HURIA KRISTEN INDONESIA (HKI) MEMANDANG AGAMA LAIN (NON KRISTEN)

    


   Ewen Josua Silitonga

        Mahasiswa Pascasarjana Magister Theologia.

        STT Abdi Sabda Medan : 21. 07. 218 


        I. LATAR BELAKANG MASALAH

        Konteks kehidupan kita pada masa kini adalah kejamakan atau pluralitas, terkhusus di Indonesia bagaimana bangsa ini terdiri dari berbagai agama, suku, bahasa dan budaya. Artinya Indonesia adalah rumah bagi berbagai agama, suku, bahasa dan budaya. Yang menjadi persoalannya adalah : Jika setiap agama mengklaim bahwa dirinya adalah superioritas dan memandang agama lain sebagai inferioritas, maka tentu saja sika-sikap seperti itu akan memicu terjadinya konflik, kekerasan dan perpecahan di tubuh Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI). Sikap isme terhadap agama sendiri selain merusak kesatuan NKRI juga akan membuat kehidupan masyarakat Indonesia yang beragam agama itu menjadi kacau, kehilangan nilai-nilai harmonisasi kehidupan dan tentu hal itu akan merusak jati diri bangsa NKRI yang dikenal sebagai bangsa yang santun, sopan dan penuh tata-krama adat budaya. Situasi dan kondisi kehidupan kita yang plural ini, memaksa kita untuk meredefenisikan kembali agama kita memahami dan memandang agama lain. Sebab adalah sesuatu yang konyol, jika karena perbedaan doktrin yang ada dalam agama-agama, merusak nilai-nilai kekeluargaan, nilai-nilai kekerabatan dan nilai-nilai sopan-santun serta tata krama dalam identitas leluhur kita sejak dahulu kala. Topik ini dimulai dari keKristenan secara khusus gereja HKI dalam meredefenesikan paradigmanya memandang dan memperlakukan agama-agama lainnya, dengan harapan agama-agama lain di negara NKRI ini juga melakukan redefenisi sikap dan pandangannya terhadap agama-agama lain, untuk menuju kehidupan beragama di NKRI sebagai kehidupan yang harmonis, toleran dan penuh kekeluargaan, sesuai karakter bangsa kita sejak dahulu kala yang diletakan oleh para leluhur kita. 


        II. SIKAP UMUM KEKRISTENAN MEMANDANG AGAMA LAIN

    Secara umum bagaimana suatu agama memandang dirinya dan agama-agama lain,  dalam hal menginterpretasikan ajaran keselamatan didalam agama itu sendiri dan agama-agama lain. Didalam keKristenan ada tiga jenis sikap dan pandangan agama Kristen secara umum memandang agama-agama lain yakni : 

        1. Ekslusif

        Sikap ekslusif berarti sikap tertutup, dimana dalam pemahaman ekslusif keselamatan itu hanya ada didalam keKirstenan, sehingga didalam agama-agama lain tidak ada keselamatan. Dan istilah yang terkenal dalam pemahaman ekslusif ini adalah extra ecclesia nulla salus artinya diluar dari Gereja tidak ada keselamatan. Dalam pemahaman ini gereja menjadikan dirinya superior dan agama-agama lain sebagai inferior, tentu saja pemahaman ekslusif ini tidak akan memberikan ruang toleransi dalam dialog kehidupan kebersamaan kejamakan agama-agama di negeri NKRI. Tokoh-tokoh sikap ekslusif ini adalah Karl Barth, Hendrik Kraemer. Dan dasar teologis yang digunakan oleh faham ekslusif ini adalah Yohanes 14:6 dan Kisah Para Rasul 14:2.  Sikap ekslusif ini dikenal juga sebagai paradigma Eccllesiosentrisme yakni cara berfikir yang berpusat kepada Gereja. 

        2. Inklusif

       Sikap inklusif percaya bahwa ada keselamatan didalam agama-agama lain selain keKristenan sebab Allah mengkehendaki keselamatan bagi seluruh umat manusia, akan tetapi keselamatan yang ada didalam agama-agama lain itu hanya akan lengkap dan sempurna ketika agama-agama lain itu menerima dan mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Slogan yang terkenal dari sikap ekslusif ini adalah Kristen Anonim dimana agama-agama lain dipandang sebaga keKristenan tanpa nama. Tokoh-tokoh sikap inkslusif ini adalah Karl Rahner. Dan dasar teologis dari sikap inklusif ini adalah Kisah Para Rasul 17 : 16-34, 1 Timotius 2:4, Yohanes 1:1). Sikap inklusif ini sering juga dikenal sebagai paradigma Kristosentrisme yakni cara berfikir yang berpusat kepada Kristus.  

