Ekologi Dalam Perjanjian Baru

 


Menguak  Masalah Dan Solusi Ekologi  Ditinjau Dari Perjanjian Baru Dan Refleksinya Dalam Peran Gereja Saat Ini

Ewen Josua Silitonga

 

I.                   Pendahuluan

Bumi tempat kita tinggal sedang menghadapi krisis. Krisis yang dimaksud di sini   adalah krisis ekologi. Krisis ekolologi ini berdampak pada semua anggota bumi, termasuk manusia. Akan tetapi, manusia bukan hanya korban dari krisis ekologi, manusia juga salah satu penyebab krisis ekologi. Selain posisi sebagai korban dan penyebab krisis ekologi, manusia juga memiliki peran lain yaitu sebagai pemelihara ekosistem. Lingkungan merupakan ekosistem yang di dalamnya berlangsung kehidupan. Akan tetapi seiring pertambahan jumlah manusia di bumi ini sehingga kebutuhannya juga meningkat. Ketika jumlah manusia meningkat, maka kebutuhannya juga meningkat baik kebutuhan makanan dan juga tempat tinggal sehingga semakin banyak wilayah yang digunakan untuk pemukiman sehingga hutan setiap tahunnya berkurang di dunia ini sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada kesempatan kali ini saya akan memaparkan tentang masalah ekologi dan solusi serta refleksinya bagi kita dalam menjaga dan merawat lingkungan sekitar kita dan semoga paper ini dapat menambah wawasan kita bersama.

 

II.                Pembahasan

2.1.Pengertian Ekologi

Ekologi berasal dari kata Oikos yang berarti rumah (yang kemudian diartikan dengan rumah tangga) dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Ekologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan timbal balik antara mahkluk hidup dengan lingkungannya. Ekologi adalah ilmu pengetahuan tentang hubungan antara organisme dan lingkungannya. Istilah ini pertama kali dikemukan oleh Reiter pada tahun 1865. Kata ini merupakan fokus mendasar dari ekologi yang membedakannya dari ilmu-ilmu biologi lainnya. Menurut Haeckel ilmu ekologi diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang berhubungan dengan relasi atau kaitan secara total antara organisme dengan lingkungannya yang bersifat organik maupun anorganik. Dalam pembicaraan masalah-masalah lingkungan hidup sering sekali kita menemukan kata-kata secara ekologi, pengertian ekologis,  kerusakan ekologis, tata ekologis dan sebagainya. Semua hal yang berhubungan lingkungan hidup dibicarakan dalam kaitan teoritis dan konsep ilmu pengetahuan ekologi.[1] Menurut Soeriaatmadja Ilmu ekologi disebut juga dengan ilmu lingkungan. Hanya kalau ditelaah lebih jauh, ilmu lingkungan lebih luas dari ilmu ekologi. Lebih lanjut diungkapkannya bahwa ilmu lingkungan sebenarnya adalah ilmu ekologi, sebagai ilmu murni yang menerapkan berbagai asas dan konsepnya kepada masalah yang lebih luas yang menyangkut pula hubungan manusia dengan lingkungannya.[2]

Istilah ekologi dapat juga didefinisikan secara sederhana sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara organisme dengan lingkungannya. Secara harafiah lingkungan di sini berarti keadaan sekitar atau kondisi sekitar. Menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 23/1997 yang masih berlaku hingga saat ini, “lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.” Lingkungan hidup terdiri atas tiga unsur utama yaitu unsur hayati, fisik, dan unsur sosial budaya. Yang dimaksud dengan unsur hayati adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas makhluk hidup, seperti hewan, manusia, tumbuh-tumbuhan dan jasad renik. Unsur hayati disebut juga sebagai unsur biotik. Yang dimaksud dengan unsur fisik adalah bagian dari lingkungan hidup yang terdiri atas benda-benda tidak hidup, seperti tanah, air, udara, iklim, dan lain-lain. Unsur fisik disebut juga sebagai unsur abiotik. Yang terakhir, unsur sosial budaya yaitu lingkungan sosial dan budaya yang dibuat manusia yang merupakan sistem nilai, gagasan, dan keyakinan dalam perilaku sebagai makhluk sosial. Interaksi antara ketiga unsur ini mengakibatkan perubahan lingkungan. Hubungan timbal balik antara ketiga unsur ini berpotensi untuk menyebabkan kerusakan ekologi seperti kerusakan tanah dan pencemaran lingkungan. Perubahan lingkungan diperparah oleh eksploitasi sumber daya alam demi menunjang kepentingan salah satu unsur lingkungan hidup yaitu manusia.

