Perempuan Dalam Perjanjian Baru

 


Menguak Pandangan Yesus Terhadap Perempuan dalam Perjanjian Baru dan Refleksinya dalam Gereja dan Masyarakat Masa Kini

Ewen Josua Silitonga

 

I.                   Pendahuluan

Perempuan adalah manusia yang diciptakan dari tulang rusuk Adam (bdk. Kej. 1). Allah menjadikan perempuan supaya menjadi penolong bagi seorang laki-laki. Perempuan adalah pribadi yang unik dan istimewa. Perempuan mempunyai peran dan tugas yang sangat penting di dalam kehidupan seorang laki-laki. Namun dalam sejarah kekristenan, prinsip patriakhat keyahudian terus berlanjut, sehingga kedudukan dan peran perempuan kerap kali tidak di anggap dan dikesampingkan. Alkitab yang sesungguhnya secara eksistensial mendeskripsikan kisah-kisah secara universal dan netral. Namun sering kali di dapati bahwa perempuan dinomor duakan dalam pemberitaan Alkitab. Posisi dan kedudukan perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Namun ini merupakan pandangan yang salah dan keliru. Yesus Kristus  adalah Allah yang mengasihi semua orang dan tidak pernah membedakan antara laki-aki dan perempuan. Melalui sajian/paper ini penulis ingin memberikan penjelasan/pemaparan bagaimana cara pandang Yesus terhadap perempuan di dalam perjanjian baru, sehingga dapat ditarik sebuah pemahaman baru yang mengarahkan kita untuk berefleksi bagaimana sesungguhnya cara kita (gereja dan masyarakat masa kini) untuk dapat eksistensi perempuan yang sesungguhnya.

 

II.                Pembahasan

2.1.       Perempuan dalam Perjanjian Lama

Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama mencatat tentang kedudukan, peran dan karakteristik seorang perempuan dijelaskan dalam (Kej. 1:27,28) yang mengatakan “Maka Allah  menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakannya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”[1]

Perempuan dalam Bahasa Ibrani isysya dan Bahasa Yunani  gune. Perempuan dan laki-laki diciptakan sesuai gambar Allah (Kej. 1: 27), dan perempuan merupakan ‘penolong sepadan’ untuk pria (Kej. 2:20). Di dalam hukum Ibrani ibu harus dihormati (Kel 20:12), disegani (Im. 19: 3) dan ditaati (Ul. 12:18). Perempuan sangat krusial perannya dalam keluarga seperti memberikan nama untuk anak, mendidik dan membina anak pada usia dini. Seorang nazir yang mengkhususkan dirinya bagi Tuhan akan mengucapkan nazarnya (Bil. 6:2). Pada hari Sabat wanita juga dibebaskan dari pekerjaan (Kel. 20:10), dan apabila dijual sebagai budak, haruslah dibebaskan sama seperti laki-laki pada tahun yang ketujuh. Perempuan yang tidak mempunyai ahli waris laki-laki, maka dirinya itu dapat memiliki tanah secara penuh pada dirinya sendiri. Seorang pria harus menikah dengan wanita sesukunya, supaya wanita asing tidak mempengaruhinya untuk tidak beribadat kepada Tuhan.[2] Wanita Yahudi begitu dihargai dalam sebuah pernikahan. Ajaran Hukum Taurat menekankan bahwa laki-laki wajib untuk menciptakan relasi yang baik dengan perempuan. Perempuan mempunyai hak untuk membeli, menjual, dan memiliki tanah, serta menyusun kontrak mereka sendiri. Ketidaksamaan kewajiban serta tanggung jawab diantara keduanya pun diakui, dan dalam beberapa hal tanggung jawab perempuan dianggap lebih penting. Kaum wanita menduduki posisi terhormat dalam Yudaisme sejak jaman Perjanjian Lama.[3]