        3. Pluralisme 

       Sikap pluralis adalah sikap yang memandang semua agama itu adalah sama, atau setiap agama-agama dihadapan Allah posisinya adalah sama sebagai presentase Allah untuk menghadirkan keselamatan bagi setiap makhluk. Karena itu cara berfikir pluralisme ini dikenal sebagai paradigma Theosentrimse yakni agama-agama yang berpusat kepada Allah, dimana setiap agama-agama mengakui adanya Allah sebagai pencipta langit, bumi dan segala isinya. Sikap pluralisme memandang keselamatan itu adalah universal atau kepada semua agama-agama, bukan secara partikular yang memandang keselamatan itu hanya pada agama-agama tertentu saja. Dan sikap pluralisme sendiri juga terbagi dalam tiga sudut pandang yang memiliki nilai dan corak khusus masing-masing yakni : 

a. Jembatan Filosofis-Historis

Dalam pemikiran filosofis-Historis dipahami bahwa setiap agama-agama mengalami keterbatasan secara historis dalam menjelaskan ajaran keselamatannya, keterbatasan historitas agama-agama inilah membuka ruang kepada hal-hal yang filosofis secara probalitas untuk membantu agama secara historis menjelaskan dan memaknai ajaran keselamatannya. Dan secara filosofis dengan bukti-bukti keterbatasan historis dalam setiap agama-agama, sebagai dasar argumentasi bahwa masih ada realitas Ilahi dibalik setiap agama-agama. Tokoh utama pada jembatan filosofis-historis adalah Jhon Hick, bagaimana Hick hendak mentransformasi paradigma ecllesiosenteris dan kristosentris kepada theosentris. Sebab menurut Hick, tidak ada agama-agama yang tidak mengakui Allah sebagai pusat kebenaran agamanya. Hick mengunakan teori Immanuel Kant das ding as sich dimana semua agama-agama mengalami keterbatas historis dalam mengungkap realitas Ilahi secara utuh, agama-agama hanya mengalami fenomena Ilahi tetapi tidak pernah mengungkap realitas Ilahi itu secara lengkap dan utuh. 

b. Jembatan Mistik-Profetis

Dalam pemikiran jembatan mistik-profetis mengklaim bahwa realitas Ilahi itu melebihi dari apa yang telah ditawarkan oleh setiap agama-agama. Dalam jembatan dipahami bahwa realitas Allah itu bukanlah seutuhnya sebagai penjelasan normatif doktrinal, tetapi realitas Allah itu terjadi didalam pengalaman mistik-relegius, dalam konsep inilah maka dipahami misteri Ilahi adalah realitas yang sama dalam setiap agama-agama. Dengan kata lain, realitas Ilahi tidak hanya hadir dalam agama tertentu saja, atau realitas Ilahi dapat dibatasi oleh agama tertentu, tetapi juga hadir dan terjadi didalam setiap agama-agama. Jembatan mistik-profetis menyatakan bahwa setiap agama-agama harus menghormati dan mengakui misteri Ilahi yang juga terjadi didalam agama-agama lain. Tokoh jembatan mistik-profetis ini adalah  Raimundo Panikkar. Istilah Panikkar yang terkenal adalah : Saya pergi sebagai seorang Kristen dan menemukan diri sebagai seorang Hidu dan kembali sebagai seorang Budha dan tanpa berhenti menjadi seorang Kristen. Panikkar memahami jika agama dipandang secara mistik, maka kita akan menyadari bahwa didalam setiap agama-agama terdapat realitas Ilahi yang patut untuk dihormati dan diakui, dan pengalaman mistik dari setiap agama-agama memperkaya pengalaman mistik didalam keKristenan itu sendiri. Karena itu bagi Panikkar pengalaman mistik dapat menyatukan keanekaragaman agama, sebab pengalaman mistik adalah hal yang fundamental dalam setiap agama-agama. Menurut Panikkar eksistensi Ilahi itu terhisab kedalam keanekaragaman agama-agama, dan manusia terhubung dengan Allah adalah melalui pengalaman mistik. Panikkar menyebut pengalaman mistik ini sebagai kosmodeandrik bagaimana realitas Allah terjadi didalam dan diseluruh alam semesta (kosmologi). Menurut Panikkar didalam kacamata kosmodeandrik maka kita akan menyadari keberagaman agama jauh lebih penting dari persekutuan agama, karena itu seharusnya kehadiran agama itu bukan untuk diperbandingkan atau keberadaan agama itu seharus tidak ubah menjadi finalitas. Tetapi kehadiran agama-agama itu harus direlasikan, sebab didalam relasi agama-agama itulah maka setiap agama akan diperkaya dan semakin memperluas identitasnya.     

