Pernikahan Beda Agama Menurut Etika Kristen




“PERNIKAHAN BEDA AGAMA”

Ewen Josua Silitonga

 

I.     Pendahuluan.

Seseorang yang telah lahir ke dunia akan mengalami pertumbuhan perkembangan, mulai dari pertumbuhan anak-anak. Lalu bertumbuh sampe remaja dan langsung bertumbuh sampai kita tumbuh dewasa[1]. Biasanya setelah kita dewasa kita akan menentukan arah hidup kita, apakah kita akan langsung melanjutkan kerja atau kita akan melanjutkan ke jenjang pernikahan yang lebih serius[2]. Kalangan orang tua yang sering kali banyak menginginkan anaknya cepat menikah. Padahal apabila kita menikah, kita harus memantapkan pasangan yang memang sudah serius kita punya. Namun, banyak kalangan wanita bahkan pria yang terkadang tidak ingin cepat-cepat menikah atau mereka lebih menginginkan menjenjang karirnya terlebih dahulu[3].

 

PEMBAHASAN MASALAH.

Nikah Beda Agama.

Di Alkitab, kisah Raja Salomo merupakan kisah nyata pernikahan beda agama yang berdampak pada rusaknya hubungan personal dengan Tuhan. Raja Salomo yang merupakan anak dari Raja Daud adalah raja yang paling berhikmat dan kaya raya. Hikmat tersebut ia dapatkan lewat kecintaannya pada Tuhan (1 Raja-Raja 3:1-15). Bahkan disebutkan bahwa sebelum dan sesudahnya, tidak akan ada yang menandingi hikmat dan kekayaannya. Di masa mudanya, kita dapat membaca bagaimana Salomo begitu mencintai Tuhan sehingga rela memberikan banyak korban bakaran yang menyenangkan hati Tuhan. Namun demikian, masa tua Salomo tidaklah berakhir bahagia, karena ia terpengaruh oleh ajaran-ajaran allah asing dari istri-istrinya dan hidupnya berakhir dengan menyakiti hati Tuhan. Apakah tidak boleh menikah dengan pasangan beda agama? Bagaimana jika sudah terlanjur cinta? Bagaimana dengan hubungan pacaran beda agama menurut Kristen? Hal tersebut mungkin sering ditanyakan oleh orang-orang Kristen yang memiliki pasangan beda agama serta sudah berniat melangsungkan pernikahan. Jawabannya kembali pada salah satu dari tujuan hidup orang Kristen, yaitu menyenangkan hati Tuhan. Pernikahan bukan hanya bertujuan untuk kesenangan pribadi ataupun hanya untuk memiliki keturunan, namun juga untuk menggenapi rencana Tuhan untuk keluarga tersebut. Bagaimana rencana tersebut dapat tercapai jika tidak ada kesatuan visi, misi, dan pandangan atas agama.[4] Agama tidak hanya sekedar sebuah status, namun juga memuat nilai dan norma kehidupan yang menuntun jalan hidup manusia. Selain itu, sebelum menikah, perlu untuk mengetahui dan memahami lebih dulu prinsip dasar pernikahan Kristen sebagai fondasi dari pernikahan. Mari renungkan, apakah prinsip-prinsip tersebut dapat dilakukan dengan pasangan yang berbeda agama nantinya.

 