Maka dari bagian ini dijelaskan bahwa rencana Tuhan nyata bagi laki-laki dan perempuan; Allah menjadikan mereka penguasa atas makhluk ciptaan-Nya. Hal ini berarti laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan dan otoritas yang sama. Allah menciptakan perempuan, supaya ia menjadi penolong dan pendamping laki-laki (Kej. 2:18). Tuhan tidak menjadikan perempuan budak atau pembantu laki-laki. Kesetaraan mulai tercemar ketika Hawa, (perempuan yang pertama dan Adam, laki-laki pertama berbuat dosa terhadap Tuhan). Tuhan mengutuk mereka, perempuan akan bersusah payah, waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu” (Kej. 3:16). Maka ditemukan juga di dalam Perjanjian Baru “Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” (Ef. 5:22). Ketidaktaatan ini menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pada kesatuan dan kesetaraan yang tadinya sempurna antara laki-laki dan perempuan. Akibatnya, perempuan sepertinya telah dibuat lebih rendah derajatnya daripada laki-laki. Tetapi walaupun perempuan diminta tunduk kepada otoritas laki-laki, tetapi di mata Tuhan ia tidak lebih rendah derajatnya dari pada laki-laki. Apakah perempuan akan tetap menjadi hamba bagi laki-laki. Dalam Perjanjian Baru dijelaskan bagaimana nanti Yesus menghapus segala kuk perhambaan dosa ketika Dia mati disalib dan bangkit dari kematian-Nya. Maka segala ketidaksetaraan dipulihkan menjadi seperti semula sehingga kedudukan dan peran laki-laki maupun perempuan menjadi sama.

 

2.2.       Perempuan dalam Perjanjian Baru

Perjanjian Baru lebih terbuka terhadap peranan dan kedudukan perempuan dalam kehidupan pelayanan Yesus.  Perempuan dipakai dengan peranan yang penting dalam kedatangan Mesias, dalam  nubuatan Perjanjian Lama menubuatkan bahwa perempuan akan melahirkan Juruselamat (Mi 5:2; Yes 7:14). Nubuatan itu digenapi dalam kelahiran Tuhan Yesus yang lahir dari rahim seorang perempuan. Dapat dikatakan bahwa perempuan juga dipakai dalam rencanaNya. Dalam pelayanannya selama di dunia ini, Yesus memberi perhatian kepada orang-orang yang miskin, buta, lumpuh, pincang, kusta, sengsara,pendosa, teraniaya, terpenjara, orang kecil dan anak-anak atau domba yang hilang dari Israel. Yesus berpihak kepada rang miskin dan tertindas, dengan mereka yang disingkirkan oleh orang lain.[4]

Pendapat yang keliru tentang perempuan yang mana kondisi wanita Yahudi di Palestina pada jaman Yesus yang tidak dianggap, sebagai akibat dari tradisi Talmud. Pada masa awal Yudaisme, perempuan boleh membacakan Taurat dan bernubuat, namun pada masa Yesus, muncul larangan untuk mereka membacakan Taurat di Sinagoga disebabkan mengalami “kenajisan” secara berkala. Pertanyaan terkait apakah perempuan boleh mempelajari Taurat juga merupakan topik perdebatan yang sengit. Berdasarkan aturan,  yang memperoleh pendidikan semacam itu hanyalah istri para rabi saja. Menurut Taurat Yahudi, dalam Yudaisme abad pertama, perempuan tidak dapat menjadi saksi, dan dalam bidang keagamaan atau kepemimpinan juga tidak mendapatkan peran penting. Perempuan telah dijadikan sebagai kaum yanag tidak diperhitungkan dan tidak berdaya di negeri yang dipimpin oleh kaum elit religius.[5]

Menanggapi pemahaman yang keliru tersebut di atas, Yesus datang menawarkan pendekatan yang revolusioner. Dia dengan gamblang menyambut para perempuan dan menjadikannya rekan seperjalanan dalam pelayanan-Nya (Lukas 8:1-3). Yesus juga memotivasi Maria dan Marta untuk duduk di dekat kaki-Nya, mendengarkan pengajaran dan menjadi murid-murid-Nya (Lukas 10:3842). Cara Tuhan Yesus menghargai perempuan merupakan hal baru yang jauh berbeda dengan cara orang-orang Farisi dan Saduki memberikan perlakuan. Karya penebusan Kristus telah menghancurkan semua dinding pemisah; setiap orang percaya, setiap suku bangsa, memiliki akses yang sama dihadapan-Nya dan menghadirkan era baru dalam konteks hubungan antar manusia-lintas ras, gender maupun status sosial.[6]

 

2.3.       Pandangan Yesus terhadap Perempuan dalam Perjanjian Baru

Yesus memandang bahwa perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama dan tidak ada yang lebih rendah dari yang lainnya. Kaum perempuan sangat dihormati oleh Yesus hal ini seharusnya menjadi pelajaran bagi orang percaya untuk tidak merendahkannya.

