Pendeta Dan Politik Dalam Pemerintahan Negara
Peranan pendeta
dalam politik dan pemerintahan negara
Ewen Josua Silitonga
Pendahuluan
Tidak bisa dipungkiri, istilah “politik” sering
dikonotasikan secara negatif, politik itu kotor, politik itu bisa menghalalkan
segala cara dan bidang politik sebaiknya tidak dimasuki oleh orang baik-baik
karena kalau tidak ikut arus cepat atau lambat akan tersingkir. Dan bukankah
ada pribahasa politik menyatakan “tidak ada kawan abadi, yang ada hanyalah
kepentingan abadi”. Dalam ranah politik sejauh mana peran pendeta dalam politik
dan pemerintahan negara? Ini yang menjadi pertanyaan oleh masyarakat Kristen
secara khusus dan lingkungan sekitar gereja pada umumnya. Pendeta/Gereja tidak
hanya mengurusi soal-soal rohani saja walaupun ini sangat penting dan menjadi
kewajiban, akan tetapi kebutuhan jasmani tidak boleh diabaikan, sehingga ketika
ada tawaran-tawaran politik kepada masyarakat tidak membuat dia tergoda tetapi
punya prinsip yang tepat walaupun ada godaan sekalipun. Selama ini sepertinya
gereja kurang menyentuh bidang politik. Tentu yang dimaksudkan bukan agar
gereja berpolitik praktis tetapi bagaimana gereja mempunyai peran dalam
mengubah (menggarami) dunia politik dimana dia hidup. Pada kesempatan kali ini
saya mencoba memaparkan peranan Pendeta/Hamba Tuhan dalam politik dan
pemerintahan negara.
Pengertian Pendeta
Kata pendeta dalam
kamus besar bahasa Indonesia didefinisikan sebagai orang
pandai, pertapa (dalam cerita-cerita kuno), pemuka, pemimpin atau guru agama.[1] Kata ‟Pendeta” tidak
ditemukan dalam Alkitab. Alexander Strauch menyebutkan bahwa kata
Pendeta diambil dari luar kekristenan untuk memberikan nama kepada seorang
gembala tunggal atau senior yang berkuasa. Orang Indonesia menyebut “pendeta”.
Dalam bahasa inggris disebut ”Pastor”. Dalam bahasa latin “Pastor” yang
berarti “Gembala”. Orang Kristen di Indonesia yang memakai “pendeta” yang
berasal dari bahasa sansekerta (Dewanagari: paṇḍita) adalah sebutan bagi
pemimpin agama. Kata “pandita” yang berarti brahmana atau guru agama dalam
tradisi Hindu atau Buddha. Ucapan pandita adalah suara kebenaran, atau darma.
Pendeta adalah
pengajar umum dalam jemaat. Ia memiliki kewajiban untuk menentukan suasana
dalam jemaat sehingga jemaat dapat lebih giat memenuhi panggilannya sebagai
persekutuan yang belajar-mengajar.[2] Selain itu, pendeta
juga merupakan seorang pengajar khusus, yaitu ia harus melibatkan secara
langsung mengajar, yaitu pada kelas katekisai, kelas pendidikan teologi jemaat
dan mimbar.
Pandangan Alkitab Tentang Pendeta
Dalam konteks Alkitab, pendeta dapat disebut
dengan istilah “Poimen” dan “Doulos” dari Bahasa Yunani. “Poimen”
artinya gembala, pendeta, direktur, seorang yang mengawasi dan mengontrol orang
lain, memiliki komitmen dan memberi perintah, aturan atau ajaran untuk di
patuhi oleh mereka. Kata kerja dari “Poimen” ini adalah “Prosistemi”,
artinya memimpin, berwenang terhadap anggota, mengurus, membantu, melindungi,
memberi perhatian kepada mereka yang di pimpin.[3] “Doulos” yang
artinya Hamba. Hamba adalah seorang yang bekerja dan melaksanakan kepentingan
orang lain. Dalam kehidupan agama Israel, istilah hamba digunakan untuk
menunjukkan kerendahan hati seseorang dihadapan Allah dan wujud penyerahan diri
kepada Allah.[4] Dalam Bahasa Inggris
pendeta/pastor disebut juga “Shepherd” (gembala). “Shepherd”
menunjukkan posisinya sebagai pemimpin, pelindung, pemelihara, memperdulikan
dan fungsinya sebagai pemberi makanan, memperdulikan dan merawat dan mengurusi
orang lain.[5]
Dalam Perjanjian Lama, digunakan kata רעה
(ra’ah) dalam bahasa Ibrani untuk “gembala”. Kata ini digunakan 173 kali untuk
menggambarkan tindakan memberi makan kepada domba-domba seperti dalam Kitab
Kejadian 29:7 dan juga sehubungan dengan manusia seperti dalam Yeremia 3:15,
“Aku akan mengangkat bagimu gembala-gembala yang sesuai dengan hati-Ku; mereka
akan menggembalakan kamu dengan pengetahuan dan pengertian.” Kata gembala dalam
Alkitab secara keseluruhan mulai dari PL sampai PB kurang lebih ada 217 kali
ditulis. Misal terdapat dalam 1 Samuel 16:11 yang menceritakan latar belakang
Daud bahwa sebelum ia menjadi seorang pemimpin bangsa (raja), ia bekerja
sebagai seorang gembala. Secara khusus dalam Perjanjian Lama, beberapa kisah
para Nabi banyak menyoroti posisi gembala dalam dua hal namun memiliki makna
yang sama. Pertama, Gembala dikaitkan dengan tugas memelihara ternak (bdk:
Kejadian 4:2, 29:9, 37:2 ; 1 Samuel 16:11, 17:15, Kel 22:5, 33:1, Lukas 2:8),
dan kedua, gembala di pandang sebagai pemimpin (2 Samuel 5:2, 1 Raja-raja
22:17, Yeremia 3:15, Zak 10:2, 11:6, Bilangan 27:17, Yehezkiel 13:15, 34:23,31
; Mikha 5:4). [6]
Dalam Perjanjian Baru pendeta dalam Bahasa
yunani (poimēn) biasanya diterjemahkan sebagai gembala. Gembala
digambarkan seperti Yesus yang berjalan di depan dan memimpin dombanya, dan
domba ikut dari belakang (Yohanes 10). Di dalam dalam Yohanes 21: 15-19, Petrus
mendapat pesan agar menjalankan tugas pengembalaan kepada domba-domba yaitu
umat Tuhan yang di tinggalkanNya. Yesus menggunakan terminologi “penggembalaan”
untuk menegaskan maksud pemeliharaan iman umatNya. Para penulis Perjanjian Baru
tampaknya menggunakan kata pastor atau gembala sebagai sinonim untuk jabatan
gereja penatua (presbuteros) atau penilik jemaat atau uskup (episkopos).
Misalnya, dalam Kisah Para Rasul 20:17, Rasul Paulus mengimbau para penatua
gereja di Efesus untuk menyampaikan pesan terakhir kepada mereka. Dalam
prosesnya, dalam Kisah Para Rasul 20:28, ia mengatakan kepada mereka bahwa Roh
Kudus telah membuat mereka penilik, dan tugas mereka adalah menggembalakan
gereja mereka. Petrus menggunakan bahasa yang sama dalam 1 Petrus 5:1-2, dan
mengatakan bahwa para penatua di antara para pembacanya bahwa mereka pun harus
“menggembalakan” kawanan domba yang dipercayakan kepada mereka, dan bertindak
sebagai “penilik jemaat”. Paulus juga menyebutkan daftar persyaratan dari
orang-orang yang melayani jabatan ini. Dalam 1 Timotius 3:1-7, Paulus
menyebutkan daftar persyaratan dari mereka yang melayani sebagai penilik
jemaat. Dalam Titus1:5-9, diberikan pula sebuah daftar yang sangat mirip, kali
ini untuk para penatua, yang juga dirujuk pada 1:7 sebagai penilik jemaat.
Pendeta adalah orang yang mendapatkan
panggilan khusus dari Allah dan diutus oleh jemaat, dan karena itu, tugas
pokoknya adalah memelihara kesatuan umat. Pendeta adalah seorang pengajar umum
dalam jemaat, ia memiliki kewajiban untuk menentukan suasana dalam jemaat
sehingga jemaat dapat lebih giat memenuhi panggilannya sebagai sebuah
persekutuan yang belajar-mengajar. Tahbisan pendeta menjadi suatu yang penting
yang membedakan pendeta dari pelayan yang lain, walaupun dalam prakteknya tugas
pendeta sama dengan tugas penatua dan diaken, kecuali dalam pelayanan sakramen
babtisan, dan perjamuan kudus.
Pandangan Teolog Tentang
Pendeta
Menurut
beberapa teolog pendeta adalah:
1.
Menurut Notohamidjojo: pemimpin
(pendeta) adalah orang dewasa dengan wibawanya berusaha untuk mencapai tujuan
organisasiniya atas dasar kerjasama yang baik menurut peraturan yang ditetapkan
bersama serta kebijaksanaan yang sewajarnya untuk mencapai tujuan.
2.
Menurut G.D. Dahlenburg, pendeta adalah
seorang hamba dan pengikut Kristus yang diutus Tuhan untuk melayani dan
bertanggung jawab dengan apa yang Tuhan percayakan untuk menyampaikan injil
kebenaran kepada semua orang. Dahlenburg: berpendapat bahwa Pendeta
dipanggil oleh gereja (sinode) untuk melayani di jemaat tertentu juga sebagai
seorang penilik/episkopos. Ia juga mengutip pernyataan Luther: “kalau kita
orang Kristen, maka kita semua adalah Pendeta”. Tetapi pendeta-pendeta yang kita
panggil untuk melayani atas nama kita dan jabatan mereka sebagai pendeta
merupakan suatu pelayanan saja. Karena tidak semua orang mampu dan boleh
berkhotbah, mengajar, memimpin, maka harus ada orang yang dipercayakan dan
diutus dengan doa dan penumpangan tangan di hadapan Tuhan dan jemaatnya yang
kemudian memegang jabatan sebagai pendeta. Dalam menjalankan tugasnya bukan
untuk kepentingan jabatan tersebut melainkan untuk melayani semua anggota yang
lain. .[7]
Tipe
Kepemimpinan Pendeta
Yang
dimaksud dengan tipe kepemimpinan pendeta di sini, yakni gaya atau corak
tindakan memimpin yang ditempuh oleh pendeta dalam menjalankan tugas
pelayanannya di jemaat adalah sebagai berikut:
1. Tipe
Kepemimpinan Otokratis (Autocratic Leadership)
Tipe
kepemimpinan ini dimana setiap langkah aktivitas dan teknis diperintahkan oleh
pemimpin satu persatu. Pemimpin biasanya mendiktekan tugas dan kerja lainnya
untuk setiap anggota, semua aktifitas bawahan harus dengan petunjuk pemimpin.[8]
Di sini pemimpin digambarkan sebagai seorang ahli yang acuh tak acuh, dimana
pemimpin bertindak berdasarkan pada kekuasaan mutlak dalam memimpin tingkah
laku anggota kelompok mengarah ke tujuan yang ditetapkan oleh si pemimpin.