c. Jembatan Etis-Praktis (Mutualis)

Jembatan etis-praktis tidak memulai dari doktrinal dalam membangun kebersamaan didalam keberagaman agama, tetapi memulainya dari tangung-jawab bersama untuk saling mengenal dalam setiap agama-agama. Selain itu jembatan etis-praktis berbicara tangung-jawab global semua agama-agama terhadap situasi-situasi kehidupan yang mengancam kehidupan manusia secara global. Artinya etis-praktis berbicara masalah bersama yakni masalah yang dihadapi semua agama-agama, sebagai titik dialog agama-agama global. Dan masalah-masalah global itu adalah tentang isu-isu dan fenomena-fenomena ekologi dan humanisme, bagaimana terjadi perilaku pengerusakan alam yang liar dan tindakan-tindakan dehumanisasi yakni memperlakukan manusia secara tidak manusiawi, yang merusak harkat dan martabat manusia. Tokoh dalam jembatan etis-praktis adalah Aloys Pieris, bagaimana Pieris menyatakan bahwa : Yesus bukan sekedar Allah yang menjadi manusia, tetapi Yesus juga adalah korban dari sistem yang memiskinkan dan menciptakan ketidak-adilan dan penindasan. Sehingga seharus titik temu setiap agama-agama adalah pada perjuangan bersama mereka yang miskin dan tertindas. Dan Pieris menyatakan bahwa : Untuk merasakan realitas Ilahi adalah melalui tindakan kepedulian terhadap mereka yang miskin dan tertindas.    


        III. SIKAP HKI MEMANDANG AGAMA LAIN

        3.1. Kultursentrisme Adalah Sikap HKI Memandang Agama-Agama Lain

        Penulis melihat sikap-sikap keKristenan dalam memandang dan memperlakukan agama-agama lain masih berputar dalam dua hal yakni secara doktrinal (ajaran keselamatan) dan secara etis-praktis. Sikap keKristenan secara doktrinal seperti : Ekslusif, Inklufis, Pluralisme : Jembatan Filosofis-Historis, Pluralisme : Jembatan  Mistik-Profetis dan sikap keKirstenan secara etis adalah Pluralisme : Jembatan Etis-Praktis. Dalam hemat penulis adalah tidak baik dan kurang teologis jika kita berbicara titik dialog didalam keberagaman secara doktirnal agama-agama. Karena jika kita mencoba membangun dialog agama-agama didalam keberagamannya maka pasti kita akan jatuh kedalam dua hal yakni : Kita merelativitaskan doktrinal agama-agama itu dan kita akan jatuh kepada mensinkretiskan ajaran doktrinal agama-agama tersebut. Dalam hemat penulis, sikap relativitas terhadap agama dan sikap mensinkretiskan ajaran agama juga adalah keselahan dan kekeliruan. Dengan kata lain, adalah sesuatu yang konyol jika kita menghilangkan atau mencabut nilai khas atau keunikan dari setiap ajaran doktirnal agama-agama, supaya kita dapat duduk bersama dan berdialog didalam keberagaman agama-agama. Sikap etis-praktis jauh lebih baik dari pada pendekatan relativitas dan sinkretis doktrinal agama-agama. Akan tetapi jika dasar berpijak dialog keberagaman agama-agama kita berdasarkan realitas etis-praktis maka agama-agama akan menjadi bersifat antoposentrisme, bagaimana hal-hal yang lahiriah dari manusia menjadi barometer dialog agama-agama, sementara agama itu nilai kharekteristiknya lebih kepada hal-hal spritual dalam hal hikmat dan kearifpan didalam kehidupan.   

