lunas dibayar, yaitu dengan darah Kristus (bnd. I Ptr 1:18-19), sehingga tubuh orang percaya tidak boleh lagi dipakai sebagai senjata kelaliman (bnd. Rm 6:13), melainkan digunakan untuk mempermuliakan Allah (I Kor 6:20). Millard J. Erickson menyimpulkan konsep ciptaan baru sebagai suatu perubahan hidup dimana seseorang menjadi mati terhadap keinginan daging dan hidup di dalam Roh Kudus.[18] Ini berarti manusia ciptaan baru di dalam Tuhan akan meninggalkan sifat-sifat kedagingan, salah satunya adalah dosa-dosa kebohongan dan dusta, seperti yang tercatat di dalam Roma 3:13-14: “Kerongkongan mereka seperti kubur yang ternganga, lidah mereka merayu-rayu, bibir mereka mengandung bisa. Mulut mereka penuh dengan sumpah serapah”, dan berubah menjadi ciptaan baru yang menggunakan mulut dan lidahnya untuk berbicara kebenaran Allah.Menurut Kaiser, usaha menilai keterlibatan seseorang dalam kebohongan diperlukan sebuah standar yang baku. Bagi orang percaya standar tersebut adalah kebenaran Allah. Istilah “kebenaran” dalam PL berasal dari kata “emet” (Ibrani) yang dipakai untuk menggambarkan dua hal, yaitu: karakter seseorang sebagai manusia yang memiliki integritas dan dapat dipercaya (bnd. Kel 18:21; Ul 1:13; Neh 7:2), dan kelakuan seseorang yang melaksanakan serta berjalan di dalam kebenaran (Mzm 25:5; 43:3; 86:11).[19] Menurut Murrey yang dikutip oleh Timotius Fu, menyatakan bahwa terdapat dua dimensi yang harus diperhatikan dalam menjelaskan kebenaran, yaitu: a) kebenaran seseorang dinilai di hadapan Allah, diri sendiri, dan sesama manusia, b) kebenaran seseorang harus dipraktekkan dalam pikiran, perkataan dan tindakan. Dengan demikian, kebenaran Allah yang menjadi standar dan sumber kebenaran manusia adalah kualitas Allah yang penuh integritas dan dapat dipercaya secara absolut, utama, kekal, permanen, lengkap dan substansial. Kebenaran tersebut harus dimanifestasikan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan orang percaya.[20]

Di dalam Alkitab ada kasus tentang dusta, dan penulis hanya mengambil dua contoh saja: pertama, kasus Abram dalam Kejadian 12:10-20. Ketika Abram pergi ke Mesir akibat kelaparan di tanah Kanaan, ia dengan sengaja berbohong kepada Firaun bahwa Sarai bukanlah isterinya melainkan adiknya. Sehingga Firaun mengambil Sarai menjadi isterinya dan menyambut Abram dengan baik. Akibat dari perbuatannya itu, Allah mendatangkan tulah kepada Firaun dan seisi istananya. Abram melakukan kebohongan demi kepentingan dirinya sendiri. Takut menghadapi masalah membuat seseorang mengambil keputusan yang salah, tidak sejalan dengan kehendak Tuhan, dan mengambil tindakan yang salah. Ketakutan membuat Abram berani melakukan kebohongan tidak peduli sekali pun ada orang lain yang terluka.  Kedua, kasus Ananias dan Safira dalam Kisah Para Rasul 5:1-11. Yang menceritakan kisah Ananiasa dan Safira yang adalah bagian dari jemaat mula-mula. Pasal ini berkaitan dengan pasal sebelumya yaitu Kisah Para Rasul 4:32-37 yang menceritakan cara hidup jemaat mula-mula, bahwa jemaat hidup dengan penuh kasih saling membangun sebagai tubuh Kristus. Mereka menjual segala kepunyaannya untuk dibawa dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul dan kemudian dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya. Ananisa dan Safira juga tergerak hatinya untuk menjual sebidang tanah milik mereka. Tapi Ananias dan Safira bersekongkol dalam kejahatan, yaitu berdusta.  Motivasi yang baik berganti dengan kesepakatan suami isteri bukan pada sesuatu yang baik tetapi justu pada dusta yang terencana. Mereka tidak hanya mendustai rasul-rasul, tapi mereka mendustai Allah. Akibatnya mereka kehilangan nyawa mereka.