Segala keputusan berada di tangan satu orang, yakni si pemimpin sekaligus
menganggap diri lebih mengetahui daripada yang lain dalam kelompok.
2. Tipe
Kepemimpinan Paternalistis (Paternalistic Leadership)
Tipe
kepemimpinan ini yang memberikan pemeliharaan kepada kita, jika kita mau
menerima saja kontrol yang ramah. Pemimpin paternal akan menggunakan
kemampuan-kemampuan tersebut bagi kelompok, namun hanya bila sesuai dengan
gagasan pemimpin tentang apa yang yang terbaik, dan hanya sejauh kelompok
mengakui dan menerima ketidakberdayaan sendiri. Dalam tipe kepemimpinan seperti
ini tidak ada kebersamaan.[9]
3. Tipe
Kepemimpinan Kharismatik (Charismatic Leadership)
Kepemimpinan
ini berdasarkan pada ketaatan (kepercayaan) pada anugerah ilahi (devine power)
sebagai suatu kekuatan secara luar biasa yang hanya dimiliki oleh si pemimpin
di luar kemampuan orang-orang biasa. Pemimpin diyakini memiliki kekuatan
mistis, sehingga mampu untuk menguasai massa dan kekuatan untuk membuat massa
taat dan memperhatikannya secara membuta. Max Weber menggunakan istilah
“kharisma” untuk menjelaskan perkembangan kekuasaan di sekitar kepribadian yang
bersifat kepahlawanan. Jadi para pengikut menganggap pemimpinnya sebagai
pembawa misi khusus dengan dibekali kemampuan dan identitas yang hampir
menyerupai Tuhan.[10]
Tipe kepemimpinan ini dilaksanakan dalam hubungan dengan rakyat, dimana memilik
empat ciri, yaitu : (1) pemimpin diakui memiliki kualitas istimewa,
kadang-kadang dianggap superhuman; (2) pengikut secara tidak kritis
menerima pendapat pemimpin sebagai kebenaran; (3) pengikut memberi ketaatan mutlak
kepada pemimpin; (4) pengikut memperlihatkan komitmen emosional terhadap
pemimpin dan misinya.
4. Tipe
Kepemimpinan Demokratis (Democratic Leadership)
Dalam
tipe kepemimpinan ini, sang pemimpin bertindak sebagai seorang anggota kelompok
dalam menetapkan tujuan, memilih cara melakukan, dan membagi-bagi tugas kepada
para pegawai. Bersama-sama anggota kelompok pemimpin bertanggung jawab untuk
mencapai sukses organisasi. Di dalam corak kepemimpinan ini, semua anggota
dalam kelompok boleh turut berperanserta waktu mengambil keputusan penting.
5. Tipe
Kepemimpinan Bebas (Laisses Faire Leadership)
Tipe
kepemimpinan ini menyatakan peranan seorang pemimpin berkisar pada pandangannya
bahwa pada umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena
para anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang
mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang ingin
dicapai, tugas apa yang harus ditunaikan oleh masing-maing anggota dan seorang
pimpinan tidak perlu terlalu sering melakukan intervensi dalam kehidupan
organisasional.[11]
6. Tipe
Kepemimpinan Kreatif dan Eksekutif
Tipe
kepemimpinan kreatif digunakan untuk menangani keadaan-keadaan baru yang tidak
dikenal, sehingga pemimpin seperti ini dapat melihat masalah dengan perspektif
baru, yang dipersiapkan untuk melakukan eksperimen dan mengambil resiko.
Sedangkan tipe kepemimpinan eksekutif digunakan untuk mengambil
keputusan-keputusan yang prinsipil. Keahliannya terletak pada kemampuan untuk
melihat gambaran yang besar-kemampuan membedakan elemen-elemen krusial dan
mengevaluasi semua pilihan yang ada. Pemimpin yang bertipe kreatif dan
eksekutif akan mengandalkan individu-individu dengan keahlian manajerial yang
berorientasi pada tugas. Para pemimpin berorientasi pada tugas perlu dibantu
oleh para pemimpin dengan keterampilan interpersonal, yang akan berperan
sebagai tim pembangun (team builder), mengonsolidasi, menyelesaikan konflik,
dan memulihkan moral kelompok. Individu yang demikian akan memberi semangat dan
ketenteraman sehingga setiap orang merasa dihargai. [12]
7. Tipe
Kepemimpinan Simbol
Tipe
kepemimpinan ini menempatkan seseorang pemimpin sekedar sebagai lambang atau
symbol, tanpa menjalankan kegiatan kepemimpinan yang sebenarnya. Pemimpin ini
pada dasarnya tidak menjalankan fungsi kepemimpinan, namun kedudukannya itu
tidak dapat dan tidak boleh digantikan orang lain.
