Perjudian Menurut Etika Kristen
Perjudian
(Termasuk
di Dalamnya Judi Online)
Ewen Josua
Silitonga
I.
Pendahuluan
Ada
berbagai bermacam bentuk perjudian, mulai perjudian di perkotaan sampai
perkampungan di Indonesia. Bentuknya
pun beraneka ragam, bahkan
judi online bukan hal baru lagi di tengah-tengah dunia ini. Judi dipraktikkan mulai dari strata sosial yang paling atas sampai yang paling bawah. Bagi kebanyakan orang berharap
bahwa aktivitas ini perlu dibatasi karena judi dianggap berpotensi untuk menyeret seseorang
ke dalam berbagai
permasalahan moral. Maka dari itu,
hari ini kita akan berdiskusi bagaimana etika kristen dalam menyikapi
perjudian.
Defenisi Perjudian Secara Umum
Perjudian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
merupakan “permainan dengan memakai uang sebagai taruhannya”.[1]
Perjudian diartikan sebagai perbuatan dengan berjudi. Berjudi adalah
mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam sebuah permainan tebakan
berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang
lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula.[2]
Dalam pengertian lain perjudian juga disebut sebagai hazardspel (Kansspel), di mana permainan judi merupakan permainan
untung-untungan yang dapat dihukum berdasarkan peraturan yang ada.[3]
Selain itu perjudian adalah permainan di mana bertaruh untuk memilih satu
pilihan diantara beberapa pilihan di mana hanya satu pilihan saja yang benar
dan menjadi pemenang, pemain yang kalah taruhan akan memberikan taruhannya
kepada si pemenang, pertaruhan dan jumlah taruhan ditentukan sebelum
pertandingan dimulai.[4]
Menurut G.W. Bawengan perjudian dapat dilakukan
dengan mempertaruhkan uang atau benda berharga, mengharapkan keuntungan yang
tidak pasti. Mengharapkan keuntungan atau harapan untuk menang ialah yang
merupakan daya tarik bagi setiap perjudian.[5]
Perjudian merupakan pertaruhan dengan sengaja yaitu mempertaruhkan satu nilai
atau sesuatu yang dianggap bernilai, dengan sadar bahwa akan resiko dan harapan
tertentu pada peristiwa-peristiwa permainan, perlombaan dan kejadian-kejadian
yang tidak atau belum tentu hasilnya.[6]
Perjudian dengan menggunakan sarana teknologi
informasi yaitu judi online melalui internet saat ini sedang marak. Menurut
Onno W. Purbo, yang disebut sebagai judi online atau judi melalui internet
(internet gambling) biasanya pada
kegiatan olah raga atau kasino melalui Internet. Di mana seluruh proses baik
itu taruhannya, permainannya maupun pengumpulan uangnya melalui internet. Para
penjudi akan diharuskan untuk melakukan deposit dimuka sebelum dapat melakukan
judi online. Artinya harus ada melakukan transfer sejumlah uang kepada admin
website judi sebagai deposit awal. Setelah petaruh mengirim uang maka akan
mendapatkan sejumlah koin untuk permainan judi.
Jika menang maka uang hasil taruhan akan dikirim lewat transfer bank
pula dan jika kalah maka koin akan berkurang . Jadi seseorang yang mau
melakukan perjudian harus lebih dahulu mendaftar sebagai member, dengan
melakukan registrasi member ke admin website tersebut untuk mendapatkan
username dalam mengikuti permainan dimaksud. Bila sudah memiliki username,
admin akan memberikan arahan dalam mengikuti permainan dan berkomunikasi
tentang prosedur permainan. Karena itu untuk bertransaksi antara pemain/
petaruh dengan pengelola judi, mereka juga menggunakan jasa transaksi bank
dengan media internet. Di samping menggunakan internet dalam berkomunikasi
dengan member, admin website menggunakan handpone dengan nomor tertentu yang
digunakan antar member.[7]
Perjudian Menurut Hukum Di Indonesia
Perjudian dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) diatur dalam Pasal 303 KUHP dan Pasal 303 ayat 1 KUHP, bahwa
perjudian merupakan perbuatan yang dilarang. Isi dari pasal 303 KUHP adalah
sebagai berikut:
- Dengan hukuman penjara selama-lamanya
sepuluh tahun atau denda sebanyak-banyaknya dua puluh lima juta rupiah,
dihukum barang siapa dengan tidak berhak:
a. Menuntut pencaharian dengan jalan sengaja
mengadakan atau memberi kesempatan untuk main judi, atau sengaja turut campur
dalam perusahaan main judi;
b. Sengaja mengadakan atau memberi kesempatan
untuk main judi kepada umum, atau sengaja turut campur dalam perusahaan untuk
itu, biar pun ada atau tidak ada perjanjiannya atau caranya apa juga pun untuk
memakai kesempatan itu;
c. Turut main judi sebagai pencaharian;
- Kalau melakukan kejahatan itu dalam
jabatannya, dapat ia dipecat dari jabatannya itu.
