Suara Hati Menurut Etika Kristen

SUARA HATI

“SUATU TINJAUAN ETIKA KRISTEN”

Ewen Josua Silitonga

 

I.                   PENDAHULUAN

Apakah yang dimaksud dengan suara hati? Apakah yang ditunjukkan oleh suara hati itu selalu benar? Suara hati adalah keputusan praktis akal budi yang membantu seseorang dalam menjalankan atau membatalkan suatu tindakan. Sebab dimensi rasionalnya, suara hati mesti tekun mencari tentang kebenaran. Ideal tertinggi dari setiap manusia adalah setia pada suara hati yang benar karena hal tersebut sama dengan setia kepada Allah. Setiap orang memiliki suara hati dan pastinya pengalaman mengenai suara hati dimana manusia bertarung dalam hati ketika hendak mengambil keputusan. Hal ini sangat sering terjadi pada umat manusia. Manusia dalam sikap dan tindakannya dituntut untuk menyelaraskan suara hatinya dengan Tuhan.

Semua orang dilahirkan dengan kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang jahat. Kemampuan ini, yang disebut suara hati, adalah perwujudan dari Terang Kristus.Suara hati   merupakan suatu pertahanan untuk menolong menjauhkan diri dari situasi yang secara rohani berbahaya. Jika  mematuhi perintah-perintah dan membuat keputusan-keputusan yang benar, maka akan ada perasaan kedamaian suara hati.[1]

Pada film Of Gods and Men, diketahui bahwa para biarawan telah tinggal di Tibhirine, Aljazair cukup lama, mereka hidup damai, dan mau melayani rakyat disana. Mereka sangat membantu masyarakat disana, terlihat dari banyaknya masyarakat yang berobat ke klinik yang dikelola oleh salah satu biarawan, dan para biarawan cukup dekat dengan masyarakat di Aljazair. Hingga suatu hari, datanglah sekelompok bersenjata ke daerah tersebut dan mulai mengancam para warga dan bahkan para biarawan. Sejak saat itu, para biarawan merasakan gejolak batin. Apakah mereka akan tinggal di sini, sementara keadaan semakin memburuk ataukah akan kembali ke Perancis? Dalam gejolak tersebut, para biarawan yang dipimpin oleh Christian terus berdoa dan beribadah hingga keputusan mereka bulat untuk tetap tinggal di Aljazair sebab kembali ke Perancis adalah sia-sia dan terlihat jelas bahwa para rahib mengikuti kata suara hati mereka untuk bertahan, dan tidak pulang kembali ke Perancis atas kasus terorisme oleh kelompok bersenjata yang telah masuk ke daerah pelayanan mereka. Mereka tahu bahwa meskipun tempat tersebut telah dimasuki oleh sekelompok bersenjata yang hendak meneror warga dan mereka sendiri, namun suara hati mereka tetap percaya untuk tinggal dan terus berkarya di tempat tersebut. Akhirnya para biarawan tersebut diculik oleh kelompok bersenjata, dan meninggal. Demikianlah pada kesempatanm inikita akan melihat dan mempelajari tentang topik suara hati dalam kaitannya dengan Etika Kristen

II. . Pembahasan

2.1. Pengertian  Suara Hati

            Penggunakan kata hati nurani untuk menunjuk pada kenyataan/fakta. Karena itu Hati nurani berarti “hati yang telah mendapat cahaya Tuhan atau perasaan hati yang murni dan sedalam-dalamnya”. Maka hati mempunyai arti “sesuatu yang ada di dalam tubuh manusia yang dianggap sebagai tempat segala perasaan batin dan tempat menyimpan pengertian-pengertian”[2] . Di sini term bahasa Indonesia lebih menonjolkan hati sebagai perasaan dan bukan pengetahuan sekalipun hati juga ada aspek pengetahuan. Hati tidak saja berarti “pengetahuan” tetapi “keseluruhan pribadi manusia”.[3]

2.1.1. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama,

Kata “hati nurani” atau Suara Hati  hanya terdapat dalam Kej 17:10. Namun kenyataan hati nurani bukan tidak dikenal oleh penulis Perjanjian Lama. Ungkapan untuk kenyataan itu adalah “hati dan ginjal”. Kedua kata itu sering berkaitan satu sama lain (Mzm 7:10; 26:2; Yer 11:20; 17:10; 20:12). Fenomen hati nurani dikenal sejak awal sejarah keselamatan. Hati nurani menghakimi manusia setelah ia sadar akan dosanya; hal itu terjadi dengan Adam dan Hawa, setelah mereka makan dari buah pohon terlarang (Kej 3:7-10); demikian juga Kain setelah membunuh saudaranya (Kej 1:9-14); hati Daud remuk redam karena  melawan kehendak Allah, ketika ia menyuruh mendaftarkan rakyatnya (2Sam 24:10). Demikian juga hati nurani dapat memuji manusia karena keadilan: “Hatiku tidak mencelah sehari pun daripada umurku” (Ayb 27:6;  juga Mzm 17:13; 26:2-3; 139:23-24). Penilaian hati nurani dalam Perjanjian Lama adalah suara Allah.

