Perselingkuhan Menurut Etika Kristen

 

PERSELINGKUHAN

Ewen Josua Silitonga

I.      Pendahuluan

Ada banyak rumah tangga yang hancur akibat adanya pengkhianatan dalam keluarga  atau perselingkuhan. Ada banyak laki-laki atau suami yang mengkhianati istrinya ataupun sebaliknya ada banyak istri yang mengkhianati suami. Perselingkuhan merupakan isu yang kontroversial karena berhubungan dengan perasaan orang banyak. Jika dibandingkan dengan waktu-waktu yang lalu, perselingkuhan saat ini telah menjadi sesuatu hal yang umum dan luar biasa. Namun demikian perselingkuhan tidaklah dibenarkan terjadi dalam suatu pernikahan. Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas perselingkuhan menurut etika Kristen walaupun dalam Alkitab, sebenarnya tidak ada kata perselingkuhan. Kata yang memiliki kesamaan makna dengan selingkuh adalah zinah. Dalam konteks Alkitab, zinah dipakai untuk menunjukkan pelanggaran seksual yang dilakukan seseorang yang sudah menikah atau lebih tepatnya zinah adalah ketidaksetiaan yang dilakukan seseorang dalam hubungan pernikahannya.

II.               Pembahasan

2.1.                      Pengertian Perselingkuhan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara etimologi selingkuh diartikan sebagai perbuatan dan perilaku suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri, tidak berterus terang, tidak jujur, dan curang.[1] Perselingkuhan, pertama-tama dan terutama, merupakan suatu pelanggaran terhadap eksklusivitas hubungan seks antara seorang laki-laki dan juga perempuan yang sudah menikah. Banyak orang membuat definisi sendiri tentang arti perselingkuhan yaitu sebuah hubungan yang baru dapat dinamakan perselingkuhan jika didalamnya terjadi hubungan intim yang terus menerus dengan seseorang yang bukan isteri/suaminya.[2]

Perselingkuhan juga dikatakan sebuah perbuatan yang sembunyi-sembunyi karena dilakukan secara diam-diam dan menghindari pihak orang lain tahu. Sesudah menjadi rahasia dengan melakukan perbuatan selingkuh akan bermuara pada perilaku-perilaku seksual yang menyimpang dari ajaran agama dan norma.[3] Perselingkuhan identik dengan perzinahan (Kel 20:14; Ul 22:13-30) yang membahayakan pernikahan dan menghancurkan banyak pasangan serta keluarga.[4] Menurut  Blow dan Hartnett, perselingkuhan secara terminologi adalah kegiatan seksual atau emosional dilakukan oleh salah satu atau kedua individu terikat dalam hubungan berkomitmen dan dianggap melanggar kepercayaan atau norma-norma (terlihat maupun tidak terlihat) berhubungan dengan eksklusivitas emosional atau seksual.[5] Jadi menurut penulis, perselingkuhan diartikan adanya hubungan pribadi di luar nikah yang dilakukan oleh orang-orang yang sudah terikat dalam pernikahan, yang berlanjut pada hubungan seks yang layaknya dilakukan oleh orang yang sudah terikat dalam suatu pernikahan.

