Etika Pengunaan Media Sosial


ETIKA PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL

Ewen Josua Silitonga

 

Pendahuluan

Internet telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi kehidupan manusia modern di Indonesia. Menurut data statistik dari Hootsuit per Januari 2021 terdapat 202,6 juta atau 73,7% orang Indonesia yang secara aktif mengakses internet setiap hari. Dari jumlah tersebut ada 170 juta orang secara aktif menggunakan media sosial setiap harinya.[1] Lebih lanjut, BPS mencatat ada sekitar 88,99% Anak usia 5 tahun ke atas mengakses internet untuk media sosial.[2] Badan Pusat Statistik nasional juga menunjukkan dalam tabel pengguna internet di berbagai provinsi di Indonesia menggunakan 80% waktunya untuk bermain media sosial.[3] Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan media sosial telah menjangkau berbagai kalangan usia dan wilayah di Indonesia, bahkan Indonesia menjadi Negara ke-empat pengguna Internet terbanyak di dunia.[4] Dengan massifnya penggunaan internet di Indonesia, tentu ada dampak positif dan negative dari penggunaan Internet.

Dalam Survei Literasi Digital yang dilakukan Kominfo tahun 2020 menunjukkan bahwa 76% masyarakat menggunakan media sosial untuk mencari berita atau informasi, 20,3% masyarakat mempercayai berita yang dimuat di media sosial, dan dari 20,3% ini 55,2% menggunakan Whatsapp, 27% Facebook, 11,9% Instagram, dan sisanya Youtube, telegram, serta twitter.[5] Hal ini menunjukkan bahwa media sosial mengambil peranan penting dalam menyampaikan berita atau informasi di tengah masyarakat. Sayangnya, pemahaman dan penggunaan media sosial secara tidak tepat dapat memberikan beberapa dampak negative antara lain: Interaksi secara tatap muka cenderung menurun, kecanduan terhadap internet, menurunnya kemampuan untuk menyeleksi orang- orang yang berada dalam lingkaran sosial kita, hilangnya batasan antara ruang privasi dan sosial, dan munculnya konflik akibat unggahan atau informasi yang salah dari media sosial.[6] Oleh karena itu, dalam artikel ini, penulis hendak memaparkan etika Kristen mengenai penggunaan media sosial.

 

Definisi Media Sosial

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, media memiliki arti “alat, sarana komunikasi, yang terletak di antara dua pihak, atau perantara, penghubung.”[7] Kata ini merupakan bahasa serapan dari kata “medium” dalam bahasa Inggris yang berarti “an intermediate agency" (Agen perantara).[8] Sedangkan kata Sosial, secara etimologi berasal dari bahasa Prancis, socius, pada awalnya bermakna “segala sesuatu yang dikhususkan untuk atau berkaitan dengan kehidupan rumah tangga”, namun dalam perkembangannya kata ini dimaknai sebagai “relasi persahabatan, segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan bersama”.[9] Lebih spesifik, kamus besar bahasa Indonesia memaknai kata ini dengan segala sesuatu yang berkenaan dengan masyarakat atau memperhatikan kepentingan umum.[10] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media sosial dapat diartikan sebagai alat atau sarana yang menghubungkan satu dan lain pihak dalam relasi persahabatan atau kehidupan bersama sebagai masyarakat, memiliki kepentingan umum.

 

Pandangan Ahli Mengenai Media Sosial

Media sosial pada dasarnya telah menjadi perbincangan dan bahan penelitian oleh berbagai kalangan. Dalam bagian ini, penulis mencoba menyadur beberapa pemahaman para ahli mengenai media sosial menurut bidang dan perspektif mereka masing-masing. Menurut dunia marketing, Phillip Kotler dan Kevin Keller memahami media sosial sebagai “sarana bagi konsumen untuk berbagi informasi teks, gambar, video dan audio dengan satu sama lain dan dengan perusahaan dan sebaliknya.”[11] Dari perspektif ini, media sosial menjadi alat menyampaikan informasi kepada konsumen sekaligus ruang luas bagi perusahaan atau produsen menganalisa keinginan atau kebutuhan pasar yang disasarnya. Sedangkan dalam dunia komunikasi, menurut Chris Brogan, Media sosial adalah “sebuah perangkat baru dalam berkomunikasi dan mengolaborasikan berbagai peralatan yang memungkinkan berbagai tipe interaksi yang sebelumnya tidak tersedia bagi masyarakat umum.”[12] Dari pandangan ini, Brogan menekankan adanya kolaborasi berbagai model dan tipe interaksi yang dapat dilakukan dalam media sosial. Dalam hal ini, interaksi yang dimaksud tidak hanya dalam bentuk tulisan namun juga gambar, video, suara, dan berbagai instrument lainnya.

