Lesbi, Gay, Biseksual, Transgender & Queer Menurut Perjanjian Baru

 


MENGUAK ARTI DAN MAKNA LGBTQ  DARI PERSPEKTIF PERJANJIAN BARU DAN REFLEKSINYA DALAM KEHIDUPAN BERGEREJA SAAT INI

Ewen Josua Silitonga

I.               Pendahuluan

Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah yaitu laki-laki dan perempuan (bnd. Kej 1:26-27). Sebagai gambar Allah, manusia diharapkan mampu mencerminkan citra Allah dalam kehidupan dan tindakannya. Khususnya melalui anugerah seksual yang diberikan Allah kepada manusia. Tuhan menciptakan hubungan seksual dengan tujuan untuk menyatukan suami dan isteri, dan untuk prokreasi yaitu menghasilkan keturunan. Namun, dalam perjalannannya, banyak pria dan wanita mengambil jalan yang berbeda dari rancangan awal yang diberikan Tuhan mengenai hubungan seksual, yaitu melakukan seksual yang menyimpang. Pada pembahasan kita ini, kita akan membahasa Menguak Arti dan Makna LGBTQ Dari Perspektif Perjanjian Baru dan Refleksinya Dalam Kehidupan Bergereja Saat Ini.

 

II.            Pembahasan

2.1.Pengertian LGBTQ

Homoseksual berasal dari kata homo yang berarti ‘sama’ dan sexsual yang berarti hubungan seksual atau berhubungan dengan kelamin. Jadi, homoseksual dapat diartikan tindakan seksual dan kasih sayang antara individu berjenis kelamin sama. Dengan kata lain homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin yang sama dengan mereka.[1] Kartono mendefinisikan homoseksual sebagai relasi seks jenis kelamin yang sama, atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yang sama. Homoseksual dapat dimasukkan ke dalam kajian abnormalitas seksual yang terdapat dalam psikologi abnormal.[2] Selanjutnya, Dede Oetomo memberikan defenisi homoseksual sebagai orientasi  atau pilihan seks yang diarahkan kepada seseorang yang berjenis kelamin sama atau ketertarikan orang secara emosional dan seksual kepada seseorang dari jenis kelamin yang sama.[3] Seseorang dengan orientasi homoseksual mempunyai gairah seksual yang ditujukan  terhadap orang dengan jenis kelamin yang sama. Karena itu homoseksualitas mengacu pada kegitan erotis dengan seorang yang mempunyai jenis kelamin yang sama.  Ada dua istilah terdapat pada orang yang mempunyai kecenderungan homoseksual yaitu lesbian  dan  gay. [4]

Namun akhir-akhir ini, komunitas homoseksual (lesbian dan gay) menggunakan istilah LGBT. LGBT adalah akronim dari lesbian, gay, biseksual, dan trasngender. Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa “komunitas gay”,  karena istilah ini dianggap lebih mewakili kelompok-kelompok yang lebih luas. Akronim ini digunakan untuk mewakili beragam seksualitas dan identitas gender, merujuk pada siapa pun yang transgender dan/ atau minat sejenis/sejenisnya. Penggunaan akronim dimaksudkan sebagai cara yang mencakup semua untuk mengenali identitas gender dan orientasi seksual yang berbeda. Penambahan identitas lain pada akronim LGBT juga memainkan peran penting dalam mengenali dan menghubungkan mereka dengan komunitas yang lebih luas.  Akronim LGBTIQ memiliki tujuan penting, tidak hanya dirancang agar lebih inklusif, tetapi juga mewakili identitas diri orang-orang transgender dan atau sejenis peminat gender.[5] Adapun singkatan dari LGBTIQ adalah sebagai berikut:

L yaitu Lesbian. Lesbian adalah istilah yang digunakan untuk perempuan yang memilih orientasi seksualnya kepada sesama perempuan baik secara fisik, seksual, atau emosional. G yaitu Gay. Gay merupakan istilah untuk laki-laki yang memilih orientasi seksualnya pada sesama lelaki. B yaitu Bisexsual. Bisexual digunakan untuk seseorang yang menyukai sejenis atau dua jenis kelamin (laki-laki dan perempuan). T yaitu Transgender. Transgender adalah istilah untuk seseorang yang memiliki penampilan atau perilaku yang tidak sesuai dengan peran gendernya, perilaku ini dapat membuat seseorang mengganti jenis kelaminnya yang biasa dilakukan melalui operasi.[6] I yaitu Intersex. Intersex adalah orang yang memiliki dua jenis kelamin. Jenis kelamin yang dimiliki yaitu kelamin laki-laki dan perempuan, namun demikian biasanya diantara kedua jenis kelamin tersebut ada yang lebih dominan fungsinya dibandingkan dengan kelamin yang lain.[7] Q yaitu Queer. Queer adalah aneh yang bersifat negatif dan misterius. Dari segi makna hampir sama dengan eccentric dan odd, tetapi kata ini memiliki konotasi negatif, yaitu aneh yang sifatnya misterius, asing, ganjil, mencurigakan atau meragukan, dan membawa ancaman. Kata queer biasanya digunakan untuk melukiskan sesuatu yang aneh sehingga tampak jahat atau berbahaya.[8] Queer merujuk walau pada dasarnya hanya pada kelompok yang memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis, yaitu lesbian dan gay, tetapi ia melampaui pembatasan tersebut.[9]

 

2.2.LGBTQ Dalam Masyarakat Yunani – Romawi

Dalam peradaban Yunani kuno, ketertarikan seksual kepada sesama jenis merupakan hal yang normal. Homoseksual pada masa Yunani kuno terjadi antara laki-laki dewasa dan laki-laki remaja (12-18 tahun). Tindakan ini disebut pedophilia yaitu tindakan ketertarikan seksual pada anak-anak. Homoseksual tidak terjadi antara dua laki-laki dewasa. Laki-laki dewasa yang menjadi pelaku homoseksual disebut erastes (kekasih) dan seorang pemuda remaja disebut eromenos (tercinta).[10] Laki-laki dewasa Yunani juga memiliki isteri dan keluarga. Hubungan homoseksual tidak menggantikan pernikahan antara pria dan wanita, tetapi terjadi sebelum dan bersamaan dengan pernikahan lawan jenis.[11] Bagi warga Yunani kuno, bukanlah hal yang tercela ketika pria yang sudah menikah memiliki hubungan dengan anak laki-laki remaja. Laki-laki dewasa Yunani juga diharapkan memiliki keturunan dari isteri sahnya. Semua orang Yunani kuno akrab dengan kisah cinta laki-laki, dan pola perilaku homoseksual zaman Yunani kuno sifatnya komersial.[12] Namun hubungan percintaan dan seks antara sesama laki-laki dewasa merupakan hal yang diangap konyol. Norma yang berlaku, yaitu laki-laki dewasa memilliki hubungan dengan laki-laki remaja. Jika remaja tersebut sudah beranjak dewasa maka hubungan harus selesai dan pelaku homoseksual harus mencari remaja lainnya.[13] Selain itu homoseksual perempuan pada zaman Yunani kuno dihubungkan dengan sebuah pulau yaitu pulau Lesbos. Lasbos merupakan tempat penyair Yunani kuno bernama Sappho. Puisi-puisi Sappho banyak bercerita tentang hasrat dan cinta tokoh-tokoh di dalamnya, yaitu berbicara tentang cinta dan kegilaan pada perempuan (kadang berbalas, kadang tidak).[14]

