Bersumpah Menurut Etika Kristen

 


Bolehkah Orang Kristen Bersumpah?

Ewen Josua Silitonga

 

I.                   Pendahuluan

Manusia sebagai ciptaan Allah berimplikasi pada eratnya hubungan antara iman dengan perilaku manusia dalam rangka tanggung jawab pada Pencipta. Etika Kristen sebagai ilmu mempunyai fungsi dan misi yang khusus dalam hidup manusia yakni petunjuk dan penuntun tentang bagaimana manusia sebagai pribadi dan kelompok harus mengambil keputusan tentang apa yang seharusnya berdasarkan kehendak dan firman Tuhan. Etika Kristen adalah ilmu yang meneliti, menilai, dan mengatur tabiat dan tingkah laku manusia dengan memakai norma kehendak dan perintah Allah sebagaimana dinyatakan dalam Yesus Kristus. Salah satunya adalah tabiat manusia terhadap sumpah. Sumpah yang biasanya diucapkan oleh manusia yang dianggap sebagai kebiasaan dalam menjalankan kehidupannya. Ada orang yang terbiasa  bersumpah supaya apa yang diucapkannya lebih didengarkan dan dipercaya oleh orang lain. Apakah orang Kristen diperbolehkan untuk mengucapkan sumpah demi kebaikannya? Kita akan menggali lebih dalam lagi bagaimana etika Kristen memandang sumpah.

 

Pengertian Sumpah

Sumpah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bisa berarti tiga hal. Pertama, sumpah adalah pernyataan yang diucapkan secara resmi dengan bersaksi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang dianggap suci (untuk menguatkan kebenaran dan kesungguhan dan sebagainya). Kemudian sumpah juga berarti pernyataan disertai tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar. Sumpah bisa juga berarti janji atau ikrar yang teguh. Adapun makna negatif dari sumpah adalah kata-kata yang buruk; kutuk; tulah. Giorgio Agamben menyatakan bahwa fungsi utama sumpah dalam berbagai bentuknya adalah menjamin kebenaran dan efficacy dari apa yang kita ucapan.[1] Sedangkan Alan H. Sommerstein menandaskan bahwa sumpah adalah pernyataan yang diberikan dengan mengundang kekuatan supranatural sebagai saksi atas ketaatannya, di mana apabila sumpah tersebut dilanggar maka dia bersedia dihukum dan disebut sebagai orang yang terkutuk.[2]

Menurut Luther sumpah kepada seseorang merupakan hal yang tidak baik dan harus ditinggalkan. Karena sumpah adalah suatu kutukan kepada seseorang atas kejahatannya, bersumpah sama halnya dengan membunuh seseorang. Luther berpendapat bahwa walaupun tidak sampai melakukan pembunuhan, banyak orang yang mengutuk musuhnya dan menginginkan hal-hal yang mengerikan terjadi atasnya, sehingga seandainya hal itu terjadi, memang begitulah yang mereka inginkan. Jadi, Allah ingin melenyapkan akar penyebab segala rasa benci kepada orang lain dan melatih kita senantiasa memegang firman ini sebagai cermin dihadapan kita, supaya kita dapat melihat diri kita sendiri. Kita harus belajar bersikap tenang, sabar dan lemah lembut terhadap orang-orang yang menyebabkan kita marah, yaitu musuh-musuh kita. Calvin mengajarkan tidak boleh melukai siapapun dengan tangan ataupun tidakan kita; juga tidak boleh memakai lidah kita mempengaruhi orang untuk melukai orang lain atau menyuruh dia berbuat dengan demikian, dan tidak boleh memakai atau menyetujui cara dan sarana apapun untuk mencelakakan orang lain, serta tidak boleh memusuhi siapapun dalam hati kita, atau begitu marah dan membenci sehingga menginginkan dia celaka.[3] Sumpah Suatu persetujuan yang dipakai oleh orang-orang yang berkuasa, baik di bidang agama, maupun di bidang sekular untuk menjamin bahwa orang, terutama saksi di pengadilan, mengatakan kebenaran.

