Pernikahan Beda Agama Menurut Etika Kristen
“PERNIKAHAN BEDA AGAMA”
Ewen Josua Silitonga
I.
Pendahuluan.
Seseorang yang telah lahir ke dunia
akan mengalami pertumbuhan perkembangan, mulai dari pertumbuhan anak-anak. Lalu
bertumbuh sampe remaja dan langsung bertumbuh sampai kita tumbuh dewasa[1].
Biasanya setelah kita dewasa kita akan menentukan arah hidup kita, apakah kita
akan langsung melanjutkan kerja atau kita akan melanjutkan ke jenjang
pernikahan yang lebih serius[2].
Kalangan orang tua yang sering kali banyak menginginkan anaknya cepat menikah.
Padahal apabila kita menikah, kita harus memantapkan pasangan yang memang sudah
serius kita punya. Namun, banyak kalangan wanita bahkan pria yang terkadang
tidak ingin cepat-cepat menikah atau mereka lebih menginginkan menjenjang
karirnya terlebih dahulu[3].
PEMBAHASAN MASALAH.
Nikah Beda Agama.
Di
Alkitab, kisah Raja Salomo merupakan kisah nyata pernikahan beda agama yang
berdampak pada rusaknya hubungan personal dengan Tuhan. Raja Salomo yang
merupakan anak dari Raja Daud adalah raja yang paling berhikmat dan kaya raya.
Hikmat tersebut ia dapatkan lewat kecintaannya pada Tuhan (1 Raja-Raja 3:1-15).
Bahkan disebutkan bahwa sebelum dan sesudahnya, tidak akan ada yang menandingi
hikmat dan kekayaannya. Di masa mudanya, kita dapat membaca bagaimana Salomo
begitu mencintai Tuhan sehingga rela memberikan banyak korban bakaran yang
menyenangkan hati Tuhan. Namun demikian, masa tua Salomo tidaklah berakhir bahagia,
karena ia terpengaruh oleh ajaran-ajaran allah asing dari istri-istrinya dan
hidupnya berakhir dengan menyakiti hati Tuhan. Apakah tidak boleh menikah
dengan pasangan beda agama? Bagaimana jika sudah terlanjur cinta? Bagaimana
dengan hubungan pacaran beda agama menurut Kristen? Hal tersebut mungkin sering
ditanyakan oleh orang-orang Kristen yang memiliki pasangan beda agama serta
sudah berniat melangsungkan pernikahan. Jawabannya kembali pada salah satu
dari tujuan hidup orang Kristen, yaitu menyenangkan hati
Tuhan. Pernikahan bukan hanya bertujuan untuk kesenangan pribadi ataupun hanya
untuk memiliki keturunan, namun juga untuk menggenapi rencana Tuhan untuk
keluarga tersebut. Bagaimana rencana tersebut dapat tercapai jika tidak ada
kesatuan visi, misi, dan pandangan atas agama.[4] Agama
tidak hanya sekedar sebuah status, namun juga memuat nilai dan norma kehidupan
yang menuntun jalan hidup manusia. Selain itu, sebelum menikah, perlu untuk
mengetahui dan memahami lebih dulu prinsip dasar pernikahan Kristen sebagai fondasi dari
pernikahan. Mari renungkan, apakah prinsip-prinsip tersebut dapat dilakukan
dengan pasangan yang berbeda agama nantinya.
Arti Pernikahan Kristen
Pernikahan
adalah persekutuan yang ekslusif seumur hidup antara seorang pria dan seorang
wanita. Pernikahan adalah satu komitmen antara seorang laki-laki dan perempuan
yang melibatkan hak-hak seksual secara timbal balik[5].
Jadi, Pernikahan adalah satu lembaga yang ditetapkan Tuhan bagi semua orang,
bukan hanya orang Kristen saja, tetapi untuk semua orang. Jika kita memandang pernikahan
sebagai budaya manusia belaka, maka kita bebas menentukan aturan mainnya.
Minimal, sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tempat kita
tinggal. Tidak heran, di berbagai budaya terdapat aturan yang berbeda-beda
mengenai pernikahan[6].