Sedangkan dalam tradisi Romawi kuno, kemolekan tubuh kaum lelaki muda tetap menjadi objek seksual para pria dewasa. Homoseksual dilakukan antara budak dan majikan (Dominus) sebagai kekuasaan mutlak dengan otoritas terbatas di keluarga besar sendiri. Dalam tradisi Romawi kuno, seorang budak, baik pria maupun wanita, dianggap sebagai properti seksual.[15] Tidak hanya itu, tetapi homoseksual yang terjadi dalam tradisi Romawi kuno tidak hanya kepada budak saja tetapi juga kepada laki-laki dewasa bebas. Bahkan para kaisar Romawi melakukan praktek homoseksual dari kaisar Tiberius hingga kaisar Nero. Sebagai contoh, Kaisar Nero menikah dengan seorang perempuan, namun ia juga melakukan tindakan homoseksual dengan mengawini sesama jenisnya. Ia melakukan upacara pernikahan formal dengan salah satu geng mesum bernama Pythagoras.[16]

 

2.3.LGBTQ Ditinjau dari Perjanjian Lama

Beberapa bagian dari kitab-kitab PL menunjukkan secara implisit maupun eksplisit mengenai sikap Alkitab terhadap homoseksual (LGBTQ), yaitu: Kejadian 19:5; Imamat 18:22; Imamat 20:13; dan Hakim-hakim 19:22.

Kisah Kejadian 19 ini merupakan cerita-sebab (etiologi) yang hendak menerangkan alasan rohani mengapa suatu kota bersama dengan rakyatnya  yang makmur, kaya raya dan senang, dihabiskan dari muka bumi. Penyebabnya adalah mengabaikan Allah secara teoritis dan mengkhianati kemauan Allah secara praktis oleh penduduk kota Sodom dan Gomora. Bencana alam itu tidak dijelaskan secara alamiah, melainkan secara rohani saja.[17] Kisah ini diawali ketika kedua utusan Allah tiba di Sodom pada waktu petang. Kebutuhan mereka yang mendesak adalah tempat untuk menginap. Penduduk kota itu tidak ada yang mau menerima orang asing itu. Hanya Lot yang mendesak dan meminta mereka bermalam di rumahnya. Di seluruh kota Sodom, Lot satu-satunya orang yang masih ingat akan kebenaran dan ketetapan Allah. Bagi orang Sodom, orang asing ada di luar perlindungan hukum, di luar perdamanian/ kesejahteraan; orang asing bukanlah orang kita, bukanlah kawan, melainkan lawan. Semua lawan harus dibinasakan, diperkosa, dan dirugikan sekuat mungkin orang asing merupakan pokok penindasan, sumber nafsu, dan rampasan. Seluruh isi kota itu menjadi bangun untuk mempergunakan dan memakai kesempatan tersebut untuk mempermainkan dan menindas orang asing itu.[18]

Dalam Kejadian 18:20, dikatakan: “Sesungguhnya  banyak keluh kesah orang tentang Sodom dan Gomora   dan sesungguhnya sangat berat dosanya”. Ungkapan ini datang  dari hasil pengamatan Allah. Salah satu dosa Sodom dan Gomora  dilukiskan dalam Kejadian  19:5 yang berbunyi: “Bawalah mereka keluar kepada kami, supaya kami pakai mereka”. Kata Ibrani yang dipergunakan  untuk istilah “memakai” ini ialah   יָדַע  (yadha), yang berarti: tahu semuanya (luar dalam), mengenal, memahami, bersetubuh (to know sexually, sexual relation, have intercourse with, copulate: Kej 4:1; I Raja 1:4), homo sexually (Kej 19:5) atau dengan wanita (Kej 19:8).[19]  Para lelaki kota Sodom ingin “memakai” kedua orang malaikat itu (laki-laki) maksudnya adalah untuk melakukan hubungan homoseksual dengan mereka. Perilaku mereka itu adalah kekejian di mata Tuhan, sehingga Tuhan  menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, berasal dari Tuhan, dari langit; dan ditunggang balikkanNyalah kota-kota itu dan lembah Yordan dan semua penduduk kota-kota serta tumbuh-tumbuhan di tanah (Kej 19:24-25).

Hal ini senada dengan peristiwa di Gibea yang tertulis dalam Hakim-hakim 19:1-30, ketika seorang Lewi dalam perjalanan membawa gundiknya dari Betlehem-Yehuda untuk pulang ke pegunungan Efraim. Ketika hari sudah gelap (malam) mereka dijamu seorang tua  yang tinggal di Gibea supaya makan dan bermalam di rumahnya. Namun kemudian datanglah orang-orang kota itu, orang-orang dursila, mengepung rumah itu. Mereka menggedor-gedor pintu sambil berkata kepada orang tua, pemilik rumah itu: “Bawalah ke luar orang yang datang ke rumahmu itu, supaya kami pakai dia” (Hak 19:22). Ungkapan “supaya kami pakai dia” maksudnya ialah melakukan  hubungan seksual atara laki-laki penduduk Gibea dengan orang Lewi.

Jadi, dalam PL hubungan seksual yang sejenis, antara laki-laki dengan laki-laki dan sebaliknya merupakan “kekejian” di mata Tuhan (Im 18:22). Jangankan hubungan seksual dengan sejenis, hubungan seksual dengan menantu pun akan diganjar dengan hukuman mati (Im 20:13). Referensi ini cukup membuktikan kepada kita bahwa homoseksual (LGBTQ) adalah kekejian di mata Tuhan, karena hal itu merusak kekudusan umat Tuhan. Untuk menjaga kekudusan umat Tuhanlah maka Allah memberikan larangan “Jangan berzinah!”. Melalui Musa, Allah memberikan hukum-hukum kekudusan bagi umat Tuhan (Im 15-20) termasuk dengan kudusnya perkawinan (Im 18:6-23).[20] Hukum ini sebagai peraturan diberikan sebagai tanda pembeda bangsa Israel dengan bangsa-bangsa yang ada di sekirtar mereka. Umat Tuhan haruslah tetap kudus, karena Tuhan Allah adalah Allah yang Maha Kudus (Im 19:2). Bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Allah ada yang mempraktekkan homoseksualitas, jadi bangsa Israel ditegaskan agar tidak terpengaruh dan mengikuti kebiasaan-kebiasaan bangsa-bangsa lain itu.