Berbeda dengan kasus Sifra dan Pua dalam Keluaran 1:15-22. Sifra dan Pua memang telah menyampaikan informasi yang tidak benar kepada Firaun dangan cara yang disengaja. Apakah itu dosa? Jika hal itu dusta, pastilah dosa, namun jika hal itu tidak dusta pasti bukan dosa. Dalam ayat 17, Alkitab mengatakan bahwa dasar tindakan Sifra dan Pua untuk tidak menuruti keinginan Firaun adalah takut akan Allah. Jadi, Sifra dan Pua menolak kemauan Firaun bukan karena ada kegentaran dalam hati mereka untuk takut dihukum mati, tetapi mereka benar-benar takut akan Allah. Dalam hal itu, orang yang takut akan Allah didasarkan pada suatu kesadaran penuh untuk berpihak kepada Allah dari pada kepada manusia walaupun dengan ancaman hukuman mati.[21] Jadi, alasan dibalik tindakan kedua bidan itu adalah takut akan Tuhan (ay 17). Dan atas hal itu, maka Allah berbuat baik dengan menjadikan mereka berumah tangga (bnd. Kel 1:20-21). Bohong atau saksi dusta adalah pelanggaran terhadap kebenaran Allah di dalam perkataan. Kapankah seseorang dapat dikatakan melakukan kebohongan? Kaiser mengutip defenisi untuk menggambarkan tindakan berbohong yaitu “a lie is a voluntary speaking of an intent to deceive”.[22]

 Sedangkan Ezekiel Hopkins menyatakan sebuah kebohongang harus memiliki tiga unsur berikut: “a) there must be the speaking of an untruth; b) it must be known to us to be an untruth, it must be with a will and intent to deceive him to whom we speak it, and to lead him into eror”.[23] Menurut Asa Mahan defenisi berbohong sebagai berikut: “a lie is the intentional deception of an individual who has a right to know the truth of us, and under circumstances in which he has a claim to such knowledge”.[24] Dengan demikian, suatu komunikasi dapat dikategorikan sebagai kebohongan apabila memenuhi unsur-unsur berikut: Pertama, Adanya penyampaian informasi, baik verbal maupun non verbal, yang mengandung ketidakbenaran. Kedua,  ketidakbenaran tersebut adalah disengaja dengan tujuan menipu, mengelabui, atau memperdaya penerima informasi (yaitu lawan bicara atau orang yang diajak berkomunikasi). Ketiga, penerima informasi harus memiliki hak untuk mengetahui kebenaran tersebut. Apabila objek komunikasi tidak berhak  mengetahui kebenaran tersebut, maka penyampai informasi berhak menahan kebenaran tersebut tanpa melanggar perintah titah kesembilan.[25]

 Bohong Dari Perspektif Etika Kristen

Secara umum metode dasar etika dapat dibagi menjadi dua kelomok besar, yaitu: deontologikal dan teleologikal. Perbedaan utama pada kedua metode dasar tersebut terletak pada filosofi dasar terhadap tujuan, alat, dan hukum atau peraturan yang mengatur suatu perbuatan.[26] Istilah deontologikal berasal dari akar kata deon (Yunani) yang berarti tugas, kewajiban, atau keharusan. Metode deontologikal disebut juga etika kewajiban atau tugas, karena metode ini menentukan benar tidaknya, baik buruknya suatu tindakan berdasarkan penilaian apakah tindakan tersebut merupakan tindakan menunaikan tugas dan kewajiban atau tidak. Selain itu, metode deontologikal menekankan pentingnya pemakaian suatu perangkat peraturan tingkah laku yang baku dan mengikat sebagai standar untuk menilai baik buruknya suatu tindakan.[27] Bagi orang Kristen perangkat peraturan tingkah laku adalah Alkitab (Kebenaran Allah). Salah satu manifestasi dari metode deontologikal adalah etika non-conflicting absolutism (absolutisme total). Premis utama etika absolutisme total adalah bahwa Allah telah memberikan seperangkat hukum-hukum moral yang absolut yang tidak pernah bertentangan satu dengan yang lainnya. Hukum-hukum tersebut diperoleh lewat eksegesis dan penafsiran yang sangat teliti dari Alkitab dan bersifat mengikat kepada setiap orang pada sepanjang masa. Hukum-hukum absolut dari Allah inilah yang menjadi standar yang menilai benar tidaknya suatu tindakan manusia. Etika absolutisme total memandang tujuan atau hasil tindakan tidak lebih penting daripada alat untuk mencapai tujuan, meskipun ini tidak berarti bahwa etika ini mengabaikan hasil atau tujuan. Oleh sebab itu etika absolutisme total tidak mengorbankan hukum-hukum absolut dari Alkitab demi mencapai suatu tujuan yang membawa kebaikan bagi manusia.[28]

