Perpindahan Agama Karena Pernikahan Menurut Etika Kristen
Anak
keluarga Kristen yang Berpindah Agama Akibat Pernikahan
Ewen Josua
Silitonga
Pendahuluan
Perubahan sosial budaya
adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perjuangan
akan kebebasan membuat manusia semakin menemukan keutuhannya. Namun perjuangan
akan kebebasan ini tidak seluruhnya dapat dibenarkan. Karena realitas tidak
semua manusia memakai kebebasan dan potensinya untuk mempercayai kebenaran
objektif dari Allah yang dapat memperbaharui dan menuntun kehidupan mereka.
Manusia justru dengan potensinya tersebut telah mencoba membebaskan diri dari
kebenaran yang objektif yang dirasakan membelenggu, irrationil dan yang disebut
mitos agama. Desaklarisasi terjadi disetiap dimensi kehidupan manusia.
Penerimaan akan Allah dianggap sebagai pengurangan akan otoritas akal manusia.
Gelombang perubahan ini
menerpa kehidupan keluarga. Desaklarisasi keluarga terjadi karena dekadensi
atau kemerosotan nilai-nilai moral dan etika kehidupan manusia zaman ini. Makin
lama masyarakat semakin menerima sesuatu yang tadinya dianggap melawan
norma-norma agama dan “memalukan”. Keluarga tanpa nikah, free sex,
remaja mengandung, pasangan homo dan lesbi, adalah beberapa contoh dari
desklarisasi dan runtuhnya standar nilai di masyarakat[1].
Bersamaan dengan hal ini menunjukkan adanya pergeseran cara orang
mendefenisikan “keluarga”. Defenisi keluarga sebagai sekelompok individu yang
berhubungan antara satu dengan yang lainnya karena perkawinan, kelahiran, dan
adopsi telah digantikan dengan defenisi keluarga sebagai “semua orang yang
sangat saya pedulikan, dan semua orang yang sangat memperdulikan saya”[2]. Defenisi
ini berarti bahwa keluarga setiap saat bisa berubah. Anggota keluarga dapat
bertambah dan bisa dikurangi menurut perasaan keluarga tidak lagi berdasarkan
hukum atau Alkitab; keluarga berdasarkan perasaan. Dengan kata lain keluarga
zaman ini mengandung arti yang sangat lentur.Mencermati perubahan yang terjadi,
bagaimanakah sikap gereja. Apakah gereja harus mengikuti pola-pola sesuai
dengan perkembangan zaman dan bersikap permisif atau mampukah gereja
menghadirkan budaya tandingan yang tetap setia pada kehendak Allah pada
perkawinan. Namun ada beberapa
kasus yang terjadi dimana perkawinan mengorbankan agama dengan beralih agama.
Keluarga
Pengertian keluarga menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)
adalah lembaga yang terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga
dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat di bawah suatu
atap dalam keadaan saling ketergantungan.[3]Menurut
Dr. Kenneth Chafin dalam bukunya is There
a Family in the Housen? Memberi gambaran tentang maksud keluarga dalam lima
identifikasi.(Paulus Lilik Kristianto, 2008)[4]
- Keluarga merupakan tempat untuk
bertumbuh, menyangkut tubuh, akal budi, hubungan sosial, kasih dan rohani.
- Keluarga merupakan pusat
pengembangan semua aktivitas. Dalam setiap keluarga orang bebas
mengembangkan setiap karunianya masing-masing. Di dalam keluarga landasan
kehidupann anak-anak di bangun dan dikembangkan.
- Keluarga merupakan tempat yang
aman untuk berteduh saat ada badai kehidupan. Keluarga dalam hal adalah
saling memperhatikan saling menolong dalam menghadapi masalah atau
persoalan dalam keluarga.
- Keluarga merupakan tempat untuk
mentransfer nilai-nilai, la oratorium hidup bagi setiap anggota keluarga
dan salaing belajar hal yang baik.
- Keluarga merupakan tempat
munculnya permasalahan dan penyelesaiannya. Tidak ada keluarga yang tidak
menghadapi masalah hidup.