Ada lima macam krisis dan bencana lingkungan hidup yang terjadi di sekitar kita saat ini yaitu pencemaran, kerusakan, kepunahan, kekacauan iklim global, dan masalah sosial ikutan yang berhubungan dengan krisis dan bencana lingkungan hidup tersebut. Yang pertama pencemaran lingkungan hidup yang terdiri atas polusi udara, air, tanah, laut dan sampah. Yang kedua kerusakan lingkungan hidup yang terdiri atas kerusakan hutan, lapisan tanah, terumbu karang dan lapisan ozon. Yang ketiga kepunahan sumber daya alam yang terdiri atas punahnya keanekaragaman hayati, punahnya sumber daya alam, dan sumber mata air. Yang keempat kekacauan iklim global yang merupakan fenomena perubahan iklim dan kekacauan cuaca dengan segala gejalanya. Yang terakhir masalah sosial yang terkait dengan dampak kerusakan lingkungan hidup seperti kesehatan dan pemiskinan. Kelima macam krisis lingkungan ini mencakup beberapa permasalahan utama lingkungan hidup yang ada di Indonesia yaitu “akumulasi bahan beracun, efek rumah kaca, perusakan lapisan ozon, hujan asam, deforentasi dan penggurunan, serta kematian bentuk-bentuk kehidupan”.  Berbagai jenis bencana lingkungan hidup di atas adalah panggilan bagi kita semua untuk berubah, baik merubah gaya berpikir maupun cara bertindak yang dapat meminimalisir bencana lingkungan hidup.

 

2.2.Masalah Ekologi Saat Ini di Indonesia dan Dunia

Krisis lingkungan hidup telah mengancam kenyamanan tempat tinggal manusia. Ini termasuk salah satu dampak ulah manusia. Ternyata, pengelolaan lingkungan secara bertanggungjawab belum membudaya. Tanpa penghargaan dan penghormatan hak hidup mahluk ciptaan lain. Manusia berlomba-lomba menguras isi perut bumi demi kepentingan hidupnya. Keadaan ini terutama menimpa negara-negara yang sedang berkembang dan berpenduduk padat. Krisis ini menuntut keseriusan berpikir dan bertindak demi masa depan yang lebih baik dan luput dari bencana-bencana yang memprihatinkan dalam banyak hal, seharusnya manusia membatasi diri agar dapat menghindari keadaan yang menyengsarakan diri sendiri dan generasi mendatang. Persediaan sumber alam harus memadai dan dirawat secara bertanggung jawab supaya manusia-manusia yang akan lahir tidak menjadi korban akan kerusakan lingkungan yang terjadi.[3] Krisis lingkungan hidup yang dihadapi umat manusia dewasa ini merupakan akibat langsung dari pengelolaan lingkungan hidup yang tidak didasarkan pada kesadaran etika, moral dan spiritual religious yang bertanggungjawab. Dengan kata lain, krisis lingkungan yang dihadapi umat manusia sebetulnya berakar dalam krisis etika, krisis moral, dan krisis spiritual religious manusia. Kesadaran akan adanya kehidupan manusia yang juga dimungkinkan oleh ketersediaan sumber-sumber daya alam ciptaan Tuhan, pada kenyataanya telah terkikis habis oleh egoisme manusia yang tanpa hati nurani mengeruk dan atau menggarap alam lingkungan.[4]

Berikut adalah masalah lingkungan hidup di Indonesia dan dunia beserta penyebabnya. Jika berbagai permasalahan lingkungan ini tidak dicari solusi, maka keberlanjutan kehidupan manusia di bumi akan mengkhawatirkan. Hal ini dikarenakan alam menjadi sumber pemenuhan segala kebutuhan hidup manusia, yaitu penyedia udara, air, makanan, obat-obatan, estetika, dan lainnya. Kerusakan alam berarti sama dengan daya dukung kehidupan manusia.