 

2.4.LGBTQ Ditinjau dari Perjanjian Baru

Dalam Perjanjian Baru juga ada larangan untuk melakukan hubungan seksual dengan sejenis yaitu antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Secara khusus ucapan Paulus di dalam suratnya dalam Roma 1:26-27; I Korintus 6:9b-11a; I Timotius 1:8-10.

Willi Marxen melihat ketiga perikop tersebut agaknya dilatarbelakangi oleh situasi umum jemaat-jemaat Kristen Hellenis di luar Palestina yang sedang menghadapi kebejatan moral, ketamakan, dan kejahatan yang mulai menginfiltrasi kehidupan jemaat. Secara khusus, teguran Paulus dalam perikop-perikop tersebut berkenaan dengan pelacuran laki-laki dan perselingkuhan seksual di antara sesame jenis, yang semata-mata didorong oleh nafsu berahi dan keinginan mencari kepuasan seksual. Teguran Paulus tersebut juga terkait dengan kekerasan dan egoisme dalam perilaku seksual, baik yang terjadi di dalam rumah tangga, maupun di luar rumah tangga. Pelacuran, perselingkuhan, kekerasan seksual, dan egoisme seksual seperti itu lazim terjadi dalam lingkungan masyarakat  fasik Hellenis.[21]

 

2.4.1.      Roma 1:26-27

Paulus sebagai penulis kitab Roma tidak diragukan lagi (Rm 1:1), sekalipun jemaat di Roma bukanlah bentukan Paulus. Penerima surat ini adalah orang-orang Kristen Yahudi dan non Yahudi yang berkumpul dalam sejumlah jemaat rumah tangga.[22] Kitab Roma ditulis  sekitar tahun 58 M. Kaisar Romawi yang berkuasa saat penulisan kitab Roma adalah Kaisar Nero[23]. Adapun tujuan penulisan kitab Roma adalah sebagai surat Prophylacticletter (surat pencegahan) akan hal-hal yang mungkin terjadi. Hal ini didasarkan atas pengalaman Paulus sendiri sering terjadi kekacauan dalam jemaat karena ide yang salah, gagasan yang berbelit-belit dan ajaran yang sesat mengenai ajaran Kristen. Sehingga bila terjadi pencemaran nantinya melanda jemaat, maka jemaat sudah mempunyai pertahanan  yang kuat yaitu dengan iman yang benar.[24] Sehingga dengan surat ini sudah sejak awal dipersiapkan pencegahan untuk hal-hal yang tidak diinginkan Paulus. Tujuan penulisan ini sangat erat kaitannya dengan peristiwa tindakan penyembahan berhala yang terjadi di sekitar Roma, untuk itu perlu antisipasi. Sebab bila tidak diantisipasi dapat mencemarkan identitas mereka sebagai orang yang percaya.[25] Dalam kesempatan ini, Paulus menuliskan surat Roma, dengan menyatakan hukuman Allah atas dosa-dosa manusia. Dalam menggambarkan dosa itu dipakainya polemik yang lazim dipakai orang-orang Yahudi bila mengecam kaum penyembah berhala dan bangsa-bangsa kafir. Namun, yang dipersalahkan di sini bukanlah  bangsa kafir itu melainkan keadaan “manusia” (ay 18b). Orang-orang Yahudi, yang yakin berada di tingkat lebih tinggi karena memiliki hukum Taurat, tidak luput dari penilaian negatif, bahkan menjadi sasaran utama kritik Paulus.[26]

Roma 1:26-27: “Karena itu Allah menyerahkan  mereka kepada hawa nafsu  yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki , dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan  mereka”. Dalam ayat ini, Paulus menyebutnya dengan “hawa nafsu yang memaluka, menggantikan persetubuhan yang wajar (persetubuhan yang alami) dengan persetubuhan yang tidak wajar (beside nature)”. Bukan hanya isteri, tetapi juga ada suami-suami yang meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka, mereka melakukan kemesuman, laki-laki dengan laki-laki. Dalam ayat 27 ditandaskan bahwa perselingkuhan para isteri dan para suami untuk mencari kepuasan seksual dengan sesama jenisnya itu sama sekali bukan dimotivasi oleh kasih dan kesetianan, melainkan oleh “nafsu yang menyala-nyala (esekuthesan), “berahi” (oreksis) satu sama lain dan “sifat tidak tahu malu” atau “kemesuman” (askhemosune).[27] Kata ασχημοσυνη (askhemosune) artinya tindakan yang “tidak tahu malu, memalukan, ketidaksenonohan dan kecabulan. Ini menunjukkan tindakan yang tidak wajar, bahkan diterjemahkan memalukan sebab ia tidak tahu malu. Sehingga Paulus tegas menyebutkan kepada jamaat bahwa orang  yang melakukan tindakan yang tidak  wajar adalah tindakan yang memalukan dan akibatnya mereka akan menerima balasan yang setimapal untuk kesesatan mereka.[28] Jadi, jelas bahwa Paulus mengkritik motivasi di balik perilaku dan penyimpangan seksual (LGBT) yaitu mengubah seksual yang wajar kepada yang tidak wajar dan tindakan ini (LGBT) adalah tindakan yang menyimpang dari hukum Allah maupun hukum alam.

 

2.4.2.      I Korintus 6:9b-11a

Korintus bukanlah kota kuno yang lama dikenal sebagai pusat kekuasaan politik, perdagangan, budaya dan kesenian. Kota ini relatif baru, karena sebelumnya dihancurkan oleh orang-orang Romawi tahun 146 SM dan dibangun kembali oleh Julius Caesar pada tahun 44 SM. Kota  ini terletak di leher sempit wilayah yang menghubungkan daratan Yunani dangan Peloponesos, berfungsi sebagai daerah penghubung antara Utara dan Selatan, maupun sebagai kota pelabuhan besar yang mempertautkan Timur dan Barat. Tahun 37 SM, Korintus menjadi pusat provinsi Romawi, yaitu Akaya, yang diperintah oleh seorang prokonsul Romawi.[29]

Sebagai kota pelabuhan, Korintus kembali menjadi sebuah metropolitan yang berkembang. Kota ini mengundang penduduk campuran dari Timur dan Barat. Peranannya sebagai sebuah kota pelabuhan menarik sisi-sisi yang kurang menggembirakan, yang sering kali dikaitkan dengan pelabuhan: kejahatan dan imoralitas seksual Korintus telah menjadi ungkapan bahasa: “bertindak seperti orang Korintus” yang berarti menjadi seseorang yang tidak bermoral (lih. I Kor 5:1-5; I Kor 6:9-20).