- Yang dikatakan main judi yaitu tiap-tiap
permainan, yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumya bergantung
kepada untung-untungan saja, dan juga pengharapan itu jadi bertambah besar
karena kepintaran dan kebiasaan pemain.Yang itu terhitung masuk main judi
ialah pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain, yang
tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba atau bermain itu, demikian
juga segala pertaruhan yang lain-lain.
Sedangkan dalam Pasal 303 ayat 1 (KUHP) yang
mengatur tentang tindak pidana perjudian berbunyi :
- Dengan hukuman penjara selama-lamanya
empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sepuluh juta rupiah dihukum:
a. Barang siapa mempergunakan kesempatan main
judi, yang diadakan dengan melanggar ketentuan Pasal 303;
b. Barang siapa turut main judi di jalan umum atau
didekat jalan atau di tempat yang dapat dikunjungi oleh umum, kecuali kalau
pembesar yang berkuasa telah memberi izin untuk mengadakan judi itu.
- Jika pada waktu melakukan pelanggaran itu
belum lalu dua tahun, sejak ketetapan putusan hukuman yang dahulu bagi si
tersalah lantaran salah satu pelanggaran ini, maka dapat dijatuhkan
hukuman penjara selama enam tahun atau denda sebanyak lima belas juta
rupiah.[8]
Perjudian Menurut UU No. 7 Tahun 1974 tentang
Penertiban Perjudian Menurut pasal 1 UU No.7 tahun 1974 menyatakan bahwa semua
tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Bahwa pada hakekatnya perjudian
merupakan perbuatan yang bertentangan dengan agama, kesusilaan, dan moral
Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara. Perjudian merupakan penyakit masyarakat yang merupakan tindak
kejahatan yang ternyata tidak mudah diberantas. Kebiasaan berjudi menimbulkan
masalah sosial seperti penyebab kemiskinan, perceraian, anak terlantar, dan
putus sekolah, dan membudayakan kemalasan, juga bersifat kriminogen, yaitu
menjadi pemicu untuk terjadinya kejahatan yang lain. Demi mendapatkan uang
berjudi, pelaku judi dapat merampok, mencuri, korupsi, membunuh, ataupun KDRT.
Penyelenggaraan perjudian mempunyai akses yang negatif dan merugikan terhadap
moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Pemerintah harus
mengambil langkah dan usaha untuk menertibkan dan mengatur kembali perjudian,
membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya. Maka untuk maksud tersebut
perlu mengklasifikasikan segala macam bentuk tindak pidana perjudian sebagai
kejahatan, dan memberatkan ancaman hukuman yang sekarang berlaku ternyata sudah
tidak sesuai lagi dan tidak membuat pelakunya jera. Peraturan Pemerintah dalam
pelaksanaan Pasal 3 UU No 7 Tahun 1974 tentang penertiban perjudian, mengatur
tentang larangan pemberian izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis
perjudian, oleh Pemerintahan Pusat dan Daerah, baik yang diselenggarakan
dikasino, di tempat keramaian maupun yang dikaitkan dengan alasan lain.[9]
Bentuk-Bentuk
Perjudian[10]
Perjudian di Kasino, antara lain terdiri dari:
1.
Roulette
2.
Blackjack
3.
Baccarat
4.
Creps
5.
Keno
6.
Tombola
7.
Super
Ping-pong
8.
Lotto
Fair
9.
S
a t a n
10. Paykyu
11. Slot machine (Jackpot)
12. Ji Si Kie
13. Big Six Wheel
14. Chuc a Luck
15. Lempar paser/bulu ayam pada sasaran atau papan
yang berputar (Paseran)
16. Pachinko
17. Poker
18. Twenty One
19. Hwa-Hwe
20. Kiu-kiu.
Perjudian di tempat-tempat keramaian, antara
lain terdiri dari perjudian dengan:
1. Lempar paser atau bulu ayam pada papan atau
sasaran yang tidak bergerak
2. Lempar Gelang
3. Lempar Uang (Coin)
4. Kim
5. Pancingan
6. Menembak sasaran yang tidak berputar
7. Lempar bola
8. Adu ayam
9. Adu sapi
10. Adu kerbau
11. Adu domba/kambing
12. Pacu kuda
13. Karapan sapi
14. Pacu anjing
15. Hailai
16. Mayong/Macak
17. Erek-erek.
Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan
lain, antara lain perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan:
1. Adu ayam
2. Adu sapi
3. Adu kerbau
4. Pacu kuda
5. Karapan sapi
6. Adu domba/kambing
7.