Yesus menyadari bahwa kedatangan-Nya mengakibatkan ketegangan di dalam keluarga, yang akan mempengaruhi anak perempuan maupun anak laki-laki (Mat. 10:35). Kedua orangtua haruslah dihormati sesuai Firman Tuhan (Mat. 15:4 band. Kel.20:12). Tuhan menghargai pentingnya kedudukan dan peran seorang perempuan dalam keluarga, sehingga ia memberikan perhatian khusus kepada Ibu-Nya (Yoh. 19:27) dan Dia juga besar bersama saudara-saudara-Nya perempuan dan juga saudara-Nya laki-laki (Mat. 13:56). Saat Yesus menjelaskan siapa yang menjadi sanak saudara kepada murid-murid-Nya, Ia menyebutkan  saudara laki-laki, saudara perempuan dan ibu-Nya. Hal ini menjelaskan betapa pentingnya kedudukan seorang perempuan dan kesetaraannya dengan laki-laki. Ketika Yesus dibawa ke Golgota usai persidangan dikatakan, sejumlah wanita menangisi serta meratapi-Nya. Selain itu para wanita tersebut juga berjaga-jaga di depan kayu salib (Luk. 23:49), dan makam tempat Yusuf dari Arimatea membaringkan mayat Yesus (Luk. 23:56). Mereka juga memberikan rempah-rempah serta meminyaki mayat Yesus serta menjadi saksi utama ketika kebangkitan Yesus diberitakan (Luk.24:1).[7] Berdasarkan pandangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Yesus memandang perempuan memiliki kedudukan yang sama dan setara dengan laki-laki. Hal ini juga ingin memberikan pengajaran kepada setiap orang bahwa perempuan juga menjadi revolusioner. Hal ini seharusnya mengubah pola pikir setiap orang yang memandang rendah perempuan dengan tujuan supaya mereka juga dihormati, dihargai dan ditempatkan kepada kedudukan yang sama dengan laki-laki.

Yesus digambarkan sebagai seorang yang sangat peduli terhadap perempuan sehingga Dia membahas isu-isu teologi dengan mereka (Yohanes 8:1 dst tentang Perempuan Samaria; Lukas 10:38 dst, tentang Maria dan Marta), Yesus juga dilukiskan sebagai seorang  yang sangat terbuka terhadap perempuan dan menerima kritik mereka dan dibarui oleh kritik itu (Markus 7:24). Di mata Yesus, kaum perempuan bukanlah obyek, sebagaimana mereka diperlakukan dalam budaya Yahudi, melainkan subyek. Sebagai seorang rabbi Yahudi, Yesus sadar benar tentang hal-hal yang dipraktikkan oleh laki-laki Yahudi saat bersyukur kepada Allah, bahwa mereka tidak diciptakan sebagai budak-budak, bukan Yahudi atau perempuan. Tetapi Yesus memilih mengabaikan sikap-sikap Yahudi tradisional itu dan memperlakukan kaum perempuan dengan bela rasa dan pengampunan penuh. 

Mengenai kedudukan perempuan di dunia ini, pandangan Tuhan Yesus tidak sama dengan pandangan orang Yahudi. Dalam masyarakat Yahudi perempuan dianggap lebih rendah kedudukannya daripada laki-laki, sehingga lahir doa Rabbi Yahudi yang berbunyi: dengan sikap yang baru. Sikap reformasi paradigma ini tercermin dalam sikap Tuhan Yesus yang menghargai perempuan. Dalam pengajaranNya tentang perkawinan, perceraian, dan selibat (Mat 19:3-12 dan Mrk 10:11-12), ada paradigma baru yang melampaui tradisi atau hukum Yahudi, yakni pada prinsipnya Allah tidak menghendaki perceraian dan suami yang menceraikan istrinya kemudian menikah lagi, suami itu melakukan perzinahan. Prinsip kedua ini tidak sama dengan tradisi dan hukum Yahudi, yang menekankan pada kebebasan suami untuk menikah lagi.