Secara keseluruhan minat terhadap hati nurani dalam Perjanjian Lama sangat terbatas. Alasan utama untuk itu adalah keyakinan bahwa manusia dan Allah saling berhadapan secara langsung. “Pengalaman langsung akan Allah membuat manusia   tidak terlalu berminat terhadap instansi di dalam dirinya. Allah sendiri yang mengajarkan dan mengatakan kepada manusia apa yang harus atau tidak boleh dilakukan. Karena itu hal utama dalam Perjanjian Lama adalah kesediaan untuk biasa mendengarkan sabda Allah. Hati nurani dilihat dalam kaitannya dengan Yahweh “Dialah yang menganugerahkan pengetahuan kepada hati nurani dan mendatangkan hati yang bersih dan peka ( hati nurani yang baik). Hati nurani tidak lebih dari kenyataan yang terbatas, relatif dan terikat serta dibatasi Allah.  

Dalam kitab perjanjian lama dengan jelas menyatakan pentingnya suara hati dengan menyatakan bahwa Allah mencari dan mengutamakan hati manusia. Selain hal tersebut, perjanjian lama juga menekankan kesatuan antara suara hati dengan apa yang disebut hati pada kitab Amsal 3:3. Dengan demikian, kita dengan dasar yang kuat dapat yakin bahwa suara hati nurani kita merupakan suara Tuhan karena FirmanNya yang tertulis pada setiap hati kita sesuai janjiNya. Dalam kitab perjanjian lama untuk kata suara hati yakni dari kata "leb" yang memiliki arti hati dalam perjanjian lama istilah hati memiliki arti yang lebih luas daripada istilah suara hati walaupun terkadang tepat sama artinya dengan apa yang diartikan dengan istilah “suneidesis” di dalam kitab perjanjian baru[4].

 

 

2.2.2.  Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru

Dalam kitab perjanjian baru untuk suara hati dapat dilihat dalam Roma 2 ayat 15 tentang istilah sunaidesis kalau kita artikan dalam bahasa latin adalah consscientia  yang mempunyai arti  “setahu”, dengan diketahui oleh dengan diketahui  oleh Allah kah atau oleh iblis kah atau juga oleh diri kita sendiri kah[5]. Kalau kita melihat dalam kisah para rasul 24 ayat 16 Paulus sendiri menyatakan sebab itu Aku senantiasa berusaha hidup dengan hati nurani yang murni tidak di hadapan Allah dan manusia dari perikop ini ingin menyampaikan bagaimana prinsip hidup dan pewartaannya atau juga kesadaran moralnya menurut Paulus kesadaran moralnya adalah Allah yang melalui Kristus memerdekakan dia untuk hidup dan berbuat sesuai hati nuraninya menurut Paulus hati nurani yang murni adalah karunia roh atau Rahmat.

Demikian juga para penginjil menggunakan istilah hati nurani atau suara hati , walaupun Kristus memberi peringatan serius akan kegelapan “mata” batin manusia, manakala Ia mengatakan “Jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu” (Mat 6;23). Di lain pihak Ia menegaskan: “jika seluruh tubuhmu terang dan tidak ada bagian yang gelap, maka seluruhnya akan terang, sama seperti apabila pelita menerangi engkau dengan cahaya” (Luk 11:36). Di sini dapat dikatakan jika seseorang mengambil suatu keputusan jahat maka ia menyesatkan dan mencelakakan dirinya sendiri. Sebaliknya, jika ia memilih melakukan atau mengambil keputusan yang baik dan benar maka ia akan mendapat suatu makna hidup yang membahagiakan dan menyelamatkan.

 B. Haring pernah mengatakan, iman dan hati nurani yang baik tidak bisa dipisahkan satu sama lain (faith and good conscience are inseparable).[6] Oleh karena itu, segala sesuatu yang tidak didasarkan atas iman adalah dosa (Rm. 14-23). Agak sulit bagi kita memberikan arti khusus atas iman dalam kanteks ini. Dalam memberikan penilaian moral, seorang Kristen tidak dapat membuat perbedaan antara penilaian atas tatanan kodrati dan adikodrati. Bagi dia hanya ada penilaian hati nurani, dan hati nurani dikendalikan oleh imannya.