Faktor
Penyebab Seseorang Melakukan Perjudian
Ada beberapa faktor penyebab maraknya judi
togel di kalangan masyarakat,diantaranya:[11]
1.
Faktor Belajar
Faktor belajar memiliki efek yang besar
terhadap perilaku berjudi, terutama menyangkut keinginan untu terus berjudi.
Apa yang pernah dipelajari dan menghasilkan sesuatu yang menyenangkan akan
terus tersimpan dalam fikiran seseorang dan sewaktu-waktu ingin diulang lagi.
2.
Faktor Sosial dan Ekonomi
Bagi masyarakat dengan status sosial dan
ekonomi yang rendah perjudian seringkali menganggap perjudian sebagai suatu
sarana untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Hal ini disebabkan karena
kemampuan ekonomi seseorang sangat rendah dan tidak sebanding dengan jumlah
kebutuhan yang sangat mendesak untuk dipenuhi. Tekanan seperti itulah yang
menyebabkan seseorang atau kelompok melakukan perjudian.
3.
Faktor Lapangan Kerja
Banyaknya pengangguran yang tercipta juga ikut
andil sebagai penyebab seseorang melakukan perjudian. Mereka memiliki pemikiran
bahwa dengan bermain judi atau membuka usaha perjudian maka akan mendapatkan
kekayaan yang melimpah tanpa harus kerja keras,apalagi melihat kondisi ekonomi
sekarang dimana untuk mendapatkan pekerjaan sangatlah sulit.
4.
Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya perjudian. Seseorang yang bergaul dengan orang lain di lingkungan
yang pekerjaan memang bermain judi, maka suatu saat nanti akan sangat gampang
terjerumus dan ikut menjadi penjudi, karena setiap hari yang mereka saksikan
adalah perjudian. Sehingga lama kelamaan menjadi kebiasaan. Harus diakui bahwa
peniruan dalam masyarakat memang memiliki pengaruh yang lebih besar.
Perjudian
Dalam Perspektif Alkitabiah[12]
Alkitab
memang tidak secara langsung menyebut soal judi. Namun, beberapa ayat di
dalamnya bisa membantu kita tahu pandangan Allah tentang judi. Pada dasarnya,
judi adalah memenangkan uang orang lain. Ini bertentangan dengan peringatan
Alkitab untuk menghindari “setiap jenis
keinginan akan milik orang lain”, atau ketamakan. (Lukas 12:15). Orang yang berjudi
sebenarnya adalah orang yang tamak.Tempat-tempat judi menjanjikan hadiah yang
sangat besar, tapi tidak memberitahukan betapa kecilnya peluang untuk menang.
Mereka tahu bahwa para pejudi yang ingin kaya akan mempertaruhkan banyak uang.
Judi tidak membuat orang menghindari ketamakan, tapi justru membuat mereka
ingin mendapat uang dengan mudah. Para pejudi punya tujuan yang egois ini:
menang di atas kekalahan orang lain. Tapi, Alkitab menasihati kita untuk “tidak mencari keuntungan bagi diri sendiri,
melainkan bagi orang lain”. (1 Korintus 10:24).
Dan salah satu dari Sepuluh Perintah berbunyi, “Jangan mengingini . . . apa pun milik sesamamu.” (Keluaran 20:17). Seorang pejudi yang sangat
ingin menang sebenarnya berharap orang lain kalah dan kehilangan uang. Alkitab
juga memperingatkan agar kita tidak percaya pada keberuntungan atau nasib baik.
Di Israel zaman dulu, beberapa orang yang kurang beriman kepada Allah mulai memberikan
persembahan kepada ”allah Keberuntungan”.
Apakah Allah menyetujui perbuatan itu? Tidak. Ia berkata, ”Kamu terus melakukan apa yang jahat di mataku, dan memilih perkara
yang tidak kusenangi.” (Yesaya 65:11-12). Alkitab memperingatkan, “Orang yang bertekad untuk menjadi kaya jatuh dalam godaan dan jerat
dan banyak keinginan yang hampa dan menyakitkan, yang menjerumuskan orang-orang
ke dalam kebinasaan dan keruntuhan.” (1 Timotius 6:9).
Judi didorong oleh ketamakan, dan ketamakan adalah sifat yang merusak. Maka,
Alkitab menyebut “ketamakan” sebagai
sifat yang harus dihindari (Efesus 5:3).