Namun sebagai orang Kristen, kita harus menempatkan Alkitab sebagai otoritas
tertinggi dalam semua bidang kehidupan. Termasuk juga dalam pernikahan. Jadi,
pandangan kita tentang pernikahan harus didasarkan atas Alkitab. Bukan budaya
sekitar, apalagi pikiran sendiri. Alkitab menyatakan bahwa pernikahan merupakan
institusi yang ditetapkan oleh Allah. Jadi, pernikahan bukan lahir dari
kebudayaan manusia. Pada waktu Penciptaan, Allahlah yang memberikan seorang
wanita kepada Adam. Allah kemudian memerintahkan: Sebab itu seorang laki-laki
akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga
keduanya menjadi satu daging (Kej. 2:24) Jika Allah yang menetapkan institusi
pernikahan, maka pernikahan bersifat sakral. Pernikahan harus dijalankan
berdasarkan aturan Allah, bukan pemikiran manusia. Pernikahan harus disahkan
oleh pendeta, di hadapan Allah dan jemaat-Nya.
Hukum Nikah Beda Agama Menurut Protestan.
Bagaimana pendapat dan
peraturan gereja Kristen menyangkut pernikahan beda agama? Sidang Majelis
Pekerja Lengkap Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPL PGI) tahun 1989
menyatakan bahwa hukum nikah beda agama menurut Kristen Protestan institusi
yang berhak mengesahkan suatu pernikahan adalah negara melaui kantor catatan sipil.
Hal ini berarti bahwa gereja wajib meneguhkan dan memberkati suatu pernikahan
yang sudah terlebih dulu sah secara hukum. Namun demikian dalam prakteknya,
pemberkatan nikah di gereja dilakukan lebih dulu daripada catatan sipil.
Beberapa gereja di Indonesia juga memiliki pandangan dan sikap yang
berbeda-beda untuk pernikahan beda agama, antara lain:
1.
Pro
Gereja yang pro terhadap pernikahan beda agama
menganjurkan pasangan untuk menikah secara sipil terlebih dulu dengan tetap
menganut agama masing-masing. Setelah sah secara hukum, dilakukanlah
penggembalaan khusus untuk pasangan tersebut dan diakhiri dengan pemberkatan
pernikahan oleh gereja.
2.
Kontra Ringan
Gereja akan memberikan berkat dan mengizinkan
pernikahan dilangsungkan di gereja dengan syarat pasangan yang bukan Kristen
bersedia mengikuti semua tata cara untuk masuk ke agama Kristen. Ada juga
gereja Kristen yang tidak memaksakan harus pindah agama namun untuk izin
berlangsungnya pernikahan di gereja, pasangan tersebut harus mendapat
persetujuan dari pemuka agama asal.
3.
Kontra Berat
Gereja yang tidak setuju dengan pernikahan beda
agama sama sekali tidak mau hukum nikah beda agama menurut Kristen Protestan.
Ada juga gereja yang mengeluarkan orang Kristen yang menikah dengan pasangan beda
agama dari anggota jemaat gereja.
Apa kata Alkitab Tentang Pernikahan Beda Agama?
Beberapa panduan yang
tersirat dari ayat di atas adalah: pernikahan harus dilakukan oleh dua orang
yang berbeda gender dan sudah dewasa. Lalu, bagaimana dengan pernikahan beda
agama? Dalam surat 2 Korintus:14. Paulus menasihati jemaaat Korintus, Janganlah
kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak
percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau
bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? (2. Kor. 6:14) Memang
secara konteks, ayat tersebut tidak mengarah pada pernikahan. Melainkan,
penerapan dari perintah Tuhan untuk menjauhkan diri dari kecemaran (2. Kor.
7:1; 6:17). Melalui ayat ini, Paulus meminta jemaat Korintus untuk
menegaskan identitas mereka sebagai umat Tuhan. Dengan begitu, mereka tidak
selayaknya “bersekutu” (sepaham dan setujuan) dengan orang-orang yang tidak
percaya.
Walaupun demikian, ayat ini juga bisa
menjadi dasar bahwa pernikahan beda agama tidak diinginkan Tuhan. Jika
“bersekutu” dengan orang-orang yang tidak percaya saja tidak diperkenan Tuhan,
apalagi ikatan pernikahan, bukan? Selain itu kita harus ingat bahwa tubuh kita
adalah bait Roh Kudus. Jadi, kita harus menjaga kekudusannya. Selain tidak
melakukan hubungan di luar nikah, hubungan di dalam nikah pun harus dilakukan
dengan pasangan yang sama-sama bait Roh Kudus.
Tantangan Dalam
Pernikahan Beda Agama
Selain tantangan dari
sudut pandang Alkitab, pernikahan beda agama juga memiliki tantangan secara
praktis. Pernikahan adalah penyatuan dua orang yang berbeda pemikiran, latar
belakang, dan kepribadian. Ini saja sudah terlihat sebagai sumber konflik.