Dalam konteks iman Kristen terdapat konsep bahwa Tuhan berdiam di dalam diri kita pada nas 1 Korintus 3 ayat 16 yang berbunyi, “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?”. Pertanyaan berikutnya yang harus menjadi perenungan sebagai orang beriman adalah di mana Allah tinggal dan menyuarakan kehendakNya?

Untuk menentukan apakah hati nurani kita masih berfungsi dengan baik sangat mudah, tetapi banyak orang yang tidak menyadari jika hati nuraninya sudah rusak. Seseorang terikat untuk menaati hati nurani dalam semua perbuatannya karena suatu standar iman yang juga tertuang pada kitab suci yang mereka miliki.  Akan tetapi, sangat mungkin bagi manusia untuk berbuat salah secara teliti; dengan kata lain, hati nuraninya yang tidak diterangi bisa menyesatkan. Maka, untuk melihat apakah hati nurani kita masih berfungsi dengan baik atau tidak, dapat dilihat dari sikap hati dan tindakan kita yang menyesatkan atau tidak termasuk dalam konteks kehidupan yang paling kecil seperti pikiran, prasangka, dan keadaan batiniah yang kita miliki. Puji Tuhan, jika kita masih memiliki suara hati yang berfungsi dengan baik karena bisa berfungsi sebagai kompas moral untuk memiliki akhlah dan tindakan yang mulia bagi sesama. Oleh karenanya, kita harus dengan hati-hati menjaga agar hati nurani itu dipandu oleh prinsip-prinsip yang benar, yang bersifat mengajar, dan tidak mengandung prasangka atau dibengkokkan oleh cara berpikir yang menyesatkan, atau oleh motivasi-motivasi yang tidak murni. Komunikasi dengan Tuhan melalui ibadah dan doa dan menghidupi ajaran Tuhan melalui perbuatan-perbuatan baik akan melatih dan menjamin perkembangan hati nurani kita yang sehat.

 

2.2. Arti Dan Fakta Adanya Suara Hati.

Suara hati adalah suara yang berasal dari kedalaman hati atau pusat kedirian seseorang dan yang kemudian memberikan penegasan benar atau salahnya suatu tindakan atau baik buruknya suatu kelakuan berdasarkan suatu prinsip atau norma moral.Suara itu sering dikaitkan dengan suara yang berasal dari luar diri manusia dan sekaligus mengatasi kewenangan manusia untuk menolak atau bahkan mengabaikannya. Dan dalam kaitan ini suara hati seringkali disebut suara Tuhan sendiri.

Seperti pernah dinyatakan oleh John Henry Nomen 1801 sampai 1890, karena sifat kemutlakan penegasan atau tuntunannya suara hati merupakan suatu gejala manusiawi yang mengatasi keterbatasan manusia dan menunjuk pada realitas yang mengatasi manusia yakni Allah sendiri sebagai yang mutlak.Oleh karena itu dalam gejala suara hati seringkali ditemukan unsur dari dalam diri seseorang yang amat pribadi dan unsur luar yang mengatasi kewenangan manusia untuk menolak atau bahkan mengabaikannya.[7]

Fakta adanya suara hati menjadi nyata dalam gejala munculnya kesadaran akan kewajiban moral yang secara mutlak dan tidak dapat ditawar-tawar dalam hal ini istilah Immanuel kant "kategorish" dalam diri seseorang berhadapan dengan situasi konkret tertentu yang menuntut pengambilan sikapnya sebagai manusia.[8] Di dalam suara hati itu lebih lanjut Immanuel kant melihat suatu mahkamah ilahi, yang formil tidak dapat bersalah atau infallible dan manusia terikat sama sekali kepada keputusannya. Ucapan ini dapat kita dengar kembali dengan berbagai cara dan di dalam bentuk yang populer misalnya bahwa "suara hati itu suara Allah".[9]

 Seorang penulis buku Etika yakni K Berten mengatakan bahwa  hati nurani itu selalu memiliki arti yang sama dengan sunaydesis sehingga hati nurani adalah instansi dalam diri kita yang menilai tentang moralitas perbuatan-perbuatan kita secara langsung kini dan disini sehingga suara hati dapat kita artikan menurut  yang baik atau buruk berhubungan dengan tingkah laku konkret kita suara hati ini memerintahkan dan melarang kita untuk melakukan sesuatu kini dan disini suara hati tidak berbicara tentang yang umum melainkan tentang situasi yang sangat konkret[10].