            Arti Pernikahan Kristen

Pernikahan adalah persekutuan yang ekslusif seumur hidup antara seorang pria dan seorang wanita. Pernikahan adalah satu komitmen antara seorang laki-laki dan perempuan yang melibatkan hak-hak seksual secara timbal balik[5]. Jadi, Pernikahan adalah satu lembaga yang ditetapkan Tuhan bagi semua orang, bukan hanya orang Kristen saja, tetapi untuk semua orang. Jika kita memandang pernikahan sebagai budaya manusia belaka, maka kita bebas menentukan aturan mainnya. Minimal, sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tempat kita tinggal. Tidak heran, di berbagai budaya terdapat aturan yang berbeda-beda mengenai pernikahan[6]. Namun sebagai orang Kristen, kita harus menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam semua bidang kehidupan. Termasuk juga dalam pernikahan. Jadi, pandangan kita tentang pernikahan harus didasarkan atas Alkitab. Bukan budaya sekitar, apalagi pikiran sendiri. Alkitab menyatakan bahwa pernikahan merupakan institusi yang ditetapkan oleh Allah. Jadi, pernikahan bukan lahir dari kebudayaan manusia. Pada waktu Penciptaan, Allahlah yang memberikan seorang wanita kepada Adam. Allah kemudian memerintahkan: Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Kej. 2:24)  Jika Allah yang menetapkan institusi pernikahan, maka pernikahan bersifat sakral. Pernikahan harus dijalankan berdasarkan aturan Allah, bukan pemikiran manusia. Pernikahan harus disahkan oleh pendeta, di hadapan Allah dan jemaat-Nya.

 

Hukum Nikah Beda Agama Menurut Protestan.

Bagaimana pendapat dan peraturan gereja Kristen menyangkut pernikahan beda agama? Sidang Majelis Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPL PGI) tahun 1989 menyatakan bahwa hukum nikah beda agama menurut Kristen Protestan institusi yang berhak mengesahkan suatu pernikahan adalah negara melaui kantor catatan sipil. Hal ini berarti bahwa gereja wajib meneguhkan dan memberkati suatu pernikahan yang sudah terlebih dulu sah secara hukum. Namun demikian dalam prakteknya, pemberkatan nikah di gereja dilakukan lebih dulu daripada catatan sipil. Beberapa gereja di Indonesia juga memiliki pandangan dan sikap yang berbeda-beda untuk pernikahan beda agama, antara lain:

1.      Pro

Gereja yang pro terhadap pernikahan beda agama menganjurkan pasangan untuk menikah secara sipil terlebih dulu dengan tetap menganut agama masing-masing. Setelah sah secara hukum, dilakukanlah penggembalaan khusus untuk pasangan tersebut dan diakhiri dengan pemberkatan pernikahan oleh gereja.

2.      Kontra Ringan

Gereja akan memberikan berkat dan mengizinkan pernikahan dilangsungkan di gereja dengan syarat pasangan yang bukan Kristen bersedia mengikuti semua tata cara untuk masuk ke agama Kristen. Ada juga gereja Kristen yang tidak memaksakan harus pindah agama namun untuk izin berlangsungnya pernikahan di gereja, pasangan tersebut harus mendapat persetujuan dari pemuka agama asal.

3.      Kontra Berat

Gereja yang tidak setuju dengan pernikahan beda agama sama sekali tidak mau hukum nikah beda agama menurut Kristen Protestan. Ada juga gereja yang mengeluarkan orang Kristen yang menikah dengan pasangan beda agama dari anggota jemaat gereja.

 

Apa kata Alkitab Tentang Pernikahan Beda Agama?

Beberapa panduan yang tersirat dari ayat di atas adalah: pernikahan harus dilakukan oleh dua orang yang berbeda gender dan sudah dewasa. Lalu, bagaimana dengan pernikahan beda agama? Dalam surat 2 Korintus:14. Paulus menasihati jemaaat Korintus, Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? (2. Kor. 6:14) Memang secara konteks, ayat tersebut tidak mengarah pada pernikahan. Melainkan, penerapan dari perintah Tuhan untuk menjauhkan diri dari kecemaran (2. Kor. 7:1; 6:17). Melalui ayat ini, Paulus meminta jemaat Korintus untuk menegaskan identitas mereka sebagai umat Tuhan. Dengan begitu, mereka tidak selayaknya “bersekutu” (sepaham dan setujuan) dengan orang-orang yang tidak percaya.

Walaupun demikian, ayat ini juga bisa menjadi dasar bahwa pernikahan beda agama tidak diinginkan Tuhan. Jika “bersekutu” dengan orang-orang yang tidak percaya saja tidak diperkenan Tuhan, apalagi ikatan pernikahan, bukan? Selain itu kita harus ingat bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus. Jadi, kita harus menjaga kekudusannya. Selain tidak melakukan hubungan di luar nikah, hubungan di dalam nikah pun harus dilakukan dengan pasangan yang sama-sama bait Roh Kudus.