8. Tipe
Kepemimpinan Pengayom (Headmanship)
Tipe
kepemimpinan ini menempatkan seseorang sebagai kepala. Pemimpin tipe ini
memiliki kesediaan dan kesungguhan dalam mengayomi anggotanya, dengan berbuat
segala sesuatu yang layak dan diperlukan organisasinya. Kepemimpinan dijalankan
dengan melakukan kegiatan kepeloporan, kesediaan berkurban, pengabdian,
melindungi, dan selalu melibatkan diri dalam usaha memecahkan masalah perseorangan
atau kelompok.
9. Tipe
Kepemimpinan Organisatoris dan Administrator
Tipe
ini dijalankan oleh para pemimpin yang senang dan memiliki kemampuan mewujudkan
dan membina kerja sama, yang pelaksanaanya berlangsung secara sistematis dan
terarah pada tujuan yang jelas. Pemimpin bekerja secara berencana, bertahap dan
tertib.
10. Tipe
Kepemimpinan Transformatif
Kepemimpinan
ini didefinisikan sebagai kepemimpinan dimana para pemimpin menggunakan
kharimsa mereka untuk melakukan transformasi dan merevitalisasi organisasinya.
Para pemimpin yang transformatif lebih mementingkan revitalisasi para pengikut
dan organisasinya secara menyeluruh ketimbang memberikan instruksi-instruksi
yang bersifat top down. Pemimpin yang transformatif lebih memposisikan diri
mereka sebagai mentor yang bersedia menampung aspirasi para bawahannya.
Pemimpin yang transformatif lebih menekankan pada bagaimana merevitalisasi
institusinya, baik dalam level organisasi maupun negara.
Secara
lebih detil, para pemimpin yang transformatif memiliki ciri-ciri berikut: (1)
seperti yang disebutkan di atas, mereka memiliki charisma; (2) mereka
senantiasa menghadirkan stimulasi intelektual. Artinya, mereka selalu membantu
dan mendorong para pengikutnya untuk mengenali ragam persoalan dan cara-cara
untuk memecahkannya; (3) pemimpin yang transformatif memiliki perhatian dan
kepedulian terhadap setiap individu pengikutnya. Mereka memberikan dorongan,
perhatian, dukungan kepada pengikutnya untuk melakukan hal yang terbaik bagi
dirinya sendiri dan komunitasnya; (4) pemimpin transformatif senantiasa
memberikan motivasi yang memberikan inspirasi bagi pengikutnya dengan cara
melakukan komunikasi secara efektif dengan menggunakan simbolsimbol, tidak
hanya menggunakan bahasa verbal; (5) mereka berupaya meningkatkan kapasitas
para pengikutnya agar bisa mandiri, tidak selamanya tergantung pada sang
pemimpin; (6) para pemimpin transformatif lebih banyak memberikan contoh
ketimbang banyak berbicara. Artinya ada sisi keteladanan yang dihadirkan kepada
para pengikutnya dengan lebih banyak bekerja ketimbang banyak berpidato yang
berapi-api tanpa disertai tindakan yang konkrit.
Pengertian
Politik
Kata politik
berasal dari dua kata dalam Bahasa Yunani: “Πολις” (polis) yang
berarti “kota” dan “para penduduk kota” dan “Τεχνη” (tekhne) yang berarti “cara”. Sedangkan “politheia” berarti penduduk atau warga
negara, hak warga negara, kewarganegaraan, tata negara, bentuk pemerintahan. Politik berarti cara menata kota supaya
kota itu teratur dan para penduduknya hidup teratur dan rukun. Setiap warga kota (dalam arti luas: negara) berkewajiban berpolitik dengan
tujuan agar kota dan negara di mana warga itu tinggal menjadi tertata bagus dan
masyarakatnyapun hidup rukun dan teratur.[13] Pemerintahan dan masyarakat merupakan kumpulan
manusia.[14] Pada dasarnya manusia
yang melakukan kegiatan dibagi dua, yakni warga negara yang memiliki fungsi
pemerintahan (penjabat pemerintahan), dan warga negara biasa yang tidak
memiliki fungsi pemerintahan tetapi memiliki hak untuk mempengaruhi orang yang
memiliki fungsi pemerintahan (fungsi politik). Namun fungsi pemerintahan maupun
fungsi politik biasanya dilaksanakan oleh struktur tersendiri, yaitu
suprastruktur politik bagi fungsi-fungsi pemerintahan dan infrastruktur politik
bagi fungsi-fungsi politik.
Maurice
Duveger dalam buku pengantar sosiologi politik, mengatakan bahwa hakikat
politik bersifat ambivalen.[15]
Di satu sisi politik merupakan konflik
untuk meraih kekuasaan, di mana individu atau kelompok yang memegangnya
cenderung untuk mempertahankan dominasinya terhadap masyrakat. Sedangkan
individu atau kelompok yang berkuasa berusaha untuk menentang bahkan
merebutnya. Di sisi lain politik sebagai usaha untuk menegakkan ketertiban dan
keadilan. Hakikat politik adalah power
atau kekuasaan. Tetapi tidak semua kekuasaan adalah kekuasaan politik,
kekuasaan politik pada hakikatnya ada pada proses pembuatan dan pelaksanaan
politik. Keputusan politik selalu menyangkut kepentingan publik.