Johm Henry Newman mengartikan “hati nurani” sebagai hati yang menyerukan suara Tuhan sendiri. Karena sifat kemutlakan penegasan atau tuntutannya, suara hati merupakan suatu gejala manusiawi yang mengatasi keterbatasan manusia dan menunjukkan pada realitas yang mengatasi manusia, yakni Allah sendiri sebagai Yang Mutlak.[11]

Martin Heidegger melihat hati nurani sebagai “panggilan untuk prihatin” yang menjamin agar eksistensi seseorang jangan menjadi operasional melainkan tetap terbuka bagi “suara kebenaran”. Karl Jaspers melihat hati nurani sebagai suara yang berbicara kepada manusia, suara yang adalah “diri manusia sendiri”. Sigmund Freud melihat dan memberikan pandangan tentang hati nurani sebagai komplek tuntutan dan kebebasaan yang lahir dari binaan dan pembentukan orang tua dan masyarakat. Namun kebiasaan dan aturan itu bertentangan dengan kodrat sejati manusia dan kecendrungan terhadap sesuatu yang berakar di dunia bawah sadar.[12]

2.3. Gejala Suara Hati

Mengingat suara hati ialah terdapat di dalamnya unsur besarkan yang terdapat dalam batin tiap-tiap manusia untuk menimbang nimbang tingkah lakunya. Suara hati menuduh kita, Ia menyampaikan pendapatnya apabila salah perbuatan kita. Lepas dari kehendak kita diluar kita bahkan apabila kita berdaya upaya untuk mematikan suara itu maka yang terjadi adalah  suara itu semakin kuat di dalam hati kita. Tidak hanya berbisik-bisik saja tapi terkadang ia dapat bersuara dengan keras memanggil dan berteriak di dalam hati kita.[13]

Di dalam Alkitab reaksi-reaksi suara hati dapat kita jumpai dengan terang pada tokoh seperti kain Saul Yudas iskariot dan lainnya bagaimana mereka semua hanya mendengar suara hati mereka dan tidak mau mendengarkan suara Allah yang pengampun dan penyayang. Kita melihat akibat dari pada itu adalah adanya berbagai kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat sehingga mereka tidak terlepas dari sebab akibat perbuatan mereka yang hanya mendengarkan suara hati mereka saja dan tidak mendengarkan suara Allah.

2.4.1.  Suara  Hati  Menurut Ilmu-ilmu Empiris.

Empirisme pada peralihan abad ini memberikan makna psiklogis kepada hati nurani, dan mengasalkannya pada situasi dan kebutuhan sosiologis atau bahkan pada penindasan oleh peradaban. Ajaran Freud tentang hati nurani sebagai Superego memperoleh pengaruh besar. Menurud Freud,  hati nurani merupakan kompleks tuntutan dan kebiasaan yang lahir dari binaan dan pembentukan orangtua dan masyarakat. Namun kebiasaan dan aturan-aturan itu bertentangan dengan kodrat sejati mausia dan kecendrungan terdalam yang berakar di dunia bawah sadarnya. Untuk mengatasi tindakan ini, Freud menuntut bahwa penindasan superego harus semakin dikurangi, sehingga tindakan manusia hanya ditentukan oleh tuntutan-tuntutan kodrat sejatinya yang terdalam, dan kebutuhan akan koeksistensi rational dengan dunia luar.

2.4.2. Suara Hati   Menurut Ilmu Hukum

Pengertian hukum dalam arti sikap kehidupan praktis dalam konteks tertentu adalah tindakan seseorang yang teratur dalam lingkungan kehidupan bersama yang teratur pula. Hukum ini tidak nampak seperti dalam arti petugas yang sedang berpatroli, yang sedang memeriksa orang yang mencuri atau hakim yang mengadili, melainkan hidup bersama dengan perilaku individu terhadap yang lain secara terbiasa dan senantiasa terasa wajar serta rational. Dalam hal ini sering disebut hukum sebagai suatu kebiasaan (hukum kebiasaan).[14]

Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum dapat ditekan dan dapat pula dipaksakan.[15] Orang yang melanggar hukum akan terkena hukumannya, tetapi norma etis tidak dapat dipaksakan. Satu-satunya sanksi di bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang. Hukum berbeda dengan moralitas. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Moralitas didasarkan atas norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis orang bisa mengubah hukum, tapi tidak pernah masyarakat atau manusia dapat mengubah norma moral.