        Karena itu penulis merekomendasikan suatu paradigma kultursentrisme kepada gereja HKI, bagaimana gereja HKI memandang dan memperlakukan agama lain berdasarkan sudut pandang yang berpusat kepada kultur (kebudayaan). Mengapa harus kultur? Sebab dengan pendekatan kultursentrisme gereja HKI dapat menghormati, mengakui dan berelasi serta berinteraksi agama-agama lain tanpa harus HKI merelatifkan dan mensinkretiskan ajaran doktrinalnya dengan agama-agama lain. Bagaimana gereja HKI membangun model kekerabatan yang menjadi bagian dari budaya, sebagai titik temu dalam berdialog, berinteraksi dan berelasi dengan agama-agama lain. Sebab dalam hemat penulis, HKI adalah gereja yang lahir, bertumbuh dan berkembang didalam adat-budaya dan tradisi Batak. Dan didalam perkembangnya, adalah sesuatu yang tidak dapat terbantahkan bagaimana adat Batak dapat menjadi titik temu bagi semua orang Batak yang berbeda agama, dapat membuat orang yang Batak yang berbeda agama itu dapat satu meja, satu kelompok, satu keluarga, satu aktivitas (ulaon). Artinya kekerabatan sebagai produk budaya, dapat dijadikan sebagai model untuk menjawab tantangan keberagaman atau pluralitas agama-agama di NKRI. Bagaimana gereja HKI sebagai gereja pelopor mengembangkan nilai-nilai adat Batak dalam hal kekerabatan (Dalihan Na Tolu) sebagai sikap HKI dalam memandang, memperlakukan agama-agama lain.   


        3.2. Dasar Alkitab & Dasar Pemikiran

        3.2.1. Dasar Alkitab

        1. Kolose 1 : 16

        karena didalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu yang ada disorga dan yang ada dibumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singsana maupun kerajaan, baik pemerintah maupun penguasa, segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. 

        Didalam teks ini kita disadarkan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini adalah ciptaan Allah dan tujuan Allah menciptakan itu untuk kepentingan Allah dan untuk melayani Allah. Melalui ayat ini maka kita sadar bahwa adat-budaya itu juga adalah bagian dari ciptaan Tuhan, dan tujuan budaya diciptakan Tuhan untuk kepentingan Tuhan dan untuk melayani Tuhan. Defenisi umum kepada kita bahwa budaya itu adalah produk dari budhi dan daya manusia, akan tetapi defenisi umum, tidak sepenuhnya benar secara teologis. Sebab secara teologis tidak ada sesuatu apapun yang ada didunia ini yang tidak berasal dari karya penciptaan Allah. Sehingga secara teologis, budaya itu adalah ciptaan Allah melalui akal budi yang diberikan Allah kepada manusia. Mungkin kita akan mengkritik dalil biblis ini dengan pertanyaan : JIka budaya adalah ciptaan Tuhan dan untuk tujuan serta melayani Tuhan, lalu mengapa ada unsur dosa atau kekafiran didalam budaya? Tentu kita akan menjawabnya hal itu berkaiatan dengan kejatuhan manusia kedalam dosa, Alkitab mencatat ketika manusia jatuh kedalam dosa maka secara otomatis terputuslah hubungan manusia dengan Allah sebab Allah kudus dan manusia berdosa. Manusia yang berdosa menerangkan bahwa akal budi manusia itu telah dikotori oleh dosa, dan ketika Allah budi manusia telah dikotori oleh dosa maka secara otomatis adat-kebudayaan manusia itu ikut jatuh kedalam dosa, bahkan ketika manusia jatuh kedalam dosa alam semesta ini pun ikut menangung kutuk dosa yang diperbuat oleh manusia. Akan tetapi bukan karena fakta manusia dan kebudayaannya telah jatuh kedalam dosa, maka kita mengabaikan bahwa Allah adalah pencipta manusia dan kebudayaannya? Dan bukan berarti karena manusia dan kebudayaan telah jatuh kedalam dosa, kita mengabaikan bahwa Allah memiliki tujuan awal ketika menciptakan manusia dan kebudayaannya untuk melayani diriNya.   

        2. Efesus 4 : 23-24 + 32

    supaya kamu dibaharui didalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru yang telah diciptakan menurut kehendak Allah didalam kebenaran dan kekudusan yang sesunguhnya. Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah didalam Kristus telah mengampuni kamu. 