Dari perkembangan kata politik maka rumusan politik
merupakan seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional atau seni
mempengaruhi kebijakan publik. Lebih luasnya pengertian
ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai
hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik. Politik adalah seni dan ilmu
untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Di
samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara
lain: politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan
bersama. Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan
dan negara. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan
mempertahankan kekuasaan di masyarakat. politik adalah segala sesuatu tentang
proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.[16]
Dari asal kata dan perkembangan makna
kata politik adalah positif. Tetapi di dalam kehidupan sehari-hari kita
menemukan bahwa belum menyatu antara defenisi dan realita.
Pandangan Alkitab Tentang Politik
Klaim
teologis Paulus bahwa pemerintah itu “berasal, ditetapkan dan hamba” Allah
sesungguhnya mengandung konsepsi politik yang luar biasa. Justru disitulah
totalitas dan inti makna politik Teokrasi tetap merupakan garis konsisten para
rasul. Teokrasi yang dimaksud adalah Pemerintahan yang dipimpin oleh Allah.
Teologi Paulus Tentang Ketaatan terhadap pemerintah (Rm 13:1-7) sering menjadi
acuan banyak kalangan saat adanya ketegangan antara Gereja dan Negara bahkan
dapat dijadikan doktrin yang menuntut kepatuhan, tanpa daya kritis. Keyakinan
Paulus bahwa pemerintah itu hakekatnya berasal dari Allah, untuk itu ia harus
didengar dan ditaati. Pernyataan ini tentunya sangat sulit untuk diterima oleh
umat Kristen yang saat itu sedang mengalami perhambaan oleh kekaisaran Romawi.
Namun maksud Paulus di sini ingin menegaskan agar umat tidak mengabaikan dunia
ini dengan kondisi tersulit yang dialami, tetapi tetaplah berusaha untuk
menciptakan tatanan dunia yang adil dan damai, termasuk menciptakan suasana
politik yang bersih dan egaliter. Teologi
Paulus tentang Ketaatan Terhadap Pemerintah, tidak terlepas dari konteks
masyarakat Roma saat itu. Paulus memberitakan tentang ketaatan dalam konteks
imperium romawi yang kafir (Pemerintah dan aparatnya) sebagai hamba Allah.
Rasul Paulus dalam Roma 13: 1-7 menjelaskan bagaimana hidup sebagai warga
negara. Gereja yang ada di Roma diperintahkan rasul Paulus mematuhi
pemerintahan Romawi. Kepatuhan kepada pemerintah yang berkuasa merupakan suatu
keharusan bagi orang Kristen, sebab orang Kristen bergantung dan terikat kepada
pemerintah secara hukum. Setiap warga negara yang melakukan pembangkangan atau
pelanggaran terhadap peraturan atau hukum akan dikenakan sanksi atau hukuman
oleh pemerintah yang berkuasa.[17]
Peran Pendeta Dalam
Politik dan Pemerintah Negara Menurut Etika Kristen
Pandangan
yang mengatakan bahwa politik itu kotor dan berlumuran dosa sebenarnya keliru,
namun dapat dipahami sepak terjang (sebagian) aktor politik yang sering kali
tidak memberikan citra positif atas dunia ini ikut membuat pemahaman yang
keliru ini. padahal sebenarnya politik sama dengan bidang-bidang lainnya dalam
kehidupan manusia. Ia bahkan dapat disamakan dengan kegiatan pelayanan
gerejawi. Sesuatu yang mestinya mulia dan luhur, namun bukankah pelayanan
gerejawi pun dapat diselewengkan untuk maksud-maksud yang tidak terpuji? Raghavan Iyeh, berpandangan dalam bukunya bahwa politik
bukan melulu soal kekuasaan tetapi jauh lebih dalam lagi dari itu.[18]
Politik berkaitan sangat erat dengan moralitas, impian, harapan dan ketakutan
manusia, bahkan juga acara hidup manusia oleh karena itu politik sangat
berkaitan dengan kemampuan untuk mengelola, menyusun, maupun membuat
kesepakatan dalam kerangka kehidupan bersama sebuah masyarakat ataupun jemaat. Aktivitas politik ditujukan untuk
menciptakan dan melaksanakan peranata-peranata sosial dan normatif yang
memungkinkan masyarakat ataupun jemaat hidup dengan tertib, aman, tentram, dan
sejahtera. Untuk itu tidak hanya dibutuhkan sistem dan aturam main politik
(kontitusi, undang-undang, dan perangkat hukum yang lain) yang baik, tetapi
juga dibutuhkan etika politik. Ketika politik dijalankan tanpa etika, maka yang
terjadi bukanlah keinginan atau tujuan bersama melainkan krisis keadilan,
kemanusiaan, dan ketentraman. Dalam
Perjanjian Lama kisah Yusuf dan Daniel sangat menarik untuk dijadikan analogi
terkait boleh tidaknya gereja berpolitik, karena mereka masing-masing melayani
di Mesir dan Babel. Kedua negara ini berkaitan erat dengan penjajahan dan
penindasan terhadap umat Allah dan paling sering menjadi sasaran ucapan-ucapan
tentang malapetaka dan penghukuman. Baik Yusuf maupun Daniel mencapai jabatan
politis tertinggi dengan tanggung jawab yang besar (Kej. 41:41-45;
Dan.2:48-49).[19] Kedua-duanya masih
relatif muda. Mereka diuji dengan berat. Yusuf mengalami godaan-godaan moral
dan tekanan-tekanan karena tidak dipercayai dan dipenjarakan secara tidak adil.