Tuhan Yesus memperlihatkan kesamaan kedudukan manusia yang revolusioner pada masa pelayanannya. Artinya, Tuhan Yesus menghendaki perubahan paradigma keyahudian secara menyeluruh dan mendasar. Misalnya, perempuan beroleh kesempatan untuk mendengarkan pengajaran Tuhan Yesus, walaupun konteks budaya pada zamannya menganggap bahwa perempuan lebih rendah derajatnya. Ada banyak perempuan yang menjadi pengikut Tuhan Yesus. Perempuan pertama dalam kitab Injil Yohanes yang ditemui Yesus adalah Perempuan Samaria (Yoh 4:5-30). Setelah itu perempuan dari Kanaan yang menjerit meminta tolong kepada Tuhan Yesus (Yoh 15:22-28). Perempuan yang mengurapi Tuhan Yesus di rumah Simon si orang Farisi (Luk 7:44-50). Seorang perempuan yang menderita bungkuk delapan belas tahun (Luk 13:10-17). Perempuan dalam ceritera parabel Tuhan Yesus; seorang perempuan mengaduk tepung dengan ragi (Mat 13:33), gadis yang mencari koin yang hilang (Luk 15:8-10), lima gadis pintar dan lima gadis bodoh (Mat 25:113). Janda yang ulet dalam memohon kepada seorang hakim (Luk. 18:1-8) dan Janda miskin yang memberikan seluruh hartanya kepada Tuhan (Mat.12:38-44). Perempuan yang menjadi murid Tuhan Yesus dalam hal pengajaranNya, yaitu Maria dan Marta, (Luk. 10:38-42). Maria Magdalena, seorang perempuan yang disembuhkan Tuhan Yesus karena kuasa roh jahat, menerima Tuhan Yesus di rumahnya dan mendukung pelayanan Tuhan Yesus dengan menjual dan memberikan harta miliknya (Luk 8:1-3).  Salome dan ibu dari Yakobus anak Zebedius (Mat 27:55-56) serta Maria ibu Yesus.

 

2.4.       Refleksi Terhadap Pandangan Yesus pada Perempuan dalam Perjnajian Baru bagi Gereja dan Masyarakat Masa Kini

Manusia sebagai Imago Dei  dengan sangat jelas hendak menyatakan bahwa manusia adalah sama-sama Gambar Allah, itu berarti bahwa relasi antara manusia merupakan hubungan sesama gambar Allah. Namun pada perkembangan hidup keagamaan prinsip ini terkikis, sehingga ada dominasi atas subordinasi, yakni ada pendominasian laki-laki atas perempuan sebagai subordinasi. Pendominasian itu mengakibatkan kemanusiaan perempuan umumnya dianggap lebih rendah dari pada kemanusiaan laki-laki, yang pada gilirannya mengakibatkan penindasan, perbudakan dan eksploitasi perempuan, sehingga perempuan dianggap ada di bawah kuasa laki-laki. Namun Yesus telah hadir sebagai rekonsilioner atas relasi tak berimbang antara laki-laki dengan perempuan dengan memberi teladan dalam pelayanannya. Sikap Yesus terhadap perempuan dan bagaimana Dia memperlakukan mereka adalah sesuatu yang sangat tidak lazim pada zamanNya,bahkan berlawanan dari adat-kebiasaan dan praktek-praktek umum  pada masa itu.[8]