2.2. Perselingkuhan Menurut Alkitab

2.2.1.       Perselingkuhan Dalam Perjanjian Lama

Istilah zinah dalam bahasa Ibraninya adalah “na-aph” yang arti bahasa inggrisnya “adultery” dan terjemahannya bahasa indonesianya adalah berzinah. Perintah “jangan berzinah” ini memperlihatkan kehendak Allah supaya umat Israel hidup dalam kesucian moral.[6] Dalam PL perbuatan zinah itu dihukum dengan hukuman mati seperti pembunuhan. PL memandang perzinahan sebagai perintah yang melanggar Allah. Perzinahan adalah perbuatan salah, karena sudah melampaui kuasa yang diberikan Allah dan sebagai ciptaan ia tidak berhak untuk merusak hidupnya, sehingga manusia sudah menyalahi kodrat dan melanggar perintah Allah. Berzinah sama dengan merusak atau memecahkan perkawinan dengan mengadakan hubungan seksual dengan pria dan wanita lain.[7] Masalah moral terhadap perbuatan “zinah” pada masa Musa terdapat hukum yang tegas yaitu mereka yang berbuat zinah baik lelaki maupun perempuan dikenakan hukuman mati.[8] Hukum Taurat Musa, larangan jangan berzinah (Kel. 20:14) diuraikan dalam berbagai cara, dalam apa yang disebut “ Undang-Undang Nikah” yang termasuk dalam Ulangan 22:13-30, terlihat bahwa perbuatan zinah harus dihukum dengan hukuman mati ( dirajam, dilempari dengan batu sampai mati). Sebab perbuatan zinah dipandang sebagai semacam pembunuhan. Barang siapa membujuk isteri atau suami orang lain untuk berbuat zinah dengan dia, maka ia pun menyerang kebahagiaan pernikahan sesamanya dan barangsiapa berzinah ia pun membunuh kebahagiaan pernikahan sesamanya. Oleh sebab itu dalam Perjanjian Lama perbuatan zinah itu dihukum dengan hukuman mati seperti pembunuhan.[9]

2.2.2.        Perselingkuhan Dalam Perjanjian Baru

Dalam Perjanjian Baru, dua kata dasar yang dipakai untuk menguraikan tindakan-tindakan seksual yang tidak bermoral yaitu percabulan, perzinahan hubungan seks yang tidak sah antara orang yang sudah menikah dengan orang yang bukan suami atau isterinya.[10] Istilah “zinah” dalam bahasa Yunaninya adalah:

a.      “Porneia” dari injil Matius 5:32;19:18 artinya percabulan atau persundalan bagi yang belum menikah, dimana terdapat aksi seks secara bebas.

b.     “Moikeia” dari Injil Matius 15:19 artinya perzinahan; kata kerjanya “moikueo” artinya berbuat zinah dalam firman Matius 25:27,28 dan Mat.19:18 yang meliputi perbuatan zinah, percabulan, dan persaudaraan yang tidak wajar dan tidak senonoh.[11]

Dalam Matius 5:28 terdapat larangan berzinah. Ini adalah contoh dari ajaran Yesus membuat suatu hukum lebih keras dengan memiliki aplikasinya dari luar ke dalam pikiran dan keinginan. Larangan dalam perintah itu tidak hanya terhadap perbuatan zinah itu saja, melainkan juga terhadap zinah yang sudah dimulai dalam hati. Dengan pandangan mata, dengan gerakan tangan, dengan nafsu yang dikandung dalam lubuk hati. Tuhan Yesus menitikberatkan pandangan mata bahwa barangsiapa memandang dengan nafsu birahi kepada seorang wanita, isteri orang lain atau wanita yang tidak mempunyai hubungan perkawinan dengan dia maka sebetulnya ia telah berbuat zinah dengan wanita itu didalam hatinya.[12] 

2.3.                      Beberapa  faktor penyebab Perselingkuhan

1.     Faktor Ekonomi

Manusia dan masyarakat tidak dapat hidup dengan perdamaian, melainkan juga terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari termasuk kebutuhan sandang dan pangan.[13] Kestabilan ekonomi dalam merupakan salah satu factor yang ikut mendukung kebahagian keluarga. Keadaan ekonomi dalam keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok akan membuat pernikahan yang sudah didasari cinta dan hubungan yang serasa sulit merasakan kebahagian. Desakan ekonomi merupakan salah satu alasan mengapa orang melakukan perselingkuhan.[14]  Keuangan dapat menimbulkan konflik atau perbedaan pendapat antara suami dan isteri tentang makna uang, penghasilan  tidak stabil, adanya sikap tertutup antar suami dan isteri.[15] Beban rumah tangga yang semakin bertambah memaksa untuk mengubah bahkan meninggalkan gaya atau pola hidup tertentu, dan juga kesulitan dalam menghadapi kebutuhan anak-anak dan keinginan mereka yang tidak bisa terpenuhi. Dengan keadaan ekonomi yang dialami seseorang menyebabkan jatuh ke dalam dunia perselingkuhan.[16]