Daniel mengalami persoalan tentang makananya sebagai orang Yahudi dan kemudian
penganiayaan berat yang mengancam hidupnya. Kedua-duanya tetap hidup oleh
pengakuan mereka secara sadar tentang kehadiran Allah bersama mereka.
Yang
paling penting, melalui jabatan mereka kedua-duanya tidak hanya melayani
kepentingan dan bekerja demi kebaikan negara yang mempekerjakan mereka. Mereka
memang memperoleh kepercayaan dan dukungan oleh karena kebijaksanaan dan
keadilan mereka. Tetapi dalam proses itu mereka melayani kepentingan minoritas
umat Allah di mana mereka juga anggotanya. Yusuf dengan tindakannya yang
bijaksana demi kepentingan Mesir, menjamin kehidupan keluarganya. Bahkan ia
tidak hanya menganjurkan penyimpanan makanan untuk tujuan tersebut, melainkan
kemudian hari ia meninjau ke belakang dan melihat kelangsungan hidup
keluarganya sebagai rencana Tuhan yang nyata dibalik perubahan nasibnya di
Mesir. Pendirian Daniel yang tidak mengenal kompromi melawan penyembahan
berhala beserta ketiga orang temannya, menghasilkan kebebasan beragama bagi
siapa saja yang menyembah Allah Israel (Dan. 3:28-29; 6:26-27). Karier Yusuf
dan Daniel menyoroti cara hamba Allah yang setia untuk melayani di bidang
politik dalam negara asing yang tidak mengakui Allah dan secara diam-diam atau
terang-terangan memusuhi umat Allah.
Dalam Perjanjian Baru, klaim Teologi Paulus bahwa pemerintah itu
berasal “ditetapkan dan hamba” Allah sesungguhnya mengandung konsepsi politik
yang luar biasa. Justru disitulah totalitas dan inti makna politik teokrasi
tetap garis konsisten para rasul.[20]
Teokrasi yang dimaksud adalah pemerintahan yang dipimpin oleh Allah. Teologi
Paulus tentang ketaatan terhadap pemerintah (Rm. 13:1-7) sering menjadi acuan
banyak kalangan saat adanya ketegangan antara gereja dan negara bahkan dapat
dijadikan doktrin yang menuntut kepatuhan tanpa daya kritis.Warga negara harus menjalankan
hak dan kewajibannya dengan kepatuhan. Disini acuan tertinggi adalah hukum
Allah. peran gereja sebagai warga negara terhadap pemerintahan adalah mengawal
atau mengontrol bahkan jika dibutuhkan memberikan nasihat (ketuguran) jika
pemerintahan penyimpang dari hukum yang sudah ditentukan atau yang berlaku di
negara tersebut. Gereja/Pendeta tidak boleh berdiam diri terhadap pemerintahan
yang sewenang-wenang atau menyimpang dari hukum atau peraturan yang sah. Secara
konkrit dan khusus rasul Paulus memberikan nasihat yang berhubungan dengan hak
dan kewajiban negara untuk membayar pajak (Rom. 13:6-7). Masalah membayar pajak
bukti nyata keterlibatan rakyat mendukung pemerintahan yang sedang berkuasa. Politik yang diajarkan oleh gereja kepada warga
jemaatnya adalah politik yang bersih dan transparan. Gereja harus mendidik
warganya menajadi orang yang siap berlaku bersih dalam politik dan
pemerintahan. Gereja mempersiapkan warganya menjadi kader politik yang siap
membangun negara menjadi lebih baik.
Menurut
penelitian Reinhold Neibur, seorang teolog Amerika Serikat, bahwa relasi
antara kekristenan dan masalah-masalah politis tidaklah menunjukkan suasana
yang menguntungkan, karena kekristenan sering kurang mampu menunjukkan
peranannya sebagai suatu sumber pandangan dan sumber bimbingan yang konstruktif
dibidang politik.[21]
Dalam pelayanannya di bidang politik, gereja hendaknya bertindak selaku alat
Kerajaan Allah di dunia yang bertugas melayani di dalam masyarakat yang lebih
luas dalam rangka mempromosikan pengertian yang penuh dengan harkat manusia
serta menjungjung tinggi kesamaan derajat dikalangan umat manusia. Oleh karena
itu gereja tidak bisa menghindarkan diri dari perjuangan mempromosikan martabat
manusia, kecuali kalau gereja itu menyetujui penindasan dari pihak yang kuat
terhadap pihak yang lemah di masyarakat. Dalam melaksanakan tugas pelayanannya
dibidang politik, gereja perlu bertindak selakuk agen moral yang sejati dan
selaku alat Kerajaan Allah di dunia ini. untuk itu renungkan akan khotbah Yesus
di bukit: “kamu adalah garam dunia….kamu
adalah terang dunia” (Mat. 5:13-14).