Pandangan lain juga disampaikan oleh Van Dijk, menurutnya, “Media sosial adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktifitas maupun berkolaburasi, Karena itu media sosial dapat dilihat sebagai medium( fasilitator) online yang menguatkan hubungan antar pengguna sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial.”[13] Dalam pemahaman ini, Van Dijk menyederhanakan media sosial pada makna alat perantara dalam membangun ikatan sosial. Sedangkan Boyd berpendapat media sosial adalah “kumpulan perangkat lunak yang memungkinkan individu maupun komunitas untuk berkumpul, berbagi, berkomunikasi, dan dalam kasus tertentu saling berkolaborasi atau bermain. Media sosial memiliki kekuatan pada user-generated content (UGC) dimana konten dihasilkan oleh pengguna, bukan oleh editor sebagaimana di instansi media massa.”[14] Boyd menekankan pada kekuatan pengguna dalam menghasilkan dan mengelola konten dalam akun media sosialnya. Hal ini menunjukkan kebebasan dan kekuatan media sosial yang tidak lagi bergantung pada instansi atau organisasi sebagai penghasil berita. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa media sosial tidak hanya sekadar alat komunikasi, namun media sosial adalah ruang bertemunya berbagai perspektif dan sudut pandang yang menghasilkan pengalaman-pengalaman baru dalam ruang hidup bersama.

 

Fungsi Media Sosial

Pada bagian sebelumnya, telah dibahas mengenai definisi Media Sosial dan pandangan para ahli. Pada bagian ini, penulis akan menggali lebih dalam mengenai fungsi Media Sosial. Setidaknya, ada tiga fungsi media sosial bagi kehidupan manusia saat ini:

1.      Media Informasi

Media sosial sebagai media informasi untuk menyebarkan berita atau informasi yang sedang terjadi. Menurut pengamat komunikasi, media sosial menjadi sarana nomor satu dalam penyebaran informasi di era modern ini. Menurut survei Kementerian Komunikasi dan Informasi tahun 2020, 76% orang di Indonesia menggunakan media sosial sebagai pilihan pertama untuk mencari informasi.[15] Angka ini jauh mengungguli Televisi ataupun Koran sebagai media informasi. Kenyataan ini dikonfirmasi oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta pengguna pada 2014 atau lima kali lebih besar dari jumlah pengguna Internet tahun 2005.[16]  Dengan kenyataan ini, maka penyebaran informasi melalui media internet baik whatsapp, facebook, dan berbagai bentuk media sosial lainnya mengalami peningkatan kecepatan setara dengan perkembangan jumlah pengguna. Tidak mengherankan jika media sosial pada era ini menjadi salah satu sarana informasi yang paling banyak digunakan oleh masyarakat.

 

2 Media Sosial/Jejaring

Selain sebagai sarana informasi, media sosial juga menjadi ruang berjejaring atau bersosialisasi. Tony Thwaites mengatakan bahwa media sosial dan Internet telah membentuk manusia menjadi individu bebas dan      menciptakan kelompok-kelompok kecil dalam dunia egalitarian yang mana setiap individu tidak dibatasi oleh belenggu bangsa, kelas, gender, atau properti.[17] Artinya, setiap orang dalam dunia media sosial dapat berjejaring dan bersosialisasi tanpa ada batasan sosial maupun kebangsaan. Hal ini terbukti dengan munculnya aplikasi-aplikasi sosial seperti Ome TV, Tinder, Facebook, Twitter, dan aplikasi sejenis yang memungkinkan penggunanya untuk bertemu secara online dengan pengguna di belahan dunia lainnya. Dalam hal ini, bahasa menjadi sarana penting dalam menjalin komunikasi dalam dunia media sosial. Salah satu contohnya, Youtuber Indonesia bernama Fiki Naki dan Tenggo Wicaksono yang mampu menggunakan kemampuan berbahasa asing untuk dapat berkenalan dengan berbagai orang dari berbagai Negara. Selain dapat berkenalan dengan bermacam-macam orang dari berbagai wilayah di dunia. Media sosial juga sangat berguna dalam membangun jejaring sosial, seperti kelompok maupun komunitas. Terbukti dari survei Kominfo menunjukkan bahwa 99,3% masyarakat Indonesia saat ini menggunakan media sosial (whatsapp, instagram, telegram, dan sejenisnya) sebagai alat mengirim pesan maupun berkomunikasi.[18] Alasannya, media sosial memberikan berbagai macam kemudahan untuk berkomunikasi. Tidak hanya melalui teks, namun juga melalui pesan suara hingga panggilan video. Selain itu, sensasi terhubung secara langsung atau mendapatkan respons dalam waktu singkat menjadi keunggulan dalam media sosial. Berbeda dengan media tradisional seperti surat atau Koran yang perlu menunggu dalam waktu lebih dari satu hari, media sosial memberikan kemampuan untuk berkomunikasi secara intens dan cepat. Hal ini memperkuat argumen bahwa media sosial merupakan sarana membangun relasi sosial yang paling banyak digunakan oleh masyarakat saat ini.