2.     Faktor Psikologis

a.   Faktor Kesepian

Salah satu penyebab terjadinya suatu perselingkuhan adalah adanya perasaan kesepian. Perasaan seperti akan terjadi jika tidak lagi saling memiliki antara yang satu dengan yang lainya. Perasaan kesepian mendorong suami ataupun isteri mencari pelarian dari rumah.[17]

b.  Merasa Tidak Aman

Sebagai seorang kepala rumah tangga maka seorang suami wajib memberikan perlindungan kepada isteri dan anak yang menjadi anggota keluarga tersebut. Dengan kata lain, seorang suami harus mampu memberikan rasa aman kepada isteri dan keluarga. Apabila rasa aman ini tidak diperoleh seorang isteri atau suami, hal inilah yang bisa mengakibatkan ketidakpercayaan seorang isteri kepada suami. [18]

c.   Faktor Biologis

Manusia memiliki sejumlah kebutuhan biologis tertentu seperti makan, minum bernafas dan seks. Umumnya kebutuhan biologis selalu mencari jalan untuk selalu dipenuhi. Seksualitas dialami sebagai salah satu kemampuan yang paling mendasar dan menyeluruh dengan membuka pengalaman yang paling indah dan mengasikkan yang ada tetapi memperbudak dan merendahkan manusia.[19] Libido atau gairah seksual sering kali dijadikan alasan oleh pihak suami ataupun isteri untuk berselingkuh.[20]

3.   Faktor Komunikasi

Komunikasi merupakan aspek yang sangat penting di dalam hubungan antar manusia.[21] Peranan komunikasi dalam sebuah rumah tangga sangat menentukan keharmonisan hubungan kasih sayang antara suami-isteri.[22] Namun kurangnya komunikasi yang baik antara suami-isteri dapat dilihat ketika menyampaikan keluhnya atau keinginannya kepada suami dan sebaliknya bisa dikataka dengan bentakan atau amarah dengan emosi.[23]

 

4.   Faktor Spiritual

Ketika pasangan suami isteri mengalami suatu masalah dalam keluargannya, maka kadang itu menyebabkan tidak aktif dalam mengikuti persekutuan-persekutuan dalam gereja. Iman dan spiritual akan terkikis oleh apa yang dilihat sebagai ketidakdekatan atau renggangnya hubungan pembimbing rohani dan hilangnya keluarga yang mampu membangun nilai spiritual dalam diri.[24]

2.4. Dampak dan Akibat Perselingkuhan

1.     Dampak Perselingkuhan Terhadap Diri Sendiri

Setiap perbuatan membawa dampak tertentu. Perselingkuhan juga membawa sejumlah akibat baik kepada pasangan maupun pelaku perselingkuhan tersebut. Dampak psikologisnya pada diri sendiri adalah munculnya rasa malu, perasaan malu dan tersisih, menghindari pertemuan atau lingkungan social masyarakat bahkan sampai melakukan tindakan bunuh diri.[25]

2.     Dampak Perselingkuhan Terhadap Pasangan

Pasangan pelaku selingkuh sering kali merasa sakit hati yang sangat mendalam, karena merasa dihianati ditinggalkan atau dicampakkan oleh pasangannya yang melakukan perselingkuhan. Pasangan pelaku perselingkuhan juga merasa kecewa bahwa selama ini tidak menyadari telah menjadi korban dari kebohongan.[26] Perselingkuhan adalah karena kesalahan pasangannya, kekurangan pasangannya. Perselingkuhan terjadi karena ketidakberesan dalam rumah tangga, baik karena perekonomian, masalah anak, hidup berpisah, hubungan seks yang kurang menggairahkan dan hambarnya komunikasi. Jika hal ini terjadi muncullah pertengkaran, kemudian diam-diam salah satu pasangan mulai mencari kesenangan di luar yang bermula teman berbicara akhirnya perasaan dicurahkan dan sampai kepada perselingkuhan.[27] Dari segi psikologis perselingkuhan bisa mempengaruhi yang berselingkuh dan mengakibatkan yang berselingkuh bisa depresi. Perselingkuhan juga berdampak terhadap kesehatan pasutri karena gonta-ganti pasangan dan bisa terkena penyakit menular seksual. Ketidaksetiaan laki-laki dan perempuan berakibat terhadap pasangannya, beresiko tinggi terular HIV-AIDS, herpes, gonorhea dan penyakit menular lainnya.[28]