Tantangan Dalam Pernikahan Beda Agama

Selain tantangan dari sudut pandang Alkitab, pernikahan beda agama juga memiliki tantangan secara praktis. Pernikahan adalah penyatuan dua orang yang berbeda pemikiran, latar belakang, dan kepribadian. Ini saja sudah terlihat sebagai sumber konflik. Apalagi jika pasangan memiliki iman yang berbeda. Pernikahan pasti akan menghadapi potensi konflik yang lebih tajam. Pasangan yang berbeda agama memiliki standar yang berbeda dalam mengarahkan biduk rumah tangga, mendidik anak, mengelola keuangan, mengelola konflik, dan sebagainya. Sangat sulit untuk diselaraskan (kecuali ada kompromi). Tepat seperti Paulus bilang, “terang tidak mungkin bersatu dengan gelap.” Lalu, mengapa ada pasangan yang terlihat baik-baik saja walaupun mereka berbeda agama? Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Bisa saja, mereka terlihat baik-baik saja saat ini, belum tentu di masa depan. Atau, mereka terlihat baik-baik saja di muka umum, tetapi ada salah satu pihak yang selalu mengalah.

Namun dari semua kemungkinan itu, ada satu kemungkinan yang lebih fatal lagi. Yaitu, pasangan yang berbeda agama tidak sungguh-sungguh taat pada Tuhan. Dalam batas tertentu, mereka mengkompromikan iman demi mencapai kesepahaman dengan pasangan. Misalnya, apakah mungkin orang yang sungguh-sungguh taat pada Tuhan membiarkan anak mereka menerima pengajaran di luar Kristus? Atau, mungkinkah rumah tangga tersebut akan maksimal bagi Tuhan jika pasangan memiliki standar moral dan kebenaran yang berbeda? Apalagi, jika pasangan yang Kristen mendapat panggilan pelayanan secara khusus dari Tuhan. Semakin taat pada Tuhan, dia akan semakin mendapat tantangan dari pasangannya yang belum percaya. Ingat, kita sebagai anak Tuhan memiliki standar moral dan kebenaran yang sangat tinggi. Kristus sendiri yang menjadi acuan. Pun di dalam pernikahan, Kristus sendiri yang menjadi pemimpin dan role model. Kasih Kristus serta kasih di antara ketiga pribadi Tritunggal juga harus menjadi perekat pernikahan. Bagaimana mungkin kasih seperti ini dapat terwujud jika dilakukan oleh orang yang tidak percaya pada Kristus? Tuhan Yesus berkata: “Di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:5). Kasih Kristus menjadikan pernikahan indah (Photo by Gus Moretta on Unsplash). Melihat banyaknya tantangan yang akan dihadapi, maka orang Kristen sudah selayaknya menghindari pernikahan beda agama. Terlebih lagi, hal itu tidak dikehendaki oleh Tuhan. Jalanilah pernikahan sesuai dengan kehendak Tuhan dan dengan cara yang berkenan pada Tuhan. Yakinlah, berkat Tuhan yang dirasakan akan lebih besar dibanding apa yang didapat dari pernikahan menurut dunia.

 

 UU Nikah Beda Agama di Indonesia.

 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 Tahun 1974, Bab 1 tentang Dasar Perkawinan ialah[7]: Pasal 1: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 2: “(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pada prinsipnya UU RI tidak mengatur tentang perkawinan beda agama, melainkan berbicara tentang dasar perkawinan yang harus dicapai oleh rakyat Indonesia yang adalah rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini berarti bahwa, jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) dan pendeta telah melaksanakan pemberkatan (bagi umat Kristen), maka perkawinan tersebut adalah sah terutama dipandang dari segi agama dan kepercayaannya.