Seperti kota-kota besar lainnya di dunia Yunani-Romawi, Korintus adalah tempat berkembangnya pemujaan dewa-dewi. Dewa-dewi kuno dari Timur bersaing dengan dewa-dewi Romawi dan Yunani, seperti Afrodit dan Apolo, yang disembah di kuil-kuil utama di kota itu. Mereka akrab dengan praktik pelacuran kuil dan dengan percabulan sebagai bagian dari penyembahan kepada dewa-dewi mereka. Di Korintus, terdapat kuil Afrodit (atau Venus) dan kuil dewi cinta, mempunyai lebih dari seribu pelacur untuk melayani. “Melacur” adalah sebuah ungkapan yang sering muncul dalam PL. kata ini tidak hanya menunjukkan percabulan tetapi juga penyembahan berhala.[30] 

Kebanyakan anggota jemaat Korintus berasal dari orang-orang non Yahudi (I Kor 12:2). Hal ini tercermin dari persoalan-persoalan yang dihadapi, seperti keikutsertaan dalam upacara-upacara keagamaan kafir, penghakiman di depan orang-orang kafir, dan pelacuran. Di samping menghadapi perpecahan jemaat yang disebabkan oleh perbedaa pendapat  tentang makanan yang dipersembahkan kepada berhala dan ketidakrukunan jemaat dalam perjamuan kudus (I Kor 12), jemaat Korintus juga menghadapi masalah-masalah etis dan sosial, yang diakibatkan oleh pengaruh pola hidup masayarakat  Hellenis Korintus yang penuh kemaksiatan.[31]

Dalam lingkungan kebobrokan seksual masyarakat sekitarnya, jemaat Korintus diingatkan agar mereka tidak menjadi serupa dengan lingkungannya. Paulus dalam I Korintus 6:9-10 menghadirkan pertanyaan dan sebuah ketegasan: “Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah”. Paulus dalam ayat ini menyebutkan berbagai bentuk kebobrokan seksual  dengan beberapa istilah, yaitu: pornos (orang-orang yang melakukan perzinahan), moikhos (laki-laki penzinah yang sudah menikah), malakos (lunak atau lembek, yang dalam ayat ini diartikan sebagai “laki-laki yang dipakai secara pasif dalam kontak seksual”) dan arsenokoites (laki-laki yang secara aktif menyetubuhi sesama jenisnya).[32] Paulus menggunakan dua kata Yunani yaitu: malakos dan arsenokoites:

·         Malakos (kelembutan- weakliness) artinya satu sisi “pakaian yang halus” (bnd Mat 11:8; Luk 7:25) tapi di sisi lain menunjuk kepada “keperempuanana, atau laki-laki bersifat seperti perempuan”. Inilah yang disebut banci. Dalam masyarakat Yunani kata sifat malakos dalam arti pakaian halus menggambarkan orang bersifat keperempuan-perempuanan dan mengizinkan mereka diperlakukan sebagai wanita. Kata malakos dalam teks perikop ini menjelaskan tindakan homoseksual, karena kata itu dilanjutkan dengan perkataan arsenokoitai artinya seseorang melakukan hubungan homoseksual atau semburit (bnd. I Kor 6:9). Dan tindakan itu merupakan kekejian.

·         Arsenokoites adalah kata majemuk, yang terdiri dari dua kata yaitu arsen yang berarti “laki-laki” dan koiten yang berarti “tempat tidur”. Jadi, arsenokoites berarti laki-laki yang melakukan perbuatan cabul. Dari artian kata ini arsenokoites tidak langsung menunjuk kepada tindakan homoseksual hanya menunjuk perbuatan cabul. Namun terjemahan Alkitab (TB) kata itu disebut “pemburit”, artinya bersetubuh dengan sesama laki-laki.[33]

Jadi Paulus menyebut dengan jelas semua penyimpangan prilaku seksual tersebut digolongkan sebagai dosa dan orang yang melakukan jenis-jenis kejahatan itu termasuk homoseksual “tidak mendapat bagian dalam kerajaan Allah” (ay 10).

 

2.4.3.      I Timotius 1:8-10

Surat I Timotius ini bersifat pribadi, sebab ditujukan kepada Timotius (I Tim 1:2), tetapi juga untuk kepentingan gerejawi. Surat I Timotius merupakan bagian dari surat pastoral/ pengembalaan. Surat ini ditulis sekitar tahun 60-65 M, yaitu pada saat pemerintahan Kaisar Nero yang memiliki orientasi heteroseksual dan homoseksual.[34] Tertulianus mengatakan bahwa Paulus menuliskan surat ini berkenaan dengan keberadaan jemaat. Sebagai gereja yang baru lahir, gereja diibaratkan sebagai sebuah pulau di tengah-tengah samudera kekafiran. Situasi yang sedang dihadapi surat ini adalah ajaran sesat yang berbahaya, yang mengancam kesejahteraan gereja Kristus yaitu ajaran yang menghasilkan amoralitas.[35]

Surat I Timotius menandaskan pentingnya kehidupan yang saleh bagi orang percaya. Mereka harus teguh dalam iman, penuh kasih, tekun, rendah hati, ramah-tamah, dan murah hati (I Tim 2:2; 4:7, 12; 6:6-11, 17-19). Dalam I Timotius 1:5 dinyatakan bahwa tujuan nasehat itu ialah kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas. Iman yang tulus dan perilaku yang saleh bergantung pada ajaran yang benar. Ajaran yang benar mengajarkan iman yang tulus dan menghendaki prilaku yang saleh.[36] Sehubungan dengan itu, Timotius dan jemaat dinasehati agar sebagai umat beriman mereka menunjukkan iman mereka dengan jalan menerapkan Taurat secara benar, karena Taurat itu berlaku untuk semua manusia, baik orang benar maupun orang berdosa. Dalam hal ini, ada dua istilah yang sama sebagaimana kita temukan dalam surat I Korintus  6:9b-11a, yang dalam ayat 10 digunakan untuk menyebut perilaku seksual yang menyimpang, yang digolongkan sebagai perbuatan dosa, yaitu pornos (orang yang melakukan perzinahan atau hubungan seksual yang tidak sesuai dangan hukum/adat) dan arsenokoites (laki-laki yang secara aktif menyetubuhi sesama jenisnya oleh karena dorongan nafsu berahi).[37] Jadi, sama dengan penggunaannya dalam I Korintus 6:9b-11a, hal yang menjadi permasalahan dalam kedua istilah tersebut adalah perselingkuhan sebagai penyimpangan perilaku seksual yang tidak didasarkan kasih dan kesetiaan, melainkan hanya didorong oleh nafsu berahi semata-mata. Dan bagi Paulus dampak dari perilaku tersebut sangatlah jelas yaitu tidak layak dan tidak mendapat bagian dalam kerajaan Allah.