             Teks Alkitab ini menunjukan kepada kita bahwa Allah didalam Yesus Kristus juga melakukan penebusan kepada adat budaya manusia itu sendiri. Hal itu tampak dari kata ananeousthai noos su memperbaharui akal budi atau pikiran. Sebab budaya adalah wujud kelihatan dari akal budi atau pikiran manusia. Dimana penebusan Kristus juga terjadi didalam aras pikiran atau akal budi manusia, yang juga menandaskan penebusan Kristus juga terjadi didalam adat budaya manusia. Dan adat atau budaya yang ditebus Kristus, mengembalikan adat atau budaya itu pada tujuan awal dari kebudayaan itu diciptakan oleh Allah yakni sikap : Ramah, kasih, mesra, mengampuni. Dalam hal inilah seharusnya pendekatan kultursentrisme HKI terhadap agama-agama lain yakni sikap HKI yang ramah, penuh kasih-mesra, saling mengampuni dengan agama-agama lain. 

        3. Roma 14 : 19 

Sebab itu marilah kita mengejar apa yang mendatangkan damai sejahterah dan yang berguna untuk saling membangun. 

          Dalam teks ini kita belajar bahwa muara dari iman atau agama bukanlah untuk sebuah perdebatan atau diskursus, bukan untuk sikap superior-inferior atau sikap mayoritas-minoritas, dan muara agama bukan untuk hal yang ekslusifisme dan fanatisme yang memecah-belah kehidupan. Ayat ini mengarahkan bahwa muara dari iman atau agama keKristenan itu adalah : diokomen eirenes (mengejar damai sejahterah) dan oikodomes eis allelon (saling membangun dengan yang lainnya). Dengan kata lain, seharusnya nilai praksis iman atau agama keKristenan itu adalah untuk sesuatu yang menyatukan, sesuatu yang membangun dan sesuatu yang membuat damai, bukan untuk saling mengklaim superioritas normatif doktrinal. Dan dalam konteks suku Batak, maka adat-budaya Batak adalah titik dimana perbedaan agama-agama dapat saling berdamai dan saling membangun. Sehingga sikap kultulsentrisme HKI terhadap agama-agama lain, adalah sikap HKI yang hendak saling berdamai dan saling membangun dengan agama-agama lain.   


        3.2.2. Dasar Pemikiran

        Dalam benak penulis, jika secara privat atau kehidupan personal agama itu harus kita maknai secara doktrinal, sebaga hakikat agama itu ada didalam ajarannya yang diakui dan klaim sebagai wahyu Allah yang tidak didalam posisi tawar-menawar. Sebagai seorang Kristen, secara privat maka keselamatan itu sudah final didalam Yesus Kristus yang oleh teologi agama-agama hal ini disebut sikap ekslusif. Akan tetapi menurutu penulis, keyakinan seorang Kristen akan finalitas keselamatan didalam Yesus Kristus bukan berarti merendakan keselamatan yang ada pada agama-agama lain, atau memaksakan kepada agama-agama lain atau mensinkretiskan Yesus sebagai keselamatan dalam agama-agama lain. Maksud penulis adalah : Bagi saya Yesus adalah Kristus tetapi bukan berarti penulis memaksakan atau mensinkretiskan Kristus-Kristus didalam agama-agama lain adalah Yesus. Akan tetapi sikap penulis ketika berhadapan dengan agama-agama lain bukan bersikap berdasarkan doktrinal, tetapi bersikap secara kultural. Sehingga secara privat seharusnya kita bersikap ekslusif-inklusif, akan tetapi secara publik saat berhadapan dengan agama-agama lain kita bersikap kulturisme. 

        Mungkin akan muncul berbagai pertanyaan dan kritik, apakah sikap kulturisme dapat mewakili identitas HKI sebagai lembaga keagamaan Kristen saat berinterkasi dan berelasi dengan agama-agama lain? Sebab dalam hemat penulis, agama dalam arti privat adalah doktrinal akan tetapi agama dalam arti publik adalah kultur. Penulis bukan mensinkretiskan agama dengan budaya atau memahami agama setara dengan budaya atau mencampurkan-adukan agama dan kebudayaan. Tetapi penulis hendak merekomendasikan pemikiran bagaimana budaya dapat dipakai sebagai alat interpretasi atau memaknai agama itu secara praksis dalam berelasi dan berinteraksi dengan agama-agama lain. Penulis memahami bahwa : Jika suatu agama tidak dimaknai secara praksis dalam kacamata kultur maka agama itu akan bersifat ekslusivisme terhadap hal-hal sekitarnya dan merusak nilai-nilai, norma-norma atau kearifan-kearifan yang sudah ada sebelumnya disuatu komunitas sebelum agama itu hadir disana. Penulis mengangkat beberapa kasus sebagai dasar argumentasi bagaimana agama akan gagal menjadi kontrol sosial bagi masyarakat ketika agama menjadi kontradiktif dengan budaya. 