 

3. Media Berbagi

Selain sebagai alat bersosialisasi dan mencari informasi, media sosial juga sering digunakan sebagai media berbagi ide dan gagasan. Watson mengatakan bahwa media sosial merupakan ruang berbagi ide, pendapat, gagasan dan konten dalam komunitas virtual serta mampu menghadirkan dan mentranslasikan cara berkomunikasi baru dengan teknologi yang sama sekali berbeda dari media tradisional.[19] Hal serupa juga disampaikan oleh Effendy, proses komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran itu bisa berupa gagasan, informasi, opini dan lain-lain yang muncul dari benaknya.[20] Dengan demikian, secara teori, dapat dikatakan bahwa media sosial juga berfungsi sebagai media berbagi ide, gagasan, dan opini dengan cara yang lebih modern dan penyebaran yang lebih luas serta cepat. Sebagai sarana berbagi, media sosial memiliki berbagai platform dan kekhususan masing-masing. Media whatsapp menekankan pada komunikasi cepat secara personal berdasarkan pada nomor telepon pengguna. Twitter merupakan media sosial berbasis kata atau huruf. Sedangkan media Instagram merupakan media sosial berbasis gambar atau video. Facebook merupakan media sosial berbasis jejaring.[21] Kekuatan dari masing-masing media sosial inilah yang dapat digunakan oleh pengguna untuk menyampaikan ide atau gagasan dan berbagi pengalaman bersama.

 

Etika menggunakan Media Sosial

Secara etimologi, kata etika berasal dari akar kata ethos yang berarti kebiasaan, adat. Kata kerja yang digunakan adalah ethikos yang memiliki makna kesusilaan, perasaan batin, atau kecenderungan hati dengan mana seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan.[22] Sedangkan Etika Kristen secara sederhana dapat dipahami sebagai kesusilaan, perasaan batin, atau kecenderungan hati yang mendorong seseorang untuk melaksanakan sesuatu dengan dasar nilai-nilai Kristiani. Dengan demikian, pembahasan mengenai Etika Kristen pada dasarnya adalah memberikan pertimbangan etis berdasarkan nilai-nilai Kristen. Dalam artikel ini, pertimbangan etis yang diberikan berkaitan erat dengan penggunaan media sosial. Media sosial telah mempengaruhi banyak hal dalam kehidupan manusia. Di awal tren media sosial, Mark Zuckerberg pernah mengatakan bahwa “By giving people the power to share, we’re making the world more transparent” (dengan memberikan orang-orang kekuatan untuk berbagi, mereka akan membuat dunia lebih transparan).[23] Hal ini terbukti dengan beberapa dampak positif dari media sosial, antara lain: memudahkan kita untuk berinteraksi dengan banyak orang, memperluas pergaulan, jarak dan waktu, memudahkan dalam mengekspresikan diri, penyebaran informasi dapat berlangsung secara cepat, biaya lebih murah.[24] Selain hal-hal ini, media sosial juga sangat bermanfaat dalam bidang informasi, pendidikan, dan ekonomi. Dalam bidang pendidikan, media sosial sangat membantu dalam keterlaksanaan pembelajaran, mempermudah dalam kerja kelompok, dan menyediakan sarana edukasi serta informasi,[25] Dalam hal ekonomi, media sosial menjadi salah satu senjata penting khususnya dalam bidang pemasaran. Dampaknya, pengetahuan publik terhadap sebuah produk semakin luas, pemasaran semakin mudah, dan kesempatan produk untuk dikenal dan dikonsumsi oleh publik semakin besar.[26] Beberapa keuntungan di atas memberikan gambaran bahwa media sosial pada dasarnya telah membantu dan memberikan dampak positif yang membentuk kehidupan sosial masyarakat di masa kini. Sebagaimana dua sisi mata koin, media sosial tidak hanya memberikan dampak positif namun juga dampak negatif. Dalam sepuluh tahun terakhir telah banyak artikel yang membahas mengenai beberapa dampak negatif media sosial, antara lain:[27]

a.       Kurangnya Interaksi dengan Dunia Luar

b.      Kecanduan atau adiksi

c.       Pemborosan

d.      Tergantikannya kehidupan sosial

e.       Pornografi

f.        Kesalahpahaman

g.      Berkurangnya Perhatian Terhadap Keluarga

h.      Sarana Kriminal

i.        Dapat Mempengaruhi Kesehatan.