 

2.5.Faktor-faktor Seseorang Menjadi LGBTQ

Prilaku LGBTQ tidak muncul secara tiba-tiba pada diri seorang homo, akan tetapi ada beberapa faktor penyebabnya. Secara umum ada beberapa penyebab seseorang  menjadi LGBTQ, antara lain:[38]

a.       Faktor Keluarga

Didikan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya memiliki peran yang penting bagi para anak untuk lebih cenderung menjadi seorang homeseksual dari pada hidup naormal layaknya orang yang lainnya.

·         Ketika seorang anak mendapatkan perlakuan yang kasar atau perlakuan yang tidak baik lainnya, maka pada akhirnya kondisi itu bisa menimbulkan kerenggangan hubungan keluarga serta timbulnya rasa benci si anak pada orang tuanya. Sebagai contoh adalah ketika seorang anak perempuan mendapatkan perlakuan yang kasar atau tindak kekerasan lainnya dari ayah atau saudara laki-lakinya yang lain, maka akibat dari trauma tersebut nantinya anak perempuan tersebut bisa saja memiliki sifat atau sikap benci terhadap semua laki-laki.

·         Akibat orang tua yang terlalu mengidam-idamkan untuk memiliki anak laki-laki atau perempuan, namun kenyataan yang terjadi justru malah sebaliknya. Kondisi seperti ini bisa membuat anak akan cenderung bersikap seperti apa yang diidamkan oleh orang tuanya.

·         Orang tua yang terlalu mengekang/ protektif terhadap anak juga bisa malah menjerumuskan anak pada pilihan  hidup yang salah

·         Kurangnya didikan prihal agama dan masalah seksual dari orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua sering beranggapan bahwa membicarakan masalah yang menyangkut seksual dengan anak-anak mereka adalah suatu hal yang tabu, padahal  hal itu justru bisa mendidik anak agar bisa mengetahui prihal seks yang benar.

·         Salah satu dari orang tua yang dominan di tengah-tengah keluarga  mengakibatkan  anak membenci orang tuanya itu. Misalnya: ibu yang terlalu dominan, dan memandang ayahnya sebagai pihak yang lemah dan tanpa kuasa. Sehingga si anak menghukum ayahnya yang membiarkan ibunya yang berkuasa di keluarga, sehingga si anak menjauhi setiap wanita.

 

b.      Faktor Lingkungan dan Pergalulan

Lingkungan serta kebiasaan seseorang dalam bergaul disinyalir telah menjadi faktor penyebab yang paling dominan terhadap keputusan seseorang untuk menjadi bagian dari komunitas LGBTQ.

·         Seorang anak yang dalam lingkungan keluarganya kurang mendapatkan kasih sayang, perhatian, serta pendidikan baik masalah agama, seksual maupun pendidikan lainnya sejak dini bisa terjerumus dalam pergaulan yang tidak semestinya. Di saat anak tersebut mulai asik dalam pergaulannya, maka ia akan beranggapan bahwa teman yang berada di dekatnya  bisa lebih mengerti, menyayangi, serta memberikan perhatian  yang lebih padanya. Dan tanpa ia sadari, teman tersebut justru membawanya ke dalam kehidupan yang tidak benar, seperti narkoba, miras, prilaku seks bebas, serta prilaku seks yang menyimpang (LGBTQ).

·         Masuknay budaya-budaya yang berasal dari luar negeri mau tidak mau telah dapat mengubah pola pikir sebagian besar masyarakat kita dan pada akhirnya terjadilah pergeseran norma-norma susial yang dianut oleh sebagaian masyarakat. Sebagai contoh adalah prilaku seks yang menyimpang seperti seks bebas maupun seks dengan sesama jenis (LGBTQ).

 

c.       Faktor Trauma Masa Kecil

Pengalaman buruk di masa lalu yang terus melekat di dalam hati dan menimbulkan trauma juga dituding menjadi penyebab seseorang menjadi LGBTQ. Misalnya, pelecehan seksual pada masa kecilnya.

 

d.      Faktor Genetik

Faktor genetik dan fisiologis adalah faktor yang ada dalam diri individu karena ada masalah antara lain susunan kromosom, ketidakseimbangan hormon, struktur otak, kelainan susunan syaraf otak. Penjelasan biologis lainnya yaitu menunculnya gangguan identitas gender sangat berkaitan  dengan hormon dalam tubuh. Tubuh manusia menghasilkan hormon testosteron yang mempengaruhi  neuron otak, dan berkontribusi terhadap maskulinisasi otak yang terjadi pada area seperti hipotalamus, dan sebaliknya dengan  hormon  feminim. Namun teori tersebut belum bisa dijadikan alasan pasti mengapa seseorang menjadi LGBTQ. Hingga saat ini peneliti juga masih mengkaji peran faktor genetik dalam menentukan orientasi seksual seseorang.[39]

 

e.       Faktor Aklak dan  Moral

Faktor moral dan aklak yang dimiliki seseoran juga memiliki pengaruh yang besar terhadap prilaku LGBTQ yang dianggap menyimpang. Ada beberapa hal yang dapat berpengaruh pada perbuatan aklak dan moral yang dimiliki manusia yang pada akhirnya akan menjerumuskan manusia tersebut kepada prilaku yang menyimpang seperti LGBTQ.

·         Iman yang lemah dan rapuh. Ketika seseorang memiliki tingkat keimanan yang lemah dan rapuh, besar kemungkinan kondisi tersebut akan membuatnya lemah dalam hal mengendalikan hawa nafsu. Kita tahu bahwa iman adalah benteng yang paling efektif dalam diri seseorang untuk dapat mengendalikan hawa nafsunya akan semakin kecil, dan itu nantinya bisa menjerumuskan orang itu pada prilaku yang meyimpang, salah satunya dalam hal seks.

·         Semakin banyaknya rangsangan seksual. Banyak contoh yang bisa kita ambil sebagai pemicu rangsangan seksual seseorang, misalnya semakin maraknya VCD porno, majalah porno, atau video-video porno yang gampang diakses melalui internet. 