Apalagi jika pasangan memiliki iman yang berbeda. Pernikahan pasti akan
menghadapi potensi konflik yang lebih tajam. Pasangan yang berbeda agama
memiliki standar yang berbeda dalam mengarahkan biduk rumah tangga, mendidik
anak, mengelola keuangan, mengelola konflik, dan sebagainya. Sangat sulit untuk
diselaraskan (kecuali ada kompromi). Tepat seperti Paulus bilang, “terang tidak
mungkin bersatu dengan gelap.” Lalu, mengapa ada pasangan yang terlihat
baik-baik saja walaupun mereka berbeda agama? Ada beberapa kemungkinan yang
bisa terjadi. Bisa saja, mereka terlihat baik-baik saja saat ini,
belum tentu di masa depan. Atau, mereka terlihat baik-baik saja di muka umum,
tetapi ada salah satu pihak yang selalu mengalah.
Namun dari semua
kemungkinan itu, ada satu kemungkinan yang lebih fatal lagi. Yaitu, pasangan
yang berbeda agama tidak sungguh-sungguh taat pada Tuhan. Dalam batas tertentu,
mereka mengkompromikan iman demi mencapai kesepahaman dengan pasangan.
Misalnya, apakah mungkin orang yang sungguh-sungguh taat pada Tuhan membiarkan
anak mereka menerima pengajaran di luar Kristus? Atau, mungkinkah rumah tangga
tersebut akan maksimal bagi Tuhan jika pasangan memiliki standar moral dan
kebenaran yang berbeda? Apalagi, jika pasangan yang Kristen mendapat panggilan
pelayanan secara khusus dari Tuhan. Semakin taat pada Tuhan, dia akan semakin
mendapat tantangan dari pasangannya yang belum percaya. Ingat, kita sebagai
anak Tuhan memiliki standar moral dan kebenaran yang sangat tinggi. Kristus
sendiri yang menjadi acuan. Pun di dalam pernikahan, Kristus sendiri yang
menjadi pemimpin dan role model. Kasih Kristus serta kasih di
antara ketiga pribadi Tritunggal juga harus menjadi perekat pernikahan.
Bagaimana mungkin kasih seperti ini dapat terwujud jika dilakukan oleh orang
yang tidak percaya pada Kristus? Tuhan Yesus berkata: “Di luar Aku, kamu tidak
dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:5). Kasih Kristus menjadikan pernikahan
indah (Photo by Gus
Moretta on Unsplash). Melihat banyaknya
tantangan yang akan dihadapi, maka orang Kristen sudah selayaknya menghindari
pernikahan beda agama. Terlebih lagi, hal itu tidak dikehendaki oleh Tuhan.
Jalanilah pernikahan sesuai dengan kehendak Tuhan dan dengan cara yang berkenan
pada Tuhan. Yakinlah, berkat Tuhan yang dirasakan akan lebih besar dibanding
apa yang didapat dari pernikahan menurut dunia.
UU
Nikah Beda Agama di Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 Tahun
1974, Bab 1 tentang Dasar Perkawinan ialah[7]:
Pasal 1: “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 2:
“(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pada prinsipnya UU RI tidak
mengatur tentang perkawinan beda agama, melainkan berbicara tentang dasar
perkawinan yang harus dicapai oleh rakyat Indonesia yang adalah rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa
suatu perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya itu. Hal ini berarti bahwa, jika suatu perkawinan telah memenuhi
syarat dan ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) dan pendeta telah
melaksanakan pemberkatan (bagi umat Kristen), maka perkawinan tersebut adalah
sah terutama dipandang dari segi agama dan kepercayaannya.
Menurut PGI
Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) mendukung revisi
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu anggota Komisi
Hukum PGI, Nikson Lalu, mengatakan, PGI menilai undang-undang tersebut bersifat
diskriminatif dan mengabaikan semangat multikulturalisme di Indonesia. "Ke
depan, perlu dibuat suatu regulasi yang lebih realistis terhadap realitas
kebinekaan kita yang mengatur dan memfasilitasi perkawinan pasangan beda
agama," ujar Nikson, saat memberikan keterangan dalam persidangan uji
materi UU Perkawinan, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (5/11/2014).