Yesus telah menunjukkan teladan dalam relasi antar sesama manusia. Yesus tidak pernah berbicara tentang Hak Azasi Manusia (HAM) atau pembebasan dari struktur yang menindas, namun seluruh hidupNya dan pengajaran-pengajaranNya mengejawantahkan hal itu.[9] Perempuan dihargai dan digambarkan ulang dalam eksistensinya sebagai gambar Allah. Prinsip penghargaan yang universal dan sederajat secara menadalam tertanam dalam ajaran Yesus tentang mengasihi sesama manusia.[10] Perempuan dalam pelayanan Tuhan Yesus terlibat aktif dan adalah kaum yang setia bahkan sampai kematianNya di kayu salib. Namun teladan Tuhan Yesus ini tidaklah tetap dalam pola keagamaan Kristen di seluruh belahan bumi. Penderitaan perempuan terus berlanjut, sehingga perempuan bersuara dari penderitaan-penderitaan itu. Suara tersebut adalah keprihatinan berakar pada kesadaran akan penindasan dan perlakuan yang diskriminastif   dan suara perempuan yang tertindas itu tepat langsung pada benteng teologi transposisi laki-laki. Gereja, institusi dan para praktisi hendaknya tetap memperhatikan peran perempuan agar berimbang dengan laki-laki dalam pelayanan akases pendidikan dan kebudayaan.

 

2.4.1.      Sikap Gereja Terhadap Perempuan Menurut Pandangan Yesus Terhadap Perempuan dalam Perjanjian Baru

a.      Hal Kewajiban Seorang Perempuan

Tunduk Kepada Suami. Di dalam Perjanjian Lama perempuan telah “dihukum” oleh Allah karena pelanggaran yang telah dilakukan. Allah berkata kepada Hawa, "engkau akan birahi pada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu" (Kej 3:16). Akibatnya seroang perempuan haruslah tunduk kepada suaminya. Hukuman ini terus berlaku sampai kepada Perjanjian Baru, ketika Paulus memberitahukan pada isteri orang Kristen, "tunduklah pada suamimu sendiri, seperti kepada Tuhan" (Ef 5:22). Inti dari semuanya merendahkan diri seorang akan yang lain di dalam takut akan  Tuhan. Walaupun seorang wanita harus tunduk kepada suaminya, tidak berarti ia lebih rendah dari suaminya. Arti penundukan adalah bahwa isteri rela dipimpin oleh suaminya. Rasul Paulus mengajarkan bahwa penundukan diri berlaku terhadap ke dua belah pihak (baik suami maupun isteri) "dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Yesus Kristus" (Ef 5:21). Di Galatia 3:28, Paulus mengatakan bahwa di dalam Kristus, status antara pria dan Wanita sama dan tidak adanya perbedaan.[11]

Artinya kita harus mengerti bahwa peranan yang digariskan Alkitab bagi seorang wanita itu sangat indah dan mulia. Bahkan hingga masa Perjanjian Baru para wanita tetap dipakai oleh Tuhan. Yesus dilahirkan dari rahim Maria seorang perempuan. Dialah Tuhan dan Juruselamat dan saat kebangkitan-Nya yang pertama menyaksikannya adalah perempuan. Selain itu, perempuan merupakan penolong laki-laki sebagaimana Allah katakan pada Adam bahwa tidak baik baginya untuk hidup seorang diri saja. Nyatalah di sini bahwa Allah merancangkan manusia untuk tidak hidup sendiri. Sejak  semula, Allah menjadikan wanita sebagai penolong bagi laki-laki. Tujuannya agar masing-masing dapat saling berbagi, saling bekerja sama dan hidup berdampingan sebagai satu kesatuan di dalam Tuhan. Lumban Gaol menambahkan bahwa itulah kesejawatan, yang menunjukkan kerjasama, bekerja secara berdampingan, melayani bersama, memenangkan jiwa bersama."Biarlah para pria Kristen belajar bahwa isteri-isteri mereka adalah "penolong" dalam kehidupan ini dan pasangan sejawat mereka (Kej.2:21)”.[12]

b.      Hal Hak-hak Seorang Perempuan

Kedudukan hukum bagi kaum perempuan di Israel lebih lemah daripada pria. Seorang suami dapat menceraikan isterinya jika didapati isterinya sedang berzinah. Tepat berbeda dengan isteri tidak dapat diperbolehkan menceraikan suaminya karena alasan apapun (Ul. 24:1-4). Di dalam kisah seorang perempuan yang kedapatan berzina oleh orang Farisi, mereka membawanya kepada Yesus untuk dihukum, tetapi karena Yesus tahu bahwa hati mereka tidak adil Yesus memberikan pernyataan kepada mereka siapa yang tidak berdosa maka lemparilah perempuan ini dengan batu, dengan perlahan-lahan satu persatu orang Farisi meninggalkan Yesus. Mengapa demikian? Karena mereka hanya menuntut sang perempuan sedangkan yang laki-laki dibiarkan lolos tanpa harus dihukum. Karena memang hak dan kedudukan perempuan tidak dianggap begitu penting di kalangan orang Yahudi pada waktu itu. Oleh karena itu Yesus datang sebagai pembela hak-hak orang lemah seperti kaum perempuan (Yoh 8:3-11).