 

2.6.Dampak LGBTQ

Keberadaan komunitas LGBTQ mau tidak mau menimbulkan dampak yang tidak sedikit, tidak hanya terkait dengan masalah kesehatan saja, tetapi berpengaruh terhadap kehidupan sosial. Berikut beberapa dampak negatif dari LGBTQ, antara lain:

1.      Dari segi kesehatan

Dari zaman ke zaman prilaku LGBTQ selalu hidup dengan gaya tersendiri utamanya yang berkaitan prilaku seks. Gaya hidup dengan orientasi homoseksual beresiko penyakit serius, apalagi dengan seringnya berganti-ganti pasangan, tidak menggunakan kondom serta melakukan seks anal dan oral. Hal ini menyebabkan kehidupan homoseksual sangat rentan dan beresiko dengan terjadinya kekerasan psikologis dan seksual yang berdampak terhadap kemungkinan penularan dan penyebaran penyakit IMS dan HIV/AIDS. Salah satu penyebab seorang homoseksual mudah terserang HIV/AIDS karena kehidupan seks yang menyimpang. Selain itu prilaku homoseksual sangat berpengaruh tidak baik pada kesehatan fisik, bagian mulut, alat kelamin atau tempat pembuangan kotoran (anus), walaupun menggunakan alat pengaman seperti kondom. Kuman, virus atau bakteri dapat masuk ke dalam mulut dengan oral seks, bahkan dapat menimbulkan peradangan mulut atau yang terparah adalah kanker mulut. Selanjutnya pada kelamin (penis) akan menularkan penyakit kelamin menular seperti: HIV, syphilis, hepatitis B atau penyakit kelamin lainnya. Pada bagian anus akan terjadi peradangan dan bahkan kerusakan bagian anus.[40]

 

2.      Dari Segi Psikologi

Selain menyebabkan resiko buruk pada kesehatan fisik, homoseksual juga dapat beresiko buruk pada kesehatan mental atau psikis. Mereka akan sering kali mengalami kondisi mental tertekan, stress, depresi  gangguan kecemasan, gangguan prilaku (melakukan penganiayaan/ kekerasan seksual atau fisik), menyakiti/ melukai diri sendiri hingga prilaku bunuh diri. Selain itu juga dampak secara psikis yang dialami pelaku LGBTQ adalah hinaan, makian hingga  kekerasan fisik yang sering sekali disertai dangan pengerusakan harta benda mereka. Mereka merasakan bahwa posisi mereka adalah kaum minoritas, mereka merasa ketakutan ditolak dan diskriminasi. [41]

 

3.      Dari Segi Sosiologi

Kebiasaan prilaku LGBTQ juga berdampak kepada kehidupan sosial, yaitu tidak diterima dengan baik oleh agama, moral dan adat istiadat. Secara budaya mereka juga tersandung oleh masalah larangan agama di mana masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai ketimurannya menganggap bahwa hubungan sesama jenis adalah tabu dan terlarang.  Oleh karena itu teman dan masyarakat akan menjauhi mereka dan menyebabkan mereka  hidup sersisih dan menyendiri dari masyarakat, keluarga dan teman.

 

4.      Dari Segi Kekeluargaan

Kebiasaan LGBTQ juga bisa menggangu bahkan merusak hubungan keluarga. Ketika salah satu dari anggota keluarga memiliki kebiasaan seks yang meyimpang, maka kondisi tersebut tentu akan dapat menyebabkan berbagai hal, seperti: timbulnya kekecewaan dan rasa malu dari anggota keluarga, menimbulkan tekanan mental pada anggota keluarga lainnya. Sehingga orang tua yang mengetahui anaknya adalah seorang homoseksual atau lesbian sering kali merasa terpukul dan merasa bersalah, tidak jarang orang tua akan menghentikan bantuan finansial, mengusir anak dari rumah atau mengucilkan anaknya.[42]

 

2.7.LGBTQ dan Refleksi Dalam Kehidupan Bergereja Saat Ini

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah dan Allah menciptakan manusia itu sendiri sesuai dengan gambar dan rupa Allah yaitu laki-laki dan perempuan (bnd. Kej 1:26-27). Manusia sebagai gambar dan rupa Allah terlibat dalam tiga hubungan fundamental, yakni:

1.      Sebagai wakil Allah yang atas namanya menguasai makhluk-makhluk lain di bumi.

2.      Sebagai mitra kerja Allah yang dapat berbicara dengan Allah dan menanggapi FirmanNya

3.      Sebagai rupa Allah yang menampilkan kemuliaanNya di bumi.[43]

Hakekat gambar dan rupa Allah bukanlah kesanggupan manusia berbuat sesuatu, melainkan menyatakan  bahwa hubungan Allah dengan kita sebagai hubungan  antara Allah dengan anak-anakNya. Gambar bukanlah salah satu sifat yang kita miliki, melainkan  keseluruhan keberadaan  kita. Di dalam gambar Allah inilah  manusia dapat berkomunikasi dengan Allah. Manusia mendapat panggilan untuk menguasai bumi dan segala isinya, karena status  yang telah  diberikan oleh Allah kepada manusia.[44] 

Menurut Kejadian 1:26-28, Allah telah menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Allah. Allah menciptakan  manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya  dia; laki-laki dan perempuan. Allah memberkati mereka untuk beranak cucu dan bertambah banyak. Dan pada ayat 31 dikatakan: “Maka Allah melihat segala yang dijadikanNya itu, sungguh amat baik”. Ungkapan “laki-laki dan perempuan” yang dimaksudkan disini adalah dalam arti masing-masing mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan. Bukan laki-laki dan laki-laki atau perempuan dan perempuan. Masing-masing mereka; laki-laki memiliki organ dan alat kelamin laki-laki; demikian juga perempuan memiliki organ dan alat kelamin perempuan.

Dalam Kejadian 2:24 dikatakan: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Dari ayat ini kita dapat melihat bahwa laki-laki diciptakan untuk perempuan, dan perempuan diciptakan untuk laki-laki, sehingga keduanya boleh menikmati kebaikan dan kenikmatan seksual yang telah disediakan Allah dalam diri mereka masing-masing. Seorang laki-laki tidak perlu lagi mencari kebaikan atau kenikmatan pada laki-laki sejenisnya, demikian juga perempuan. Karena perempuan diciptakan untuk laki-laki, laki-laki untuk perempuan. Dalam hubungan laki-laki dan perempuanlah berkat untuk “beranak cucu dan bertambah banyak” dimungkinkan. Bukan pada hubungan seksual yang sejenis. Hubungan yang “sungguh amat baik” itu ada dalam hubungan laki-laki dengan perempuan. Bukan dalam hubungan jenis kelamin yang sama.[45]  Sebaba Alkitab menyatakan bahwa hubungan romantisme dan seksual diantara sesame jenis baik laki-laki dengan laki-laki maupun perempuan dangan perempuan sebuah “tindakan penolakan terhadap identitas gender” dan “identitas seksual” yang telah dikodratkan Tuhan dalam kehidupan mereka; hal ini merupakan bentuk tindakan peyimpangan seksual yang bertentangan dengan pola pernikahan yang sudah ditetapkan Allah.