Keluarga
merupakan unit sosial yang terkecil atau sebagai sel masyarakat yang mempunyai
peranan yang sangat menentukan.Boleh dikatakan, sejahtera atau tidaknya suatu
masyarakat tergantung pada sejahtera-tidaknya keluarga-keluarga yang ada di
dalam masyarakat tersebut. Lagi pula keluarga juga mempunyai panggilan yang
luhur, yaitu menyediakan tempat dan suasana cinta kasih yang tumbuh dan
berkembang menjadi peribadi yang dewasa.(Hadisubrata, 1992).[5] Menurut Murdock dan
Haviland yang dikutip oleh Eko A. Meinarno, keluarga setidaknya memiliki dua
fungsi dasar:(Eko A. Meinarno, 2010).[6]
·
Masalah seksual. Bagi
manusia yang memiliki seperangkat aturan sosial maka seks dijadikan sebagai
area pribadi dan dikendalikan oleh masyarakat. Bentuk pengendalian itulah yang
dinamakan pernikahan yang menjadi dasar terbentuknya keluarga.
·
Pemeliharaan anak.
Pemeliharaan anak dalam konteks sederhana hanya berkisar pada pemeliharaan
fisik, seperti memberi makan, menjaganya dari gangguan luar yang berupa fisik.
Namun tidak hanya itu, keluarga juga berfungsi untuk membentuk karakter dan
perilaku anak untuk bisa hidup di kalangan yang lebih luas, yakni masyarakat.
Dengan demikian proses pemeliharaan anak mengandung sosialisasi dan
enkulturasi.
Pengertian
Perkawinan Secara Umum
Menurut W.J.S. Poerwadarminta, istilah “kawin”,
mempunyai arti yang sama dengan istilah ”nikah”. Kata “kawin” adalah perjodohan antara laki-laki dan perempuan yang
membina suami-isteri, sementara “nikah”
adalah perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-istri secara
resmi.[7]
Secara etimologi, kedua arti kata ini akan sulit dibedakan. Perbedaan akan
menjadi terlihat apabila dilihat secara teknis. Pernikahan biasanya diartikan
sebagai pengesahan perkawinan yang di dalamnya telah diberikan ikatan perjanjian
batin dan lahiriah serta azas-azas dan tujuan dari perkawinan itu sendiri. Di
Indonesia Undang-Undang yang membahas tentang perkawinan diterbitkan pada tahun
1974 Bab I pasal I, yang berisikan “perkawinan adalah merupakan ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[8]
Secara Sosiologi bahwa perkawinan adalah suatu lembaga kemasyarakatan yang
berisikan ketentuan yang diaku untuk memasuki hubungan suami isttri guna
membentuk kesatua keluarga.[9]
gagasan yang lebih devinitife dapat kita lihat dalam Kamus Umum Besar Indonesia
yang mendefinisikan perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu, yang
merupakan pertahanan abadi dan diakui oleh negara.[10] Demikianlah pengertian perkawinan
diartikan secara umum dengan ketentuan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami istri, dengan ikatan perjanjian lahir dan batin dan
berlangsung kekal sehiungga dinyatakan resmi dalam masyarakat.
Perkawinan Menurut Alkitab
Pernikahan
adalah tahap kehidupan yang di dalamnya laki-laki dan perempuan boleh hidup
bersama-sama dan menikmati seksual secara sah. Dalam Perjanjian Lama, monogamy
secara implisit tersirat dalam cerita tentang Adam dan Hawa, sebab Allah
menciptakan hanya satu istri bagi Adam. Monogamy adalah asli aturan-Nya dan itulah hubungan yang sewajarnya.[11] Dalam PB,
Perkawinan merupakan bagian penting dalam etika sosial. Para laki-laki Yahudi
diharapkan menikah untuk memperoleh anak sebagai sumbangan pada
kesinambungannya. Yesus menegaskan lebih lanjut tentang perkawinan yang mantap
melukiskan diri-Nya sebagai mempelai laki-laki (Mat. 25:1-13 ; Mrk. 2:15 ; bnd.
Mat.