Orang berjudi karena ingin cepat kaya, sehingga mereka menjadi orang yang cinta uang. Dan Alkitab menyebut cinta uang
sebagai ”akar segala macam perkara yang mencelakakan”. Keinginan seperti itu
bisa mengendalikan kehidupan seseorang, sehingga dia khawatir berlebihan dan
kehilangan iman kepada Allah. Alkitab menggambarkan bahwa orang yang terjerat
cinta uang seolah-olah menikam diri mereka dengan banyak kesakitan (bnd. 1 Timotius 6:10). Orang yang tamak tidak
pernah puas dengan apa yang ia miliki sehingga tidak pernah bahagia. “Orang yang mencintai perak tidak akan
dipuaskan dengan perak, demikian pula orang yang mencintai kekayaan tidak akan
dipuaskan dengan penghasilan.”(lih. Pengkhotbah 5:10). Banyak orang yang berjudi akhirnya menjadi
kecanduan.Hal ini terjadi di mana-mana. Di Amerika Serikat saja, diperkirakan
ada jutaan orang yang kecanduan judi. Alkitab mengatakan, “Warisan yang diperoleh dengan ketamakan tidak akan diberkati.”
(lih. Amsal 20:21). Ada pecandu judi yang
terjerat utang atau bahkan bangkrut, serta kehilangan pekerjaan, pasangan
hidup, dan teman. Kalau kita menerapkan nasihat Alkitab, kita bisa terhindar
dari dampak buruk judi atas kehidupan dan kebahagiaan kita. “Orang yang bertekad untuk menjadi kaya jatuh dalam godaan dan
jerat dan banyak keinginan yang hampa dan menyakitkan, yang menjerumuskan
orang-orang ke dalam kebinasaan dan keruntuhan.”(1 Timotius 6:9). Judi dapat didefinisikan sebagai upaya
mempertaruhkan uang dalam usaha untuk melipatgandakan uang untuk sesuatu yang
kemungkinannya kecil. Alkitab tidak secara khusus mencela perjudian, pertaruhan
atau lotto itu sendiri. Tapi secara
jelas, Alkitab memperingatkan kita untuk menjauhkan diri dari mencintai uang (1
Timotius 6:10; Ibrani 13:5). Alkitab juga menasehati kita untuk menjauhkan diri
dari usaha “mendapat kekayaan dengan cepat” (Amsal 13:11; 23:5; Pengkhotbah
5:10). Judi sangat jelas berfokus pada usaha mencintai uang dan menggoda orang
dengan janji untukmendapatkan kekayaan secara cepat dan mudah.
Pandangan
Etika Kristen tentang Perjudian
Aspek penatalayanan dan
pelayanan tidak terdapat di dalam judi, itu sebabnya judi bukanlah
bekerja. Di dalam judi tidak ada aspek timbal-balik antara menatalayani
seseuatu dengan keuntungan yang diharapkan. Judi juga harus dibedakan
dari unsur risiko atau untung-untungan yang juga ada dalam investasi modal dalam bisnis atau transaksi-transaksi bisnis lainnya. Ada perbedaan yang besar antara
ketidakpastian dalam bisnis dengan ketidakpastian peluang dalam
judi. Perbedaan tersebut
bukan sekadar kuantitas, artinya
perbedaannya bukan bahwa dalam bisnis rasio
untuk meraih untung lebih besar dan terprediksi (misalnya, 1:10), sedangkan dalam judi rasio kemungkinannya jauh lebih kecil dan tidak dapat
diprediksi (misalnya, 1:1.000.000). Perbedaan probabilitas dalam bisnis dan judi lebih bersifat kualitas. Maksudnya, probabilitas dalam bisnis memiliki
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
akal sehat, sedangkan
probabilitas dalam judi tidak
memiliki alasan yang dapat dipertanggungjawabkan secara
akal sehat. Walaupun seorang
pelaku bisnis dapat melakukan kesalahan dalam investasi dan mengalami
kerugian besar, kerugian
tersebut tetap dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional—walaupun dapat terjadi kerugian tersebut disebabkan karena alasan-alasan non-rasional, misalnya, karena bencana alam,
dan sebagainya, sebaliknya baik keuntungan besar maupun kerugian dalam judi tidak memiliki
pertanggungjawaban secara
rasional. Harus diakui bahwa
judi memang mengandung unsur “permainan” (game)
dan “hiburan” (entertainment), tetapi
permasalahannya kedua hal tersebut bukan hakikat judi. Keduanya hanyalah
sarana (means) dan efek samping (side effect) dari judi itu sendiri. Judi memakai berbagai
macam bentuk permainan yang mendatangkan hiburan.
Tetapi hakikat judi bukan pada permainan itu sendiri. Hakikat
judi adalah:
1.
Sesuatu yang berharga, umumnya uang, yang dipertaruhkan (something valuable at stake);
2.
Keuntungan atau kerugian
yang tidak dapat atau sulit ditebak
(unpredictable outcome);
3.
Pengambilan risiko yang didasarkan pada kemungkinan yang acak (risk
based on random
chances).
