Ekologi Dalam Perjanjian Baru
Menguak Masalah Dan Solusi Ekologi Ditinjau Dari Perjanjian Baru Dan Refleksinya
Dalam Peran Gereja Saat Ini
Ewen Josua Silitonga
I.
Pendahuluan
Bumi tempat kita tinggal sedang
menghadapi krisis. Krisis yang dimaksud di sini adalah krisis ekologi. Krisis ekolologi ini
berdampak pada semua anggota bumi, termasuk manusia. Akan tetapi, manusia bukan
hanya korban dari krisis ekologi, manusia juga salah satu penyebab krisis
ekologi. Selain posisi sebagai korban dan penyebab krisis ekologi, manusia juga
memiliki peran lain yaitu sebagai pemelihara ekosistem. Lingkungan merupakan
ekosistem yang di dalamnya berlangsung kehidupan. Akan tetapi seiring
pertambahan jumlah manusia di bumi ini sehingga kebutuhannya juga meningkat.
Ketika jumlah manusia meningkat, maka kebutuhannya juga meningkat baik
kebutuhan makanan dan juga tempat tinggal sehingga semakin banyak wilayah yang
digunakan untuk pemukiman sehingga hutan setiap tahunnya berkurang di dunia ini
sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Pada kesempatan kali ini saya akan
memaparkan tentang masalah ekologi dan solusi serta refleksinya bagi kita dalam
menjaga dan merawat lingkungan sekitar kita dan semoga paper ini dapat menambah
wawasan kita bersama.
II.
Pembahasan
2.1.Pengertian Ekologi
Ekologi berasal dari kata Oikos yang berarti rumah (yang kemudian
diartikan dengan rumah tangga) dan logos yang
berarti ilmu pengetahuan. Ekologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
hubungan timbal balik antara mahkluk hidup dengan lingkungannya. Ekologi adalah
ilmu pengetahuan tentang hubungan antara organisme dan lingkungannya. Istilah
ini pertama kali dikemukan oleh Reiter pada
tahun 1865. Kata ini merupakan fokus mendasar dari ekologi yang membedakannya
dari ilmu-ilmu biologi lainnya. Menurut Haeckel ilmu ekologi diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan yang
berhubungan dengan relasi atau kaitan secara total antara organisme dengan
lingkungannya yang bersifat organik maupun anorganik. Dalam pembicaraan
masalah-masalah lingkungan hidup sering sekali kita menemukan kata-kata secara
ekologi, pengertian ekologis, kerusakan
ekologis, tata ekologis dan sebagainya. Semua hal yang berhubungan lingkungan
hidup dibicarakan dalam kaitan teoritis dan konsep ilmu pengetahuan ekologi.[1]
Menurut Soeriaatmadja Ilmu ekologi
disebut juga dengan ilmu lingkungan. Hanya kalau ditelaah lebih jauh, ilmu lingkungan
lebih luas dari ilmu ekologi. Lebih lanjut diungkapkannya bahwa ilmu lingkungan
sebenarnya adalah ilmu ekologi, sebagai ilmu murni yang menerapkan berbagai
asas dan konsepnya kepada masalah yang lebih luas yang menyangkut pula hubungan
manusia dengan lingkungannya.[2]
Istilah ekologi dapat juga
didefinisikan secara sederhana sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara
organisme dengan lingkungannya. Secara harafiah lingkungan di sini berarti
keadaan sekitar atau kondisi sekitar. Menurut Undang-Undang Lingkungan Hidup No.
