Pernikahan Homoseksual Dalam Etika Kristen
PERNIKAHAN
HOMOSEKSUAL
Sebuah Tinjauan Etis Mengenai Pandangan Masyarakat
Tentang Kebebasan Manusia Dalam Mengapresiasikan Dirinya Dalam Pernikahan
Homoseksual Diperhadapkan Dengan Pandangan Etika Kristen dan HAM Tentang Kaum
LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) Yang Berfokus Kepada Homoseksual
Ewen
Josua Silitonga
Pengantar
LGBT adalah sebuah Singkatan dari Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender. LGBT
ini adalah kelompok yang memiliki orientasi seksual yang berbeda. LGBT ini
mulai ada pada tahun 1990-an. Pada mulanya LGBT dianggap sebuah aib atau hal
yang tidak pantas, tetapi seiring dengan perkembangan jaman, maka LGBT semakin speak up di media social seperti
TIK-TOK, IG, FB dan lain sebagainya. Hal itu dilatarbelakangi oleh pengesahan
Pernikahan Kaum LGBT di beberapa Negara, seperti German, Amerika Serikat,
Inggris dan lain-lain. Pengesahan tersebut dikarenakan adanya Hak Asasi Manusia
(HAM), yang dimana para kaum LGBT mulai menjunjung Haknya dalam mengekspresikan
orientasi seksualnya.Karena semakin maraknya pro dan kontra di dalam pengesahan
atau penerimaan kaum LGBT ini, maka dibutuhkan sebuah kajian untuk lebih
memahami kaum LGBT dari pandangan Etika Kristen dan HAM
Pembahasan
Pengertian
Pernikahan Kristen
Pernikahan
adalah suatu lembaga persekutuan Kristen yang diciptakan dan ditetapkan oleh
Allah antar seorang laki laki dengan seorang perempuan yang didahului tindakan
meninggalkan orang tua oleh karena cinta, dengan sepengetahuan masyarakat
(bersatu dan mencapai kepenuhan dalam satu daging dan dimahkotai (diberkati)
dengan penganugrahan anak.[1]
Menurut Farel Panjaitan Pernikahan
Kristen adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami istri yang berdiri atas dasar kasih Kristus (bdk. 1
korintus 3:11).[2]
Pernikahan Kristen dapat disimpulkan lembaga persekutuan yang diciptakan
dan ditetapkan oleh Allah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
didahului tindakan meninggalkan orang tua oleh karena cinta, dengan
sepengetahuan masyarakat dan mencapai kepenuhan dalam satu daging dan
dimahkotai dengan penganugrahan anak. Pernikahan adalah suatu ikatan perjanjian
suami istri yang ditetapkan oleh Allah atas dasar kasih Kristus. Dasar
pernikahan itu sendiri adalah bersifat
monogami yaitu antara satu orang laki laki dengan perempuan (Matius
19:5-6), dinyatakan secara publik, disempurnakan dalam peraturan seksual,
bersifat seumur hidup.
a.
Pengertian
LGBT
LGBT adalah singkatan
dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Awalnya pada tahun
1990, LGBT digunakan untuk merujuk pada kelompok homoseksual dan transgender
saja. Sekarang, singkatan ini melingkupi lebih banyak orientasi seksual dan beragam identitas
gender.[3]
·
Lebian
Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan lesbian atau lesbi adalah
wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual sesama jenisnya. Dari
sebutan lesbi inilah muncul istilah Lesbianisme, yakni tentang cinta birahi
antar sesame wanita, yang dimana adanya hubungan seksual antar sesame wanita
atau bisa disebut dengan wanita homoseks.[4]
Dalam bahasa Yunani kata Lesbian diterjemahkan dari kata lesbos, yang dihubungkan dengan nama sebuah pulau di Yunani yaitu lesbos. Kata lesbos merupakan tempat penyiar Yunani kuno Sappho, ia mendirikan
di tempat ini sekolah khusus untuk perempuan.[5]
·
Gay
Sejalan dengan istilah
lesbian, ada juga istilah gay, yang dimana hal ini menunjukkan orang yang
berperilaku homoseksual.[6]
Gay adalah istilah yang berarti: lucu, riang, dan merupakan kata ganti untuk
menyebutkan perilaku homoseksual. Di Indonesia kaum gay biasa menggunakan suatu
istilah yang keren yaitu “Gaya Nusantara”, yang menerbitkan buku-buku dan
majalah-majalah, juga mendirikan beberapa tempat seperti bar-bar sebagai tempat
untuk berdansa dan melakukan hubungan seks.[7]
Selain itu, seorang laki-laki yang berperilaku seperti perempuan disebut
sebagai banci, juga di golongkan kepada orang berzinah dan orang pemburit (1
Kor. 6:9b). Craig S. Keener mengartikannya kepada perilaku homoseksual (in homosexual acts).[8]
Gregory J. Lockwood menafsirkan kata ini
dengan perilaku seks amoral, yang menunjuk kepada orang-orang Sodom (Sodomites).[9]
Sesuai dengan konteks di kitab 1 Timotius 1:10, rasul Paulus tidak berkata-kata
tentang kekafiran duni tetapi tentang apa yang telah dikatakan oleh kaum
moralis kafir itu sendiri, dan kejahatan tidak berkenti hanya dengan kekasaran
dan sifat-sifat buruk umum. Masyarakat dari golongan atas dan dari golongan
bawah penuh dengan dengan sifat-sifat buruk/tidak wajar. Empat belas dari lima
belas kaisar Romawi adalah homoseksual.[10]
·
Biseksual
Pengertian Biseksual
secara kebahasaan dari kata “bi” yang artinya dua, sedangkan “seksual” bermakna
persetubuhan antara laki-laki dan perempuan.[11]
Biseksual adalah perilaku seksual
atau orientasi yang melibatkan ketertarikan fisik untuk keduanya yaitu
laki-laki dan perempuan. Seks ini adalah salah satu dari tiga klasifikasi utama
dari orientasi seksual, yaitu biseksual, heteroseksual dan homoseksual.