3.     Dampak Perselingkuhan Terhadap Anak

Ketidaksetiaan dan persengkongkolan yang sering berlangsung dapat berpengaruh jelek terhadap anak-anak dalam keluarga.[29] Jika anak-anak masih kecil, dampak perselingkuhan ini tidak segera berpengaruh dalam diri mereka namun ada saatnya dimana dampak perselingkuhan ini memiliki peran yang kecil dalam perkembangan kepribadian anak. Mereka merasa kecewa dan marah menemukan kenyataan bahwa orangtuanya melakukan perselingkuhan, mereka merasa malu berhadapan dengan teman-temannya yang lain. Bahkan ia melarikan diri dari rumah, terutama dari hadapan orangtua mereka. Mereka menghindari rasa takut menjadi saksi perselingkuhan orangtuanya.[30] Ketika terjadi perselingkuhan dalam rumah tangga mengakibatkan kasih sayang orangtua terhadap anak tidak penuh didapatkan oleh anak, ketika orangtua berselingkuh dan tidak setia, maka menjadi beban mental bagi anak-anak dalam perkembangan jiwanya baik di lingkungan teman dan sekolahnya. Sehingga anak-anak mengalami kegoncangan yang mendalam, yang menghancurkan gambaran orangtua yang selama ini mereka hormati.[31]

4.     Dampak Perselingkuhan Terhadap Keluarga

Ketika terjadi perselingkuhan dalam rumah tangga maka situasi sangat berpengaruh baik perasaan nyaman, kurang kasih sayang akibatnya dari perselingkuhan terjadi kehancuran dalam rumah tangga dan keluarga kedua belah pihak. Perselingkuhan dalam rumah tangga banyak melibatkan orang dalam penyelesaiannya, anak dan pihak keluarga besar dari masing-masing pasangan.[32]

2.5. Perselingkuhan menurut Etika Kristen

Dari segi etis teologis, perselingkuhan dilarang. Dalam Alkitab mengatakan;” dan janganlah engkau bersetubuh dengan isteri sesamamu, sehingga engkau menjadi najis dengan dia (Im.18:20).  Untuk itu Paulus berseru “karena itu matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu dan juga keserakahan yang sama dengan penyembahan berhala (Kolose 3:5)”.  Sebab perselingkuhan identik dengan perzinahan (Kel 20:14; Ul 22:13-30; Mat 5:32; Mat 15:19) yang membahayakan pernikahan dan menghancurkan banyak pasangan serta keluarga. Dasar Firman Tuhan bertentangan dengan perselingkuhan yang membawa orang ke dalam jurang ketidaksetiaan dalam hubungan pernikahan. Sebab perselingkuhan identik dengan perzinahan (Kel 20:14; Ul 22:13-30; Mat 5:32; Mat 15:19). Berzinah adalah melakukan hubungan seks dengan orang yang bukan pasangan hidupnya yang sah. Pelaku berzinah dapat terjadi pada suami atau istrinya yang melakukannya dengan orang lain. Allah melarang berzinah demi kebaikan hubungan suami dan istrinya (Ams.6:32). Kitab Ibrani 13:4 menegaskan “hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah.” Paulus mengatakan, bahwa “supaya kamu masing-masing mengambil seornag perempuan menjadi isterimu sendiri dan hidup didalam pengudusan dan penghormatan dan bukan didalam keinginan hawa nafsu seperti yang dibuat oleh orang yang tidak mengenal Allah (1 tes.4:4)”.[33] Sebab pernikahan sebagai salah satu agenda kehidupan umat manusia, adalah lembaga yang didirikan oleh Allah sehingga perlu dijaga kesuciannya. Alkitab menekankan “sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (Matius 19:5-6)”[34]