23/1997 yang masih berlaku hingga saat ini, “lingkungan hidup adalah kesatuan
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di
dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.” Lingkungan hidup
terdiri atas tiga unsur utama yaitu unsur hayati, fisik, dan unsur sosial
budaya. Yang dimaksud dengan unsur hayati adalah unsur lingkungan hidup yang
terdiri atas makhluk hidup, seperti hewan, manusia, tumbuh-tumbuhan dan jasad
renik. Unsur hayati disebut juga sebagai unsur biotik. Yang dimaksud dengan
unsur fisik adalah bagian dari lingkungan hidup yang terdiri atas benda-benda
tidak hidup, seperti tanah, air, udara, iklim, dan lain-lain. Unsur fisik disebut
juga sebagai unsur abiotik. Yang terakhir, unsur sosial budaya yaitu lingkungan
sosial dan budaya yang dibuat manusia yang merupakan sistem nilai, gagasan, dan
keyakinan dalam perilaku sebagai makhluk sosial. Interaksi antara ketiga unsur
ini mengakibatkan perubahan lingkungan. Hubungan timbal balik antara ketiga
unsur ini berpotensi untuk menyebabkan kerusakan ekologi seperti kerusakan
tanah dan pencemaran lingkungan. Perubahan lingkungan diperparah oleh
eksploitasi sumber daya alam demi menunjang kepentingan salah satu unsur
lingkungan hidup yaitu manusia.
Ada lima macam krisis dan bencana
lingkungan hidup yang terjadi di sekitar kita saat ini yaitu pencemaran,
kerusakan, kepunahan, kekacauan iklim global, dan masalah sosial ikutan yang
berhubungan dengan krisis dan bencana lingkungan hidup tersebut. Yang pertama
pencemaran lingkungan hidup yang terdiri atas polusi udara, air, tanah, laut
dan sampah. Yang kedua kerusakan lingkungan hidup yang terdiri atas kerusakan
hutan, lapisan tanah, terumbu karang dan lapisan ozon. Yang ketiga kepunahan
sumber daya alam yang terdiri atas punahnya keanekaragaman hayati, punahnya
sumber daya alam, dan sumber mata air. Yang keempat kekacauan iklim global yang
merupakan fenomena perubahan iklim dan kekacauan cuaca dengan segala gejalanya.
Yang terakhir masalah sosial yang terkait dengan dampak kerusakan lingkungan
hidup seperti kesehatan dan pemiskinan. Kelima macam krisis lingkungan ini
mencakup beberapa permasalahan utama lingkungan hidup yang ada di Indonesia yaitu
“akumulasi bahan beracun, efek rumah kaca,
perusakan lapisan ozon, hujan asam, deforentasi dan penggurunan, serta
kematian bentuk-bentuk kehidupan”.
Berbagai jenis bencana lingkungan hidup di atas adalah panggilan bagi
kita semua untuk berubah, baik merubah gaya berpikir maupun cara bertindak yang
dapat meminimalisir bencana lingkungan hidup.
2.2.Masalah Ekologi Saat Ini
di Indonesia dan Dunia
Krisis lingkungan hidup telah
mengancam kenyamanan tempat tinggal manusia. Ini termasuk salah satu dampak
ulah manusia. Ternyata, pengelolaan lingkungan secara bertanggungjawab belum
membudaya. Tanpa penghargaan dan penghormatan hak hidup mahluk ciptaan lain.
Manusia berlomba-lomba menguras isi perut bumi demi kepentingan hidupnya.
Keadaan ini terutama menimpa negara-negara yang sedang berkembang dan
berpenduduk padat. Krisis ini menuntut keseriusan berpikir dan bertindak demi
masa depan yang lebih baik dan luput dari bencana-bencana yang memprihatinkan
dalam banyak hal, seharusnya manusia membatasi diri agar dapat menghindari
keadaan yang menyengsarakan diri sendiri dan generasi mendatang. Persediaan
sumber alam harus memadai dan dirawat secara bertanggung jawab supaya
manusia-manusia yang akan lahir tidak menjadi korban akan kerusakan lingkungan
yang terjadi.[3]
Krisis lingkungan hidup yang dihadapi umat manusia dewasa ini merupakan akibat
langsung dari pengelolaan lingkungan hidup yang tidak didasarkan pada kesadaran
etika, moral dan spiritual religious yang bertanggungjawab. Dengan kata lain,
krisis lingkungan yang dihadapi umat manusia sebetulnya berakar dalam krisis
etika, krisis moral, dan krisis spiritual religious manusia. Kesadaran akan
adanya kehidupan manusia yang juga dimungkinkan oleh ketersediaan sumber-sumber
daya alam ciptaan Tuhan, pada kenyataanya telah terkikis habis oleh egoisme
manusia yang tanpa hati nurani mengeruk dan atau menggarap alam lingkungan.[4]
Berikut
adalah masalah lingkungan hidup di Indonesia dan dunia beserta penyebabnya.