Untuk mengatasi hal-hal tersebut, maka dalam bagian ini penulis hendak mengusulkan beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan landasan etis Kristiani dalam penggunaan media sosial di era modern ini.

Kajian Biblikal

Alkitab dan Teologi pada dasarnya tidak mengatur secara langsung mengenai bagaimana orang percaya menggunakan Media Sosial. Meskipun demikian, ada beberapa nilai di dalam Alkitab dan teologi yang dapat memberikan pertimbangan dalam memandang dan menggunakan Media Sosial. Dalam artikel ini, penulis memaparkan tiga pertimbangan yang penulis ambil dasarnya dari ayat-ayat Alkitab.

1.    Pertimbangan Nilai Seorang Hamba

Pada dasarnya, Alkitab menggambarkan dengan jelas bahwa panggilan orang percaya adalah menjadi hamba. Dalam Roma 6:16-18, Paulus menyampaikan

“Apakah kamu tidak tahu, bahwa apabila kamu menyerahkan dirimu kepada seseorang sebagai hamba untuk mentaatinya, kamu adalah hamba orang itu, yang harus kamu taati, baik dalam dosa yang memimpin kamu kepada kematian, maupun dalam ketaatan yang memimpin kamu kepada kebenaran? Tetapi syukurlah kepada Allah! Dahulu memang kamu hamba dosa, tetapi sekarang kamu dengan segenap hati telah mentaati pengajaran yang telah diteruskan kepadamu. Kamu telah dimerdekakan dari dosa dan menjadi hamba kebenaran.”

Sebagai hamba kebenaran, maka nilai yang diusung oleh orang percaya haruslah seturut dan sesuai dengan kebenaran Kristus sebagai tuan atas hidup orang percaya. Lebih daripada itu, Yesus pernah memberikan pengajaran tentang sikap seorang hamba dalam Lukas 17:7-10. Dalam bagian ini, Yesus menunjukkan bahwa seorang hamba tidak hanya taat kepada tuannya, namun melayani tuannya tanpa menganggap diri berjasa. Sikap seperti inilah yang kemudian dipahami Paulus sebagai “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya.” (Kol. 3:23-24 ITB). Nilai seorang hamba inilah yang harusnya menjadi pertimbangan bagi orang Kristen untuk bersikap. Dalam kaitannya dengan penggunaan media sosial, orang percaya bisa mulai mempertimbangkan beberapa hal ini:

·         Apakah saya mempergunakan media sosail saya untuk Tuhan atau hanya untuk diri sendiri?

·         Hal apa yang Tuhan inginkan untuk saya kerjakan melalui media sosial saya?

·         Sudahkah saya melayani dan memuliakan Tuhan melalui media sosial saya?

Tiga pertanyaan praktis di atas akan menolong orang percaya untuk mulai memikirkan dan mengambil sikap dalam menggunakan media sosial. Yang terpenting dalam penggunaan media sosial bukan hanya seberapa menarik, berbeda, atau unik sebuah konten namun apakah pesan, isi, dan nilai dari konten yang diunggah seturut dengan nilai-nilai Kristus dan untuk kemuliaan nama-Nya.

2. Pertimbangan Tujuan (telos)

Media sosial hanyalah sebuah alat. Oleh sebab itu, yang menentukan kemanfaatan atau bahaya dari media sosial adalah orang atau pribadi yang menggunakan alat tersebut. Dengan demikian, tujuan dari penggunaan sebuah alat menjadi lebih penting untuk dipertimbangkan. Pada kasus ini, media sosial dirancang sebagai alat berkomunikasi dan bersosialisasi. Artinya, melalui media ini, setiap orang dapat bertemu, bertukar cerita, informasi dan berbagai manfaat lainnya. Di sisi lain, ada juga orang-orang yang menggunakan media sosial untuk menipu, mengeruk keuntungan pribadi, atau melakukan berbagai kejahatan lainnya. Menyikapi hal tersebut, orang Kristen ada baiknya mendengarkan nasihat Paulus kepada jemaat Korintus. Dalam 1Korintus 10:23, Paulus menyatakan ““Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. "Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun.” Teks ini diberikan Paulus kepada jemaat Korintus terkait dengan kehidupan mereka sebagai orang merdeka di dalam Kristus. Paulus menyadari bahwa jemaat Korintus bukan lagi orang-orang yang dibelenggu dalam ikatan dosa. Akan tetapi, tidak berarti jemaat Korintus dapat bertindak sesuka hati mereka. Oleh sebab itu, Paulus memberikan batasan ini, yaitu berguna dan membangun. Dalam hal penggunaan media sosial, orang Kristen juga diajak untuk bertanya secara personal:

·         Apakah bermain media sosial dalam waktu lama itu berguna?