Sehingga dapat disimpulkan secara bahasa, bahwa Biseksual adalah orang yang
tertarik kepada kedua jenis kelamin yaitu baik laki-laki ataupun perempuan.[12]
·
Transgender
Transgender
adalah perbuatan tukar alat kelamin, misalnya laki-laki dioperasi alat
kelaminnya menjadi perempuan dan begitu juga sebaliknya.[13]
Faktor-Faktor
Penyebab LGBT
Menurut
laporan para ahli psikologi, ada beberapa factor penyebab sesorang itu mnejadi
berperilaku LGBT, misalnya karena:
1. Pengalaman
pahit ketika menjalin hubungan dengan lawan jenisnya, misalnya karena putus
cinta, dikhianati, dikecewakan atau disakiti pasangannya.
2. Pengalaman
dalam hubungan seksual dengan lawan jenis yang tidak memberikan rasa nikmat
atau bahagia. Dia kurang bergairah melakukan hubungan seks dengan lawan
jenisnya secara heteroseksual.
3. Factor
genetika (keturunan) ada orangtua (ayah atau ibu) yang secara sembunyi-sembunyi
memiliki kelainan dalam hubungan seks.
4. Pertumbuhan
hormon yang tidak sempurna sebagaimana manusia normal lainnya atau bisa disebut
gangguan hormonal
5. Pergaulan
dengan sesame yang juga mempunyai perilaku LGBT. Lingkungan seseorang juga
dapat mempengaruhi perilaku seksual seseorang (factor sosial).
6. Pengalaman
hubungan seksual di masa kini. Mula-mula hanya ingin tahu, tapi lama kelamaan
menjadi kebiasaan dan kesenangan yang dipeliharanya.
7. Adanya
informasi yang keliru yang diterima dari sumber-sumber yang menyesatkan.
Kurangnya pendidikan seks di tengah-tengah keluarga. Masih banyaknya orangtua
yang merasa tabu untuk menjelaskan organ-organ dan fungsi-fungsi alat kelamin
kepada anak-anaknya.
8. Suasana
kehidupan dan pergaulan di dalam keluarga yang tidak memberikan kedamaian,
kenyamanan, dan kebahagiaan (broken home)
9. Ingin
menikmati petualangan seksual guna mendapatkan sensasi kenikmatan egonya.
10. Ingin
menjadi pusat perhatian dari orang-orang sekitar atau dari seseorang yang
dianggapnya istimewa atau yang menajdi idolahnya.[14]
Pandangan
Alkitab Mengenai LGBT
LGBT Dalam Perjanjian Lama
Di
dalam kitab Kejadian 1:26-28, Allah telah menjadikan manusia menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan.
Allah memberkati mereka….untuk….beranak cucu dan bertambah banyak, dan pada
ayat 31 dikatakan: “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh
amat baik. Jadila petang da jadilah pagi, itulah hari keenam”. Ungkapan
laki-laki dan perempuan, yang dimaksud disini adalah dalam arti bukan
dimaksudkan biseksual transgender. Masing-masing mereka memiliki organ
reproduksi tersendiri. Laki-laki
diciptakan untuk perempuan dan perempuan diciptakan untuk laki-laki, sehingga
keduanya boleh menikmati kebaikan dan kenikmatan seksual yang telah disediakan
Allah dalam diri mereka masing-masing. Laki-laki tidak perlu mencari lagi
kebaikan atau kenikmatan pada laki-laki sejenisnya dan perempuan juga tidak
perlu mencari kebaikan atau kenikmatan pada perempuan yang sejenisnya. Memang
perempuan diciptakan Allah untuk laki-laki dan juga demikian sebaliknya. Dalam
hubungan laki-laki dan perempuanlah berkat untuk beranak cucu dan bertambah
banyak dimungkinkan, bukan pada hubungan seksual yang sejenis. Hubungan yang
sungguh amat baik itu ada dalam hubungan laki-laki dan perempuan bukan dalam
hubungan jenis kelamin yang sama.[15]
Di
dalam Kejadian 19:5 “bawalah mereka keluar kepada kami, supaya kami pakai mereka”, kata pakai atau memakai yang dalam bahasa Ibrani yada disini diartikan
berhubungan seksual/berhubungan seksual dengan sejenis (homoseksual).