22:1-4). Dia memberkati perkawinan yang terjadi di Kanaan (Yoh. 2:1-11). Dalam ajaran-Nya, Dia tidak membedakan martabat laki-laki
dan perempuan di hadapan Allah.[12]
Setelah Allah menciptakan keluarga pertama, Ia tidak lagi
menciptakan manusia lain secara langsung. Ia akan memberikan keberadaan makhluk
manusia lain melalui pasangan itu sendiri. Allah tetap manjadi pencipta segala sesuatu, namun
menyertai pria dan wanita dan pasangan suami-istri menjadi “procreator” (pencipta bersama Allah). Menurut hakikatnya,
perkawinan dan cinta kasih suami-istri tertuju kepada adanya keturunan. Allah
sendiri bersabda: “tidak baik manusia itu
hidup sendiri” (Kej. 2:18) dan “Dia
….. yang sejak semula menciptakan manusia secara khusus ikut dalam karya
penciptaan-Nya sendiri, dan memberkati pria maupun wanita sambil berfirman :
“Beranak cuculah dan bertambah banyaklah”
(Kej. 1:28).[13] Pernikahan itu
adalah Anugerah Allah yang tidak ternilai harganya. Tuhanlah yang menetapkan
lembaga keluarga. Oleh sebab itu, peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan
merupakan persekutuan hidup yang tidak bisa dibatalkan oleh manusia dan
dilakukan sebagai proses uji coba. Pernikahan itu merupakan penyerahan diri,
tubuh dan jiwa kepada Tuhan dan kepada pasangannya. Pernikahan mempunyai dasar
yang teguh yang didasarkan dari ungkapan Yesus Kristus “Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia”, (Mat
19:6). Dengan demikian pernikahan Kristen di ikat atas suatu perjanjian yang
murni di hadapan Allah, bukan di ikat oleh perasaan manusia saja.
Maksud
dan Tujuan Perkawinan Menurut Etika Kristen
Paulus
menggambarkan hubungan dalam perkawinan itu sebagaimana hubungan antara Kristus
dengan jemaat (Ef 5:22), sehingga tujuan perkawinan adalah suci, sebagaimana
Kasih Kristus terhadap jemaat-Nya. Perkawinan merupakan suatu hubungan rohani
yang mulia dan tertinggi, dimana perkawinan itu mengangkat kehidupan seseorang
yang membujang kepada kehidupan bersama orang lain, yang mempunyai hubungan
saling melengkapi dan saling menyempurnakan.[14]
Dengan demikian tujuan perkawinan Kristen tidak hanya sebatas mendapatkan
kebahagiaan, tetapi pernikahan lebih dari pada itu, bahwa melalui pernikahan
setiap keluarga mempunyai panggilan sesuai dengan maksud-maksud Allah.
Dengan singkat Yakub.
B. Susabda, merumuskan demikian:[15]
1.
Melalui pernikahan dan keluaga Kristen manusia
dipersiapkan untuk betul-betul menjadi manusia seutuhnya.
Melalui keluarga manusia belajar untuk:
a.
Mengembangkan
pattner pola kerja yang cocok untuk memahami kasih Allah yang “unconditional”
(kasih yang tidak bersyarat). Allah mengasihi manusia
tidak bergantung kepada kondisi manusia apakah layak dikasihi atau tidak. Tetapi kasih itu tetap mengalir dan tidak pernah putus
sampai sepanjang masa. Kasih yang demikianlah yang seharusnya
dimiliki kelurga.
b.
Mengembangkan pattner
pola kerja yang cocok untuk memahami kehendak Allah yang “predictable” (yang
dapat di duga). Alkitab menyaksikan bahwa Allah yang hidup adalah Allah yang
firman-Nya dianugerahkan begitu dekat. Bahkan menyatu dengan hati, mulut dan bibir anak-anak-Nya (Ul 30: 11-14).
Kehendak Allah yang “Unpredictable” adalah satu-satunya nilai yang dikembangkan
dalam kehidupan keluarga. Sikap seperti ini akan
menutup penghayatan atas kebenaran Alkitab.
c.
Mengembangkan jiwa yang
dapat mempercayai sesamanya. Manusia yang tidak mampu membangun rasa saling
percaya akan menjadi egoistic dan anti sosial dan akan sulit menerjemahkan
kasih Allah. Dalam kehidupan masyarakat. Tanpa cinta kasih di dalam kehidupan
maka menghambat kemampuan untuk dapat mempercayai sesamanya.
d.
Mengembangkan jiwa yang
dapat menghargai kemampuan dan karya sendiri. Tanpa jiwa yang mampu menghargai
jiwa kemampuan dan karyanya sendiri, manusia menjadi manusia yang tidakberguna
dan menjadi bebal bagi sesamanya.
2.
Melalui
pernikahan dan pembentukan Keluarga, orang percaya dipanggil untuk masuk
kedalam proses pendidikan yang paling efektif.
Manusia diciptakan untuk terus-menerus tumbuh dalam
bakat, talenta dan kebenaran. Sehingga dapat dipersiapkan menjadi pattner
(rekan kerja). Allah mengerjakan dan mengelolah seluruh ciptaan-Nya ( Kej 1:28;
Ef 2:10). Keluarga yang tujuan
utamanya adalah mengejar kebahagiaan justru akan kehilangan kebahagiaan itu
sendiri, tetapi perkawinan yang senantiasa setia akan panggilan dan tanggung jawabnya
dihadapan Tuhan justru itulah yang mendatangkan kebahagiaan yang senantiasa
menguatkan keutuhan perkawinan.