Prinsip etika utilitarianisme dapat pakai untuk
menunjukkan bahwa judi adalah
sebuah aktivitas yang salah secara
moral. Teori etika ini dapat didefinisikan secara sederhana sebagai
sebuah teori yang mengajarkan bahwa nilai moral
sebuah tindakan ditentukan oleh apakah
konsekuensi dari tindakan
tersebut memaksimalkan atau meminimalkan
sesuatu yang baik dan berguna
(utility). Menurut John Stuart Mill dalam
bukunya “On Liberty” membahas tentang
perzinahan (fornication), judi (gambling), kemabukan
(drunkenness) dan pemakaian
obat-obatan terlarang (drugs. Ia menempatkan diskusi
tentang perbuatan-perbuatan tersebut di dalam konteks
kaitan antara tindakan seseorang dengan hukum-hukum di dalam masyarakat. Menurutnya selama seseorang tidak mengganggu ketentraman hidup bersama di masyarakat, maka apapun tindakannya, orang tersebut tidak
dapat dijerat dengan pasal hukum tertentu. Dengan kata lain, hukum moral dalam
masyarakat tidak ada sangkut-pautnya dengan kesenangan pribadi,
bahkan kesenangan pribadi yang sifatnya merusak-misalnya, masturbasi atau
mabuk-mabukan selama konsekuensi dari tindakan tersebut
hanya merugikan orang itu sendiri dan tidak merugikan masyarakat. Sanksi
hukum berlaku hanya ketika perbuatan-perbuatan tersebut dinilai
mengganggu ketentraman hidup bersama di masyarakat. Secara
prinsip, Mill berkata
bahwa negara atau pemerintah tidak memiliki wewenang
hukum atas sebuah
tindakan yang tidak merugikan
orang banyak dan hanya merugikan
si pelaku itu sendiri. Namun demikian, menurut
Mill hal ini lalu bukan berarti tidak ada
rambu-rambu moral untuk
mencegah seseorang dari tindakan-
tindakan individu yang sifatnya merugikan
si pelaku itu sendiri. Sebab kalaupun judi hanya merugikan diri sendiri, hal itu cukup untuk menjadi indikasi bahwa judi bukan perbuatan moral
yang baik. Berangkat dari teori utilitas, ia berpendapat bahwa apabila kepuasan diri tersebut sifatnya
merusak diri (self-damaging) dan pada akhirnya
hanya mendatangkan kesusahan, maka perbuatan tersebut
tidak baik atau salah secara
moral.5 Dengan kata lain, ia menganjurkan seseorang untuk berhati-hati terhadap judi karena konsekuensi-konsekuensi negatif
yang dapat ditimbulkan dari judi. Judi dapat menyebabkan seseorang
ketagihan atau bahkan menyeret
seseorang ke dalam hutang, kriminalitas, obat-obatan, dan lain sebagainya.
Ia juga menambahkan bahwa judi patut dihindari
karena “kepuasan” atau “kesenangan” yang ditimbulkan dari judi nilainya
tidak setara dengan kepuasan atau kesenangan yang lebih berkualitas, seperti misalnya
kepuasan dari hasil prestasi olahraga
atau kesusesan dalam bisnis, atau rasa
puas dari menikmati hasil karya seni kelas tinggi. Kepuasan
judi adalah kepuasan palsu
dibandingkan dengan kepuasan-kepuasan dari hasil
tindakan-tindakan lain yang sifatnya lebih mulia. Teori semacam ini tentu berguna
untuk mengingatkan orang-orang yang terlibat dalam perjudian bahwa ada banyak
perbuatan yang lebih mulia ketimbang mengadu nasib
di meja judi, beli nomor buntut, atau memutar mesin jackpot
di kasino. Menurut
utilitarianisme, jika seseorang
mau meningkatkan kesenangan dan kepuasan diri adalah lebih baik kalau memilih perbuatan yang lebih mulia, daripada aktivitas-aktivitas dalam judi yang tidak mengandung arti baik bagi perkembangan diri maupun orang lain. Dengan jumlah uang yang sama yang dikeluarkan di meja judi, seseorang dapat memakainya untuk
perbuatan yang nilainya lebih luhur.
Teori etika lainnya yang dapat juga pakai untuk menganalisa judi adalah deontologisme. Menurut
teori yang kedua, di dalam dunia ini ada
hukum moral yang bersifat universal (berlaku untuk semua
orang) dan dapat dimengerti
oleh semua orang dengan akal sehatnya.