·         Sampai batasan mana, media sosial dapat berguna dan membangun kehidupan saya?

·         Konten media sosial seperti apa yang membangun kehidupan pribadi, sosial, maupun rohani saya?

Dengan mempertanyakan hal-hal di atas, orang percaya diajak untuk melihat kembali tujuan penggunaan media sosial. Bagi orang percaya, media sosial seharusnya digunakan untuk tujuan yang berguna dan membangun diri sendiri maupun orang lain yang melihat media sosial kita.

3. Pertimbangan Individual dan Sosial

Seperti yang disampaikan oleh Mark Zuckerberg bahwa media sosial sangat bermanfaat untuk membuka ruang seluas-luasnya bagi setiap orang untuk bertemu dan berelasi dengan banyak orang. Oleh karena itu, dalam bermain media sosial, orang Kristen perlu menyadari bahwa media tersebut bersifat publik. Sekalipun dikelola oleh pribadi maupun organisasi, namun media sosial selalu memiliki dampak sosial. Itu sebabnya, perlu ada pertimbangan matang dalam mengunggah sesuatu di media sosial.  Memahami hal ini, Negara Republik Indonesia telah mengatur hal terkait informasi dan transaksi elektronik atau sering disebut dengan Undang-undang ITE No. 11 tahun 2008. Undang-undang ini mengatur beberapa hal: Pencemaran nama baik, cyber-bullying, penistaan agama, penyebaran informasi personal dan rahasia, hingga pornografi dan pornoaksi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sangat peduli terhadap dampak penggunaan media sosial. Undang-undang ITE dirancang dengan harapan agar setiap pengguna media sosial dan layanan internet dapat bertanggungjawab kepada diri sendiri maupun orang lain. Hal serupa memiliki kemiripan dengan anjuran Perjanjian Baru bagi umat percaya. Beberapa bagian dalam Perjanjian baru menunjukkan bagaimana orang percaya memiliki tanggungjawab sosial untuk tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Yesus dalam Matius 17:27 dan Paulus dalam Roma 14:21; 1Kor. 8:9, 13. Mengajarkan kepada orang percaya untuk menjaga kebebasan dan sikap mereka agar tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Caranya dengan menggunakan kata-kata yang santun, menyampaikan berita dan informasi yang telah teruji, dan melakukannya dengan tujuan kasih bukan kebencian atau keinginan buruk lainnya. Selain hal-hal tersebut, beberapa pertanyaan ini juga dapat membantu orang percaya untuk mengkoreksi dan memawas diri dalam bermedia sosial:

·         Apakah unggahan media sosial saya dapat menjadi batu sandungan bagi saudara seiman saya atau orang lain yang melihat unggahan ini?

·         Apakah unggahan media sosial saya dapat menjadi berkat atau sebaliknya, justru membawa keributan atau hal buruk bagi orang lain?

 

Kajian Teologis

Etika Kristen tidak hanya tentang perihal bertindak seturut nilai Kristiani. Etika Kristen merupakan wujud paling nyata dari pemikiran dan keyakinan teologis dari orang percaya tentang Tuhan, diri, dan dunia. Oleh karena itu, pembahasan mengenai etika Kristen tidak mungkin lepas dari pandangan teologis yang mendasarinya. Dalam makalah ini, penulis mengajukan dua pertimbangan teologis dalam penggunaan media sosial:

 

a. Imago Dei

Imago Dei berasal dari bahasa Latin yang berarti gambaran atau representative Ilahi. Thomas C. Oden dalam Systematic Theology volume III: Life in the Spirit, mengatakan bahwa “pada dasarnya, manusia diciptakan dalam gambar dan rupa Allah bukan untuk mengalami kematian namun untuk merefleksikan kebaikan-kebaikan Allah selamanya.”[28] Dengan demikian, maka sewajarnya, apa yang menjadi tindakan manusia mencerminkan apa yang hendak Allah kerjakan. Sayangnya, dosa telah merusak gambar Allah sehingga manusia tidak dapat lagi menyatakan gambar Allah ini secara sempurna. Oleh karena itu, Kristus berinkarnasi ke dunia, tidak hanya menghadirkan shalom (damai) namun memberikan teladan tentang bagaimana seharusnya manusia hidup dan menggambarkan Allah dalam hidup mereka. Itu sebabnya dalam  Roma 8:29 Paulus mengatakan, “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” Konsekuensinya, tindakan orang percaya dalam menggunakan media sosial, mau tidak mau akan dianggap sebagai gambaran tindakan Kristus itu sendiri. Tindakan orang percaya di media sosial merupakan gambaran dari tindakan Kristus. Untuk itu, orang percaya perlu menyadari dengan sungguh segala hal yang diunggah maupun dilihat dari media sosialnya. Dalam hal ini, orang percaya diajak untuk merefleksikan kembali kehidupan bermedia sosial yang dilakukannya,

·         Gambaran Kristus seperti apa yang ingin anda lihat dan perlihatkan kepada orang-orang yang lain?