Hak perempuan antara lain : Pertama, Hak bebas dari sikap Diskriminatif laki-laki. Di alam Perjanjian Lama perempuan sama sekali tidak mendapat hak yang istimewa. Sering kali perempuan hanya tempat persinggahan laki-laki dan menjadi budak. Hak-hak mereka dirampas dan mereka tidak dilibatkan di dalam kegiatan sosial terutama bagi kebudayaan Yahudi dan Yunani. “Diskriminasi dan ketidakadilan” dialami oleh para perempuan Yahudi seperti yang terjadi pada para perempuan di zaman kuno, maka kehadiran Yesus sangat berdampak pada terciptanya kehidupan yang sederajat. Yesus sering mengkritik ahli-ahli Taurat, orang-orang Farisi, maupun masyarakat pada saat itu mengenai posisi laki-laki dan perempuan, mengenai masalah suci dan najis, mengenai hari Sabat, dan sebagainya. Tindakan dan pengajaran Yesus menjadi dorongan bagi keterlibatan perempuan dalam pelayanan-Nya, karena Yesus telah memperjuangkan nilai-nilai kesetaraan perempuan. Pada akhirnya semakin banyak perempuan yang ingin terlibat dalam pelayanan Yesus.[13] Maka dari penjelasan di atas Yesus adalah motor utama yang membebaskan wanita dari sikap diskriminatif dan membela mereka dengan tujuan memberitahukan segala tindakan bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kesetaraan dalam hak bergaul, berpendapat, dan lain-lain. Dalam Perjanjian Baru Yesus membawa perubahan yang besar bagi kaum perempuan. Yesus bahkan tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Perempuan dan laki-laki mempunyai hak-hak yang sama di hadapan Allah maupun manusia. Yesus sendiri banyak bertemu dengan kaum perempuan di dalam pelayanan-Nya. Seperti seorang Janda di Sarfat, perempuan Samaria, perempuan yang berzina dan banyak lagi. Semuanya diubahkan oleh Yesus melalui perhatian dan pelayanan-Nya. Jelas ajaran Yesus ingin mengilangkan sikap diskriminatif dari kalngan laki-laki dan budaya Yahudi pada waktu itu.

Kedua, Hak untuk dikasihi. Perempuan seharusnya mendapatkan perhatian khusus sebagaimana dikatakan di dalam Ef. 5:23 bahwa yang menjadi kepala isteri adalah suami sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Kemudian dilanjutkan Ef. 5:25  “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya”. Dari penjelasan teks Kitab di atas perempuan bukanlah lagi kaum yang harus di pinggirkan, dilecehkan, melainkan harus dihormati, dihargai dan dikasihi sama seperti Kristus telah mengasihi semua orang tanpa harus memandang status sosial, pekerjaan, latar belakang, jenis kelamin dan lain-lain. Semua adalah sama di mata Tuhan (perempuan layak untuk dikasihi). Paulus menambahkan bahwa sudah menjadi sifatnya sejak penciptaan apabila seorang istri harus tunduk pada suaminya karena Adam yang pertama diciptakan dan barulah Hawa. Berdasarkan Kejadian 2:21-23, bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Implikasi dari kebenaran ini dijelaskan bahwa “Perempuan tidak diciptakan dari kepala Adam untuk dikuasainya, bukan pula dari kaki Adam untuk diinjak-injak olehnya, tapi diambil dari sisi tulang rusuk Adam supaya sama dengannya, dan dekat dengan hatinya untuk dikasihi.[14] Semua orang dikasihi oleh Yesus Kristus dan tidak pernah dibeda-bedakan baik laki-laki maupun perempuan. Perhatian-Nya diberikan kepada semua kalangan.[15] Yesus menghargai keberadaan kaum perempuan sebagai gambar Allah. Prinsip penghargaan secara menyeluruh dan sama secara mendalam diajarkan Yesus tentang mengasihi sesama manusia.[16]