Penekanan di dalam teori etika ini adalah
di dalam universalitas atau kesamarataan semua hukum. Itu sebabnya, sebuah
tindakan dikatakan benar secara
moral apabila di dalamnya mengandung moralitas yang
sifatnya universal. Teori ini dapat dipakai untuk menolak perjudian
karena judi dianggap sebagai sebuah bentuk distribusi kekayaan atau kemiskinan yang sifatnya acak. Melalui judi, seseorang
dapat mendadak jadi kaya, padahal ia tidak berbuat sesuatu yang layak
untuk menerima kekayaan
tersebut. Hal ini melanggar prinsip ekonomi universal
yang sehat karena upah atau imbalan
yang diterima seseorang sedapat mungkin
harus seimbang dengan tenaga
yang ia keluarkan. Selain itu, dalam judi, seseorang hanya
dapat menerima keuntungan dengan
cara merugikan orang
lain. Itu sebabnya karena berjudi seseorang juga dapat tiba-tiba
menjadi miskin. Dengan kata lain, menurut teori
ini judi adalah
tindakan yang salah secara moral karena judi bertentangan prinsip
keadilan di dalam konteks kehidupan ekonomi yang sehat. Judi membuat seseorang mengingini keuntungan
tanpa usaha dan dengan cara merugikan orang lain. Seorang
yang menganut teori deontologisme akan berkata bahwa
kita tidak mungkin dapat hidup di dalam
dunia di mana seseorang meraih
keuntungan dan harta yang mana pendapatan tersebut tidak ada kaitannya sama sekali
dengan talenta atau kerja keras.
Sementara itu, mereka yang bekerja lebih keras dan memiliki
talenta yang lebih banyak meraih
pendapatan yang lebih kecil daripada mereka
yang tidak bekerja.
Masyarakat yang hidup dengan aturan semacam
ini tidak akan dapat bertahan.
Dengan demikian, oleh karena
judi melanggar prinsip
keadilan dengan menanamkan prinsip
pendapatan tanpa bekerja,
maka teori etika kedua
menegaskan bahwa judi adalah hal yang
salah secara moral.
Teori kedua ini memberikan sumbangsih yang positif karena mengingatkan pentingnya bekerja, yaitu
bahwa keuntungan hanya
pantas diraih melalui usaha keras dalam mengembangkan akal budi, talenta
dan berkat-berkat kehidupan lainnya.
Hidup yang penuh makna adalah hidup
di mana kekayaan yang seseorang
dapatkan adalah imbalan
setimpal dari usaha mengembangkan secara maksimal segala potensi pribadi dan sumber yang ada padanya. Menggantungkan harapan masa depan pada nomor buntut, mesin slot atau praktik-praktik judi lainnya sama saja dengan membuang waktu dan menyia-nyiakan segala potensi yang ada pada diri
seseorang. Teori ini juga mengingatkan bahwa meraih untung dengan
merugikan orang lain adalah sesuatu
yang salah. Judi seringkali disebut sebagai zero-sum game, artinya sebuah bentuk permainan
dengan uang di mana keuntungan yang seseorang raih jumlah totalnya sama dengan jumlah uang yang hilang dari mereka yang tidak beruntung. Dengan kata lain, judi adalah sebuah bentuk ketidakadilan yang terselubung.[13]
Analisa
Di
dalam Alkitab, kita menemukan adanya praktik “membuang
undi.” “Undi dibuang di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari pada TUHAN” (Ams. 16:33). “Lalu mereka membuang undi bagi kedua orang itu
dan yang kena undi adalah
Matias dan dengan
demikian ia ditambahkan kepada bilangan kesebelas
rasul itu” (Kis. 1:26). Kedua ayat
ini menunjukkan bahwa
praktik “membuang undi”
adalah sebuah perbuatan yang tidak asing bagi penulis
Alkitab. Memakai teori
probabilitas untuk suatu tujuan tertentu
bukanlah hal yang salah secara moral. Di dalam Alkitab “membuang undi” memiliki makna yang bersifat ritual keagamaan. Patut dibedakan antara “membuang undi” sebagai wujud teori probabilitas dalam konteks sebuah permainan atau pengambilan keputusan, dengan pemakaian teori probabilitas dalam konteks judi. Atau dengan kata lain, kita tidak dapat menghakimi bahwa semua bentuk permainan
berhadiah atau permainan di atas papan yang
memanfaatkan teori probabilitas adalah hal-hal yang berdosa. Di dalam konteks ini, teori probabilitas hanyalah merupakan natur atau sifat
dari permainan tersebut. Hal itu berbeda dengan
judi di mana teori
probabilitas dipakai untuk memikat keserakahan yang ada pada diri setiap manusia berdosa. Kesalahan moral pada judi bukan terletak
pada teori probabilitas itu sendiri, tetapi pada pemanfaatan teori probabilias untuk menimbulkan keinginan memiliki lebih (desiring to possess) lewat jalan pintas.