John Frame memformulasikan tiga langkah paktis yang tidak terpisahkan dan saling terkait untuk menerapkan etika absolutisme total deontologikal, yaitu: 1) Apa masalahnya? (perspektif situasional); 2) Apa yang dikatakan Alkitab tentang masalah tersebut? (perspektif normatif); dan 3) Perubahan apa yang perlu dilakukan untuk menyesuaikan masalah tersebut? (persperktif eksistensial).[29] Sementara itu, metode etika teleologikal menjadikan perhitungan konsekuensi atau hasil dari suatu tindakan sebagai standar untuk menilai baik buruknya, benar tidaknya tindakan tersebut. Sesuai dengan akar katanya, yakni telos (Yunani) yang berarti “tujuan atau akibat”. Metode teleologikal berangkat dari hasil atau tujuan yang ingin dicapai untuk menentukan peraturan dan saranan pencapaian tujuan tersebut. Metode ini juga disebut etika pragmatis karena yang menjadi standar ukuran kebenaran adalah hasil atau akibat yang mendatangkan kebaikan, kesenanga, dan keuntungan baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dengan demikian, hukum atau norma moral yang absolut tidak mendapat tempat dalam metode ini, karena semua hukum dan peraturan etika adalah relatif dan tergantung kepada hasil akhir yang dicapai dalam sebuah tindakan.[30] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etika absolutism totol yang merupakan manifestasi dari metode deontologikal memberikan tempat yang utama kepada Alkitab sebagai sumber hukum moral yang absolut serta menghasilkan nilai-nilai yang objektif dan normatif. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip etika ini harus menjadi pegangan dasar dari penerapan etika Kristen. Sebaliknya metode etika teleologikal yang menghalalakan segala cara untuk mencapai tujuan tidak sesuai diterapkan dalam etika Kristen.  Dengan demikian, berbohong dalam bentuk apapun dan dengan tujuan apapun tidak dibenarkan menurut Etika Kristen berdasarkan Alkitab sebagai kebenaran Allah. Berbohong itu selalu salah. Siapa pun yang berkata bohong, walaupun itu demi kebaikan, pasti ada konsekuensi-konsekuensinya. Allah adalah kebenaran dan tidak dapat berdusta (Ibrani 6:18), maka demikian pula manusia. Standar moral di dalam Alkitab adalah: “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” (Matius 5:48).  Perintah untuk mengatakan kebenaran berasal dari hukum Allah yang mutlak, tidak ada pengecualian-pengecualian yang dapat dibuat untuk ini. Sama seperti manusia harus kudus karena Allah itu kudus, demikianlah manusia harus mengatakan yang sebenarnya karena Allah selalu mengatakan yang sebenarnya.

 

 Kesimpulan

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan:

1.      Berbohong adalah menyatakan sesuatu yang tidak benar, berbuat bohong dan  berdusta yang bertentangan dengan Firman Tuhan.

2.      Menurut agama-agama suku (primitif), berbohong itu lumrah. Sedangkan dalam agama Buddha dan Hindu, kebohongan dianggap sebagai perbuatan yang jahat, sehingga kejujuran adalah tuntutan yang utama yaitu perjuangan melawan kebohongan. Namun, dalam hal-hal tertentu berbohong diizinkan. Dalam  pandangan agama Islam juga, bohong itu dilarang, namun dalam hal-hal tertentu bohong itu tidak hanya diperbolehkan tetapi merupankan sesuatu yang wajib, tergantung dari tujuannya.

3.      Berbohong menurut Etika Kristen tidak dibenarkan dalam bentuk apapun dan dengan tujuan apapun berdasarkan Alkitab sebagai kebenaran Allah. Berbohong itu selalu salah. Allah adalah kebenaran dan tidak dapat berdusta (Ibrani 6:18), maka demikian pula manusia. Manusia harus kudus karena Allah itu kudus, demikianlah manusia harus mengatakan yang sebenarnya karena Allah selalu mengatakan yang sebenarnya.