Para lelaki di kota Sodom ini ingin melakukan hubungan homoseksual dengan
mereka. Perilaku mereka itu adalah kekejian di mata TUHAN, sehingga TUHAN
menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, berasal dari TUHAN,
dari langit dan ditunggangbaikkanNyalah kota itu dan lembah Yordan dan semua
penduduk-penduduk kota-kota serta tumbuhan di tanah (Kejadian 19:24-25).[16]
Jadi di dalam Perjanjian Lama, hubungan seksual yang sejenis, antar laki-laki
dan laki-laki atau bahkan sebaliknya adalah merupakan kekejian di mata Tuhan
(Imamat 18:12). Jangankan hubungan seksual sesame jenis, hubungan seksual
dengan menantu pun akan diganjar hukuman mati (Imamat 20:13). Referensi ini
cukup membuktikan kepada kita bahwa homoseksual adalah kekejian di mata TUHAN
karena hal itu merusak kekudusan umat TUHAN.[17] Dengan demikian LGBT
adalah perilaku yang merusak “apa yang sudah amat baik” yang telah diciptakan
Allah dan disediakan bagi manusia. LGBT tidak menjadi representasi atau
perwujudan gambar dan rupa Allah. Manusia sebagai gambar dan rupa Allah (imago Dei) mengandung misi Allah (misi Deo), yakni untuk mengusahakan dan
memelihara taman kehidupan yang diciptakan Allah (Kejadian 2:15). Ketika
perilaku LGBT dipelihara dan dilestarikan, itu berarti penyimpangan dan penyalahgunaan
tujuan Allah menciptakan dirinya. Para LGBT yang tadinya adalah gambar dan rupa
Allah tetapi karena penyimpangan perilakunya maka ia tidak lagi memenuhi misi Deo, melainkan hanya untuk memenuhi
hasrat (libido/nafsu) manusia itu.[18]
LGBT
Dalam Perjanjian Baru
Dalam
dunia Romawi dan Yunani LGBT dianggap sebagai tindakan dan sifat yang tidak
terpuji. Didalam kitab Roma 1 : 26-27 terdapat perilaku menyimpang dari kaisar
Nero yang dimana ia melakukan homoseksual dengan laki-laki lain termasuk kepada
budak-budaknya sendiri, dan ini menunjukkan tindakan yang tidak wajar dan
memalukan. Paulus juga menyebutkan kepada jemaat bahwa perilaku homoseksual
adalah tindakan yang memalukan dan mereka yang melakukannya akan menerima
balasan yang setimpal.[19] Menurut
Craig S. Keener, dalam tafsiran kitab Roma 1:26-27, menjelaskan pada umumnya
para lelaki Yunani bukan saja berperilaku homoseksual tetapi juga berperilaku
biseksual. Dia menjelaskan bahwa kebanyakan para lelaki yang telah berumur 30
tahun-an pada zaman itu suka mengambil istri yang berumur empat belas tahun,
memperkenalkan anak-anak laki-laki kepada perilaku homoerotis adalah sebuah
kegemaran pada zaman itu.[20]
Dalam
Matius 19:36 Yesus dalam perdebatanNya dengan orang Farisi mengangkat kembali
Kej 1 dan 2. Dari teks itu dapat dilihat bahwa Yesus tetap mengajak orang
Farisi mengacu pada Kejadian 1 dan 2, perkawinan adalah antara lelaki dengan
perempuan, dengan eksistensi dan orientasi heteroseksual, dan keduanya menjadi
satu daging. John Calvin mengomentari teks ini dengan :”From the beginning God joined the husband and the woman and the two
become a complete man”, ia juga menambahkan, “But here the sense of the words is that God, the creator of human
race, made male and female, so that each should be content with a single wife
and not desire other.” Tidak sedikitpun ditemukan unsur perkawinan selain
heteroseksual dalam teks ini begitupun dalam beberapa tafsiran. Yesus
sendiripun tetap berpijak dan mengacu ke kitab Kejadian sebagai institusi
perkawinan yang ideal.[21]
Pengertian
HAM (Hak Asasi Manusia)
HAM
adalah sesuatu yang dimiliki secara mutlak oleh manusia sebagai subjek hukum
dan terhadap sesuatu yang menjadi haknya itu. Ia mempunyai kebebasan yang
dijamin oleh aturan hukum untuk melakukan sesuatu apapun tanpa halangan dari
pihak manapun. Oleh karena itu ia memiliki HAM, maka dengan sendirinya ia juga
memiliki kebebasan dan kewenangan mutlak atas haknya tersebut untuk melakukan
satu perbuatan hukum tertentu, asalkan tidak melanggar HAM orang lain.[22]Menurut
UU No. 39 tahun 1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara hukum,
pemerintahan dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia (pasal 1 butir 1).[23]
Prinsip
Dasar HAM
1.
Prinsip Dasar Kebebasan
Didalam kitab Kejadian
1:26. Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan
rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di
udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata
yang merayap di bumi”. Hal ini dimaksudkan kebebasan sebagai penghormatan yang
diciptakan seturut Citra Sang Pencipta kepada martabat manusia selaku ciptaan
dan manusia diberi kebbeasan oleh Sang Pencipta untuk berkuasa atas semua
ciptaan lainnya.
2.
Prinsip dasar Kemerdekaan
Manusia telah diberi
kebebasan oleh Sang Pencipta sejak Penciptaan,oleh karena itu, manusia harus
dibiarkan merdeka, dalam arti tidak boleh dijajah, dibelenggu atau
dipasungdalam bentuk apapun.
3.
Prinsip Dasar Persamaan
Setiap Manusia berasal
dari produk yang sama, yaitu ciptaan Tuhan; maka dari itu manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan tidak berhak membedakan manusia yang satu dengan yang
lainnya. Atas dasar itu dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan bahwa
setiap manusia berkedudukan sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
4.
Prinsip dasar Keadilan
Prinsip persamaan di
hadapan hukum dan pemerintahan merupakan ciri utama Negara hukum dan Negara
demokrasi. Tujuan utama Negara hukum dan Negara demokrasi adalah menjamin
adanya dan tegaknya keadilan.[24]
Pandangan
Etika Kristen Terhadap Kaum LGBT
Perdebatan
tentang homoseksualitas di dalam gereja yang pada awalnya merupakan
permasalahan yang tidak nampak kini menjadi salah satu isu sentral di dalam
kekristenan di beberapa dekade terakhir ini. Beberapa gereja di Kanada seperti
gereja Anglikan dan United Church of Canada telah berhasil tiba pada
kesepakatan untuk menerima keberadaan kaum homoseks di gereja-gereja mereka.