·         Apakah komentar dan konten yang kita unggah atau lihat sudah mencerminkan gambar Kristus yang sesungguhnya?

Aplikasi atas hal ini tentu dapat beragam, mulai dari menjaga cara kita menanggapi atau berkomentar dalam media sosial, menyeleksi konten atau gambar yang kita cari, sukai, atau komentari. Selain itu, orang percaya juga perlu memikirkan bahwa unggahan media sosial terkait kehidupan pribadinya seharusnya tidak berbeda atau berlawanan dengan diri orang tersebut. Sebagaimana Kristus dihadapan Allah dan dihadapan manusia menjaga kebenaran dan keutuhan diri dan sikap-Nya, demikianpun orang percaya seharusnya tidak bersikap munafik dalam kehidupan di media sosial maupun di dalam realitas kehidupannya sehingga tidak terjadi keterpecahan diri (fragmented self) antara apa yang ditampilkan dalam media sosial dengan apa yang dijalani dalam kehidupan sehari-hari.

b.      Amanat Agung

Dalam Konferensi Misionaris di Urbana, John Stott pernah mengatakan bahwa “Allah kita adalah Allah yang mengabarkan Injil.”[29] Hal ini juga selaras dengan perintah Yesus dalam Matius 28:19-20

Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.

Lebih daripada itu, dalam beberapa tahun terakhir, pembahasan  mengenai pengabaran Injil, amanat Agung dan media sosial makin marak diulas baik dalam berbagai penelitian. Hal ini menunjukkan bahwa minat terhadap pengabaran injil di era media sosial cukup tinggi. Meski demikian, sebagaimana yang telah penulis paparkan dalam bagian pendahuluan, adanya kecenderungan distorsi kerohanian yang menampilkan bentuk-bentuk spiritualitas palsu juga perlu untuk diwaspadai. Oleh karena itu, pemahaman tentang amanat agung bukanlah sebagai tugas atau sebuah program kerohanian. Sebaliknya, memberitakan Kristus dan memuridkan orang lain adalah sebuah gaya hidup kekristenan. Dalam Perjanjian Baru, pengabaran injil bukan sekadar kegiatan gerejawi namun gaya hidup orang percaya. Hal ini tampak dari cara hidup para rasul dan gereja mula-mula dalam Kisah Para Rasul. Karena amanat agung adalah gaya hidup, maka pemberitaan injil tidak harus dilakukan dalam bentuk media sosial namun setiap saat. Paulus sendiri menasihatkan kepada Timotius, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya….” (2Timotius 4:2a). Lebih daripada itu, Paulus sendiri menyebut jemaat sebagai surat yang terbuka yang dapat dibaca oleh semua orang. (2Kor. 3:2 ITB) Dalam hal ini, Paulus ingin mengatakan kepada jemaat bahwa kehidupan mereka adalah kesaksian yang dapat dibaca dan dilihat oleh banyak orang, baik kesaksian tentang hasil pelayanan Paulus terlebih kesaksian tentang Kristus. Dari bagian ini, penulis menyimpulkan bahwa pelayanan pengabaran injil melalui media sosial selayaknya tidak dijadikan topeng untuk menampilkan persona yang berbeda dari realitas kehidupannya. Sebaliknya, pengabaran injil melalui media sosial haruslah lahir dari sebuah gaya hidup yang menginjil.

 

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan nilai-nilai etis di atas, penulis menyadari ada beberapa implikasi praktis yang penting untuk diperhatikan sebagai orang Kristen dalam menggunakan Media Sosial:

1.      Pergunakan kosa kata yang santun dan baik

2.      Saring informasi, berita, maupun ide-ide yang hendak disampaikan dengan dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan.

3.      Media Sosial dipergunakan sebagai alat untuk membangun dan memberi kemanfaatan untuk diri sendiri maupun orang lain.

4.      Orang Kristen harus menyaring, menyeleksi, dan kritis terhadap konten-konten di media sosial sehingga unggahan yang disampaikan melalui media sosial tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain.