Permasalahan lingkungan hidup dan penyebabnya yang kita hadapi saat ini secara lengkap adalah sebagai berikut:[5]

1.      Polusi

Masalah lingkungan hidup yang pertama adalah polusi atau pencemaran lingkungan hidup. Polusi udara, air dan tanah memerlukan waktu jutaan tahun agar dapat normal kembali. Sektor Industri dan asap kendaraan bermotor adalah sumber pencemaran utama. Logam berat, nitrat dan plastik beracun bertanggung jawab atas berbagai pencemaran yang ada. Sementara polusi air disebabkan oleh tumpahan minyak, hujan asam, limpasan perkotaan. Dilain pihak, pencemaran udara disebabkan oleh berbagai gas dan racun yang dikeluarkan oleh industri dan pabrik-pabrik serta sisa pembakaran bahan bakar fosil; pencemaran tanah terutama disebabkan oleh limbah industri yang merusak unsur hara dan zat nutrisi di tanah yang penting bagi tumbuhan.

2.      Perubahan iklim

Perubahan iklim atau pemanasan global. Perubahan iklim seperti pemanasan global adalah hasil dari praktik manusia seperti emisi gas rumah kaca. Pemanasan global menyebabkan meningkatnya suhu lautan dan permukaan bumi sehingga menyebabkan mencairnya es di kutub dan kenaikan permukaan air laut. Ia juga mengubah pola alami musim dan curah hujan seperti banjir bandang, salju berlebihan atau penggurunan. Akibat perubahan cuaca tersebut, produksi pertanian sering mengalami gagal panen dan memperbesar peluang terjadinya kebakaran hutan akibat terjadinya musim kering berkepanjangan.

3.      Populasi

Kelebihan populasi. Populasi planet ini mencapai tingkat yang tidak berkelanjutan karena menghadapi kekurangan sumber daya seperti air, bahan bakar dan makanan. Ledakan populasi di negara-negara maju dan berkembang yang terus menyebabkan semakin langkanya sumber daya. Pertanian intensif yang bertujuan untuk meningkatkan produksi makanan dengan menggunakan pestisida justru pada akhirnya menimbulkan masalah baru. Kerusakan itu berupa menurunnya kualitas tanah dan kesehatan manusia.

4.      Penipisan sumber daya alam

Penggunaan bahan bakar fosil seperti minyak bumi bertanggung jawab menciptakan pemanasan global dan perubahan iklim. Secara global, mulai banyak pihak yang mulai beralih menggunakan sumber daya terbarukan, seperti listrik tenaga surya, biogas, mobil tenaga matahari, yang diterapkan oleh negara maju. Walaupun dalam jangka pendek, instalasi peralatan fasilitas teknologi ramah lingkungan ini akan terlihat cukup mahal, tetapi dalam jangka panjang akan sangat murah dibandingkan penggunaan energi fosil dan tidak terbarukan.

5.      Pembuangan limbah

Permasalahan lingkungan hidup selanjutnya adalah pembuangan limbah. Hal ini terutama limbah plastik dan sampah perkotaan seperti di Kali Ciliwung di Jakarta atau kota-kota di Indonesia. Selain limbah rumah tangga, limbah dari sektor industri yang sering dibuang ke sungai juga menyebabkan ikan-ikan mati dan hancurnya ekosistem sungai. Padahal sungai-sungai ini penting bagi ekonomi masyarakat dan penting untuk memasok sumber makanan bagi masyarakat. Pembuangan limbah ini akhirnya akan menyebabkan pencemaran laut di indonesia dan merusak ekosistem laut, sumber perikanan. Tidak kalah penting adalah pembuangan limbah nuklir. Pembuangan limbah nuklir memiliki bahaya kesehatan yang luar biasa, terutama akibat radiasi. Plastik, makanan cepat saji, kemasan dan limbah elektronik murah mengancam kesejahteraan manusia. Pembuangan limbah merupakan salah satu masalah lingkungan hidup yang mendesak untuk segera dicarikan jalan keluar.