 

Sumpah Menurut Alkitab

Sumpah itu adalah bagian dari kebudayaan Israel; nama Allah dilibatkan dan hukuman ilahi dinantikan apabila kebenaran dikhianati itu adalah suatu perbuatan yang melanggar kesucian (Kel 20:7). Kebiasaan ini berlanjut ke dalam masa Perjanjian Baru (Mat. 23:16- 22), tetapi dalam Khotbah di Bukit Yesus menjelaskan bahwa dalam Kerajaan Allah, kebijakan seperti itu membatalkan hubungan antara kebenaran dan kasih (Mat. 5:34). Surat Yakobus mendesak orang percaya untuk tidak bersumpah (Mat. 5:12).[4]

Ibrani syevu’a dan ‘ala; Yunani horkos. Dari kedua kata Ibrani ini ‘ala’ paling kuat. Artinya pengutukan atas seseorang yang mengingkari sumpah; syevu ‘a berasal dari kata untuk ‘tujuh’, bilangan keramat, terkait dengan upacara penyumpahan. Sumpah adalah kutukan atas orang yang melanggar kata-katanya sendiri (1 Sam. 19.6), atau apabila dia tidak mengatakan kebenaran (Mrk 14:71). Gagasan memohon kutukan atas diri sendiri, telah mendorong beberapa ahli mengemukakan, bahwa bila seorang Ibrani bersumpah atas nama Allah, maka ia telah memberikan kebebasan kepada Allah untuk bertindak, atau mempercayakan kepada Allah tugas bertindak terhadap seseorang yang melakukan sumpah palsu atau kesaksian.

Kristus sendiri diperhadapkan dengan sumpah (Mat 26:63), dan Paulus juga bersumpah (2 Kor 1:23; Gal 1:20). Alkitab mencatat bahwa Allah mengikat diri-Nya dengan sumpah (Ibr 6:13-18). Tuhan berjanji akan melaksanakan janji janji-Nya kepada umat perjanjian-Nya, yaitu janji janji-Nya kepada Bapak-bapak leluhur (Kej 1:24), janji-janji-Nya kepada bangsa Daud (Mzm 89:18-36,48), janji-janji-Nya kepada Raja Imam Mesianis (Mzm 110:1-4). Jaminan atas semua janji itu ialah Yesus Kristus, pada siapa mereka mendapat jawaban ‘ya’ (‘amin’) (2 Kor 1:19; bnd Yes 65:16). Dalam kedatangan-Nya, Yesus Kristus memenuhi janji janji Allah yang lama kepada Bapak-bapak leluhur (Luk 1:68-73; 2:6-14), kepada Daud (Kis 2:30), dan kepada Raja Imam PL (Ibr 7:20, 28).[5]

Kata dalam TB : 153x dalam 140 ayat (dalam PL: 125x dalam 117 ayat) (dalam PB: 28x dalam 23 ayat). Kata dalam TL :: 118x dalam 106 ayat (dalam PL: 93x dalam 86 ayat) (dalam PB: 25x dalam 20 ayat). Dengan demikian kata sumpah dalam perjanjian baru merupakan kata yang penting dan mendapat perhatian. Bahwa sumpah tidak boleh diucapkan dengan sembarangan. Namun sumpah adalah sebuah ikhtiar yang nyata melalui tindakan Kis 2:30. Daud percaya kepada janji Allah yang diberikan dalam 2 Samuel 7:12-14 di mana Natan menubuatkan bahwa keturunan Daud akan berlangsung selamanya janji ini diulangi dalam Mazmur 132:11 dan 89:5 yang menjadi sumber bagi pengharapan mengenai Mesias. Rm. 3:14 Mulut mereka penuh dengan sumpah serapah, 1 Tim 1:10 bagi orang cabul dan pemburit, bagi penculik, bagi pendusta, bagi orang makan sumpah dan seterusnya segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran sehat. Dalam surat Paulus titik pusat perbincangangannya tidak terletak pada jabatan, pengangkatan atau tanggung jawab. Paulus justru berbicara tentang karunia rohani yang berbeda dalam melayani.[6]

 