Kedua gereja ini bahkan telah menabiskan sejumlah kaum homoseksual sebagai
pemimpin umat dan menikahkan pasangan-pasangan homoseksual. Hal yang sama juga
telah terjadi di gereja-gereja liberal di Belanda di mana homoseksual tidak
lagi menjadi isu dan para pemimpin gereja telah menunjukkan penerimaan mereka
terhadap kaum ini. Di wilayah Amerika Serikat sendiri, permasalahan tentang
penerimaan terhadap kaum homoseksual termasuk pentabisan dan pernikahannya
telah menjadi salah satu isu yang memecahbelahkan gereja. Permasalahan yang
sama juga terjadi di negara-negara dunia ketiga yang bahkan hingga saat ini
belum mampu menerima kehadiran para homoseksual di komunitas-komunitas gereja
mereka. Gereja Roma Katolik sendiri beserta dengan organisasi-organisasi
keagamaan dengan tegas menolak homoseksualitas. Mereka berpendapat bahwa mereka
tidak menolak kaum homoseksual sebagai individu namun mereka menolak gaya hidup
homoseksual. Di dalam diri gereja Protestan sendiri, masih banyak kelompok
jemaat dan pemimpin umat yang menolak keras keberadaan kaum homoseks dan bahkan
mengasingkan kaum ini dari gereja ataupun dari kesempatan untuk ditabiskan
sebagai pendeta. Gereja-gereja karismatik adalah juga termasuk di dalam kelompok
yang menolak keras keberadaan kaum homoseks ini. Masalah keberadaan kaum
homoseks ini kemudian menjadi isu yang bertambah panas ketika terutama di
wilayah Amerika Serikat sendiri ketika Mahkama Agung di sana memutuskan bahwa
konstitusi Amerika Serikat menjamin hak untuk pasangan sesama jenis menikah di
sekuruh 50 negara bagian itu. Keputusan ini diambil pada tanggal 26 Juni 2015.
Ada banyak alasan sebenarnya yang membuat gereja-gereja baik di konteks Barat
maupun dunia ketiga bereaksi keras terhadap keberadaan kaum homoseks ini yang
dianggap sebagai ancaman bagi kehidupan kekristenan dan bagi Injil itu sendiri.
Ini merupakan bagian dari cara setan untuk melawan gereja. Beberapa alasan yang
digunakan oleh gereja untuk menolak kaum ini adalah sebagai berikut :
1. Perilaku
homoseksual adalah dosa Penekanan bahwa homoseks adalah dosa dapat dilihat di
dalam Imamat 18:22 yang mengatakan bahwa: “Janganlah engkau tidur dengan
laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian.”
Larangan ini kemudian diperkuat di dalam Imamat 20:13, “Bila seorang laki-laki
tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya
melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka
tertimpa kepada mereka sendiri.” Larangan ini kemudian diulangi pula di dalam
Perjanjian Baru, di mana Paulus sendiri yang menulis di dalam konteks
pemerintahan kekaisaran Roma menentang keberadaan kaum gay dan lesbian. Hal ini
dapat dilihat di dalam Roma 1:25-27, “Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah
dengan dusta dan memuja dan menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya yang
harus dipuji selama-lamanya, amin. Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada
hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan
yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan
persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi
mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman,
lakilaki dengan laki-laki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka
balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.
2. Homoseksualitas
bertentangan dengan urutan penciptaan Tuhan untuk keluarga dan relasi manusia.
Alasan yang kedua berkenaan dengan anggapan bahwa perilaku homoseksualitas
bertentangan dengan maksud penciptaan Tuhan. Di dalam Kej. 1:27 tertulis bahwa,
“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah
diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Selain itu
di dalam Kej. 2:18 dikatakan bahwa,”TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau
manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang
sepadan dengan dia.’” Bagi sebagian umat Kristen, ketika Tuhan menciptakan
manusia maka Ia menetapkan aturan tentang seksualitas yang harus dikembangkan
oleh manusia sehingga dapat menuntun pada pembangunan keluarga. Lebih lanjut,
Alkitab telah menetapkan secara jelas bahwa manusia hanya dapat mengekspresikan
hasrat seksualnya melalui hubungan intim yang hanya dilakukan di dalam
perjanjian perkawinan – hubungan yang bersifat heteroseksual dan monogami. Hal
ini tertera di dalam Kej 2:23-24,” Lalu berkatalah manusia itu: ‘Inilah dia,
tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab
ia diambil dari lakilaki.’ Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan
ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu
daging.” Di sinilah bagi gereja, ketika manusia telah berpaling dan terlibat di
dalam perilaku homoseksual maka mereka telah berpaling pula dari perilaku
seksual alami yang telah ditetapkan Tuhan. Hal ini menurut gereja telah
diperkuat lagi oleh Yesus di dalam Mat. 19:4-5, “Jawab Yesus: ‘Tidakkah kamu
baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki
dan perempuan?’ Dan firman-Nya: ‘Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan
ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu
daging.’”
3. Homoseksualitas
akan menerima penghakiman Tuhan Cerita yang digunakan untuk mengukuhkan
pendapat ini tentu saja adalah cerita tentang Sodom dan Gomora yang seolah-olah
mengindikasikan adanya praktek homoseksual di sana. Ayat terkenal yang
digunakan adalah Kej. 19:5, “Mereka berseru kepada Lot: "Di manakah
orang-orang yang datang kepadamu malam ini? Bawalah mereka keluar kepada kami,
supaya kami pakai mereka." Sebagai konsekuensi dari tindakan penduduk
Sodom maka Tuhan turun tangan untuk menghukum kota ini beserta dengan
penduduknya yang bejat dengan cara membumihanguskan kota ini dan kota
tetangganya yaitu Gomora dengan belerang api (Kej 19:4-11, 24-25). Hal ini
dikutip lagi oleh Petrus di 2 Petrus 2:6, “dan jikalau Allah membinasakan kota
Sodom dan Gomora dengan api, dan dengan demikian memusnahkannya dan
menjadikannya suatu peringatan untuk mereka yang hidup fasik di masa-masa
kemudian.” Dan juga oleh Yudas 1:7, “Sama seperti Sodom dan Gomora dan
kota-kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan percabulan dan
mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal
sebagai peringatan kepada semua orang.” Di sinilah, ayat-ayat ini kemudian
menjadi alasan penolakan tegas terhadap perilaku homoseksualitas karena adanya
ganjaran penghukuman yang berat bagi para pelakunya.[25]
Jikalau
Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa homoseksualitas adalah dosa, maka Gereja
pun juga tidak boleh memberikan izin bagi pernikahan sesama jenis. Ini tentang
otoritas tertinggi yang dipercayai oleh Gereja, yaitu Alkitab sendiri. Gereja
harus memperhatikan dengan seksama masalah homoseksualitas ini secara jujur dan
realistik dalam kasih dan pengertian. Tuhan jelas tidak menginginkan seorang
pun terikat oleh homoseksualitas. Kasih karunia-Nya cukup untuk memberikan
kemenangan bagi mereka yang bersedia menaklukkan masalah ini kepada-Nya.