sesekali mengambil resiko untung-untungan barangkali tidak dapat dihakimi sebagai
bentuk keserakahan. Perbuatan tersebut barangkali tidak memberikan pengaruh
apa-apa terhadap kepribadian seseorang. Tetapi
sesuatu yang dilakukan berulang-ulang khususnya melalui judi, dapat membuat
pola pikir untung-untungan menjadi cara hidup kita ada di dalam tangan pemeliharaan Tuhan. Jatuh-bangun dan pasang-surut hidup seseorang dipimpin
oleh Tuhan. Ketika kita mengalami kesulitan secara keuangan,
panggilan kita sebagai
orang Kristen adalah beriman
dan percaya bahwa Tuhan menyediakan jalan keluar. Tetapi di saat seperti itu, popularitas judi dapat menjadi
tawaran yang sangat menarik karena sepertinya
memberikan harapan. Orang sering
kali tidak menyadari bahwa
harapan tersebut sebenarnya sedang membutakannya baik terhadap
pemeliharaan Tuhan maupun terhadap
bahaya yang lebih besar yang dapat
diakibatkan dari judi. Bagaimana dengan seseorang
yang berdoa agar menang dalam judi?
Tentunya ini adalah sebuah doa yang salah, karena yang seharusnya orang itu
lakukan adalah menjauhi
judi, dan bukan merasionalisasi hal yang salah dengan hal rohani. Menambahi
cita rasa rohani
pada perbuatan yang salah tidak kemudian membuat
perbuatan yang salah
tersebut menjadi rohani.
Memakai judi untuk “mengelabui” Tuhan dengan janji persembahan kalau menang adalah
sebuah bentuk erosi
iman. Pemeliharaan Tuhan atas umat-Nya
memang seringkali tidak nampak,
bahkan membawa seseorang pada situasi
yang “mencemaskan,” sehingga kita terdorong untuk membuat
jalan keluar sendiri.
Tetapi kita harus ingat bahwa tujuan utama dan pertama dalam pemeliharaan Tuhan adalah iman yang sepenuhnya bergantung pada Tuhan. Bergantung sepenuhnya bukan berarti tidak
berbuat apa-apa, tetapi
di dalam proses bergantung
tersebut kita juga belajar untuk membedakan dengan jeli antara “mencari
jalan pintas” dengan “mencari hikmat”
lewat cara-cara yang diperkenan
oleh Tuhan. Daya tarik judi sering kali hanya harapan
yang kosong. Sebuah studi
oleh organisasi yang menganalisa kasus-kasus bunuh diri di Amerika
mendapati bahwa ada kaitan yang erat antara pilihan untuk mengakhiri
hidup dengan judi. Tidak heran bila presentase bunuh diri yang paling
tinggi di Amerika adalah di kota Las Vegas, salah satu pusat perjudian
utama di Amerika.10 Bagaimana mereka
yang berjudi bisa sampai pada titik di mana mereka
memilih untuk mengakhiri hidup mereka?
Alasannya macam-macam, tetapi umumnya karena mereka tidak lagi
melihat jalan keluar akibat hutang
yang terlalu banyak,
situasi kehidupan yang makin
memburuk akibat judi, perselisihan dengan
keluarga dan teman-teman dekat akibat uang, atau keterlibatan dengan berbagai
kriminalitas seputar perjudian. Judi menutupi mata seseorang dari harapan sejati di dalam janji pemeliharaan
Tuhan.
Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat saya paparkan adalah sebagai berikut:
- Perjudian
diartikan sebagai perbuatan dengan berjudi. Berjudi adalah mempertaruhkan
sejumlah uang atau harta dalam sebuah permainan tebakan berdasarkan
kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih
besar daripada jumlah uang atau harta semula. Menurut G.W. Bawengan
perjudian dapat dilakukan dengan mempertaruhkan uang atau benda berharga,
mengharapkan keuntungan yang tidak pasti. Mengharapkan keuntungan atau
harapan untuk menang ialah yang merupakan daya tarik bagi setiap
perjudian. Perjudian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur
dalam Pasal 303 KUHP dan Pasal 303 ayat 1 KUHP, bahwa perjudian merupakan
perbuatan yang dilarang.
- Alkitab memang tidak secara langsung
menyebut soal judi. Namun beberapa ayat di dalamnya bisa membantu kita
tahu pandangan Allah tentang judi. Pada dasarnya, judi adalah memenangkan
uang orang lain. Ini bertentangan dengan peringatan Alkitab untuk
menghindari “setiap jenis keinginan
akan milik orang lain”, atau ketamakan. (Lukas 12:15). Judi didorong oleh ketamakan, dan
ketamakan adalah sifat yang merusak. Maka, Alkitab menyebut “ketamakan” sebagai sifat yang
harus dihindari (Efesus 5:3). Orang berjudi karena ingin cepat
kaya, sehingga mereka menjadi orang yang cinta uang.