 2.4.3. Menurut Ilmu Filsafat

Para filsuf pada abad ke-20 sebaliknya berupaya memberikan penilaian yang benar terhadap Suara hati , misalnya Marthin Heidegger dan Karl Jaspers. Heidegger melihat hati nurani sebagai “panggilan untuk Prihatin” yang terbuka bagi “suara keberadaan atau suara manusia itu sendiri”. Berdasarkan pengertian ini, dapat dikatakan bahwa hati nurani merupakan seruan kepada manusia untuk menyadari keberadaannya di dalam kosmos. Manusia ada untuk turut memikirkan bagaimana menciptakan suatu atmosfer dan situasi yang baik, penuh damai dan bersahabat bagi semua orang. Sedangkan Jaspers melihat hati nurani atau suara hati  sebagai suara yang berbicara kepada manusia, suara yang adalah “diri manusia sendiri”.  Dengan demikian Suara hati   merupakan seruan dari dalam diri manusia, dan suara itu adalah pribadi dari ada itu sendiri, sehingga manusia lebih menyadari bahwa ia ada.

2.4.4. Menurut Ilmu Teologi Moral Kristiani

Suara Hati dalam Teologi Skolastik dan buku-buku teologi moral tradisional dilihat bukan sebagai peranti moral mandiri tetapi sebagai kasus khusus dari kegiatan akal budi. Hati nurani merupakan proses di mana norma-norma umum hukum moral diterapkan pada tindakan nyata yang akan dilakukan atau sudah dilakukan, di mana hati manusia mengatakan kepada manusia apa yang merupakan kewajibannya sekarang dan di sini, atau apa kewajibannya dalam perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan. Hati nurani juga diartikan sebagai penilaian praktis terakhir tentang aspek moral suatu perilaku konkret, yang memerintahkan untuk melakukan apa yang baik dan menghindari apa yang jahat.

Thomas Aquinas menyebut hati nurani sebagai bentara yang menyuarakan sesuatu yang ada di dalam pikiran (pronouncement of the mind)  dan sesuatu itu adalah hukum obyektif dan seorang utusan menerapkannya dalam keadaan nyata secara pribadi. Hal yang sangat penting bagi kita untuk dilakukan adalah ajaran Santo Thomas yang mengatakan bahwa prinsip moral hukum yang paling pokok ialah melakukan yang baik dan menghindari yang jahat.[16]

2.4.5. Suara Hati Bersifat Personal Dan Supra Personal

            Hati nurani atau suara hati memiliki dua sifat menurut K Bertens dalam bukunya etika mengatakan bahwa sifat suara hati yang pertama adalah bersifat personal artinya suara hati selalu berkaitan erat dengan pribadi bersangkutan. Norma-norma dan cita-cita yang saya terima dalam hidup sehari-hari dan seolah-olah melekat pada pribadi saya akan tampak juga dalam ucapan-ucapan suara hati saya. Seperti kita katakan bahwa tidak ada dua manusia yang sama begitu pula tidak ada dua  hati nurani yang persis sama, suara hati diwarnai dengan kepribadian kita lebih lanjut mengatakan kan bahwa suara hati akan berkembang bersama dengan perkembangan seluruh kepribadian kita. Suara hati secara personal tidak akan memberikan penilaian tentang perbuatan orang lain kita hanya memperhatikan norma-norma dan cita-cita yang juga diikuti oleh suara hati kita akan tetapi integritas pribadi kita tidak akan merasa diperkosa bila orang lain melakukan apa yang menurut kita tidak boleh[17]. Aspek atau sifat kedua dari suara hati adalah aspek Supra personal aspek ini tampak dalam istilah suara hati itu sendiri suara hati dapat juga disebut dengan hati nurani yang memiliki arti hati yang diterangi cahaya dari luar yang menerangi budi dan hati kita. Terhadap suara hati kita seakan-akan kita ini menjadi pendengar kita seakan-akan mengambil sikap reseptif dan membuka diri terhadap suara yang datang dari luar hati nurani atau suara hati dalam hal ini mempunyai suatu aspek transenden yang berarti melebihi pribadi kita. Karena itu sifat suprapersonal orang yang beragama kerap kali mengatakan bahwa suara hati adalah suara Tuhan atau bahwa Tuhan berbicara melalui hati manusia. Dan ungkapan ini ini dapat dibenarkan karena bagi orang beragama suara hati itu memiliki dimensi religius.

Kalau ia mengambil keputusan atas dasar suara hati artinya kalau ia sungguh-sungguh yakin bahwa ia harus berbuat demikian dan tidak bisa lain tanpa menghancurkan integritas pribadinya maka ia akan mengambil keputusannya dihadapan Tuhan. Dia insaf dengan itu akan mentaati kehendak Tuhan dan sebaliknya bertindak bertentangan dengan suara hati tidak saja berarti menghianati dirinya sendiri tetapi serentak juga melanggar kehendak Tuhan.