6.      Kepunahan keanekaragaman hayati

Aktivitas manusia yang menyebabkan kepunahan spesies dan habitat serta hilangnya keanekaragaman hayati. Aktivitas perburuan satwa yang tidak berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan protein manusia, seperti perburuan telur penyu atau kura-kura Indonesia yang menyebabkan kura-kura sungai punah. Punahnya spesies berarti punahnya sumber pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Ekosistem, yang menempuh waktu jutaan tahun untuk stabil dan mendukung kehidupan manusia, kini berada dalam bahaya bila ada populasi spesies yang punah atau hilang. Keseimbangan ekosistem terganggu. Kerusakan terumbu karang di berbagai lautan, yang mendukung kehidupan laut yang kaya, menyebabkan ketersediaan ikan di lautan berkurang. Padahal populasi manusia semakin bertambah.

7.      Deforestasi atau penggundulan hutan

Persoalan lingkungan yang tidak kalah penting adalah deforestasi. Pembukaan hutan untuk pengembangan sektor perkebunan, terutama sawit, menyebabkan pelepasan karbon ke bumi sehingga meningkatkan perubahan suhu bumi. Hutan yang sesungguhnya berperan menyerap racun karbon dioksida hasil pencemaran, kemudian mengubahnya menjadi oksigen, membantu menciptakan hujan, menjadi habitat bagi berbagai jenis satwa yang penting untuk mendukung bagi kehidupan manudia, hancur digantikan tanaman monokulutur. Padahal tanaman monokultur tidak akan mampu berperan seperti hutan di dalam mendukung pemenuhan kebutuhan hidup manusia.

8.      Fenomena pengasaman laut

Ini adalah dampak langsung dari produksi berlebihan gas Karbon Dioksida (CO2). Dua puluh lima persen gas CO2 yang dihasilkan oleh manusia. Keasaman laut telah meningkat dalam 250 tahun terakhir. Pada tahun 2100, mungkin meningkat sekitar 150%. Demikian menurut situs global change. Dampak utama adalah pada punahnya kerang dan plankton, sumber makanan ikan. Jika ikan kehilangan makanan, apa yang akan terjadi pada manusia?

9.      Penipisan lapisan ozon

Lapisan ozon merupakan lapisan perlindungan yang tak terlihat yang menutupi planet bumi, melindungi kita dari radiasi sinar matahari yang berbahaya. Penipisan lapisan Ozon diperkirakan disebabkan oleh polusi yang disebabkan oleh gas Klorin dan Bromida yang ditemukan di Chloro-floro karbon (CFC). Setelah gas beracun mencapai atmosfer bagian atas, mereka menyebabkan lubang di lapisan ozon, yang terbesar berada di atas Antartika. CFC kini dilarang di banyak industri dan produk konsumen. Lapisan ozon penting bagi manusia karena mencegah radiasi Ultraviolet (UV) yang berbahaya jika mencapai bumi. Ini wajib menjadi perhatian.

10.  Hujan asam

Hujan asam terjadi karena adanya polutan tertentu di atmosfer. Hujan asam dapat disebabkan karena pembakaran bahan bakar fosil atau akibat meletusnya gunung berapi atau membusuknya vegetasi yang melepaskan sulfur dioksida dan nitrogen oksida ke atmosfer. Hujan asam merupakan permasalahan lingkungan yang dapat memiliki efek serius pada kesehatan manusia, satwa liar dan spesies air.

11.  Rekayasa genetika

Produk makanan, peternakan, pertanian saat ini benyak dihasilkan oleh teknologi rekayasa genetika atau modifikasi genetik. Modifikasi genetik makanan menggunakan bioteknologi disebut rekayasa genetika. Modifikasi genetik dari hasil makanan, secara umum, akan meningkatkan racun dan resiko penyakit bagi menusia. Genetika tanaman atau satwa yang dimodifikasi dapat menyebabkan masalah serius bagi kesehatan manusia serta keseimbangan ekosistem.