Kekristenan perlu mengambil prakarsa memberitakan pesan yang menimbulkan
harapan ini kepada kaum gay dan lesbian. Gereja harus ambil bagian di dalam
karya Tuhan Yesus Kristus untuk membawa pertobatan di kalangan gay dan
lesbian. Tetapi,
bukanlah tugas etika Kristen untuk mengagungagungkan homoseksualitas. Siapa
yang memikul salib homoseksualitas, biasanya tidaklah mengagungagungkan
homoseksualitas dan juga sebalkinya. Banyak orang yang memiliki orientasi
seksual berbeda yang sungguh-sungguh hidup di dalam pembawaan ini. Tidak
mengagungagungkan homoseksualitas ini bukanlah tugas etika Kristen, tetapi
mencela dan menghukum orang yang homoseksual juga bukan tugas etika Kristen.
Tugas etika Kristen ialah membangkitkan pengertian kepada orang-orang untuk mereka
memikul salib, dan juga tugas etika Kristen untuk meyakinkan sesama homoseksual
bahwa hubungan mereka diuji oleh Allah dengan norma cinta kasih kepada Allah
dan kepada sesama manusia.[26]
Sebab Allah kita adalah Allah yang membenci dosa dan tak dapat kompromi dengan
dosa, namun Dia adalah Allah yang menaruh belas kasihan kepada manusia. Hal ini
senada dengan yang di ungkapkan oleh Khati Callahan & Howel bahwa: Penting
untuk diketahui bahwa Allah mengasihi semua orang termasuk yang homoseks,
semuanya adalah orang berdosa yang perlu dikasihi Allah. Ia mengasihi kaum
homoseks, pelacur, pencuri, bahkan tukang menggunjing dan menggerutu. Ia juga
mengasihi orang homoseks yang masih aktif melakukan perbuatannya. Tetapi, Ia
tidak senang pada dosa itu dan dosa itulah yang menghalang-halangi seseorang
untuk mengasihi Dia sepenuhnya.[27]
Kristen
yang Identik dengan prinsip Kasih, yang beranjak dari Matius 22: 37-39. Maka
dengan merujuk bahwa hukum yang terutama adalah Kasih terhadap Tuhan dan yang
Kedua adalah Kasih terhadap sesama manusia seperti diri sendiri. Jadi secara
normatif adalah merujuk kedaulatan Tuhan. Dari kisah penciptaan sangat jelas
bahwa hubungan manusia itu adalah heteroseksual, begitu juga melihat dari
perintah Allah untuk beranak-cucu dan penuhi bumi ini. Disini sangat jelas LGBT
tidak diterima karena tidak bisa mengikuti perintah Allah yakni beranak,
meskipun akan timbul pertanyaan bahwa ada dalam hubungan heteroseksual juga
terkadang tidak akan memiliki anak. Memang dalam realitas kasus ini ada, tetapi
heterosksual lebih “berpotensi” memiliki anak, dari pada kaum LGBT. Jadi secara
jelas dari hukum yang pertama yakni terhadap Tuhan LGBT melenceng dari
perintah. Sekarang bagaimana dengan hukum yang kedua yakni menuntut sikap
sesama manusia. Sikap manusia yang bercermin dari diri sendiri pasti menjadi
relatif. Para kaum heteroseksual pasti akan menolak keberadaan LGBT , karena
tidak memiliki kesesuaian dengan sikap pribadi dari kaum hetero, dan pastinya
kaum LBGT akan menerima kaum LGBT karena memiliki kesesuaian. Tetapi kalau
bertolak dari hukum yang utama bahwa tidak akan menjadi relatif karena
penolakan LGBT itu adalah tepat. Lalu bagaimana tindakan penolakan juga menjadi
hal harus ditempuh. Disinilah Kasih ditunjukan yakni dengan menyadarkan para kaum
LGBT. Kalau memang jalur dengan heteroseksual menjadi jalan yang tepat, maka
seharusnya kaum yang mengetahui jalan ini, merangkul kaum LGBT dan berusaha
untuk menyadarkan dengan melihat beberapa prespektif di atas guna menyadarkan
para LGBT. Jadi tindakan Kasih “tidak hanya untuk merangkul LGBT tetapi juga
menyadarkan dan menghantarkan mereka ke
jalan yang benar. Dari perspektif etis Alkitabiah tadi maka, suatu perilaku
seksual disebut menyimpang apabila tidak bersesuaian dengan maksud Allah dalam
Penciptaan, ketika Ia menciptakan manusia. Bertolak dari norma maksud Allah ini
maka, secara etis-teologis, penyimpangan seksual oleh manusia dengan orientasi
seksual yang mana pun terjadi bila seks dipisahkan dari atau merusak ikatan persekutuan keluarga; terjadi bila
seks mengorbankan tugas penatalayanan keluarga, masyarakat, bahkan kehidupan,
yang Allah percayakan kepada manusia, bagi kebaikan kehidupan di bumi.
Misalnya, dalam fenomenan LGBT ini seks dimanfaatkan untuk kenikmatan dengan
mengumbar hawa nafsu hedonistis, sehingga mengakibatkan berbagai kejahatan,
misalnya perselingkuhan, perzinahan, pelacuran, kekerasan seksual, seperti
pemerkosaan, baik terhadap orang dewasa mau pun anak-anak (pedofilia), dsb.