5.      Orang Kristen perlu menyadari bahwa media sosial untuk menolong kita berkomunikasi dengan orang lain. Dalam komunikasi inilah maka orang akan mengenal siapa kita dan bagaimana gambar diri kita. Oleh karena itu, jangan menggunakan media sosial dengan sikap munafik atau untuk tujuan menutupi keburukan diri kita saja. Sebaliknya, mari bangun diri kita secara baik dan tampilkan diri kita sesuai dengan kehidupan sehari-hari kita.

Dengan demikian, diharapkan ada keselarasan antara kehidupan sehari-hari dengan apa yang kita tampilkan melalui media sosial. Melalui integritas bermedia sosial inilah maka kepercayaan orang terhadap pesan yang kita sampaikan akan semakin meningkat. Lebih daripada itu, pergunakanlah media sosial sebagai alat untuk mempermuliakan nama Tuhan. Kiranya Tuhan yang menguatkan dan memampukan kita.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

A.    Buku

Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia, Profil Pengguna Internet Indonesia 2014. Jakarta: Puskakom Universitas Indonesia, 2014.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-5. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016.

Badan Pusat Statistik, Statistik Komunikasi di Indonesia 2020. Jakarta: Badan Pusat Statistik Nasional Indonesia, 2021.

Bortwick, Paul., Pemberitaan Injil Tugas Siapa?. Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1995.

Brogan, Chris., Social Media 101: Tactics and Tips to Develop Your Business Online. New Jersey: John Wiley and Sons, 2010.

Bungin, Burhan., Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Pranada Media, 2006.

Douglas, J., dan Tenney, M. C., New International Bible Dictionary. Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1963.

Effendy, Onong Uchyjana., Komunikasi; Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009.

H. Manser, Martin., Dictionary of Bible Themes: The Accessible and Comprehensive Tool for Topical Studies. London: Martin Manser, 1999.

Hefni, Harjani., Komunikasi Islam. Jakarta: Prenadamedia, 2015.

Hootsuite, Indonesia Digital Report 2021. Jakarta: Hootsuite, 2021.

Kementerian Komunikasi dan Informasi, Status Literasi Digital Indonesia: Survei di 34 Provinsi tahun 2020. Jakarta: Katadata Insight Center, 2020.

Nasrullah, Rulli., Media Sosial Perspektif Komunikasi, Budaya, Sosioteknologi, cetakan kedua. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2016.

Oden, Thomas. C., Systematic theology, Volume. III: Life in the Spirit. San Francisco, California: Harper, 1992.

Phillip, Kotler., dan Keller, Kevin Lance., Marketing Management, edisi ke-14. Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia, 2012.

Ryken, Leland., dkk., The Dictionary of Biblical Imagery. Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 2000.

Thwaites, Tony., dkk., Introducing Cultural and Media Studies, diterjemahkan oleh Saleh Permana. Yogyakarta: Jalasutra, 2009.

Verkuyl, J., Etika Kristen: Bagian Umum. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.

 

B.     Artikel Jurnal

Aljawiy, Abdillah Yafi., dan Muklason, Ahmad., “Jejaring Sosial dan Dampak Bagi Penggunaannya” dalam Jurnal Elektronik Unipdu. Vol 1, No 1 (2011); 46-58.

Cahyono, Anang Sugeng., “Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat di Indonesia” dalam Publiciana, vol. 9 no 1 (Maret: 2017); 140-157.

Khairuni, Nisa., “Dampak Positif dan Negatif Sosial Media Terhadap Pendidikan Akhlak Anak” dalam Jurnal Edukasi, Vol 2, No 1 (2016); 91-106

Setiadi, Ahmad., “Pemanfaatan Media Sosial untuk Efektifitas Komunikasi” dalam Jurnal Cakrawala, Vol 16, No 2 (2016): 12-21.

Singh, Tanuja., Jackson, Liza Veron., dan Cullinane, Joe., “Blogging: A New Play in Your Marketing Game Plan” dalam The Business Horizons, volume 51 (2008). 281-292.

Watson, M., “Telemedicine and e-Health” dalam Twittering healthcare: Social media and Medicine, vol. 15 (2009): 507–510.