 

2.3.Ekologi Dalam Perjanjian Lama

Dalam cerita penciptaan dikatakan bahwa manusia diciptakan bersama dengan seluruh alam semesta. Itu berarti bahwa manusia mempunyai keterkaitan dan kesatuan dengan lingkungan hidupnya. Akan tetapi, diceritakan pula bahwa hanya manusia yang diciptakan sebagai gambar Allah ("Imago Dei ") dan yang diberikan kewenangan untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan segala isinya. Jadi di satu segi, manusia adalah bagian integral dari ciptaan (lingkungan), akan tetapi pada lain segi, ia diberikan kekuasaan untuk memerintah dan memelihara bumi. Maka, hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari mata uang yang mesti dijalani secara seimbang. Allah menciptakan manusia secara berbeda seperti ketika Ia menciptakan makhluk hidup lainnya. Kejadian 1:27 mengatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar-Nya. Menurut Robert P. Borrong teks Kejadian 1:26-28 adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Memahami mandat penguasaan atas alam terkait pemahaman tentang hakikat penciptaan manusia sebagai gambar Allah.[6]

1. Kesatuan Manusia dengan Alam[7]

Alkitab menggambarkan kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan manusia: "Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah" (Kej. 2:7), seperti Ia juga "membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara" (Kej. 2:19). Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut " adam ". Nama itu mempunyai akar yang sama dengan kata untuk tanah, " adamah ", yang berarti warna merah kecokelatan yang mengungkapkan warna kulit manusia dan warna tanah. Dalam bahasa Latin, manusia disebut " hom ", yang juga mempunyai makna yang berkaitan dengan "humus", yaitu tanah. Dalam artian itu, tanah yang biasa diartikan dengan bumi, mempunyai hubungan lipat tiga yang kait-mengait dengan manusia: manusia diciptakan dari tanah (Kej. 2:7; 3:19, 23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej. 3:23), dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej. 3:19; Maz. 90:3). Di sini nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup) hidup saling bergantung sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau manusia merusak alam, maka secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya sendiri.

2. Kepemimpinan Manusia Atas Alam

Walaupun manusia dengan alam saling bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan manusia dengan unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh ciptaan yang lain (Kej. 2:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej. 2:15). Jadi, manusia mempunyai kuasa yang lebih besar daripada makhluk yang lain. Ia dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang dimahkotai kemuliaan dan hormat (Maz. 8:6). Ia menjadi wakil Allah yang memerintah atas nama Allah terhadap makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di dunia sebagai duta Allah. Ia adalah citra, maka ia ditunjuk menjadi mitra Allah. Karena ia menjadi wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah kekuasaan perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang terbatas dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa, yaitu Allah. Itu sebabnya manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak boleh menjadi "raja lalim". Kekuasaan manusia adalah kekuasaan " care-taker". Maka, sebaiknya manusia memberlakukan secara seimbang, artinya pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau pelestarian alam.

Kata "mengelola" dalam Kejadian 2:15, digunakan istilah Ibrani "abudah", yang sama maknanya dengan kata ibadah dan mengabdi. Maka, manusia sebagai citra Allah seharusnya memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah. Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung jawab: memanfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk hal mengelola (" abudah ") dan memelihara (" samar") lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan atau kepemimpinannya pada manusia.

3. Kegagalan Manusia Memelihara Alam

Alkitab mencatat secara khusus adanya "keinginan" dalam diri manusia untuk menjadi sama seperti Allah dan karena keinginan itu ia "melanggar" amanat Allah (Kej. 3:5-6). Tindakan melanggar amanat Allah membawa dampak bukan hanya rusaknya hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga dengan sesamanya dan dengan alam. Manusia menghadapi alam tidak lagi dalam konteks "sesama ciptaan", tetapi mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya". Manusia memperlakukan alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk dimiliki dan dikonsumsi. Alam diperhatikan hanya dalam konteks kegunaan. Manusia hanya memerhatikan tugas menguasai, tetapi tidak memerhatikan tugas memelihara. Dengan demikian, manusia gagal melaksanakan tugas kepemimpinannya atas alam.