Menurut PGI

Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) mendukung revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu anggota Komisi Hukum PGI, Nikson Lalu, mengatakan, PGI menilai undang-undang tersebut bersifat diskriminatif dan mengabaikan semangat multikulturalisme di Indonesia. "Ke depan, perlu dibuat suatu regulasi yang lebih realistis terhadap realitas kebinekaan kita yang mengatur dan memfasilitasi perkawinan pasangan beda agama," ujar Nikson, saat memberikan keterangan dalam persidangan uji materi UU Perkawinan, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (5/11/2014). Menurut Nikson, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang menyatakan "perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu" telah mengabaikan realitas multikulturalisme dan perbedaan golongan ataupun agama di Indonesia. Dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), Nikson menyebutkan, ketentuan tersebut mengabaikan hak warga negara untuk menikah dengan pasangan yang berbeda agama. "Akibatnya, banyak pasangan beda agama yang terjebak dalam pilihan yang tidak dikehendaki, misalnya hidup bersama tanpa menikah," kata Nikson. Dia melanjutkan, pasal tersebut juga mencerminkan ketidakadilan. Menurut dia, pasangan yang berbeda agama, tetapi memiliki kelebihan dalam hal ekonomi, dapat melaksanakan pernikahan di luar negeri. Namun, bagi yang tingkat ekonominya tidak lebih baik, mereka tidak bisa mendapatkan kesempatan yang sama. PGI juga mengkritik petugas catatan sipil yang sering kali melakukan penafsiran sepihak terhadap Pasal 2 ayat 1 dalam UU Perkawinan. Dalam banyak kasus, lembaga catatan sipil sering kali menolak mencatatkan pernikahan pasangan yang beda agama. "Gereja harus patuh terhadap negara, tetapi disertai sikap korektif apabila melakukan penyimpangan hukum dan HAM," kata Nikson. Mahkamah Konstitusi menggelar sidang kelima perkara pengujian konstitusionalitas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan agenda mendengarkan keterangan pihak terkait, yaitu MUI, PBNU, PGI, dan Walubi. Perkara ini teregistrasi dengan nomor 68/PUU-XII/2014. Pemohon perkara ini adalah empat warga negara Indonesia atas nama Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi. Mereka menguji Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974. Pasal tersebut dinilai mengurangi hak konstitusional dan memaksa setiap warga untuk mematuhi hukum agama dalamperkawinan[8].

 

Menurut Gereja Katolik

Menurut Gereja RK, Hakikat perkawinan Katolik tidak dengan mudah bisa diceraikan oleh manusia. Perkawinan Katolik bersifat “kekal” dan mengikat,  karena dimeteraikan oleh Gereja. Pemeteraian ikatan perkawinan ditandakan dengan penerimaan sakramen perkawinan. Melalui sakramen perkawinan, Gereja Katolik mengukuhkan pasangan di hadapan Tuhan dan umat. “Mereka tidak lagi dua, melainkan satu” dan “Apa yang dipersatukan Alah tidak boleh diceraikan manusia”, mengandung makna bahwa Allah menghendaki hubungan yang sah dalam perkawinan. Namun Menanggapi perkawinan beda agama, pada prinsipnya Gereja Katolik tidak menolak. Dasar penerimaan perbedaan agama dalam Gereja Katolik, ialah karena hak-hak dasariah manusia yang melekat secara kodrati dalam diri setiap manusia. Pertama, masing-masing orang bebas menentukan agamanya. Kedua, Gereja memandang bahwa agama merupakan hak asasi manusia. Ketiga, cinta antar manusia datang tidak dapat diduga.

 

Menurut MUI (Majelis Ulama Indonesia)

Di Indonesia, hukum nikah beda agama dilarang. Hal ini sesuai fatwa pada musyawarah Nasional II pada 1980 oleh Majelis Ulama Indonesia[9] (MUI). Dalam keterangannya, MUI berkeyakinan kalau menikah beda agama adalah haram, baik laki-laki muslim dan wanita nonmuslim atau ahlul kitab, begitu juga sebaliknya. Keyakinan MUI[10] tersebut berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 221.  Artinya “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.

Pandangan Teologis Tentang Beda Agama.