- Aspek penatalayanan dan
pelayanan tidak terdapat di dalam judi, itu sebabnya judi bukanlah
bekerja. Prinsip etika utilitarianisme dapat pakai untuk menunjukkan bahwa judi adalah sebuah aktivitas yang salah secara moral. Teori etika ini dapat didefinisikan secara sederhana sebagai sebuah teori yang
mengajarkan bahwa nilai moral sebuah tindakan ditentukan oleh apakah konsekuensi dari
tindakan tersebut memaksimalkan atau meminimalkan
sesuatu yang baik
dan berguna (utility).
makainya untuk perbuatan yang nilainya lebih luhur. Teori etika lainnya yang dapat juga
pakai untuk menganalisa judi adalah deontologisme. Menurut teori yang kedua, di dalam dunia ini ada hukum moral yang bersifat universal (berlaku untuk semua orang) dan
dapat dimengerti oleh
semua orang dengan akal sehatnya.
Penekanan di dalam teori etika ini
adalah di dalam universalitas atau kesamarataan semua hukum. Itu sebabnya, sebuah tindakan dikatakan benar secara moral apabila di
dalamnya mengandung moralitas yang sifatnya universal. Itu artinya, tindakan judi adalah
sesuatu pelanggaran moral apapun alasannya.
Daftar Pustaka
- Sumber Buku
…,
PP No. 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan UU No7 Tahun 1974 tentang Penertiban
Perjudian
Algra
N.E. & RR.W. Gokkel, Kamus Istilah
Hukum Fockema Andreae (diterjemahkanoleh
Saleh Adiwinata dkk), Jakarta: Bina
Cipta.
Apriyantyo
Dani, Judi dan Macamnya, Bandung:
Erlangga, 1999.
Bassar
M. Sudradjat, Tindak-Tindak Pidana
Tertentu, Bandung: Remadja Karya, 1986.
Bawengan
G.W., Masalah Kejahatan Dengan Sebab dan
Akibatnya, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1977.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta:Balai Pustaka, 1989.
Kartono
Kartini, Pathologi Sosial, Jakarta:
Rajawali Jilid I, 1981.
Poerwadarminta,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi
Kedua), Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Soesilo R.,
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
Bogor: Politeia, 1995.
- Sumber Jurnal
Kalvin
S. Budiman, Filsafat Judi, “Etika
Sekuler, dan Erosi Iman”, (Veritasi: Jurnal Teologi dan Pelayanan, Edisi
April 2012.
.
- Sumber Internet
https://www.bphn.go.id/data/documents/81pp009.pdf, diakses pada hari Rabu, 16 Maret 2022, Pukul
12.41 WIB.
Yulwhinar
Duaja Saputra,
Dosa Dalam Judi Dalam Alkitab, https://www.scribd.com/document/332848474/Dosa-Dalam-Judi-dalam-Alkitab, diakses pada hari Minggu, 20 Maret 2022,
Pukul 21.33 WIB.
Onno
W Purbo, Kebangkitan Nasional Ke-2
Berbasis Teknologi Informasi, https://www.yc1dav@garuda.drn.go.id, diakses hari Sabtu, 19 Maret 2022, Pukul
12.20 WIB.
[1]
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Edisi Kedua), (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 419.
[2]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1989), 367.
[3]
N.E. Algra & RR.W. Gokkel, Kamus
Istilah Hukum Fockema Andreae (diterjemahkanoleh
Saleh Adiwinata dkk), (Jakarta: Bina Cipta, 1983), 186.
[4]
M. Sudradjat Bassar, Tindak-Tindak Pidana
Tertentu, (Bandung: Remadja Karya, 1986), 179.
[5]
G.W. Bawengan, Masalah Kejahatan Dengan
Sebab dan Akibatnya, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1977), 81.
[6]
Kartini Kartono, Pathologi Sosial,
(Jakarta: Rajawali Jilid I, 1981), 51.
[7]
Onno W Purbo, Kebangkitan Nasional Ke-2
Berbasis Teknologi Informasi, https://www.yc1dav@garuda.drn.go.id,
diakses hari Sabtu, 19 Maret 2022, Pukul 12.20 WIB.
[8]
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, (Bogor: Politeia, 1995), 110.
[9]
…, PP No. 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan UU No7 Tahun 1974 tentang Penertiban
Perjudian
[10]
https://www.bphn.go.id/data/documents/81pp009.pdf,
diakses pada hari Rabu, 16 Maret 2022, Pukul 12.41 WIB.
[11]
Dani Apriyantyo, Judi dan Macamnya,
(Bandung: Erlangga, 1999), 25.
[12] Yulwhinar Duaja Saputra, Dosa Dalam Judi Dalam Alkitab, https://www.scribd.com/document/332848474/Dosa-Dalam-Judi-dalam-Alkitab, diakses pada hari Minggu, 20
Maret 2022, Pukul 21.33 WIB.
[13]
Kalvin S. Budiman, Filsafat Judi, “Etika
Sekuler, dan Erosi Iman”, (Veritasi: Jurnal Teologi dan Pelayanan, Edisi
April 2012), 2-6.