1. Jauh sebelum agama Kristen masuk ketanah Batak, suku Batak telah memiliki budayanya sendiri dalam memaknai aspek-aspek kehidupannya. Bagaimana agama lokal suku Batak bersintesa dengan adat-budaya Batak itu sendiri, sehingga diawal mulanya orang Batak sangat menghormati alam, menjaga tali silahturahmi dengan kerabatnya. Kita akan jarang mendengar kasus-kasus pengerusakan alam dikampung-kampung Batak yang memelihara hukum adat dengan baik. Akan tetapi dikampung-kampung yang mayoritas didiami agama Kristen, kita justru disuguhkan dengan berita-berita eksploitasi alam, tindakan kriminal bahkan sampai asusila.  Sementara didalam ajaran keKristenan itu sendiri terdapat banyak sekali doktrin menganai ekologi, kesusilaan, persaudaraan dan lain sebagainya. Akan tetapi ketika keKristenan merasa absolut dan superior dan abai terhadap eksistensi budaya, membuat keKristenan itu tidak berdampak dalam membangun moral, karakter, mental dan integritas masyarakat. 

2. Didalam suku Batak sendiri terdapat berbagai macam agama, akan tetapi perbedaan agama itu tidak akan menjadi persoalan atau menjadi penghalang relasi dan interkasi orang-orang Batak dalam konteks ulaon adat atau budaya. Justru budaya atau adat menjadi titik temu dan titik dialog orang-orang Batak yang memiliki perbedaan agama, untuk tetap didalam aras kekeluargaan dan persaudaraan dengan nilai-nilai kekerabatan yang sudah diaturkan oleh adat atau budaya itu jauh sebelum agama itu datang. 

3. Huria Kristen Indonesia (HKI) adalah lembaga keagamaan yang lahir, tumbuh dan berkembang ditengah-tengah suku Batak yang kaya dan kental dengan tradisi adatnya. Bahkan sejarah HKI mencatat bahwa pendekatan-pendekatan adat yang dilakukan para pendahulu-pendahulu HKI adalah titik berangkatnya perkembangan dan dinamika perjalanan HKI sebagai tubuh Kristus. Sehingga sikap HKI secara kulturisme terhadap agama-agama lain, adalah sikap yang merevitalisasikan atau sikap yang memvitalkan kembali nilai-nilai praksis iman HKI itu sendiri sebagai tubuh Kristus. 

4. Kita harus mengakui bahwa kehadiran zending kolonial Barat RMG, bukan hanya memberitakan Injil murni kepada orang Batak, tetapi juga memberitakan budaya zending barat itu kepada orang Batak. Dampaknya masih terasa sampai saat ini kepada kita, dimana budaya-budaya barat menjadi identik dengan hal-hal gerejawi. Seperti budaya pakaian barat jas menjadi identik sebagai pakaian gereja. alat musik organ barat menjadi identik dengan alat musik gerejawi, bangunan gereja barat yang kerucut dengan menara-menara menjadi identik sebagai model bangunan gereja, dan lain sebagainya. Penulis mengasumsikan, apabila paradigma ini masih menjadi paradigma sentral HKI maka sama saja HKI masih hidup dalam budaya kolonial barat sampai saat ini. Sejarah mencatat ketika zending kolonial Barat RMG berkuasa di Indonesia secara khusus di tanah Batak, mereka para sibontar mata mendiskreditkan nilai-nilai budaya adat Batak, sehingga gereja-gereja bentukan RMG pada masa itu bersikap abai dan acuh kepada nilai-nilai adat-budaya Batak didalam kehidupan Gerejawi. Bahkan para kolonial zending eropa itu, melakukan praktek dehumanisasi terhadap kemanusiaan orang Batak. Dimana orang Batak tidak dianggap sebagai bagian RMG, hanya orang barat saja yang menjadi anggota RMG. Artinya suku pribumi Batak dipahami tidak memiliki otoritas atau wewenang terhadap organisasi RMG, sebab orang eropa memandang klasnya sebagai superior dan orang-orang Batak sebagai klas inferior. Praktek dehumanisasi stratifikasi sosial inilah yang menjadi pemicu Fredrcik Panggabean yang dikenal dengan gelar Sutan Malu Panggabean mendirikan HChB yang kelak menjadi HKI sebagai sikap kesadaran orang Batak akan kemandirian dan sekaligus sikap pertama orang Batak anti dehumanisasi. Sikap HKI secara kulturisme adalah pernyataan HKI bahwa dirinhya bukan lagi sebagai gereja produk kolonial tetapi gereja poskolonial yang mandiri secara absolut atas dirinya sendiri berdasarkan pemahamannya terhadap Alkitab sebagai firman Allah. 