Penyebab Beralih Agama
Adapun
yang menjadi faktor pendorong pindah agama di antaranya:
1.
Pertama, yang menjadi faktor pindah
agama adalah perubahan status karena perkawinan dengan seseorang yang beragama
Islam, alasan ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Jalaluddin, bahwa yang
menyebabkan pindah agama karena pengaruh faktor intern dan ekstern, salah satu
faktor ekstern yaitu karena adanya perkawinan dengan yang berbeda agama, dengan
adanya perkawinan maka statusnya berubah, berubah juga agamanya karena orang
itu menikah dengan seseorang yang beda agama, tetapi perlu dikritisi bahwa
secara kasat mata yang melakukan perkawinan adalah fisik personalnya, sedangkan
agama menyangkut persoalan batin karena menyangkut keyakinan, sehingga bisa
terjadi yang kelihatan fisiknya pindah agama, tetapi batin atau
keyakinannyatidak berubah, sehingga wajar kalau seseorang itu kembali ke agama
yang semula dianutnya. Dari faktor perubahan status ini jelas bahwa pindah
agama terjadi karena pengaruh faktor sosial.
2.
Kedua, karena pengaruh faktor kecewa
dengan suami yang tidak memberikan bimbingan,. Perasaan kecewa, adalah masalah
psikologis, akibat adanya kesenjangan antara apa yang diharapkan dan kenyataan
tidak sama, mengharapkan dapat bimbingan tetapi tidak mendapatkan bimbingan
agama. Perasaan tersebut lama-kelamaan menimbulkan keresahan yang berlanjut
pada perasan tertekan, dan pada akhirnya mendorong keinginan untuk beralih ke agama
yang lain. Perasaan kecewa ini bisa diakibatkan karena merasa kurang mendapat
perhatian dari keluarga (suami), alasan ini sesuai faktor penyebab pindah agama
dari faktor psikologis yang berasal dari faktor luar diri, yaitu dari keluarga,
diantaranya ketidak harmonisan, kurang mendapat perhatian, kesepian dan
sebagainya.
3.
Faktor pengaruh lingkungan anggota
keluarga yang berbeda agama. adalah seorang yang semula beragama Kristen
tinggal bersama dengan keluarga anaknya yang beragama Islam, keadaan tersebut
menjadikan dia merasa asing berada di tengah keluarga, karena lingkungan
keluarga kurang mendukung akhirnya mempengaruhinya untuk pindah agama, apalagi
secara jelas responden diajak anaknya untuk pindah agama Islam, dan ia
menerimanya. Pindah agama karena faktor lingkungan keluarga ini didukung oleh
pendapat Jalaluddin yang menyatakan, dalam perspektif sosiologis yang
menyebabkan terjadinya konversi adalah pengaruh sosial, di antaranya pengaruh
hubungan antar pribadi, keluarga, famili, sahabat dan sebagainya. Sebagai
catatan, pendapat Jallaludin benar, bahwa lingkungan sosial mempengaruhi
seseorang untuk pindah agama, tetapi pendapat ini gugur ketika di tengah
masyarakat ada keluarga yang berbeda agama tinggalserumah dan mereka bisa
menjaga kerukunan. karena itu persoalan terpengaruh tidaknya untuk pindah agama
tergantung pribadinya.
4.
Faktor pengaruh ajakan anggota
keluarga, ini jelas bahwa diajak atau dipengaruhi anaknya untuk pindah agama lain,
walaupun pada awalnya merasa berat tetapi akhirnya secara resmi yang
bersangkutan menyatakan diri telah masuk ke agama lain. Kasus pindah agama
karena ajakan anggota keluarga ini didukung oleh teori Jalaluddin, seperti yang
dikemukakan di atas, tetapi perlu juga dikritisi bahwa tidak semua orang
Kristen terpengaruh masuk Islam karena ajakan anggota keluarga yang beragama
Islam.
5.
Faktor perubahan status menjadi
duda, setelah ditinggal mati istrinya responden, merasa kesepian, membutuhkan
teman, dan yang ada adalah anak dan cucunya yang beragama Islam. Keadaan
tersebut membuatnya tidak nyaman apalagi berada di tengah anggota keluarga yang
muslim, akhirnya mempengaruhi untuk pindah agama Islam. Perubahan status
menjadi duda ini menjadi salah satu pemicu terjadinya tekanan batin, yang pada
akhirya menghasilkan keputusan untuk pindah agama. Secara psikologis tekanan
batin ini memicu seseorang untuk pindah agama.[16]
6.