Sebab-Akibat Sumpah

Mengucapkan sumpah bermacam cara (Kej. 24:2-3; Ul. 32:40) dan rumusan (Kej. 31:50; Bil. 5:22; Hak. 8:19; 2 Raj. 2:2; Yer. 42:5; Mat. 5:34-36; 23:16). Sering dampak-dampak yang mengerikan dari sumpah yang tidak dipenuhi tidak dikemukakan (2 Sam. 3:9; Yer. 29:22). Pentingnya sumpah ditekankan dalam hukum Musa (Kel. 20:7; Im. 19:12). Orang Israel dilarang mengucapkan sumpah demi dewa-dewa (Yer. 12:16; Am. 8:14). Yehezkiel bicara tentang orang yang melanggar sumpah dapat dihukum mati (Yer. 17:16), tapi dalam hukum Taurat sumpah palsu oleh saksi, dan menyangkal dengan sumpah atas sesuatu yang diterima atau diperoleh (Im. 5:1-4; 6:1-3) dapat ditebus dengan korban pengakuan dosa (Im. 5:5; Im. 6:4). Kristus mengajarkan bahwa sumpah mengikat (Mat. 5:33). Percakapan sehari-hari orang Kristen haruslah sama sucinya dengan sumpahnya. Dia tidak boleh mempunyai dua ukuran tentang kebenaran, seperti orang Yahudi tertentu yang memakai ukuran licik berkaitan dengan sumpah. Dalam Kerajaan Allah pada akhirnya sumpah tidak diperlukan (Mat. 5:34-37).[7]

Alkitab menyaksikan bahwa Tuhan Allah memberikan taurat kepada manusia, baik orang percaya maupun tidak percaya, yang mengajarkan apa yang benar dan berkenan kepada Allah, serta yang menghakimi dan mengutuk apa yang salah dan bertentangan dengan kehendak Allah. Taurat itu berlaku sebagai norma dan peringatan untuk membatasi dosa dan kejahatan manusia. Segala pemberitaan Alkitab, yang bersifat menuntut, mengancam, menghakimi dan mengutuk, serta yang mendakwa dan menakut-nakuti, boleh digolongkan sebagai Taurat. Pada hakikatnya Taurat itu baik dan sempurna, dan karenanya harus dilaksanakan. Namun oleh karena manusia pada dasarnya tidak mampu memenuhi taurat (bnd Rm 7:15,18,19) maka semakin manusia mengandalkan taurat, semakin nyatalah dosanya dan semakin besarlah keputusasaannya, dan semakin mengerikanlah ancaman maut atasnya. Bagi orang percaya, taurat itu memperkenalkan kepada manusia murka Allah yang dahsyat (Rm 7:7,13), ancaman hukuman Allah dan kutuk yang menimpa manusia (Gal 3:10), serta melahirkan kesadaran dan pengenalan akan dosa dan menuntun kita sampai Kristus datang supaya kita dibenarkan karena iman (Gal 3:24).   Menurut para rabi, suatu sumpah akan dianggap sah jika diucapkan demi nama Allah. Sumpah yang diucapkan tidak dalam nama Allah tidak diangap sah maupun memiliki kekuatan.[8]

Maka dari itu, kematian di kayu salib merupakan kematian seorang penjahat yang terkutuk. Bagi siapa yang mati dengan demikian, ia telah mengalami kematian yang tekutuk. (Ul. 21:23; Gal 3:13). Tetapi, kristus telah datang berdiri di bawah kuasa hukum taurat, sebagai wakil dan ganti kita.[9] Pengorbangan kristus di katu salib telah menghentikan kutukan maut. Kuasa yang dipakai untuk menebus kita tidaklah kuasa yang bisa rusak, namun pengorbanan darah dalam nyawa-Nya. Kutukan akan semua dosa-dosa yang dilakukan manusia. Telah menimpa Dia. Disaat Tuhan Yesus mati di kayu salib, mahkota duri yang dipakaikan kepada-Nya merupakan suatu tanda menerima kutukan. Sebab kematianNya di kayu salib adalah kutuk. Adanya duri dikarenakan oleh kutukan terhadap orang berdosa (Kej. 3:17, 18). Namum, melalui salib tersebut, kuasa yang begitu besar dilepaskan ke dunia untuk membebaskan kita dari kutukana.  Kematian-Nya menebus kita terlepas dari kutuk hukum taurat. Salib Yesus Kristus telah melepaskan kuasa dunia yang akan datang serta menghalangi suatu kutukan.[10]

 