Kepatuhan orang-orang Kristen
menjelaskan pengakuan bahwa pemerintahan tersebut berasal dari Allah.[22]
Bukti warga negara yang baik adalah tunduk dan
loyal kepada pemerintah sekaligus yang ikut membangun semua aspek yang ada di
negara (politik, ekonomi, keamanan, dll). Dengan demikian gereja patut
mendorong warganya patuh kepada pemerintah dan mendorong warganya untuk mau dan
bersedia menjadi pejabat pemerintah. Gereja menolak setiap upaya partai politik, sekelompok orang atau
perorangan yang menjadikan gereja sebagai kenderaan politik. Dalam pentas
politik, gereja hadir sebagai “garam” dan “terang” baik dalam proses pencerahan
masyarakat, mengkritisi kebijakan dan memberikan pertimbangan dalam pengambilan
keputusan-keputusan politik. Politik merupakan panggilan gereja untuk
mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah di dunia. Sebagai institusi GBKP tidak
terlibat secara langsung untuk politik praktis serta masuk dalam partai
politik. Peran GBKP dalam dunia politik yakni menuntun dan memotivasi warga
gereja dan masyarakat agar:
1.
Tepat
dalam pertimbangan dan pengambilan pilihan
2.
Tidak
menyalahgunakan kekuasaan yang diterimanya
3.
Tidak
melanggar nilai-nilai, ketentuan dan hukum yang berlaku namun menghormati dan
mematuhinya
4.
Menghindari
konflik horizontal, kekerasan serta perpecahan oleh karena pilihan yang
berbeda.[23]
Peran
gereja/pendeta harus tetap nyata sebagai Pembina, pengawal, serta pengontrol
warga gereja/masyarakat (politikus) serta kebijakan yang diambilnya. Gereja
secara prinsip harus tetap mengawal serta mengevaluasi secara kritis pelbagai
aktivitas politik bagi local, regional, nasional, serta internasional.
Refleksi Teologis
Matius 5:13-16 mengatakan: kamu adalah garam dunia.
Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi
gunanya selain dibuang dan di injak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang
terletak diatas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak
menyalakan pelita lalu meletakkannya dibawah gantang, melainkan di atas kaki
dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya
terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik
dan memuliakan Bapamu yang di sorga. Demikianlah seharusnya peran gereja
menjadi tercecap dan terlihat. Dalam menjalankan panggilan iman (menjadi garam
dan terang) di dalam membangun politik yang menjadi berkat adalah cara hidup
yang benar menurut kehendak Tuhan. Memang menjalankan tugas panggilan iman mengenai
keterlibatan dalam politik sangat membutuhkan perjuangan, pengorbanan dan penuh
resiko. Karena peran dosa dalam politik banyak mengakibatkan adanya
kecendrungan; terutama manipulasi dan ketidakadilan dalam setiap politik,
penindasan terhadap sesama, dan belenggu bagi banyak orang. Di sinilah peran
gereja seharunya menjadi “garam” dan “terang” dunia. Gereja
di utus Allah sehingga mampu memberi pengaruh dan warna positif, menjadi saksi
Kristus di tengah-tengah dunia. Gereja yang hidup adalah gereja yang hadir
untuk memberi jawab atas pergumulan konteks di mana ia berada. Konteks tersebut
meliputi konteks sosial, budaya, ekonomi, politik, keadilan, lingkungan hidup,
kemiskinan dan sebagainya. Kehadiran gereja dalam semua realita hidup itu
adalah dengan memperlihatkan tanda-tanda kehadiran Kerajaan Allah di bumi.
Untuk itu gereja harus memiliki landasan yang kuat dalam melaksanakan misinya
di dunia ini yang bersumber dari Alkitab.
Kesimpulan
1. Pendeta/Gereja
hidup di dalam dan di tengah-tengah dunia. Gereja hidup dan berkembang dalam
berbagai realita kehidupan sosial yang mengitarinya. Gereja tidak adapat
dipisahkan dari pergumulan konteks dimana ia berada. Gereja adalah sebuah
komunitas orang percaya yang dipanggil dari dunia untuk masuk dalam persekutuan
dengan Allah dan diutus kembali ke dalam dunia menjadi “garam” dan “terang”
dunia (Matius 5:13-16).
2. Politik
dalam kehidupan masayarakat memiliki banyak sekali manfaat, jika politik itu
dijalankan sebagaimana mestinya. Karena di dalam ilmu politik tersebut telah
diajarkan mengenai bagaimana cara untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan,
tentunya dengan cara yang baik dan tidak menimbulkan negative di dalam
masyarakat. Politik telah banyak memberikan jalan dan juga konsep-konsep yang
sangat apik untuk diterapkan oleh manusia dalam setiap langkah yang ditempuhnya
untuk meraih sebuah prestise dalam masyarakat dengan maksud dan itikad yang
luhur.