2.5. Pilihan-pilihan yang ada

Berbicara tentang etika yaitu berkaitan dengan apa yang secara moral benar dan salah di dalam etika Kristen memiliki kaitan dengan apa yang secara moral benar dan salah bagi seorang Kristen. Norman L Geisler mengatakan perintah perintah etika yang Allah berikan berkaitan dengan karakter moral Allah yang tidak bisa diubah artinya allah menghendaki apa yang benar yang sesuai dengan atribut atribut moralnya sendiri. Karakter-karakter moral yang tidak berubah tetapi bersifat mutlak maka kewajiban kewajiban moral yang berasal dari nature Allah yang bersifat mutlak itu memiliki maksud bahwa kewajiban kewajiban tersebut selalu mengikat di mana saja dan pada siapa saja tentu saja tidak setiap kehendak Allah harus berasal dari nature nature nya yang tidak berubah. Ada beberapa hal yang hanya Accord sesuai dengan nature Allah tetapi bebas mengalir dari kehendaknya misalnya Allah memilih untuk menguji ketaatan moral Adam dan hawa dengan melarang mereka menyantap buah tertentu dari sebatang pohon seperti yang tertulis di dalam kejadian 2 ayat 16-17 sekalipun secara moral Adam dan hawa bersalah karena tidak taat kepada perintah Allah kita tidak lagi terikat oleh perintah itu hari ini perintah tersebut didasarkan pada kehendak Allah dan tidak harus mengalir dari nature nya. Sehingga dengan demikian dalam mengambil keputusan etis yang bersumber dari suara hati setiap orang percaya  harus lebih memilih apa yang sesuai dengan kehendak Allah bukan berdasarkan kehendaknya sendiri sebab belum tentu suara hati manusia itu adalah yang baik akan tetapi suara hati yang berdasarkan kehendak Allah itu sudah pasti akan memberikan kebaikan sehingga seperti dikatakan oleh  Norman L Geishler bahwa etika Kristen adalah etika yang berdasarkan kehendak Allah dalam suara hati manusia[18]. Sehingga dapat juga dikatakan bahwa etika Kristen itu bersifat mutlak tidak dapat ditawar oleh situasi keadaan dan etika Kristen itu di berdasarkan pernyataan Allah yang dikatakan kepada manusia.

2.6. Keputusan Suara Hati Sebagai Perwujudan Iman

Refleksi telogi moral mengenai suara hati berpangkal dari pengalaman hidup nyata dan hidup beriman. Dari sudut pandang orang beriman, suara hati tidak dapat dilepaskan dari keyakinan imannya. Iman pada intinya merupakan relasi personal manusia dengan Allah. Relasi personal manusia dengan Allah dalam iman ini jelas mengandaikan adanya kebebasan dari kedua belah pihak (Allah dan manusia).  Iman baru menjadi nyata dan konkret bila diwujudkan dalam tindakan nyata yang merupakan wujud kebebasan dan tanggung jawab manusia dalam perbuatan.

Maka dari itu bila ditempatkan dalam relasi dengan Allah (iman) maka perbuatan moral menjadi perwujudan iman, ada relasi antara moral dan iman. Dalam perbuatan moral itu relasi manusia dengan Allah mendapat wujudnya. Gereja bahkan mengajarkan bahwa melalui dan dalam suara hati itulah manusia dapat mengenal kehendak Allah. Perbuatan moral tidak sendirinya menjadi perwujudan iman. Perbuatan tersebut tetaplah tindakan sekuler dan manusiawi sebagai wujud kebebasan, otonomi dan keputusan bebas manusia. Perbuatan moral manusia sebagai perwujudan iman pun adalah otonomi dalam arti berdasarkan pertimbangan dan keputusan bebasnya. Keputusan moral orang Kristen sebagai perwujudan iman tetaplah merupakan tindakan dan tanggung jawab orang itu sendiri, sehingga otonomi moral dalam rangka iman tetap dipertahankan.