5. Sikap HKI secara kulturisme terhadap agama-agama lain, juga menerangkan keinginan HKI untuk menjadikan agama itu sebagai hal konsumsi privasi bukan sebagai konsumsi publik. Sehingga pendekatan publik HKI adalah pendekatan kultursentrisme, bagaimana memperlakukan orang lain yang berbeda sebagai keluarga, saudara sesuai dengan tata-cara kehidupan budaya Batak. Sebab jika agama menjadi konsumsi publik, maka agama dapat dijadikan sebagai alat politik identitas bagaimana isu-isu agama dijadikan alat untuk merebut kekuasaan. Dan jika agama menjadi konsumsi publik, maka hal itu akan menjadikan kehidupan sosial kita akan primordial dan apriori, bukankah sesuatu yang konyol jika seseorang hendak mencari kerja yang ditanyakan apakah agamanya bukan apa keahliannya? Bukankah sesuatu yang konyol jika seseorang hendak dilantik pada jabatan tertentu yang ditanya apaka agamanya bukan apa karya-karya prestasi yang sudah dihasilkannya? HKI harus menjadi gereja pelopor, untuk mempelopori agama itu harus menjadi aras privat dan tidak boleh dikembangkan menjadi aras publik, untuk mencegah agama dijadikan sebagai alat radikal yang menciptakan kekerasan, konflik dan mengangu stabilitas negara.  


        IV. KESIMPULAN

        Berdasarkan wacana diatas maka dapat disimpulkan oleh penulis adalah : 

1. HKI dalam doktrinalnya bersikap inklusif, akan tetapi HKI ketika berhadapan dengan agama-agama lain bersikap kulturisme. 

2. Sikap HKI secara kulturisme terhadap agama-agama lain bukanlah dalam arti HKI mensinkretiskan agama dan budaya atau HKI memandang agama dan budaya adalah sesuatu yang setara dan sewibawa dengan budaya. 

3. Sikap HKI secara kulturisme terhadap agama-agama lain, menerangkan : 

a. HKI mengunakan budaya atau adat sebagai representasi dari dampak praksis dari apa yang dipercayai dan imaninya.  

b. HKI mengunakan pendekatan kulturisme sebagai wujud merevitalisasi dari semangat HKI pada mulanya ia beridiri, bertumbuh dan berkembang.

c. HKI mengunakan pendekatan kulturisme sebagai proklamasi bahwa HKI masa kini bukan lagi sebagai produk kolonial, tetapi gereja HKI pada masa kini adalah wujud gereja poskolonial. 

d. HKI mengunakan pendekatan kulturisme sebagai wujud sikap kemandirian HKI yang absolut atas dirinya sendirinya sesuai dengan pemahamannya atas Alkitab sebagai firman Allah. 

e. HKI mengunakan pendekatan kulturisme sebagai wujud sikap HKI yang menolak praktek-praktek dehumanisasi, yang mengkotak-kotakan manusia sebagai klas superior dan inferior karena adat-budayanya, seperti yang dilakukan orang kolonial eropa terhadap suku Batak. 

f. HKI mengunakan pendekatan kulturisme, sebagai model bagaimana ajaran keKristenan mengunakan adat-budaya Batak untuk mendaratkan nilai-nilai keKristenan itu didalam kehidupan praktis masyarakat sehari-hari, sehingga agama dapat berfungsi kembali sebagai kontrol sosial bagi kehidupan masyarakat secara praksis. 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url