2.6.                      Refleksi Teologis

Penulis dalam sajian kali mengambil refleksi teologisnya bahwa Alkitab sangatlah jelas mengutarakan bahwa Allah membenci perzinahan atau perselingkuhan. Matius 5:27 “Kamu telah mendengar Firman jangan berzinah”. Dari ayat ini dijelaskan dengan baik dan tepat bahwa semua umat Kristen tidak diijinkan untuk melakukan dosa perzinahan. Oleh sebab itu, sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk tetap berdoa dan meminta pimpinan Roh Kudus supaya tidak jatuh pada dosa yang dibenci oleh Allah. Jika tidak, hidup kita akan dikuasai oleh nafsu duniawi. Karena hawa nafsu paling rentan menuntun umat manusia untuk jauh dari Allah. Berdoa merupakan salah satu langkah paling efektif dan dapat mudah dilakukan. Selalu berikan waktu untuk berdoa dan mendekat pada Allah. Sehingga tidak ada celah dan jalan bagi dosa untuk menguasai pikiran kita. Dengan doa yang tidak putus-putusnya maka Roh kudus menuntun kita melakukan segala sesuatu yang berkenan kepada Allah. Tetaplah berdoa didalam menjalani kehidupan ini, Tuhan Yesus memberkati.

III.                       Kesimpulan

1.  Dalam Alkitab, sebenarnya tidak ada kata perselingkuhan. Kata yang memiliki kesamaan makna dengan selingkuh adalah zinah.

2.  Dalam Perjanjian Lama Perintah “jangan berzinah” ini memperlihatkan kehendak Allah supaya umat Israel hidup dalam kesucian moral

3.  Dalam Perjanjian Baru, dua kata dasar yang dipakai untuk menguraikan tindakan-tindakan seksual yang tidak bermoral yaitu percabulan, perzinahan hubungan seks yang tidak sah antara orang yang sudah menikah dengan orang yang bukan suami atau isterinya

4.  Beberapa faktor yang menyebakan terjadinya perselingkuhan dalam suatu keluarga adalah faktor Ekonomi, Psikologi dan komunikasi

5.  Perselingkuhan yang terjadi dalm suatu pernikahan akan berdampak kepada diri sendiri, pasangan, anak dan keharmonisan keluarga

6.  Allah melarang berzinah demi kebaikan hubungan suami dan istrinya (Ams.6:32).

7.  Pandangan etis teologis Kristen, perselingkuhan atau perzinahan sangatlah dilarang oleh Alkitab (Im.18:2) karena itu perbuatan dosa yang menghancurkan keluarga pasangan suami-isteri.

 

IV.                         Daftar Pustaka

Bastian, Anwar “Perselingkuhan sebagai Kenikmatan Menyesatkan.” Jurnal Psikologi Perkembangan, Volume 8, No. 2, Juni 2012.

Chudari, Human Santoso Lika-Liku Perkawinan, Jakarta: Puspa Swara, 1997

Cuchanan Karolina, Menghindari Cinta Segitiga, Jakarta: Arcan, 1994

Dono Baswardono, Antara Cinta, Seks Dan Dusta, Yogyakarta: Galang Pers, 2003

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002

Daniel Rinaldi, Selingkuh “budaya”  Eklusif Muda ? Jakarta: Gramedia, 2003

Hawati H.Ladangan,Psikiatri, Love Affair (Perselingkuhan), Jakarta:Fakultas Kedokteran UI, 2002

Hadiwardoyo Al. Purwa, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta:Kanisius, 1991

J.Miles Herbent, Sebelum Menikah Pahami Dulu Seks, Jakarta: BPK-GM, 200

M.S Hadisubrata., Keluarga Dalam Dunia Modren: Tantangan dan Pembinaanya, Jakarta:BPK-GM 1992

Nainggolan Binsar, Pengantar Etika Terapan (Petunjuk hidup sehari-hari bagi warga Gereja), Pematang Siantar: L-SAPA, 2007

P.Satiadarma Monty, Menyikapi Perselingkuhan, Jakarta:BPK-GM, 2001

Santidarma Monty P., Menyikapi Perselingkuhan, Jakarta: Pustaka Populer Obor 2001

Sosipater, Karel Etika  Perjanjian Baru, Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2010

Sosipater,Karel Etika Perjanjian lama (edisi revisi),Jakarta:Suara Harapan Bangsa, 2016

Stoot R.W Jhon, Kotbah Dibukit Jilid I, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1988

T.Burtchanael James, Keputusan Untuk Menikah, Yogyakarta: Kanisius, 1990

Then Debbie, Jika Suami anda Berselingkuh, Jakarta: Gunung Mulia, 2002

Verkuyl J., Etika Kristen;Etika Seksuil, Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 1960

Yulia Singgih D.Gunarsa, Psikologi Untuk KeLuarga, Jakarta:BPK-GM, 1998

 

 

 



[1] Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 1021. 