Ketiga, Hak memiliki pekerjaan dan terlibat dalam pelayanan Gereja. Perempuan adalah pribadi yang berperan penting dalam kehidupan. Keberadaan, peran dan kedudukan perempuan merupakan fakta yang tidak terbantahkan. Itulah sebabnya ada slogan yang mengatakan “Di belakang pria sukses  ada wanita hebat”.  Itu sebabnya, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa keberhasilan seorang laki-laki sering sekali ditentukan oleh perempuan yang bersama dirinya. Perjanjian Baru mencatat kisah perempuan yang terlibat dalam pelayanan Yesus, bahkan dalam gerakan para rasul di zaman kekristenan mula-mula. Kaum perempuan telah ikut mendukung dan terlibat aktif  dalam pelayanan Yesus (Luk. 8:1-3), perempuan terlibat pelayanan di tengah-tengah  hubungan yang sudah lama rusak di antara orang Yahudi dan Samaria (Yoh. 4:1-42), perempuan dipilih dan diutus untuk menjadi saksi pertama kebangkitan Yesus (Yoh. 20:11-18). Selanjutnya, perempuan juga terlibat aktif dalam misi bersama para rasul. Oleh karena itulah Paulus juga merasa perlu memberikan salam kepada beberapa perempuan yang terlibat langsung dalam usaha penginjilan (Rm. 16). Perempuan juga hadir sebagai dermawan yang mendukung misi Kristen, bahkan menjadi pelindung yang mengundang komunitas Kristen di dalam rumah mereka.[17]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

III.            Kesimpulan

1)      Secara umum perempuan tidaklah mendapat perhatian khusus di dalam hak dan peran serta perlakuan yang baik di dalam masyarakat, apalagi jika dilihat dari budaya Yahudi dan Yunani yang kerap kali menganggap bahwa perempuan adalah kaum yang  tidak berdaya dan tidak mempunyai hak serta peran penting dalam kehidupan masyarakat sosial. Di dalam Perjanjian Baru berdasarkan tradisi Talmud, hak-hak perempuan dikurangi sebagai kaum yang lebih rendah, kadang-kadang hanya memiliki peran yang tidak berarti. Tentu kondisi ini tidak sesuai dengan semangat dalam Perjanjian Lama yang mana didalamnya kaum perempuan didorong untuk terjun dalam kehidupan sosial, politik dan keagamaan bangsa Israel.

2)      Di dalam Perjanjian Baru perempuan diakui harkat dan martabatnya, bahkan perempuan menjadi rekan kerja Yesus di sepanjang pelayanan-Nya. Demikian juga dengan Paulus, banyak kaum perempuan yang menjadi partner Rasul Paulus di dalam perjalanan misinya. Di dalam Perjanjian Baru bagi orang Yahudi perempuan adalah kaum yang lemah, tindakan mereka dibatasi, hak kewajiban dan peran mereka juga dikurangi bahkan ironisnya perempuan diperbudak dan diperlakukan secara tidak adil. Yesus hadir di dalam Perjanjian Baru kini telah membawa perubahan yang besar bagi kaum marginal termasuk perempuan di dalamnya. Kini perempuan dibebaskan dari belenggu, sikap diskriminatif, hak dan peran mereka kini berfungsi secara positif dan mereka dapat melayani Tuhan.

3)      Keberhasilan seorang laki-laki, karena ada perempuan yang hebat dibelakanganya yang selalu mendorongnya untuk maju. Mereka adalah pribadi yang sepadan, yang dihadirkan Tuhan sebagai penolong laki-laki. Perempuan yang sering dianggap lemah, tidak berdaya dan kebebasannya dibatasi, kini telah menjadi pemeran utama di dalam karay penebusan Yesus Kristus. Tuhan telah menyatakan kesetaraan laki-laki dan perempuan, semua bentuk diskriminatif, dan kejahatan lainnya terhadap kaum perempuan telah disingkirkan oleh pengajaran Yesus Kristus dan oleh karya penebusan-Nya di kayu salib. 