Padahal, menurut rasul Paulus, manusia beriman patut memelihara kekudusan hidup
seksualnya. Hanya kalau seks dipakai, sesuai maksud sang Pencipta, yakni
sebagai penguatan ikatan persekutuan keluarga, bahkan persekutuan masyarakat
manusia, guna menjawab tugas panggilan dan tanggung-jawab manusia menata-layani
kehidupan, maka makna seks telah sesuai dengan maksud Allah, sebagaimana dalam
Penciptaan.”
Pandangan
HAM Terhadap Kaum LGBT[28]
HAM
menjadi dasar bagi pendukung komunitas LGBT. Salah satu hak mendasar yang harus
dimiliki oleh setiap manusia adalah kebebasan untuk mencintai individu lain dan
melakukan legalisasi hubungan percintaan mereka dalam lembaga sosial berupa
pernikahan tanpa melihat jenis kelamin, suku, ras, agama, atau kelompok sosial
yang melatarbelakangi keduanya. Presiden Barack Obama memberikan pernyataan
bahwa LGBT merupakan bagian dari HAM, untuk merayakan martabat setiap manusia,
dan untuk menggarisbawahi bahwa setiap manusia berhak untuk hidup yang bebas
dari ketakutan, kekerasan, dan diskriminasi terlepas dari siapa mereka dan siapa
yang mereka cintai. Pernyataan tersebut di sampaikan pada perayaan International Days Against Homophobia and
Transphobia (IDAHOT) yang dirayakan setiap tahun sejak 17 Mei 1990, tanggal
dihapuskannya homoseksual dari kategori penyakit mental oleh World Health Organization. Sejak saat itu,
komunitas LGBT pun mencari pengesahan hukum pernikahan di negaranegara yang
telah melegalkan pernikahan sesama jenis. Semakin sadarnya masyarakat akan HAM
membuat mereka tidak lagi mempermasalahkan kaum LGBT menjadi sebuah masalah
besar. Beberapa negara di dunia telah melegalkan pernikahan sejenis dan LGBT.
Mereka merupakan negara-negara yang menerapkan prinsip hak asasi manusia adalah
segalanya yang menjadi keinginan dan harus terpenuhi tanpa adanya paksaan dan
diskriminasi.
Penerimaan
Gereja dan Masyarakat Terhadap Kaum LGBT
Membicarakan
kaum LGBT adalah membicarakan manusia yang merupakan ciptaan Allah yang
dikasihi-Nya. Kita juga tidak boleh memaksa mereka untuk berubah, melainkan
sebaliknya, kita harus menolong agar mereka bisa menerima dirinya sendiri
sebagai pemberian Allah. Gereja, sebagai sebuah persekutuan yang inklusif dan
sebagai keluarga Allah, harus belajar menerima kaum LGBT sebagai bagian yang
utuh dari persekutuan kita sebagai “Tubuh Kristus”. Kita harus memberikan
kesempatan agar mereka bisa bertumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik,
mental, sosial dan secara spiritual. PGI menghimbau gereja-gereja agar
memper-siapkan dan melakukan bimbingan pastoral kepada keluarga agar mereka
mampu menerima dan merangkul serta mencintai keluarga mereka yang
berkecenderungan LGBT. Penolakan keluarga terhadap anggota keluarga mereka yang
LGBT berpotensi menciptakan gangguan kejiwaan, menciptakan penolakan terhadap
diri sendiri (self-rejection) yang
berakibat pada makin meningkatnya potensi bunuh diri di kalangan LGBT. Selama
ini kaum LGBT mengalami penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, dan
spiritual karena stigmatisasi agama dan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan dan
didiskiriminasi bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap berbeda.
Gereja bukan saja harus menerima mereka, tetapi bahkan harus berjuang agar kaum
LGBT bisa diterima dan diakui hak-haknya oleh masyarakat dan negara, terutama
hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan, perlindungan terhadap
kekerasan, hak-hak untuk memperoleh pekerjaan, dan sebagainya. Kaum LGBT harus
diberikan kesempatan hidup dalam keadilan dan perdamaian. Seseorang haruslah
bertitik tolak dari cinta kasih Kristen. Kita terpanggil untuk memberi
pandangan yang hati-hati dan lebih luas, janganlah kita memberi pandangan
seolah-olah orang yang memiliki orientasi seksual berbeda itu adalah hina.
Kalau orang-orang yang mempunyai pembawaan homoseksual atau menanggung
akibat-akibat dari suatu perkembangan psikhis yang terganggu, maka orang yang
tidak mengenenal kasih untuk mencela dan menghukum orang-orang semacam itu
karena pembawaan tersebut, yang penting bukanlah unuk meminta tanggungjawab dari
orang-orang homoseksual atau pembawaan mereka, tapi kita terpanggil untuk
meminta dari orang-orang pengertian akan kesukaran-kesukaran yang dihadapi oleh
orang-orang yang homoseksual. Janganlah kita mendorong orang untuk membenci
orang-orang yang memiliki orientasi seksual berbeda.[29]
John Money meyakini bahwa homoseksualitas adalah suatu variasi normal dalam
pengungkapan seksual dan berkembang secara alamiah dan dipengaruhi oleh
interaksi prenatal dengan peristiwa-peristiwa di sekitar pada periode kritis tertentu.[30]
PGI meminta Gereja khususnya di Indonesia untuk melakukan beberapa hal
berkenaan dengan kaum LGBT, yaitu:
1. Belajar
menerima kaum LGBT sebagai bagian yang utuh dari persekutuan kita sebagai Tubuh
Kristus.
2. Memberikan
kesempatan agar mereka bisa bertumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik,
mental, sosial dan secara spiritual.