Akibat dari tindakan penyimpangan seksual ini (LGBTQ), dapat mengakibatkan terjadinya hukuman mati bagi si pelaku dan tidak layak dalam kerajaan Allah. Hal ini dianggap sebagai perbuatan melawan Allah yang telah merancang laki-laki dan perempuan dalam “kesatuan daging”; yakni relasi intimasi di antara suami dan isteri. Namun, Firman Tuhan dalam I Korintus 6:11 dan Efesus 3:16-19 menyatakan bahwa penyimpangan orang yang identitas gendernya tidak selaras dengan identitas seksualnya sehingga identitas diri mereka menjadi “banci” dan “pemburit” atau “pelaku sodomi” (LGBTQ) dapat dipulihkan. Hal ini bisa terjadi karena adanya “pemulihan dan peneguhan gambar diri di dalam Kristus” secara utuh. Oleh karena iman mereka dapat memahami kedalaman kasih Bapa melalui karya salib Kristus yang dikerjakan oleh kuasa Roh Kudus. Dengan demikian, mereka menerima keselarasan antar identitas gender dan identitas seksual secara utuh, dan dipulihkan menjadi seperti Kristus (Roma 8:29-30).

 

III.        Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimulkan:

1.      Seseorang dengan orientasi homoseksual mempunyai gairah seksual yang ditujukan terhadap orang dengan jenis kelamin yang sama. Karena itu, kata homoseksualiatas mengacu pada kegiatan erotis dengan seorang yang mempunyai jenis kelamin yang sama.

2.      Namun akhir-akhir ini, komunitas homoseksual (lesbian dan gay) menggunakan istilah LGBT. LGBT adalah akronim dari lesbian, gay, biseksual, dan trasngender. Istilah ini digunakan semenjak tahun 1990-an dan menggantikan frasa “komunitas gay”,  karena istilah ini dianggap lebih mewakili kelompok-kelompok yang lebih luas. Akronim ini digunakan untuk mewakili beragam seksualitas dan identitas gender, merujuk pada siapa pun yang transgender dan/ atau minat sejenis/sejenisnya. Penggunaan akronim dimaksudkan sebagai cara yang mencakup semua untuk mengenali identitas gender dan orientasi seksual yang berbeda. Penambahan identitas lain pada akronim LGBT juga memainkan peran penting dalam mengenali dan menghubungkan mereka dengan komunitas yang lebih luas.  Akronim LGBTIQ memiliki tujuan penting, tidak hanya dirancang agar lebih inklusif, tetapi juga mewakili identitas diri orang-orang transgender dan atau sejenis peminat gender.

3.      Alkitab, baik PL maupun PB memandang hubungan seksual yang sejenis, antara laki-laki dengan laki-laki dan sebaliknya merupakan “kekejian” di mata Tuhan (Im 18:22), LGBTQ merupakan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran yang sehat (I Tim 1:10), berseberangan dengan kebiasaan yang terjadi di sekitar dunia perjanjian Baru. Dan dampak dari identias ini adalah tidak layak dan tidak akan mendapatkan bagain kerajaan Allah.

4.      Faktor penyebaba seseorang menjadi LGBTQ ialah dipengaruhi oleh kehidupan keluarga, lingkungan dan pergaulan, trauma masa kecil dan faktor iman (termasuk akhlak dan moral).

5.      Akibat prilaku seks yang menyimpang, seorang LGBTQ akan memiliki masa depan yang rusak, jauh dari nilai-nilai agama, rentan terkena penyakit menular, dijauhi/dikucilkan di masyarakat dan keluarga.

6.      LGBTQ jangan dijauhi, tetapi diberi pendampingan baik oleh keluarga, masyarakan dan gereja sehingga tidak lagi bertambah yang menjadi LGBTQ. Karena prilaku seks yang menyimpang ini merupakan tantangan bagi keluarga. Gereja, masyarakat dan bangsa ini.

 

 

IV.         Daftar Pustaka

a.      Sumber Buku:

Ambarita, Anna Maria,  Berdamai Dengan Diri Sendiri, Jakarta: BPK-GM, 2021.

Atkinson, David, Seri Pemahaman dan Penerapan Amanat Alkitab Masa Kini Kejadian 1-11, Jakarta: YKBK OMF, 1996.

Barclay, William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat 1 dan 2 Timotius, Titus, Filemon, Jakarta: BPK-GM, 2001.

Baumgartner, Kohler, The Hebrew & Aramaic Lexicon of The Old Testement Volume One, Leiden-Boston-Koln: Brill, 2001.

Christi, Theo, Pernikahan Eden di Tengah Gelombang Perceraian & LGBTIQ, Yogyakarta: Andi, 2020.

Hunt, June, Pastoral Konseling Alkitabiah, Yogyakarta: Andi, 2019.

Iskandar, Pranoto & Yudi Junadi, Memahami Hukum Di Indonesia, Cianjur: IMR Press, 2011.

Kartono, Kartini, Psikologi dan Abnormalitas Seksual, Bandung: CV. Mandar Maju, 1989.

Lemp, Walter, Kitab Kejadian 12:4-25:18, Jakarta: BPK-GM, 1997.

Marxsen, Willi, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-Masalahnya, Jakarta: BPK-GM, 2010.

Oetomo, Dede, Memberi Suara Kepada Yang Bisu, Yogyakarta: Galang Press, 2001.

Pfitzner, V. C.,  Kesatuan Dalam Kepelbagaian: Tafsiran Atas Surat I Korintus, Jakarta: BPK-GM, 2000.

Plieser, Arie Jan, Manusia Gambar Allah, Jakarta: BPK-GM,1999.

Purba, Darwita, Seksualitas Queer & Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2021.

Silvia, How Do You Say It In English?, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012.

Sipayung, Jon Riahman, Tema-Tema Kontemporer: Sebuah Refleksi Teologis-Biblis, Medan: Sinarta, 2020.

Stott, John, Isu-isu Global, Jakarta: YKBK, 2012.

Suardi, Sosiologi Komunitas Menyimpang, Yogyakarta: Writing Revolution, 2018

Susabda, Yakub, Pastoral Konseling Jilid 1, Malang: Gandum Mas, 2020.

Tim Peramu, Teras Literasi, Aceh: Syiah Kuala University Press, 2020

Van Den End, Th.,  Tafsiran Alkitab: Surat  Roma, Jakarta: BPK-GM, 1997.

 

b.      Sumber Jurnal

Maududi Dermawan, Abdurraafi’, Sebab, Akibat Dan Terapi Pelaku Homoseksual, Dalam Jurnal Raheema: Jurnal Studi Gender dan Anak.

Rokhmah, Dewi, Pola Asuh dan Pembentukan Prilaku Seksual Beresiko Terhadap HIV/AIDS Pada Waria,  Dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat, KEMAS 11 (1)(2015).