Menurut Nikson, Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang menyatakan "perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu" telah mengabaikan realitas multikulturalisme dan
perbedaan golongan ataupun agama di Indonesia. Dalam perspektif hak asasi
manusia (HAM), Nikson menyebutkan, ketentuan tersebut mengabaikan hak warga
negara untuk menikah dengan pasangan yang berbeda agama. "Akibatnya,
banyak pasangan beda agama yang terjebak dalam pilihan yang tidak dikehendaki,
misalnya hidup bersama tanpa menikah," kata Nikson. Dia melanjutkan, pasal
tersebut juga mencerminkan ketidakadilan. Menurut dia, pasangan yang berbeda
agama, tetapi memiliki kelebihan dalam hal ekonomi, dapat melaksanakan
pernikahan di luar negeri. Namun, bagi yang tingkat ekonominya tidak lebih
baik, mereka tidak bisa mendapatkan kesempatan yang sama. PGI juga mengkritik
petugas catatan sipil yang sering kali melakukan penafsiran sepihak terhadap
Pasal 2 ayat 1 dalam UU Perkawinan. Dalam banyak kasus, lembaga catatan sipil
sering kali menolak mencatatkan pernikahan pasangan yang beda agama.
"Gereja harus patuh terhadap negara, tetapi disertai sikap korektif
apabila melakukan penyimpangan hukum dan HAM," kata Nikson. Mahkamah
Konstitusi menggelar sidang kelima perkara pengujian konstitusionalitas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan agenda mendengarkan
keterangan pihak terkait, yaitu MUI, PBNU, PGI, dan Walubi. Perkara ini
teregistrasi dengan nomor 68/PUU-XII/2014. Pemohon perkara ini adalah empat
warga negara Indonesia atas nama Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda,
Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi. Mereka menguji Pasal 2 ayat 1 UU
Nomor 1 Tahun 1974. Pasal tersebut dinilai mengurangi hak konstitusional dan
memaksa setiap warga untuk mematuhi hukum agama dalamperkawinan[8].
Menurut Gereja Katolik
Menurut
Gereja RK, Hakikat perkawinan Katolik tidak dengan mudah bisa diceraikan oleh manusia.
Perkawinan Katolik bersifat “kekal” dan mengikat, karena dimeteraikan
oleh Gereja. Pemeteraian ikatan perkawinan ditandakan dengan penerimaan
sakramen perkawinan. Melalui sakramen perkawinan, Gereja Katolik mengukuhkan
pasangan di hadapan Tuhan dan umat. “Mereka tidak lagi dua, melainkan satu” dan
“Apa yang dipersatukan Alah tidak boleh diceraikan manusia”, mengandung makna
bahwa Allah menghendaki hubungan yang sah dalam perkawinan. Namun Menanggapi
perkawinan beda agama, pada prinsipnya Gereja Katolik tidak menolak. Dasar
penerimaan perbedaan agama dalam Gereja Katolik, ialah karena hak-hak dasariah
manusia yang melekat secara kodrati dalam diri setiap manusia. Pertama,
masing-masing orang bebas menentukan agamanya. Kedua, Gereja memandang bahwa agama
merupakan hak asasi manusia. Ketiga, cinta antar manusia datang tidak dapat
diduga.
Menurut
MUI
(Majelis Ulama Indonesia)
Di
Indonesia, hukum nikah beda agama dilarang. Hal ini sesuai fatwa pada
musyawarah Nasional II pada 1980 oleh Majelis Ulama Indonesia[9]
(MUI). Dalam keterangannya, MUI berkeyakinan kalau menikah beda agama adalah
haram, baik laki-laki muslim dan wanita nonmuslim atau ahlul kitab, begitu juga
sebaliknya. Keyakinan MUI[10]
tersebut berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 221.
Artinya “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka
beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada
perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan
orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka
beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada
laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Pandangan
Teologis Tentang Beda Agama.
Pernikahan
Beda Agama dalam Perjanjian Lama Pada kitab kejadian, kitab yang menyoroti
kehidupan bapak leluhur Israel, dapat di temukan beberapa kasus perkawinan beda
agama. Berapa bagian dalam kitab tersebut yang memberi informasi berkenaan
dengan kasus pernikahan beda agama adalah Kejadian
6: 5-6 berbunyi ”Setelah Set hidup seratus lima tahun, ia memperanakkan
Enos. Dan Set masih hidup delapan ratus tujuh tahun, setelah ia memperanakkan
Enos, dan ia memperanakkan anak-anak lelaki dan perempuan. dan
Ulangan 7:3-4 berbunyi” Janganlah juga engkau
kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak
laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu
laki-laki; sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari pada-Ku,
sehingga mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka TUHAN akan bangkit
terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera.