Akar perlakuan buruk manusia terhadap alam terungkap dalam istilah seperti: "tanah yang terkutuk", "susah payah kerja", dan "semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkan bumi" (Kej. 3:17-19). Manusia selalu dibayangi oleh rasa kuatir akan hari esok yang mendorongnya cenderung rakus dan materialistik (baca Mat. 6:19-25 par.). Secara teologis, dapat dikatakan bahwa akar kerusakan lingkungan alam dewasa ini terletak dalam sikap rakus manusia yang dirumuskan oleh John Stott sebagai "economic gain by environmental loss". Manusia berdosa menghadapi alam tidak lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi sekaligus untuk memenuhi keserakahannya. Dengan kata lain, manusia berdosa adalah manusia yang hakikatnya berubah dari "a needy being" menjadi "a greedy being". Kegagalan dalam melaksanakan tugas kepemimpinan atas alam merupakan pula kegagalan manusia dalam mengendalikan dirinya, khususnya keinginan-keinginannya.

 

2.4.Ekologi Dalam Perjanjian Baru

Alkitab, khususnya Perjanjian Baru, mencatat bahwa Allah yang Mahakasih mengasihi dunia ciptaan-Nya (kosmos) sehingga Ia mengutus anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia, yaitu Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 3:16). Tuhan Yesus Kristus yang disebut Firman (logos) penciptaan (Kol. 1:15-17; Yoh. 1:3, 10a) telah berinkarnasi (mengambil bentuk materi dengan menjelma menjadi manusia: Yoh. 1:1, 14); dan melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib serta kebangkitan-Nya dari antara orang mati, Ia telah mendamaikan Allah dengan segala sesuatu (ta panta) atau dunia (kosmos) ini (Kol. 1:19-20; 2 Kor. 5:18-19). Tuhan Yesus telah memulihkan hubungan Allah dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan hubungan manusia dengan alam. Atas dasar itu, maka hubungan harmonis dalam Eden (Firdaus) telah dipulihkan.[8]

Orang Kristen menyakini bahwa Allah adalah pribadi yang memulai alam semesta, hal ini sesuai dengan keyakinan Perjanjian Lama dan pengajaran Yesus yang dicatat dalam Markus 13:19.[9] Kristus adalah dasar segala sesuatu (Kolose 1:16) segala berarti juga seluruh alam ciptaan. Penebusan Kristus (Kol 1:20-23) juga mencakup semua dunia ciptaan. Peran kreatif Kristus dalam ciptaan serta peran penyelamatan mencakup pemulihan hubungan yang rusak antara manusia dan ciptaan.[10] Dengan mengambil alih konsep hikmat dari Perjanjian Lama yang melalui-Nya dunia diciptakan (Ams. 8:25-27). Kedatangan Kristus dipahami sebagai pertanda dimulainya penciptaan manusia baru (2 Kor. 5:17) dan seluruh alam semesta (Rm. 8:19-21).[11] Paulus dengan berani memberitakan Allah yang ia sembah itu adalah Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, ia yang adalah Tuhan atas langit dan bumi (Kis. 17:24), khusus Penciptaan-Nya juga terlihat dalam pernyataan bahwa manusia adalah keturunan-Nya (Kis. 1:29). Dalam surat-surat Paulus dikemukakan secara jelas adanya hubungan antara pencipta dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya (bnd. Rm. 1:25) yang mencerminkan karya penciptaan-Nya (Rm. 1:20). Penulis-penulis perjanjian baru tidak membahsas mengenai cara penciptaan. Dalam surat kepada orang-orang Ibrani dinyatakan bahwa “alam semesta telah dijadikan oleh Firman Allah” (Ibr. 11:3), yang artinya Firman Allah yang mempunyai kuasa dalam proses menciptakan (bnd. Kej. 1:3). Hikmat pencipta yang tak terbatas dalam hal membuat penciptaan berpusat pada Kristus dan bukan kepada manusia, kecuali dalam arti manusia sejati yang hanya digenapi dalam Yesus Kristus (Ibr. 2:8). Perjanjian baru menyatakan tentang Kristus sebagai manusia sejati dan gambar Allah di atas bumi ini. Dalam kedudukan yang demikian, kepadaNya diberikan segala kuasa, baik di surga maupun di bumi (Mat. 288:18). Dalam Efesus 1:10 Paulus mengingatkan bahwa segala sesuatu, baik yang terdapat di bumi atau yang dapat di surga disatukanNya di bawah satu kepala yaitu Yesus Kristus. Allah memperdamaikan diriNya dengan segala sesuatu (Kol. 1). Memperdamaikan, mengimplikasikan pembebasan, demikian juga dikatakan dalam hal pasal-pasal yang lalu. Kalau begitu, apa saja yang dikatakan sebagai “Penaklukan bumi” itu, haruslah dipahami sebagai pembebasan bumi melalui persekutuan dengan-Nya. Kalau Roma 8 berkata tentang seluruh ciptaan terikat dan yang ditaklukan kepada kesia-siaan, tetapi yang dengan sangat rindu menantikan saat anak-anak Allah dinayatakan, maka dalam perbuatan pendamaian yang dilakukan Allah itu, pembebasan telah berlaku. Alam semesta juga dibebaskan (Rom 8:19-23). Manusia yang dipanggil ke dalam pendamaian dengan Allah, juga dipanggil untuk menempatkan alam semesta dalam relasi yang lebih bertanggungjawab dengan dirinya. Etika yang tadinya berupa perjuangan untuk ada, menurut istilah Moltman, dimana prinsip eksploitasi, dominasi dan manipulasi diterapkan, harus diubah menjadi etika keberadaan secara serasi dimana prinsip solidaritas dipraktekkan.[12]