Situmorang, Jontor, LGBT Ditinjau Dari Persfektif Perjanjian Lama, Dalam Jurnal Teologi STT Abdi Sabda Medan, Edisi XXXV: Januari-Juni 2016.

 

c.       Sumber Internet

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas diakses pada 9 Maret 2022 pukul 16. 05 Wib.

http://www.republika.co.id/berita/o1wj4217/peradaban-kuno-memandang-homoseksual diakses pada 11 Maret 2022 pukul 15.51 Wib.

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Sejarah­_homoseksualitas diakses pada 11 Maret 2022 pukul 16.12 Wib

http://id.m.wikipedia.org/wiki/Sejarah­_homoseksualitas diakses pada 11 Maret 2022 pukul 16.12 Wib

http://www.lifesitenews.com/opinion/gay-marriage-and-homosexuality-were-part-of-moral-landscape-in-ancient-rome/ diakses pada 11 Maret 2022 pukul 16.33 Wib

http://www.majalahharmoni.com/daftar-isi-majalah/edisi-24/sebab-akibat-homoseksual-dan-seksual-sesat/ diakses pada 12 Maret 2022 pukul 16.08 Wib

http://en.m.wikipedia.org/wiki/The_Bible_and_homosexuality diakses pada 11 Maret 2022 pukul 11.30 Wib.

http://cintalia.com/kehidupan/penyebab-lgbt diakses pada 11 Maret 2022 pukul 18.16 Wib

http://www.aladokter.com/faktor-penentu-seseorang-menjadi-homoseksual diakses pada 11 Maret  2022 pukul 18.56 Wib

 

 

 

 



[1] http://id.m.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas diakses pada 9 Maret 2022 pukul 16. 05 Wib.

[2] Kartini Kartono, Psikologi dan Abnormalitas Seksual, Bandung: CV. Mandar Maju, 1989, hlm. 247.

[3] Dede Oetomo, Memberi Suara Kepada Yang Bisu, Yogyakarta: Galang Press, 2001, hlm. 6

[4] June Hunt, Pastoral Konseling Alkitabiah, Yogyakarta: Andi, 2019, hlm. 3

[5] Theo Christi, Pernikahan Eden di Tengah Gelombang Perceraian & LGBTIQ, Yogyakarta: Andi, 2020, hlm. 87.

[6] Tim Peramu, Teras Literasi (Aceh: Syiah Kuala University Press, 2020), 56-57.

[7] Suardi, Sosiologi Komunitas Menyimpang (Yogyakarta: Writing Revolution, 2018), 18-19.

[8] Silvia, How Do You Say It In English? (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012), 35. Bnd. Darwita Purba, Seksualitas Queer & Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2021, hlm. 1.

[9] Pranoto Iskandar & Yudi Junadi, Memahami Hukum Di Indonesia (Cianjur: IMR Press, 2011), 66.

[11] http://id.m.wikipedia.org/wiki/Sejarah­_homoseksualitas diakses pada 11 Maret 2022 pukul 16.12 Wib

[12] John Stott, Isu-isu Global, Jakarta: YKBK, 2012, hlm. 442.

[13] Op. Cit

[14] http://id.m.wikipedia.org/wiki/Sejarah­_homoseksualitas diakses pada 11 Maret 2022 pukul 16.12 Wib

[16] Ibid

[17] Walter Lemp, Kitab Kejadian 12:4-25:18, Jakarta: BPK-GM, 1997, hlm. 232.

[18] Ibid, hlm. 233-234.

[19] Kohler Baumgartner, The Hebrew & Aramaic Lexicon of The Old Testement Volume One, Leiden-Boston-Koln: Brill, 2001, hlm. 391

[20] Op. Cit, hlm. 176-177

[21] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-Masalahnya, Jakarta: BPK-GM, 2010, hlm. 80-82.

[22] Th. Van Den End, Tafsiran Alkitab: Surat  Roma, Jakarta: BPK-GM, 1997, hlm. 3.

[23] Dalam penjelasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa kaisar Nero disamping mempraktekkan perilaku heteroseksual, dia juga memperaktekkan hubungan homoseksual.

[24] Jon Riahman Sipayung, Tema-Tema Kontemporer: Sebuah Refleksi Teologis-Biblis, Medan: Sinarta, 2020, hlm. 137.

[25] Ibid, hlm. 137

[26] Ibid, hlm. 65.

[27] Anna Maria Ambarita, Berdamai Dengan Diri Sendiri, Jakarta: BPK-GM, 2021, hlm. 37.

[28] Jon Riahman Sipayung, Op. Cit, hlm. 138.

[29] V. C. Pfitzner, Kesatuan Dalam Kepelbagaian: Tafsiran Atas Surat I Korintus, Jakarta: BPK-GM, 2000, hlm. 1-2.

[30] Ibid, hlm. 2.

[31] Anna Maria Ambarita, Op. Cit, hlm. 41.

[32] Ibid, hlm. 41

[33] http://en.m.wikipedia.org/wiki/The_Bible_and_homosexuality diakses pada 11 Maret 2022 pukul 11.30 Wib.

[34] Jon Riahman Sipayung, Op. Cit, hlm. 141.

[35] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Surat 1 dan 2 Timotius, Titus, Filemon, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm. 9-11.

[36] Anna Maria Ambarita, Op. Cit, hlm. 43.

[37] Ibid, hlm. 44.

[38] http://cintalia.com/kehidupan/penyebab-lgbt diakses pada 11 Maret 2022 pukul 18.16 Wib, bnd. Yakub Susabda, Pastoral Konseling Jilid 1, Malang: Gandum Mas, 2020, hlm.220

[40] Dewi Rokhmah, Pola Asuh dan Pembentukan Prilaku Seksual Beresiko Terhadap HIV/AIDS Pada Waria,  Dalam Jurnal Kesehatan Masyarakat, KEMAS 11 (1)(2015), hlm. 126.

[42] Abdurraafi’ Maududi Dermawan, Sebab, Akibat Dan Terapi Pelaku Homoseksual, Dalam Jurnal Raheema: Jurnal Studi Gender dan Anak, hlm. 11

[43] Arie Jan Plieser, Manusia Gambar Allah, Jakarta: BPK-GM,1999, hlm. 45-48

[44] David Atkinson, Seri Pemahaman dan Penerapan Amanat Alkitab Masa Kini Kejadian 1-11, Jakarta: YKBK OMF, 1996, hlm. 45-48

[45] Jontor Situmorang, LGBT Ditinjau Dari Persfektif Perjanjian Lama, Dalam Jurnal Teologi STT Abdi Sabda Medan, Edisi XXXV: Januari-Juni 2016, hlm. 174

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url