Sumpah Menurut Etika Kristen

Etika didefinisikan secara sederhana sebagai penyelidikan tentang apa yang baik atau benar atau luhur dan apa yang buruk atau salah atau jahat dalam kelakuan manusia. Etika menaruh perhatian kepada norma-norma yang membentuk tujuan manusia. Etika Kristen berusaha untuk menolong orang-orang untuk berpikir dengan lebih terang tentang kehendak Allah supaya mereka dapat mengembangkan hidupnya seniri dan kehidupan masyarakat yang lebih sesuai dengan kehendak Allah itu. Etika menyangkut tabiat manusia juga kelakuan yang berasal dari tabiat itu. Etika mengenai kalimat-kalimat yang memakai kata-kata seperti “baik”, “jahat”, “benar”, “salah”, “wajib”, “harus”, “seharusnya”, “sebaiknya”, “jangan”, dan lain-lainnya, juga perintah-peruntah dan pendapat-penddapat yang menunjukkan kewajiban, larangan, atau tanggung jawab.[11] Perbuatan selain mengutuk diuraikan dengan jelas: “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!” kamu akan berubah jika tidak lagi mengutuk tetapi sudah memberkati. Mengutuk dapat berhenti jika digantikan  dengan memberkati secara sungguh-sungguh. Seseorang harus terbiasa untuk melakukan kebaikan. Artinya memiliki kesadaran terhadap suatu tuntutan dari Tuhan untuk memberkati, keinginan yang teguh untuk melakukan tindakan-tindakan yang berkenan di hadapan-Nya, serta tetap berusaha untuk memberkati daripada mengutuk. Pembaharuan dapat terjadi bila tindakan memberkati dilakukan secara terus menerus. Tindakan-tindakan yang lama harus ditinggalkan dan tindakan-tindakan yang baru menjadi utama dalam hidup kita. Dimana kita harus memunculkan serta memiliki suatu kesadaran, ketataan serta teratur, demikianlah berkat yang akan menjadi jawaban bagi kita akan mengikuti.[12]

            Dengan demikian, Tuhan Yesus menghendaki murid-muridnya agar jangan mempergunakan segala macam kata-kata  penguat dan segala macam sumpah Hukum Taurat juga memerintahkan, agar kita mengucapkan hanya yang benar saja. Sebagai orang Kristen kita juga tidak diperbolehkan bersumpah untuk mendukung apa yang salah, yaitu mendukung dusta, dalam arti jika itu tidak perlu ataupun tidak ada gunanya dilakukan.[13] Dalam Mat. 5:34 Yesus mengajarkan untuk tidak bersumpah, terlebih-lebih mengaitkan dengan Allah. Kata Ὀμνύω yang memiliki arti "Aku bersumpah, mengambil sumpah, janji dengan sumpah" adalah yang dilarang untuk diucapkan. Sumpah adalah permohonan kepada Tuhan untuk menjadi saksi kepada kebenaran suatu pernyataan. Sejumlah tafsiran menafsirkan “…Yesus melarang sumpah, karena di jaman Yesus orang mengatakan perkataan sumpah begitu seringnya, sehingga sepertinya disalahgunakan. Dokumen- dokumen rabinikal saat itu menunjukkan bahwa sumpah diambil untuk alasan-alasan yang tidak begitu penting. Sejalan dengan penyalahgunaan pengambilan sumpah, juga terjadi penyalahgunaan terhadap kaul yang tidak ditepati. Semua ini menunjukkan tidak adanya penghormatan kepada nama Tuhan.