1. Pernikahan Beda Agama dalam Perjanjian Baru
Dalam kitab suci perjanjian baru juga terdapat dalam 2. Korintus 6:14-15 dan 7:1 juga 1.
Korintus 7:12-16 yang menengaskan tentang pernikahan.
2. Pernikahan
Beda Agama Menurut Hukum Kanonik Dalam melengkapi hukum ilahi, sebagaimana
termaktub pada kitab suci, Gereja Katoik juga mempunya hukum kanonik yang
landasan hukum dan penarikan kesimpulan hukumnya lebih berdasar kepada realitas
kehidupan kemasyarakatan.
KESIMPULAN
Pernikahan adalah upacara pengikatan
janji nikah yang dirayakan atau dilaksakan oleh dua orang dengan maksud
meresemikan ikatan perkawinan secara norman agama, norma hukum dan norma
sosial. Pernikahan merupakan suatu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga
dan keluarga yang sejahtra dan bahagia dimana kedua suami istri memikul amanah
dan tanggung jawab. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1947 tentang perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap agama juga menginginkan agar umat
nya menikah satu iman dengan pasangannya tapi pada kenyatannya masih banyak
yang menikah beda agama itu semua karena kita berada di negara dengan berbagai
suku, ras dan agama yang besar di Asia. Kemungkinan untuk menikah beda agama
itu sangat besar mungkin terjadi. Di dalam gereja katolik dan Protestan, sering
hanya berdasar HAM dan rasa toleransi dengan berapa kententuan atau persaratan
yang mendukung mereka bisa menikah dengan keyakinan berbeda.
II.
Daftar
Pustaka.
Agustina.
Perkawinan Antar Agama dan Akibat Hukumnya, Kajian Putusan MARI No. 1400
K/Pdt/1986. Medan: Pascaarjana USU, 2005.
Calvina,
dan Elvi Andriani Yusuf. “Konflik Pemilihan Agama Pada Remaja Dari Perkawinan
Beda Agama” 2, no. 1 (Desember 2012).
Daradjat,
Zakiah. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang, 2009.
Departemen
Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV. Diponegoro,
2005.
Djalil,
Basiq. Penikahan Lintas Agama dalam perspektif Fiqh dan KHI. Jakarta: Qalbun
Salim, 2005.
Ghozali,
Abdul Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2012.
Surbakti,
Minarti. Pemilihan Agama Pada Anak Dari Perkawinan Beda Agama. Sumatera Utara:
USU Respository, 2009.
Tihami,
dan Soehari Sahrani. Fiqh Munakahat Kajian Fiqh Nikah Lengkap. Jakarta:
Rajawali Pers, 2019.
Yanggo,
Chuzaimah T., dan Hafiz Anshary. Problematika Hukum Islam Kontemporer. Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2002.
Sumber
internet:
http://panmohamadfaiz.com/2007/02/17/perbandingan-hukum-1/, diunduh
tgl 23 maret 2022.
[1]
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,Hukum Adat,
Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2003), Cet. Ke-2, h. 1.
[2]
Soemiyati.Hukum Perkawinan dalam Islam dan UU Perkawinan.Yogyakarta : Liberty.
Halaman 8
[3]
Minarti Surbakti, Pemilihan Agama Pada Anak Dari Perkawinan Beda Agama
(Sumatera Utara: USU Respository, 2009), 52–53
[4] Buku Perkawinan Beda
Agama (Suatu Tinjauan Sosiologi) Pendidikan Deepublish.
[5]
Soemiyati.Hukum Perkawinan dalam Islam dan UU Perkawinan.Yogyakarta : Liberty.
Halaman 8
[6]
Surbakti, Pemilihan Agama Pada Anak Dari Perkawinan Beda Agama, 64–65.
[7]
Undang Undang Perkawinan, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3019.
[8] Artikel ini
telah tayang di Kompas.com dengan judul "PGI: Larangan
Nikah Beda Agama Abaikan Hak Asasi Manusia", Klik untuk baca: Penulis
: Abba Gabrillin
[9] Media Dakwah, Desember 1996, h. 31
[10]
http://panmohamadfaiz.com/2007/02/17/perbandingan-hukum-1/, diunduh tgl 23
Maret 2022.