3. Pendeta
boleh terlibat dalam perpolitikan karena politik sesungguhnya tidak terlepas
dalam kehidupan beragama termasuk gereja dalam hal eklesiologinya sebagai
eklesia dan keterlibatannya untuk itu pun tidak dimaksudkan untuk ikut partai
politik, tetapi turun menyuarakan suara kenabian dan menyampaikan kritik atas
kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
Daftar Pustaka
1.1.Sumber
Buku
Browning,
W. R. F., Kamus Alkitab: A Dictionary of the Bainle, (Jakarta: BPK-GM,
2010)
Cowan,
Michael A., Kepemimpinan Dalam Jemaah, (Yogyakarta: Kanisius, 1994)
Damsar,
Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015)
Danlenburg,
Pdt. G. D., Siapakah Pendeta itu? (Jakarta: BPK-GM. 2002)
Daunton,
James V., Jr., Lebel Leadership, (New York, London: The Free Press,
Collier-Macmillan
Publishers, 1973)
Gibbs,
Eddie, Kepemimpinan Gereja Masa Datang, (Jakarta : Gunung Mulia, 2010)
Gintings,
E. P., Pengembalaan, (Bandung: Jurnal Info Media, 2009)
Hamonangan,
Sirait Saut, Politik Kristen di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2001)
Jacob, Tom, Paulus:
Hidup, Karya dan Teologinya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983)
Jacobs,
Tom, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya
(Jakarta: BPK Gunung Mulia 1983)
Moderamen
GBKP, Buku Saku Pendidikan Kewarganegaraan (Tentang Politik),
(Kabanjahe,
2018)
Munthe A., Tema-tema Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008)
Nainggolan, Binsar, Pengantar Etika Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-hari bagi Warga Gereja,
(Pematang
Siantar: L-SAPA, 2007)
Sasmita, Mungki A., Gereja & Politik, (Semarang: Forum Pembinaan Majelis Jemaat
GKI-Klasis
Semarang
Barat dan Timur, 2009)
Siagian,
Prof. Dr. Sondang P., M. P. A., Teori dan Praktek Kepemimpinan,
(Jakarta: Rineka Cipta,
2010)
Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: Grasindo, 2008)
Thayer,
Joesph Henry, Greek-English Lexicon Of The New Testament, (American:Book
Company,
1889)
Wahyudi,
H. Alwi, S. H., M.Hum., Ilmu Negara dan Tipologi Kepemimpinan Negara,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2014)
Wright, Christopher, Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK
Gunung
Mulia,
2000)
1.2.Sumber
Internet
https://www.kbbi.web.id/pendeta
https://id.wikipedia.org/wiki/Pendeta#Kristen_Protestan
[1] https://www.kbbi.web.id/pendeta, di akses senin 02 Mei
2022, pukul 20.00 Wib
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Pendeta#Kristen_Protestan, di akses senin, 02 Mei
2022 pukul 20.00 Wib
[3] Joesph Henry Thayer, Greek-English
Lexicon Of The New Testament, (American:Book Company, 1889), 527
[4] W. R. F. Browning, Kamus
Alkitab: A Dictionary of the Bainle, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 131
[5] E. P. Gintings, Pengembalaan,
(Bandung: Jurnal Info Media, 2009), 24
[6]https://imanyonggi.wordpress.com/2018/04/07/apakah-kata-pendeta-sesuai-dengan-alkitab-dan-melanggar-prinsip-prinsip-firman-allah/ di akses senin 02 mei
2022, pukul 20.00 Wib
[7] Pdt. G. D. Danlenburg, Siapakah
Pendeta itu? (Jakarta: BPK-GM. 2002), 25
[8] H. Alwi Wahyudi, S. H.,
M.Hum., Ilmu Negara dan Tipologi Kepemimpinan Negara, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2014), 101.
[9] Michael A. Cowan, Kepemimpinan
Dalam Jemaah, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 53.
[10] James V. Daunton, Jr., Lebel
Leadership, (New York, London: The Free Press, Collier-Macmillan
Publishers, 1973), 22
[11] Prof. Dr. Sondang P.
Siagian, M. P. A., Teori dan Praktek Kepemimpinan, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010), 38.
[12] Eddie Gibbs, Kepemimpinan
Gereja Masa Datang, (Jakarta : Gunung Mulia, 2010), 27-28.
[13]
Binsar Nainggolan, Pengantar Etika
Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-hari bagi Warga Gereja, (Pematang Siantar:
L-SAPA, 2007), 38
[14]
Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta:
Grasindo, 2008), 167
[15] Damsar, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015), 11
[16] Sirait Saut Hamonangan, Politik
Kristen di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 2001), 137
[17]Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya
(Jakarta: BPK Gunung Mulia 1983), 93-94
[18]
Mungki A. Sasmita, Gereja & Politik, (Semarang:
Forum Pembinaan Majelis Jemaat GKI-Klasis Semarang Barat dan Timur, 2009),
4
[19]
Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat
Allah: Etika Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 129-130
[20]
Tom Jacob, Paulus: Hidup, Karya dan
Teologinya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 93
[21]
Binsar Nainggolan, Pengantar Etika
Terapan: Petunjuk Hidup Sehari-hari bagi Warga Gereja, 39-40
[22]
A. Munthe, Tema-tema
Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008), 708
[23] Moderamen GBKP, Buku Saku Pendidikan Kewarganegaraan (Tentang
Politik), (Kabanjahe, 2018), 35-36