Pernikahan Beda Agama dalam Perjanjian Lama Pada kitab kejadian, kitab yang menyoroti kehidupan bapak leluhur Israel, dapat di temukan beberapa kasus perkawinan beda agama. Berapa bagian dalam kitab tersebut yang memberi informasi berkenaan dengan kasus pernikahan beda agama adalah Kejadian 6: 5-6 berbunyi ”Setelah Set hidup seratus lima tahun, ia memperanakkan Enos. Dan Set masih hidup delapan ratus tujuh tahun, setelah ia memperanakkan Enos, dan ia memperanakkan anak-anak lelaki dan perempuan. dan

Ulangan 7:3-4 berbunyi”  Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki; sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari pada-Ku, sehingga mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka TUHAN akan bangkit terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera.

1.       Pernikahan Beda Agama dalam Perjanjian Baru Dalam kitab suci perjanjian baru juga terdapat dalam 2. Korintus 6:14-15 dan 7:1 juga 1. Korintus 7:12-16 yang menengaskan tentang pernikahan.

2.      Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Kanonik Dalam melengkapi hukum ilahi, sebagaimana termaktub pada kitab suci, Gereja Katoik juga mempunya hukum kanonik yang landasan hukum dan penarikan kesimpulan hukumnya lebih berdasar kepada realitas kehidupan kemasyarakatan.

 

KESIMPULAN

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksakan oleh dua orang dengan maksud meresemikan ikatan perkawinan secara norman agama, norma hukum dan norma sosial. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga yang sejahtra dan bahagia dimana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1947 tentang perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap agama juga menginginkan agar umat nya menikah satu iman dengan pasangannya tapi pada kenyatannya masih banyak yang menikah beda agama itu semua karena kita berada di negara dengan berbagai suku, ras dan agama yang besar di Asia. Kemungkinan untuk menikah beda agama itu sangat besar mungkin terjadi. Di dalam gereja katolik dan Protestan, sering hanya berdasar HAM dan rasa toleransi dengan berapa kententuan atau persaratan yang mendukung mereka bisa menikah dengan keyakinan berbeda. 

 

 

II.                Daftar Pustaka.

Agustina. Perkawinan Antar Agama dan Akibat Hukumnya, Kajian Putusan MARI No. 1400 K/Pdt/1986. Medan: Pascaarjana USU, 2005.

Calvina, dan Elvi Andriani Yusuf. “Konflik Pemilihan Agama Pada Remaja Dari Perkawinan Beda Agama” 2, no. 1 (Desember 2012).

Daradjat, Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 2009.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV. Diponegoro, 2005.

Djalil, Basiq. Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI. Jakarta: Qalbun Salim, 2005.

Ghozali, Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2012.

Surbakti, Minarti. Pemilihan Agama Pada Anak Dari Perkawinan Beda Agama. Sumatera Utara: USU Respository, 2009.

Tihami, dan Soehari Sahrani. Fiqh Munakahat Kajian Fiqh Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pers, 2019.

Yanggo, Chuzaimah T., dan Hafiz Anshary. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.

Sumber internet:  http://panmohamadfaiz.com/2007/02/17/perbandingan-hukum-1/, diunduh tgl  23 maret 2022.

 

 



[1] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2003), Cet. Ke-2, h. 1.

[2] Soemiyati.Hukum Perkawinan dalam Islam dan UU Perkawinan.Yogyakarta : Liberty. Halaman 8

[3] Minarti Surbakti, Pemilihan Agama Pada Anak Dari Perkawinan Beda Agama (Sumatera Utara: USU Respository, 2009), 52–53

[4] Buku Perkawinan Beda Agama (Suatu Tinjauan Sosiologi) Pendidikan Deepublish.

[5] Soemiyati.Hukum Perkawinan dalam Islam dan UU Perkawinan.Yogyakarta : Liberty. Halaman 8

[6] Surbakti, Pemilihan Agama Pada Anak Dari Perkawinan Beda Agama, 64–65.

[7] Undang Undang Perkawinan, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019.

[8] Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "PGI: Larangan Nikah Beda Agama Abaikan Hak Asasi Manusia", Klik untuk baca: Penulis : Abba Gabrillin

[9] Media Dakwah, Desember 1996, h. 31

[10] http://panmohamadfaiz.com/2007/02/17/perbandingan-hukum-1/, diunduh tgl 23 Maret 2022.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url