3. Mempersiapkan
dan melakukan bimbingan pastoral kepada keluarga agar mereka mampu menerima dan
merangkul serta mencintai keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT.
4. Bukan
saja harus menerima mereka, tetapi bahkan harus berjuang agar kaum LGBT bisa
diterima dan diakui hak-haknya oleh masyarakat dan negara, terutama hak-hak
untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan, perlindungan terhadap kekerasan,
hak-hak untuk memperoleh pekerjaan, dan sebagainya.[31]
Analisa
Keberadaan
LGBT bukanlah sebuah hal yang baru bagi kita. Sudah banyak sekarang kaum LGBT
yang sudah mulai berani angkat bicara mengenai ketertarikannya terhadap sesame
jenis, dan tak jarang hal itu menjadi sebuah perbincangan yang hangat di media
sosial. Banyak orang yang mendukung atau menghujat kaum LGBT ini karena ada
yang berpendapat itu adalah bagian dari hak mereka dan sebagian lain
berpendapat itu adalah sebuah hal yang hina dan tabu untuk dibicarakan. Banyak gereja yang masih
menolak pernikahan kaum LGBT ini tetapi sebagian gereja di berbagai Negara
sudah mulai menerima pernikahan kaum LGBT ini. Perlu diketahui bahwa ada latar
belakang orang bisa menjadi LGBT, latar belakang yang mungkin saja sangat menyakitkan
bagi dia ataupun factor hormonal yang membuat dia berubah menjadi menyimpang.
Didalam penyimpangan ini sangat dibutuhkan sebuah penguat untuk ia bisa
berubah, dan bukan sebuah hujatan ataupun hinaan yang menjatuhkan mentalnya.
Disinilah terlihat bahwa Gereja seharusnya bisa menempatkan dirinya
ditengah-tengah kaum LGBT sebagai penguat untuk ia bisa berubah dan bukan
menolak bahkan mengucilkan kaum LGBT ini. Begitu pula di dalam etika Kristen,
pernikahan kaum LGBT ini tetap tidak boleh dilakukan, karena itu tidak sesuai
dengan Alkitab tetapi meskipun demikian Etika Kristen tetap harus bisa
membimbing orang yang mengalami penyimpangan seksual agar mereka bisa kembali
bahkan berubah. Meskipun HAM membenarkan/mengesahkan pernikahan sesama jenis
(LGBT), hal itu didasarkan karena banyak kaum LGBT yang mengutarakan/ menuntut
hak mereka. LGBT tetaplah tidak di perbolehkan, tetapi kaum LGBT tidak boleh di
asingkan/ditolak/dikucilkan di dalam kehidupan bergereja atau bermasyarakat.
Janganlah menjadi hakim untuk sesama manusia.
Kesimpulan
Dan Saran
LGBT
(Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) adalah sebuah penyimpangan seksual yang
terjadi karena factor genetic atau bahkan traumatis. LGBT banyak terjadi di
belahan Dunia, pendapat tentang kaum LGBT ini juga beragam, ada yang mendukung
bahkan mengesahkan pernikahan kaum LGBT dan ada juga yang menolak kaum LGBT ini
karena dianggap hina. Perbedaan
pandangan HAM dan Etika Kristen dalam memahami LGBT ini juga membuat adanya pro
dan kontra di dalam kehidupan di gereja atau masyarakat.yang dimana HAM menjadi
dasar bagi pendukung komunitas LGBT. Salah satu hak mendasar yang harus
dimiliki oleh setiap manusia adalah kebebasan untuk mencintai individu lain dan
melakukan legalisasi hubungan percintaan mereka dalam lembaga sosial berupa
pernikahan tanpa melihat jenis kelamin, suku, ras, agama, atau kelompok sosial
yang melatarbelakangi keduanya. Dan Etika Kristen menolak LGBT karena Perilaku
homoseksual adalah dosa. Penekanan bahwa homoseks adalah dosa, Homoseksualitas
bertentangan dengan urutan penciptaan Tuhan untuk keluarga dan relasi manusia. Di
dalam pro dan kontra ini, dibutuhkan sebuah pemahaman yang lebih untuk bisa
mengambil keputusan yang tidak menyisihkan atau menyampingkan kaum LGBT.
Penulis menyarankan, bahwa gereja tidak lepas tangan/tinggal diam dalam
menghadapi penindasan terhadap kaum LGBT, sehingga warga gereja atau bahkan
masyarakat tidak menjadi hakim untuk sesamanya manusia.
Daftar
Pustaka
Barclay, William. Permahaman Alkitab Setiap Hari Kitab Roma. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986.
Baumgarther,
Koehler. The Hebrew & Aramaic Lexicon
Of The Old Testament Vol. 1. Leiden Boston Koln: Brill, 2001.
Borrong,
Robert P. Etika Seksual Kontemporer. Bandung: Ink Media, 2006.
Calvin,
John. Calvin’s Commentaries: A Harmony of
The Gospel. Michigan: WM.B. Eerdsman Publishing Company, 1872.
Echols,
John M. & Shadily, Hasaan. Kamus
Inggris Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia, 1988.
Gunakaya,
A. Widiada. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: ANDI, 2017.
Keener,
Craig S. The IVP Bible Background
Commentary New Testament. Illinois:
IVP Academis, 1993.
Lockwood, Gregory J. Concordia Popular Commentary 1 Corrintians. Saint Louis: Concordia Publishing House, 2010.
Panjaitan,
Ranel. Moral Etika dan Miloenium III,
Medan; Universitas HKBP Nomensen,2000
Sabon,
Max Boli. Hak Asasi Manusia. Jakarta: Penerbit Universitas Atma
Jaya, 2014.
Salim,
Peter dan Salim, Yenni. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer.
Jakarta: Modern English Pers, 2002.
Sipayung,
Jon Riahman. Tema-Tema Kontemporer. Medan: CV Sinarta, 2020.