2.7. Suara Hati Diperhadapkan Kepada Etika Situasi

Joseph pulitzer adalah seorang tokoh etika situasi dia menolak adanya norma-norma moral umum karena kewajiban moral menurut mereka selalu bergantung dari situasi konkret jadi apa yang wajib saya lakukan dalam situasi tertentu menurut etika situasi tidak pernah dapat begitu saja diketahui dari sebuah norma atau hukum moral sesuatu yang dalam situasi yang sama baik dan tepat dalam situasi lain bisa jelek dan salah . Berlainan dengan etika situasi, sebagian besar etika berpendapat bahwa ada prinsip-prinsip umum yang membawa dalam menentukan apa yang merupakan kewajiban manusia misalnya Immanuel kant menuntut agar manusia selalu bertindak menurut pertimbangan yang dapat disetujuinya menjadi norma bagi semua.[19]

Dalam hal ini berbicara tentang suara hati bahwasanya suara hati tidak selalu selaras dengan etika situasi karena menurut penulis suara hati lebih menekankan kepada ada norma secara pribadi dan keputusan atau tindakan dapat dilakukan sepanjang itu adalah untuk membangun segala sesuatu secara baik walaupun menuntut manusia untuk selalu bertindak menurut pertimbangan yang baik.

2.8. Nilai-nilai etis dalam tinjauan suara hati

Kalau kita membahas tentang etika bahwa dalam hal ini ini etika berbicara tentang apa yang seharusnya tentang apa yang baik benar dan tepat walaupun tidak semua yang benar baik dan tepat mempunyai sangkut paut dengan etika. Sukses secara etis berarti sukses sebagai manusia. Baik secara etis berarti selaras atau sesuai dengan hakekat manusia kita yang utuh dan penuh. Etika menyangkut tidak lebih dan tidak kurang seluruh filsafat hidup kita apa artinya menjadi manusia itu[20].Dalam hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa yang baik dan yang benar itu itu harus kita menghubungkan kepada kehendak Allah sebelum mengambil tindakan ataupun keputusan yang seharusnya kita lakukan.

Bila kita melihat apa yang pernah di katakan oleh Doktor  J Verkuyl   bahwa suara hati itu tidak akan ada bila Allah tidak ada dan suara hati itu tidak akan berbicara bila Allah tidak berfirman titik Allah berfirman sebagai pencipta dan pembuat undang-undang kepada segala bangsa dan hal ini ia mengingatkan kita bahwa kehendaknya seharusnya menjadi norma bagi kehidupan manusia dalam mengambil suatu keputusan. Suara hati itu menjadi suatu tanda yang mengingatkan kita kepada gambar Allah yang telah rusak dan menjadi suatu gejala pencernaan antara manusia menurut yang seharusnya dan manusia menurut kenyataan yang sebenarnya sehingga mau tidak mau suara hati itu menjadi saksi utama melawan kemanusiaan kita yang jahat.[21]. Kemudian timbullah suatu pertanyaan bagaimanakah caranya menilai pertimbangan suara hati itu berdasarkan hukum taurat dan Injil tentu jawabannya adalah suara hati itu mengingatkan kita akan adanya norma yang dapat kita langgar tanpa penyesalan tetapi norma-norma yang ditunjukkan oleh suara hati itu harus diselaraskan dengan suara Tuhan sehingga dengan demikian dalam setiap tindakan dan keputusan kita selamanya sesuai dengan kehendaknya.

III.             KESIMPULAN

Suara Hati berperan terutama saat  kita mau mengambil sebuah keputusan. Ia dapat didefinisikan sebagai suatu kesadaran moral seseorang dalam situasi yang konkret. Artinya, dalam menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup kita, ada semacam suara dalam hati kita untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan dan menuntut kita bagaimana merespon kejadian tersebut. Suara hati yang baik, dapat menjadi kompas moral dan menuntun kita menjadi pribadi yang berperilaku positif. Sebagai umat beragama, hati nurani ini dipercayai menjadi tempat Tuhan mewahyukan diri secara hidup dalam hati kita. Jadi, hati nurani juga dapat dikatakan sebagai sebuah perasaan moral dalam manusia, yang dengannya dia memutuskan mana yang baik dan jahat, dan mana yang menyetujui atau menyalahkan perbuatannya.

Untuk menentukan apakah hati nurani kita masih berfungsi dengan baik sangat mudah, tetapi banyak orang yang tidak menyadari jika hati nuraninya sudah rusak. Seseorang terikat untuk menaati hati nurani dalam semua perbuatannya karena suatu standar iman yang juga tertuang pada kitab suci yang mereka miliki.  Akan tetapi, sangat mungkin bagi manusia untuk berbuat salah secara teliti; dengan kata lain, suara hatinya yang tidak diterangi bisa menyesatkan. Maka, untuk melihat apakah hati nurani kita masih berfungsi dengan baik atau tidak, dapat dilihat dari sikap hati dan tindakan kita yang menyesatkan atau tidak termasuk dalam konteks kehidupan yang paling kecil seperti pikiran, prasangka, dan keadaan batiniah yang kita miliki. Puji Tuhan, jika kita masih memiliki suara hati yang berfungsi dengan baik karena bisa berfungsi sebagai kompas moral untuk memiliki akhlah dan tindakan yang mulia bagi sesama. Oleh karenanya, kita harus dengan hati-hati menjaga agar hati nurani itu dipandu oleh prinsip-prinsip yang benar, yang bersifat mengajar, dan tidak mengandung prasangka atau dibengkokkan oleh cara berpikir yang menyesatkan, atau oleh motivasi-motivasi yang tidak murni. Komunikasi dengan Tuhan melalui ibadah dan doa dan menghidupi ajaran Tuhan melalui perbuatan-perbuatan baik akan melatih dan menjamin perkembangan hati nurani kita yang sehat.