Sumpah adalah mengikat sekalipun tidak atas nama TUHAN. Penjelasan pengajaran Yesus terdapat dalam Matius 5:37 Yesus Kristus mengajarkan kebenaran, oleh karena itu dalam semua komunikasi kita harus membatasi diri kita dengan, Ya dan bukan. Bangsa Israel yang diajar melalui hukum Taurat jangan bersumpah atas nama TUHAN berusaha menyeret Tuhan yang bertahta dalam pujian yang berkumandang di Bait Allah ( Im. 19:12). Pengajaran Yesus bukan saja sesuai dengan hukum Taurat namun menolong manusia agar tidak semakin banyak dosanya karena melakukan sumpah palsu. Mengapa Yesus melarang manusia bersumpah? Yesus melarang manusia bersumpah sebab sumpah itu adalah komitmen yang hanya diberikan kepada TUHAN semata bahwa Tuhan menjadi saksi atas janji setia kepada-Nya (Ul. 6:13). Tuhan bersumpah karena Dia berjanji akan menepati janji-Nya kepada manusia yang acapkali ragu dan bimbang sehingga Dia bersumpah (Ul. 6:18).[14] TUHAN bersumpah adalah penegasan Janji Tuhan adalah pasti akan ditepati. Alkitab menjelaskan Allah bersumpah selalu atas nama-Nya sendiri karena tidak ada yang lebih tinggi yang dapat mengokohkan sumpah perjanjian-Nya dan Dia bersumpah karena Dia mau mengikatkan diri-Nya dengan manusia ciptaan-Nya sekalipun manusia itu acapkali tidak setia dengan sumpahnya (Yeh. 16:59). Alkitab menjelaskan bahwa Allah yang membungkukan diri-Nya untuk menyapa manusia dan bersekutu dengan ciptaan-Nya dalam rangka mencari dan menyelamatkan manusia maka tindakan Tuhan adalah mengikatkan diri-Nya kepada manusia dengan sumpah demi nama-Nya sendiri sebab Dia Pencipta segala sesuatu dan lebih besar dari segala sesuatu. Allah bersumpah sangat berbeda dengan manusia. Allah melakukan sumpah karena kasih-Nya yang besar , dalam kemahakuasaan-Nya, dalam kemahatahuan-Nya kepada manusia karena Dia tidak mau seorangpun manusia binasa, sedangkan manusia bersumpah dalam cerebohannya dan dalam keterbatasannya dan dalam motivasinya serta memandang ringan sumpah bahkan dalam kekeliruan sekalipun bersumpah atas nama sesuatu yang diyakini lebih tinggi dari pada dirinya. Kasih menyebabkan hadirnya keberaniaan menanggung sesuatu (1 Sam. 20:17), dan atau ungkapan ekspresi sukacita dalam tindakan untuk menyenangkan hati TUHAN yang telah memberikan terbaik dan janji yang jujur kepada kita sebagai ciptaan-Nya (2 Taw.).Sumpah acapkali mendatangkan kutuk, celaka atau hukuman. [15]

Di dalam Alkitab, Tuhan Yesus sering memakai kata “Sesungguhnya” dengan maksud menyatakan bahwa apa yang dikatakannya adalah benar dan untuk menekankan perhatian yang lebih. Tuhan Yesus sendiri tidak pernah menggunakan sumpah untuk mempertegas apa yang Ia katakan tetapi menggunakan kata “sesungguhnya”. Yesus datang memperbaiki sikap manusia yang penuh dengan sumpah serapah. Sumpah yang dilandasi sikap mengasihi sekalipun kasih itu diragukan sehingga menghadirkan sumpah karena Dia yang bersumpah adalah sesungguhnya sangat mengasihi sesuatu sehingga mengharuskan bersumpah namun telah berubah menjadi sesuatu yang dapat menyelesaikan masalah sekalipun menimbulkan banyak masalah. Yesus datang melenyapkan kutuk dosa dan sengat maut maka Dia mengajarkan untuk tidak bersumpah sebab bersumpah adalah orang yang tidak percaya akan kasih mengatasi sesuatu dan tanda orang tersebut komitmennya sangat diragukan sehingga perlu sumpahnya serta mendatangkan hukuman saat lalai menepatinya. Yesus mengajarkan bahwa kita tidak boleh perlu bersumpah namun kita harus hidup dalam nilai-nilai kerajaan seperti yang tertuang dalam khotbah di bukit meski dalam kasus kasus tertentu dalam kasus hukum dalam sistem hukum maka sumpah dapat menyelesaikan banyak masalah.[16]

 

Kesimpulan

Sumpah pada zaman yang sekarang adalah suatu kata-kata yang diucapkan seseorang untuk mendatangkan bala ataupun kutukan kepada seseorang karena adanya perbuatan jahat yang tidak dapat dibalaskan melalui tindakan. Mengenai hubungan dengan kata sumpah maka itulah Alkitab memberikan kita ttitik terang bahwa adanya duri dikarenakan oleh kutukan terhadap orang berdosa (Kej. 3:17, 18). Dan taurat memperkenalkan kepada manusia murka Allah yang dahsyat (Rm 7:7,13), ancaman hukuman Allah dan kutuk yang menimpa manusia (Gal 3:10), serta melahirkan kesadaran dan pengenalan akan dosa dan menuntun kita sampai Kristus datang supaya kita dibenarkan karena iman (Gal 3:24). Dan ada Kutukan akan semua dosa-dosa yang dilakukan manusia. Maka manusia dengan tindakan-tindakan yang lama harus ditinggalkan dan tindakan-tindakan yang baru menjadi utama dalam hidup kita. Sama halnya dengan orang yang terkena sumpah karena perbuatannya yang kurang baik, harus bergegas memohon dan berbuat baik untuk menentramkan hati nuraninya kembali.