C.     Website

 

 

Badan Pusat Statistik, “BPS: 88,99% Anak 5 Tahun ke Atas Mengakses Internet untuk Media Sosial” dalam databoks.co.id. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/24/bps-8899-anak-5-tahun-ke-atas-mengakses-internet-untuk-media-sosial diakses tanggal 12 Februari 2021.

https://favpng.com/png_view/archaic-greece-ano-liosia-classical-athens-relief-panhellenic-mens-greco-roman-wrestling-championships-png/MiT4x0GQ diakses tanggal 21 Februari 2022.

https://glints.com/id/lowongan/tipe-media-sosial/#:~:text=Social%20Networking&text=Social%20networking%20mungkin%20merupakan%20tipe,Facebook%2C%20Twitter%2C%20dan%20LinkedIn. Diakses tanggal 22 Februari 2022.

https://medium.com/mind-cafe/social-media-is-warping-our-perception-of-reality-c34fd730c5ed diakses tanggal 10 Februari 2022.

https://study.com/academy/lesson/ancient-egyptian-sculptures-paintings-innovation-examples.html diakses tanggal 21 Februari 2022.

https://www.baus.org.uk/museum/86/mesopotamia diakses 21 Februari 2022.

https://www.merdeka.com/teknologi/menkominfo-indonesia-jadi-negara-keempat-pengguna-internet-terbesar-dunia.html#:~:text=%22Saat%20ini%2C%20Indonesia%20adalah%20negara,%2C%20(03%2F11). Diakses tanggal 12 Februari 2022.

Online Etymology Dictionary, https://www.etymonline.com/ diakses tanggal 21 Februari 2022.

 

 



[1] Hootsuite, Digital 2021 Indonesia, 17.

[2] Badan Pusat Statistik, “BPS: 88,99% Anak 5 Tahun ke Atas Mengakses Internet untuk Media Sosial” dalam databoks.co.id. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/24/bps-8899-anak-5-tahun-ke-atas-mengakses-internet-untuk-media-sosial diakses tanggal 12 Februari 2021.

[3] Badan Pusat Statistik, Statistik Komunikasi di Indonesia 2020 (Jakarta: Badan Pusat Statistik Nasional Indonesia, 2021), 271.

[5] Kementerian Komunikasi dan Informasi, Status Literasi Digital Indonesia: Survei di 34 Provinsi tahun 2020 (Jakarta: Katadata Insight Center, 2020), 19.

[6] Anang Sugeng Cahyono, “Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat di Indonesia” dalam Publiciana, vol. 9 no 1 (Maret: 2017); 140-157.

[7] Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v.v.”Media”.

[8] Online Etymology Dictionary, s.v.v.”Media”. https://www.etymonline.com/search?q=Media diakses tanggal 21 Februari 2022.

[9] Online Etymology Dictionary, s.v.v.”Social”. https://www.etymonline.com/search?q=Social diakses tanggal 21 Februari 2022.

[10] Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v.v.”Sosial”.

[11] Kotler Phillip dan Kevin Lance Keller, Marketing Management, 14th edition (Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia, 2012), 568.

[12]Chris Brogan, Social Media 101: Tactics and Tips to Develop Your Business Online (New Jersey: John Wiley and Sons, 2010), 11.

[13] Rulli Nasrullah, Media Sosial Perspektif Komunikasi, Budaya, Sosioteknologi, cetakan kedua (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2016), 11.

[14] Nasrullah, Media Sosial Perspektif Komunikasi, Budaya, Sosioteknologi, 11.

[15] Status Literasi Digital Indonesia, 19.

[16] Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia, Profil Pengguna Internet Indonesia 2014 (Jakarta: Puskakom Universitas Indonesia, 2014), 20.

[17] Tony Thwaites, dkk. Introducing Cultural and Media Studies, diterjemahkan oleh Saleh Permana (Yogyakarta: Jalasutra, 2009), 330-331.

[18] Status Literasi Digital Indonesia, 17.

[19] M. Watson, “Telemedicine and e-Health” dalam Twittering healthcare: Social media and medicine, vol. 15 (2009): 507–510.

[20] Onong Uchyjana Effendy, Komunikasi; Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 14.

[22] J. Verkuyl, Etika Kristen: Bagian Umum (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 1.

[24] Anang Sugeng Cahyono, “Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat di Indonesia” dalam Publiciana, vol. 9 no 1 (Maret: 2017); 140-157.

[25] Nisa Khairuni, “Dampak Positif dan Negatif Sosial Media Terhadap Pendidikan Akhlak Anak” dalam Jurnal Edukasi, Vol 2, No 1 (2016); 91-106

[26] Tanuja Singh, Liza Veron Jackson dan Joe Cullinane, “Blogging: A New Play in Your Marketing Game Plan” dalam The Business Horizons, volume 51 (2008). 281-292.

[27] Abdillah Yafi Aljawiy dan Ahmad Muklason, “Jejaring Sosial dan Dampak Bagi Penggunaannya” dalam Jurnal Elektronik Unipdu Vol 1, No 1 (2011); 46-58.

[28] Thomas. C. Oden, Systematic theology, Volume. III: Life in the Spirit (San Francisco, California: Harper, 1992), 382.

[29] Paul Bortwick, Pemberitaan Injil Tugas Siapa? (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1995), 5.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url