 

2.5.Sikap dan Tanggung Jawab Serta Solusi Terhadap Kelestarian Lingkungan

Manusia adalah salah satu faktor penyebab kerusakan lingkungan dikarenakan cara pandang manusia atau cara manusia melihat alam. Cara pandang manusia itu sendiri yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup (fundamentalis-filosofis). Fundamentalis-filosofis adalah cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Pada akhirnya, kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku yang keliru terhadap alam. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan dari dalam konteks alam semesta seluruhnya. Inilah awal dari semua bencana lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Kesalahan cara pandang ini bersumber dari etika antro-posentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Manusia dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan, manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja terhadap alam. Cara pandang ini melahirkan eksploitatif tanpa kepedulian sama sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada diri sendiri.[13]

Walaupun manusia dengan alam saling bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan manusia dengan unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh ciptaan yang lain (Kej. 2:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej. 2:15). Jadi, manusia memunyai kuasa yang lebih besar daripada makhluk yang lain. Ia dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang dimahkotai kemuliaan dan hormat (Maz. 8:6). Ia menjadi wakil Allah yang memerintah atas nama Allah terhadap makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di dunia sebagai duta Allah. Ia adalah citra, maka ia ditunjuk menjadi mitra Allah. Karena ia menjadi wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah kekuasaan perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang terbatas dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa, yaitu Allah. Itu sebabnya manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak boleh menjadi "raja lalim". Kekuasaan manusia adalah kekuasaan "care-taker". Maka sebaiknya manusia memberlakukan secara seimbang, artinya pengelolaan dan pemanfaatan sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau pelestarian alam.[14]

 