Yesus memberikan perintah tentang sumpah (Mat 5:33-37). Prinsip yang dinyatakan ayat tersebut bagitu jelas bagi orang Kristen: jangan bersumpah, baik kepada Allah atau kepada sesama kita. Pertama, kita tidak dapat mengetahui secara pasti apakah kita akan bisa menepati sumpah yang kita buat. Fakta bahwa kita rentan membuat kesalahan ketika membuat keputusan, yang merupakan bagian dari natur dosa, bisa saja membuat kita bersumpah karena kebodohan atau ketidakdewasaan kita. Kedua, kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan – hanya Allah yang bisa. Kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi besok (Yak 4:14), sehingga bersumpah bahwa kita akan atau tidak akan melakukan sesuatu adalah sebuah kebodohan. Allah-lah yang memegang kendali, bukan kita. Dia "bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah" (Rom 8:28).

Dengan mengetahui hal ini, kita dapat melihat bahwa tidak ada gunanya bersumpah. Tindakan semacam itu menunjukkan kurangnya iman-percaya kita kepada Dia. Akhirnya, Yesus memerintahkan agar semua perkataan kita berbobot sehingga dapat dipercaya tanpa harus bersumpah. Ketika kita mengatakan "ya" atau "tidak," maka itulah yang benar-benar kita maksudkan dan lakukan. Menambahkan janji atau sumpah pada kata-kata kita membuka diri kita terhadap pengaruh Setan, yang memiliki keinginan untuk menjebak dan menodai kesaksian kita sebagai orang Kristen. Jika kita telah membuat sumpah dengan bodohnya dan menyadari bahwa kita tidak dapat atau tidak seharusnya menepatinya, kita harus mengakuinya kepada Allah.

 

Daftar Pustaka

a.      Sumber Buku

…., Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013.

Adams, Jay E., Bagaimana Mengalahkan Kejahatan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003. 

Agamben, Giorgio, The Sacrament of Language: An Archaelogy of the Oath, Stanford, CA.: Stanford University Press, 2011.

Asmarawati, Tina, Hukum dan Psikiatri, Yogyakarta: Deepublish, 2003.

Bartlett, David L., Pelayanan dalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003.

Browning, W.R.F., Kamus Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.

Brownlee, Malcolm, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor Di Dalamnya, Jakarta: BPK-GM, 2009.

Luther, Martin, Katekismus Besar Martin Luther, Jakarta: Gunung Mulia, 1996.

Mils, Dag Heward, Bagaimana Cara Menetralisirkan Kutuk, Parchment House, 2015.

Niftrik, Van & B. J. Boland, Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008.

Sommerstein, Alan H. & Andrew J. Bayliss, Oath and State in Ancient Greece, Berlin/Boston: Walter de Gruyter, 2013.

Verkuyl, J., Khotbah Di Bukit, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002.

 

b.      Sumber Internet

https://werua.blogspot.com/2018/04/hal-sumpah-berdasarkan-perjanjian-lama.html, diakses pada tanggal 8 Mei.

 

 

 



[1] Giorgio Agamben, The Sacrament of Language: An Archaelogy of the Oath, (Stanford, CA.: Stanford University Press, 2011), 4.

[2] Alan H. Sommerstein & Andrew J. Bayliss, Oath and State in Ancient Greece, (Berlin/Boston: Walter de Gruyter, 2013), 3-4.

                [3] Martin Luther, Katekismus Besar Martin Luther, (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), 73-74.

[4] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 102.

[5] …., Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2013), 425-426.

[6] David L. Bartlett, Pelayanan dalam Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 62.

[7] …., Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II M-Z, 426.

                [8] J. Verkuyl, Khotbah Di Bukit, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 52.

                [9] Van Niftrik & B. J. Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 257.

                [10] Dag Heward Mils, Bagaimana Cara Menetralisirkan Kutuk, (Parchment House, 2015), 56.

[11] Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor Di Dalamnya, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 17.

                [12]Jay E. Adams, Bagaimana Mengalahkan Kejahatan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 67-68. 

                [13] Martin Luther, Katekismus Besar Martin Luther, 38.

[14] David L. Bartlett, Pelayanan dalam Perjanjian Baru, 37-40.

[15] https://werua.blogspot.com/2018/04/hal-sumpah-berdasarkan-perjanjian-lama.html, diakses pada tangga; 8 Mei pukul 16.01 WIB.

[16] David L. Bartlett, Pelayanan dalam Perjanjian Baru, 33.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url