Pengaruh tekanan batin, persaan takut
dan kawatir dikucilkan keluarga, kesepian karena sudah duda, adanya ajakan
untuk masuk agama lain memicu terjadinya tekanan batin, dalam keadaan tertekan
itulah dia yang sudah usia lanjut berada dalam posisi lemah ia memutuskan untuk
pindah agama ke lain. Secara psikologis ia mengalami tekanan batin, ia mencari
jalan keluar dengan memutuskan pindah agama.Dalam tinjauan ilmu psikologi,ia
pindah agama karena pengaruh tekanan batin. Tekanan itu timbul dari dalam diri
seseorang karena pengaruh lingkungan sosial, tekanan itu bisa dari faktor
masalah keluarga, kesepian batin, tidak mendapat tempat dalam kerabat.
Kesimpulan
Dari dari pemaparan diatas pindah agama yang terjadi
dapat disimpulkan bahwa faktor yang mendorong seseorang pindah agama adalah
pengaruh faktor sosial, dan faktor psikologis. Faktor pengaruh sosial di antaranya
: pengaruh lingkungan sosial, faktor dari pengaruh lingkungan keluarga,
pengaruh teman baik, perubahan status sosial, dan pengaruh pendidikan,
sedangkan pengaruh faktor psikologsi, diantaranya karena faktor internal,
seperti kemauan yang kuat untuk pindah agama, kemauan untuk belajar agama lain,
perasaan kecewa, takut, gelisah, yang menyebabkan seseorang mengalami tekanan
batin. Pada proses pindah agama, seperti pada kasus yang dipaparkan di atas
dalam prosesnya membutuhkan waktu yang relatif lama dan bertahap, tidak terjadi
secara spontan, karena melibatkan pengaruh sosial dan faktor psikologis. Di
sisi lain mereka yang pindah agama bukan karena ketertarikan seseorang terhadap
keunggulan atau kelemahan ajaran atau dogma agama, tetapi karena pengaruh
faktor sosial dan faktor psikologis, sedangkan alasan umum mereka melakukan
pindah agama adalah untuk memperoleh ketentraman batin
[1] Yakub B. Susabda. Keluarga
Dan Proses Desaklarisasi, (Jakarta:
Parakletos No. 3, Juli-September, 1997),
hlm. 2.
[2] Josh Mcdowel, Both Hosteller, Antara
Benar Dan Salah, Terjemahan Anton Adiwiyoto, (Jakarta: Profesional Books, 1997), hlm. 341.
[3]http/www.KBBI.wikipedia.org.keluarga, diakses pada 20 November 2020,
15.45.
[4]Paulus Lilik Kristianto, Prinsip
dan Praktik Pendidikan Agama Kristen,(Yogyakarta, ANDI, 2008), hal. 140.
[5] M.S.Hadisubrata,M.A, Keluarga
dalam Dunia Modern, (Jakarta:BPK Gunung Mulia 1992), 1
[6] Eko A. Meinarno, “Konsep Dasar Keluarga” dalam Karlinawati Silalahi
dan Eko A. Meinaro (penyunting), Keluarga Indonesia: Aspek dan Dinamika Zaman
(Jakarta: Rajawali Press, 2010), 6-7
[7] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jawa
Timur: Gandum Mas, 1982, hal. 305
[8] J. Kussoy, Menuju Kebahagaiaan Kristiani
Dalam Perkawinan, Malang: Gandum Mas, 1994, hal. 7.
[9] Ibid, hlm.1.
4 W.J.S. Poerwadarminta, Op.
Cit, hal. 306
[11] J. D. Douglas (Penyunting), Ensiklopedi ALkitab Masa Kini Jilid II,
Jakarta : YKBK, 2005, hal. 154
[12] Donald Guthrie, Teologi PB III, Jakarta: BPK-GM, 2006. hal. 309-310
[13] Maurice Eminyan, Teologi Keluarga, Yogyakarta : Kanisius, 2001. hal.
29-31
[14] J. Wesly, Tafsiran surat Korintus Pertama.
[15] Yakub. B. Susabda, Tujuan Pernikahan dan Keluarga
Kristen, (Jakarta: Parakletos, 1997), hal. 67
[16] Jalaludin, (2011), Psikologi Agama, Rajafindo Persada, Jakarta, hlm,365