III.             Refleksi Teologis

Allah menciptakan langit beserta seluruh isinya begitu sangat indah dan mengangumkan sehingga proses keberlangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya dapat berjalan dengan baik. Bisa kita bayangkan ketika tidak ada lagi air bersih di muka bumi bagaimana dengan kehidupan yang sedang berlangsung saat ini hingga kehidupan di masa mendatang. Akan tetapi seiring berjalannya waktu apalagi teknologi semakinn berkembang banyak sekali perubahan yang bisa kita lihat di alam semesta ini mulai dari musim hujan yang terlalu gampang untuk diprediksi, cuaca semakin panas, bencana banjir, longsor dan lain-lain ada di mana-mana dan masih banyak lagi yang memang sangat merugikan bumi dan seluruh isinya termasuk mengancam kehidupan manusia. Oleh karena itu hendaknya manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna harus menjaga dan merawat lingkungan yang ada karena kerusakan yang terjadi sekarang akan sangat berdampak pada kehidupan mendatang. Firman Tuhan  yang tertulis dalam Kejadian 2:15 “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk  mengusahakan dan memelihara taman itu”. Setelah penciptaan langit, bumi serta seluruh isinya termasuk manusia maka Allah menyuruh manusia untuk mengusahai dan memelihara. Jumlah penduduk dunia setiap tahun selalu bertambah, akan tetapi dalam situasi seperti ini manusia juga harus berkhiktmat dalam mengelola “ruang dunia ini” sehingga tetap terjaga dan tidak mengakibatkan kerusakan yang besar. Coba kita bayangkan apa yang akan terjadi ratusan ribu tahun atau jutaan tahun ke depan jika kita umat manusia semena-mena dalam mengolah lingkungan kita dan tidak peduli terhadap kelestarian lingkungan kita.

 

IV.             Kesimpulan

Dari seluruh pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa:

1.       Ekologi merupakan suatu ilmu yang berhubungan dengan lingkungan atau tempat di mana makhluk hidup tumbuh dan berkembang. Akan tetapi seiring perkembangan zaman dan juga populasi semakin meningkat maka lingkungan juga dewasa ini semaki  rusak. Hal ini harus kita perhatian kita karena apabila lingkungan terus memburuk bisa kita bayangkan bagaimana kehidupan yang akan datang.

2.      Di dalam Perjanjian Baru Yesus sudah memperdamaikan ciptaan dengan Allah Bapa sehingga kita umat-Nya bertanggungjawab untuk memelihara bumi untuk kemulian-Nya. Oleh karena itu menjaga dan memelihara serta melakukan segala sesuatu di alam semesta ini adalah salah satu tanggungjawab manusia terhadap pencipta-Nya.

 

V.                Daftar Pustaka

Sumber Buku:

Borrong, Robbert P., Etika Bumi Baru, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004.

Borrong, Robert P., Jurnal Pelita Zaman Volume 13 No.01, Bandung : PKPZ, 1998.

Browning, W.R.F., Kamus Alkitab, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

Budi, Widiarnoto, Membumikan Etika Lingkungan, Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Drummond, Celia Deane-, Teologi dan Ekologi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.

Guthrie, Donald, Teologi Perjanjian Baru Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991.

Keraf, A. Sonny, Etika Lingkungan Hidup, Jakarta: Kompas, 2002.

Link, Christian, Ecological crisis and Christian ethics, Theology Digest, Volue 31, Number 2, Summer 1984.

R.E. Soeriaatmadja, Ilmu Lingkungan Bandung : ITB Bandung, 1981.

Siahaan, N.H.T, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan Jakarta : Erlangga, 2004.

 

Sumber Internet:

https://dlh.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/masalah-lingkungan-hidup-di-indonesia-dan-dunia-saat-ini-15,

 

 

 



[1]N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (Jakarta : Erlangga, 2004), 18.

[2]R.E. Soeriaatmadja, Ilmu Lingkungan (Bandung : ITB Bandung, 1981), 20.

[3] Christian Link, Ecological crisis and Christian ethics, Theology Digest (Volue 31, Number 2, Summer 1984), 149. 

[4] Budi, Widiarnoto, Membumikan Etika Lingkungan, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 79.

[6] Robbert P. Borrong, Etika Bumi Baru, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004), 237.

  [7] Robert P. Borrong, Jurnal Pelita Zaman Volume 13 No.01 (Bandung : PKPZ, 1998), 8-15.

[8] Robert P. Borrong, Jurnal Pelita Zaman Volume 13 No.01 (Bandung : PKPZ, 1998), 16.

[9] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 47

[10] Celia Deane-Drummond, Teologi dan Ekologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 36

[11] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 323

[12] Celia Deane-Drummond, Teologi dan Ekologi, 37-38

[13] A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup (Jakarta: Kompas, 2002), Xii.

[14] Ibid, 240

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url