 

IV.             Daftar Pustaka

Guthrie, Donald, Teologi Perjanjian Baru 1, Jakarta : BPK Gunung mulia,  2008 

Lumbangaol,  Berlina, “Kedudukan Perempuan Dalam Alkitab dan Masa Kini” Jurnal Tranformasi, 2014

Nape, Henk Ten, Jalan Yang Lebih Utama Etika Perjanjian Baru, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006

Nolan, Albert, Yesus Bukan Orang Kristen? , Yogyakarta : Kanisius, 2005

Rouw, Randy Frank & Julian Frank Rouw, “Paulus Dan Perempuan.” Jurnal Jaffray 17 (2): 2019, https://doi.org/10.25278/jj.v17i2.336 

Selvaraj, Sadhu Sunda, Perempuan Istimewa Dimata Tuhan, Jakarta, Jesus Ministries, 2001

Siagian, Raulina, “Perjumpaan Transformatif Yesus dengan Perempuan”, Jurnal Shanan Vol.3 (1); 2019

Sidauruk, Neston, “Eksistensi Perempuan Dalam Paradigma Dan Pelayanan Yesus.” Jurnal Teologi Cultivation 3 (2); https://doi.org/10.46965/jtc.v3i2.272.

Sugirtharajah, R.S., (ed), Wajah Yesus di Asia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2007)

Tim Penyusun, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2000

Urban, Linwood, Sejarah Pemikiran Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003

Wijaya, Elkana Chrisna, Eksistensi Wanita Dan Sistem Patriarkat Dalam Konteks Budaya Masyarakat Israel; 2018

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Sadhu Sunda Selvaraj,Perempuan Istimewa Dimata Tuhan, (Jakarta, Jesus Ministries, 2001), 11-12. 

[2] Tim Penyusun, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, (Jakarta : Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2000), 240. 

[3] Elkana Chrisna Wijaya, Eksistensi Wanita Dan Sistem Patriarkat Dalam Konteks Budaya Masyarakat Israel; 2018, 142. 

[4] Albert Nolan, Yesus Bukan Orang Kristen? , (Yogyakarta : Kanisius, 2005), 49-50.

[5] Elkana Chrisna Wijaya, Eksistensi Wanita Dan Sistem Patriarkat Dalam Konteks Budaya Masyarakat Israel, 143.

[6] Elkana Chrisna Wijaya, Eksistensi Wanita Dan Sistem Patriarkat Dalam Konteks Budaya Masyarakat Israel, 143.

[7] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1, (Jakarta : BPK Gunung mulia,  2008), 157. 

[8] R.S. Sugirtharajah (ed), Wajah Yesus di Asia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2007), 338.

[9] R.S. Sugirtharajah (ed), Wajah Yesus di Asia, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2007), 347.

[10] Linwood Urban, Sejarah Pemikiran Kristen, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), 490.

[11] Henk Ten Nape, Jalan Yang Lebih Utama Etika Perjanjian Baru, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006), 15. 

[12] Berlina Lumbangaol,  “Kedudukan Perempuan Dalam Alkitab dan Masa Kini” Jurnal Tranformasi, 2014: 28-29. 

[13] Raulina Siagian, “Perjumpaan Transformatif Yesus dengan Perempuan”, Jurnal Shanan Vol.3 (1); 2019; 73-83.

[14] Randy Frank Rouw & Julian Frank Rouw, “Paulus Dan Perempuan.” Jurnal Jaffray 17 (2): 2019, 171. https://doi.org/10.25278/jj.v17i2.336 

[15] Neston Sidauruk, “Eksistensi Perempuan Dalam Paradigma Dan Pelayanan Yesus.” Jurnal Teologi Cultivation 3 (2): 115–26. https://doi.org/10.46965/jtc.v3i2.272.

[16] Linwood Urban, Sejarah Pemikiran Kristen, 490.  

[17] Raulina Siagian, “Perjumpaan Transformatif Yesus dengan Perempuan”, 76. 

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url