[2] Debbie Then, Jika Suami anda Berselingkuh, (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), 17-18

[3] Rinaldi Daniel, Selingkuh “budaya”  Eklusif Muda ? (Jakarta: Gramedia, 2003), 1-2

[4] Debbie Then, Jika Suami Anda Brerselingkuh, 1

Anwar Bastian, “Perselingkuhan sebagai Kenikmatan Menyesatkan.” Jurnal Psikologi Perkembangan, Volume 8, No. 2, Juni 2012.

[6]Karel Sosipater, Etika Perjanjian lama (edisi revisi),Jakarta:Suara Harapan Bangsa, 2016, 128  

[7] Herbent J.Miles, Sebelum Menikah Pahami Dulu Seks, (Jakarta: BPK-GM, 2001), 118

[8] Karel Sosipater, Etika  Perjanjian Baru, (Jakarta: Suara Harapan Bangsa, 2010), 193

[9] J. Verkuyl, Etika Kristen;Etika Seksuil, (Jakarta:BPK-Gunung Mulia, 1960), 109

[10] James T.Burtchanael, Keputusan Untuk Menikah, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 39

[11] Karel Sosipater, Etika  Perjanjian Baru, 192

[12] Jhon Stoot R.W, Kotbah Dibukit Jilid I, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1988), 108-109

[13] Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, (Yogyakarta:Kanisius, 1991), 80

[14] Monty P.Santidarma, Menyikapi Perselingkuhan, (Jakarta: Pustaka Populer Obor 2001), 70-71

[15] M.S. Hadisubrata, Keluarga Dalam Dunia Modren: Tantangan dan Pembinaanya, (Jakarta:BPK-GM 1992),32

[16] Dono Baswardono, Antara Cinta, Seks Dan Dusta, (Yogyakarta: Galang Pers, 2003), 151-152

[17] Human Santoso Chudari, Lika-Liku Perkawinan, (Jakarta: Puspa Swara, 1997), 59-60

[18] H.Ladangan Hawati, Psiaktri, Love Affair (Perselingkuhan), 52

[19] Yustina Rastiawati, Etika Sosial, (Jakarta: Gramedia,tt), 52

[20] H.Ladangan Hawati,Psikiatri, Love Affair (Perselingkuhan), (Jakarta:Fakultas Kedokteran UI, 2002), 52-53

[21] Monti P.Satiadarma, Menyikapi Perselingkuha, 101

[22] Human Santoso Chudari, Lika-Liku Perkawinan, 29

[23] Ibid, 30-31

[24] Janis Abram Spring, After The Affair, (Jakarta: Gramedia, 2000), 24

[25] Monty P.Satiadarma, Menyikapi Perselingkuhan, (Jakarta:BPK-GM, 2001),  55-54

[26] Monty P.Satiadarma, Menyikapi Perselingkuhan, 35-37

[27] Fitri R.Ghozally, Menepis Badai Pernikahan, 39

[28] Debbie Then, Jika Suami Anda Berselingkuh, 270

[29] Janis Abrahams Spring, After The Affair, (Jakarta: Gramedia, 2000), 52

[30] Karolina Cuchanan, Menghindari Cinta Segitiga, (Jakarta: Arcan, 1994), 93

[31] Yulia Singgih D.Gunarsa, Psikologi Untuk Keluarga, (Jakarta:BPK-GM, 1998), 41-44

[32] Fitri R.Ghozally, Menepis Badai Pernikahan, 38

[33] Karel Sosipater, Etika Perjanjian lama (edisi revisi),130

[34]Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan (Petunjuk hidup sehari-hari bagi warga Gereja), Pematang Siantar: L-SAPA, 2007, 56

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url