Soekahar,
H. Homoseksual Tinjauan Singkat
Berdasarkan Iman Kristen. Jakarta: ANDI, 1987.
Tirabassi,
Roger. Pola Hidup Kristen. Malang:
Gandum Mas, 2002.
Verkuyl,
J. Etika Seksuil. Jakarta: BPK-GM, 1989.
Sumber Lainnya
http://martianuswb.com/pandangan-saya-terhadap-pernyataan-pastoral-pgi-tentang-lgbt/.
Diakses pada tanggal 12 Februari 2022 pukul 08:28 WIB.
http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/24039.
Nurul Kamila, Skripsi “HAM dan LGBT dalam
Perspektif Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia”, 26-27.
Diakses pada tanggal 12 Februari 2022 pukul 19:31 WIB,
https://hellosehat.com/seks/tips-seks/apa-itu-lgbt/.
Diakses pada 12 Februari 2022 pada pukul 07.49 WIB.
https://ris.uksw.edu/download/makalah/kode/M01806.
Artikel Ira D. Mangilio, Lesbian, Gay,
Biseksual Dan Transgender Menurut pandangan Etika Kristen, 5-9. Diakses
pada tanggal 12 Februari 2022, pukul 18:30 WIB.
Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Manurung,
Kaleb.Makna Pemberkatan dalam Pernikahan,
Medan; Jurnal Teologi Abdi sabda, 2007
Situmorang,
Jontor. Jurnal Teologi STT Abdi Sabda. Medan: STT Abdi Sabda, 2016.
[1]Kaleb Manurung,Makna Pemberkatan dalam Pernikahan,
(Medan;
Jurnal Teologi Abdi sabda, 2007),1.
[2]Ranel Panjaitan, Moral Etika dan Miloenium III, (Medan;
Universitas HKBP Nomensen,2000)140-141.
[3] https://hellosehat.com/seks/tips-seks/apa-itu-lgbt/. Diakses pada 12 Februari
2022 pada pukul 07.49 WIB.
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 665.
[5] Jon Riahman Sipayung, Tema-Tema Kontemporer (Medan: CV
Sinarta, 2020), 128-132.
[6] John M. Echols &
Hasaan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta:
PT Gramedia, 1988), 264.
[7] H. Soekahar, Homoseksual Tinjauan Singkat Berdasarkan Iman
Kristen (Jakarta: ANDI, 1987), 68.
[8] Craig S. Keener, The IVP Bible Background Commentary New
Testament (Illinois: IVP Academis, 1993), 416-417.
[9] Gregory J. lockwood, Concordia Popular Commentary 1 Corrintians (Saint
Louis: Concordia Publishing House, 2010), 112.
[10] William Barclay, Permahaman Alkitab Setiap Hari Kitab Roma (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1986), 53.
[11] Peter Salim dan Yenni
Salim, Kamus Bahasa Indonesia
Kontemporer, (Jakarta: Modern English Pers, 2002), 1355.
[12] H. Soekahar, Homoseksual tinjauan singkat berdasarkan
Iman Kristiani (Yogyakarta: Andi, 1987), 66.
[13] H. Soekahar, Homoseksual tinjauan singkat berdasarkan
Iman Kristiani, 71.
[14] Jontor Situmorang, Jurnal Teologi STT Abdi Sabda (Medan:
STT Abdi Sabda, 2016), 172-173.
[15] Jontor Situmorang, Jurnal Teologi STT Abdi Sabda, 174-175.
[16] Koehler Baumgarther, The Hebrew & Aramaic Lexicon Of The Old
Testament Vol. 1 (Leiden Boston Koln: Brill, 2001), 391.
[17] Jontor Situmorang, Jurnal Teologi STT Abdi Sabda, 177.
[18] Jontor Situmorang, Jurnal Teologi STT Abdi Sabda, 174-175.
[19] Jon Riahman Sipayung, Tema-Tema Kontenporer Sebuah Refleksi
Teologi Biblis, 136-138.
[20] Craig S. Keener, The IVP Bible Background Commentary New
Testament, 416-417.
[21] John Calvin, Calvin’s Commentaries: A Harmony of The
Gospel, (Michigan: WM.B. Eerdsman Publishing Company, 1872), 243-244.
[22] A. Widiada Gunakaya, Hukum Hak Asasi Manusia (Yogyakarta:
ANDI, 2017), 50-51.
[23] Max Boli Sabon, Hak Asasi Manusia (Jakarta: Penerbit
Universitas Atma Jaya, 2014), 7.
[24] Max Boli Sabon, Hak Asasi Manusia (Jakarta: Penerbit
Universitas Atma Jaya, 2014), 11-12.
[25] https://ris.uksw.edu/download/makalah/kode/M01806/.
Artikel Ira D. Mangilio, Lesbian, Gay, Biseksual Dan Transgender Menurut pandangan Etika
Kristen, 5-9. Diakses pada tanggal 12 Februari 2022, pukul 18:30 WIB.
[26] J. Verkuyl, Etika Seksuil (Jakarta: BPK-GM, 1989),
144.
[27] Roger Tirabassi, Pola Hidup Kristen (Malang: Gandum Mas,
2002), 838.
[28] http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/24039/. Nurul Kamila, Skripsi “HAM dan LGBT dalam Perspektif Hukum
Internasional dan Hukum Nasional Indonesia”, 26-27. Diakses pada tanggal 12
Februari 2022 pukul 19:31 WIB,
[29] J. Verkuyl, Etika Seksuil (Jakarta: BPK-GM, 1989),
142-143.
[30] Robert P. Borrong, Etika Seksual Kontemporer (Bandung: Ink
Media, 2006), 77.
[31] http://martianuswb.com/pandangan-saya-terhadap-pernyataan-pastoral-pgi-tentang-lgbt/. Diakses pada tanggal 12
Februari 2022 pukul 08:28 WIB.