 I.               Daftar Pustaka

a.       Buku-buku

Clark, David K., dan Robert V. Rakestraw, The Nature of Ethics (Grand Rapids: Baker, 1994)

Douma, J.,  The Ten Commandemts: Manual  For The Christian Life (Philipsburg: Presbyterian & Reformed, 1993)

Erickson, Millard J.,  Christian Theology (Grand Rapids: Baker, 1991).

Fletcher, Verne H.,  Lihatlah Sang Manusia!: Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar (Jakarta: BPK-GM, 2020)

Hornby, A. S.,  (ed), Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Oxford: Oxford University Press, 1984).

Kaiser, Walter, Toword Old Testament Ethics (Grand Rapids: Zondervan Academi, 1991)

Sitohang, S. H.,  Kasus-kasus Dalam Alkitab Perjanjian Lama (Bandung: Institut Alkitab Tiranus, 2004) 

Sosipater, Karel, Etika Perjanjian Lama (Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2016)

Verkuyl, J.,  Etika Kristen: Kapita Selekta (Jakarta: BPK-GM, 1992).

 b.      Jurnal

Fu, Timotius, Bohong Putih Ditinjau Dari Perspektif Etika Kristen Dan Pengajaran Alkitab, dalam Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan (April 2007)

Ngesthi, Yonathan Salmon Efrayim, Matius I Totok Dwikoryanto, Fatiaro Zega, Kontraversi Bohong Dalam Keluaran 1:8-22 (dalam Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No. 1, September 2021).

 c.       Internet

https://m.brillio.net/creator/ini-pengertian-dari-etika-deontologi-dan-etika-teleologi-76f843.html diakses pada 5 Mei 2022.

https://kbbi.web.id/bohong diakses pada 25 April 2022.

http://id.m.wikipedia.org/wiki/bohong diakses pada 25 April 2022

https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/white-lie diakses pada 25 April 2022.

https://www.merriam-webster.com/dictionary/white%20lie diakses pada 25 April 2022.

 


[1] https://kbbi.web.id/bohong diakses pada 25 April 2022.

[2] http://id.m.wikipedia.org/wiki/bohong diakses pada 25 April 2022

[3] Ibid, https://kbbi.web.id/bohong diakses pada 25 April 2022.

[4] Karel Sosipater, Etika Perjanjian Lama (Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2016), 143. 

[5] J. Douma, The Ten Commandemts: Manual  For The Christian Life (Philipsburg: Presbyterian & Reformed, 1993), 316-319.

[6] J. Verkuyl, Etika Kristen: Kapita Selekta (Jakarta: BPK-GM, 1992), 250-263.

[7] Verne H. Fletcher, Lihatlah Sang Manusia!: Suatu Pendekatan Pada Etika Kristen Dasar (Jakarta: BPK-GM, 2020), 107-411.  

[9] A. S. Hornby (ed), Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Oxford: Oxford University Press, 1984), 981.

[11]  J. Verkuyl, 247.

[12]  Ibid, 247.

[13] J. Verkuyl, 248.

[14] J. Verkuyl, 248.

[15] J. Verkuyl, 249.

[16] Karel Sosipater, 142.

[17] Yonathan Salmon Efrayim Ngesthi, Matius I Totok Dwikoryanto, Fatiaro Zega, Kontraversi Bohong Dalam Keluaran 1:8-22 (dalam Jurnal Teologi Berita Hidup, Vol 4, No. 1, September 2021), 226.

[18] Millard J. Erickson, Christian Theology (Grand Rapids: Baker, 1991), 944.

[19] Walter Kaiser, 223.

[20] Timotius Fu, Bohong Putih Ditinjau Dari Perspektif Etika Kristen Dan Pengajaran Alkitab, dalam Veritas: Jurnal Teologi dan Pelayanan (April 2007), 123.

[21] S. H. Sitohang, Kasus-kasus Dalam Alkitab Perjanjian Lama (Bandung: Institut Alkitab Tiranus, 2004), 39-45. 

[22] Walter Kaiser, Toword Old Testament Ethics (Grand Rapids: Zondervan Academi, 1991), 224. 

[23] Ibid, 225.

[24]  Ibid, 225.

[25] Ibid, 227.

[26] David K. Clark dan Robert V. Rakestraw, The Nature of Ethics (Grand Rapids: Baker, 1994), 120.

[28] David K. Clark dan Robert V. Raskestraw, 114.

[29] Ibid, 184.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url