 

IV.             KEPUSTAKAAN

1.            Dr j Verkuyl, Etyika Kristen Bagian Umum jilid Pertama TAHUN                                                1985

2.            Dadang Sunendar dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,                  1999

3.            M.E Mantom, Kamus Istilah Teologi, Malang: Gandum Mas,                                            2003

4.            Bernard Haring., Free and Faithful In Christ: Moral Theology For Priests and Laity, Vol. I, General Moral Theology, Philippines: Claretian Publications,                                    1985

5.            K Bertens, Etika, BPK Gunung Mulia                                                                                       1993

6.            J Sudarminta, Etika Umum; kajian tentang beberapa pokok dan teori etika normatif  Penerbit Kanisius                                                                                                                                   2013

7.            Tiar Roman, SH. MH., Pengantar Ilmu Hukum, (Manuskrip), Jakarta:                                 2009

8.            C.S.T Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,                                                                                                                        1989

9.            St. Thomas Aquinas., Summa Theologica, I, q. 79, a. 13, Volume I, Complete English Edition in Five Volumes, Translated by Fathers of the Engliz Dominican Province, Marlyland: ChristianClassics,                                                                                                                                  1981.

10.        Norman L. Geishler, Etika Kristen, Pilihan dan isu kontemporer, Literatur SAAT,                                                                                                                      2010

11.        https://www.churchofjesuschrist.org/study/manual/true-to-the-faith/conscience?

2019

 

 



[1] https://www.churchofjesuschrist.org/study/manual/true-to-the-faith/conscience?

[2] Dadang Sunendar dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), hal. 487

[3] M.E Mantom, Kamus Istilah Teologi, (Malang: Gandum Mas,), hal. 44

[4] Dr j Verkuyl, Etyika Kristen Bagian Umum jilid Pertama  Hal 65 hl 66

[5] Dr j Verkuyl, Etyika Kristen Bagian Umum jilid Pertama  Hal 65

[6] Bernard Haring., Free and Faithful In Christ: Moral Theology For Priests and Laity, Vol. I, General Moral Theology, (Philippines: Claretian Publications,  p. 28

[7] J Sudarminta, Etika Umum; kajian tentang beberapa pokok danteori etika normatif  hal 63

[8] Dr j Verkuyl, Etyika Kristen Bagian Umum jilid Pertama   hal 65

[9] Dr j Verkuyl, Etyika Kristen Bagian Umum jilid Pertama  Hal 67

[10] K Bertens, Etika, BPK Gunung Mulia,  hl 56

[11] J. Sudarminta, Etika Umum, (Yogyaka),  hal. 63.

[12] Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani, Jilid I, dalam Alex Armanjaya (Penerjemah), (Maumere: Ledalero, ), hal. 188

[13] Dr j Verkuyl, Etyika Kristen Bagian Umum jilid Pertama  Hal 66

[14] Tiar Roman, SH. MH., Pengantar Ilmu Hukum, (Manuskrip),  hal. 8

[15] C.S.T Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,) , hal. 40

[16] St. Thomas Aquinas., Summa Theologica, I, q. 79, a. 13, Volume I, Complete English Edition in Five

Volumes, Translated by Fathers of the Engliz Dominican Province, (Marlyland: Christian Classics,, Hal. 408

[17] K. Bertens ETIKAS BPK Gunung Mulia  Hal 61

[18] Norman L. Geishler, ETIKA KRISTEN, Pilihan dan isu kontemporer, Literaqtur SAAT,  hal 13

[19] Frans Magnes Suseno, ETIKA  abad ke dua puluh Penerbit Kanisius dan Pustaka Filsafat,  hal 111

[20] Dr Phil. Eka darma Putra, Etika sederhana Untuk Semua ;perkenalan pertama  Penerbit  BPK Gunung Mulia, hal 66

[21] Dr Phil. Eka darma Putra, Etika sederhana Untuk Semua ;perkenalan pertama  Penerbit  BPK Gunung Mulia, hal 67-68 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url