Jika berbagai permasalahan lingkungan ini tidak dicari solusi, maka keberlanjutan
kehidupan manusia di bumi akan mengkhawatirkan. Hal ini dikarenakan alam
menjadi sumber pemenuhan segala kebutuhan hidup manusia, yaitu penyedia udara,
air, makanan, obat-obatan, estetika, dan lainnya. Kerusakan alam berarti sama
dengan daya dukung kehidupan manusia.
Permasalahan
lingkungan hidup dan penyebabnya yang kita hadapi saat ini secara lengkap
adalah sebagai berikut:[5]
1.
Polusi
Masalah lingkungan hidup yang
pertama adalah polusi atau pencemaran lingkungan hidup. Polusi udara, air dan tanah
memerlukan waktu jutaan tahun agar dapat normal kembali. Sektor Industri dan
asap kendaraan bermotor adalah sumber pencemaran utama. Logam berat, nitrat dan
plastik beracun bertanggung jawab atas berbagai pencemaran yang ada. Sementara
polusi air disebabkan oleh tumpahan minyak, hujan asam, limpasan perkotaan.
Dilain pihak, pencemaran udara disebabkan oleh berbagai
gas dan racun yang dikeluarkan oleh industri dan pabrik-pabrik serta sisa
pembakaran bahan bakar fosil; pencemaran tanah terutama disebabkan oleh
limbah industri yang merusak unsur hara dan zat nutrisi di tanah yang penting
bagi tumbuhan.
2.
Perubahan
iklim
Perubahan iklim atau pemanasan global. Perubahan iklim seperti
pemanasan global adalah hasil dari praktik manusia seperti emisi gas rumah
kaca. Pemanasan global menyebabkan meningkatnya suhu lautan dan permukaan bumi
sehingga menyebabkan mencairnya es di kutub dan kenaikan permukaan air laut. Ia
juga mengubah pola alami musim dan curah hujan seperti banjir bandang, salju
berlebihan atau penggurunan. Akibat perubahan cuaca tersebut, produksi
pertanian sering mengalami gagal panen dan memperbesar peluang terjadinya
kebakaran hutan akibat terjadinya musim kering berkepanjangan.
3.
Populasi
Kelebihan populasi. Populasi
planet ini mencapai tingkat yang tidak berkelanjutan karena menghadapi
kekurangan sumber daya seperti air, bahan bakar dan makanan. Ledakan populasi
di negara-negara maju dan berkembang yang terus menyebabkan semakin langkanya
sumber daya. Pertanian intensif yang bertujuan untuk meningkatkan produksi
makanan dengan menggunakan pestisida justru pada akhirnya menimbulkan masalah
baru. Kerusakan itu berupa menurunnya kualitas tanah dan kesehatan manusia.
4.
Penipisan
sumber daya alam
Penggunaan bahan bakar fosil
seperti minyak bumi bertanggung jawab menciptakan pemanasan global dan
perubahan iklim. Secara global, mulai banyak pihak yang mulai beralih
menggunakan sumber daya terbarukan, seperti listrik tenaga surya, biogas, mobil
tenaga matahari, yang diterapkan oleh negara maju. Walaupun dalam jangka
pendek, instalasi peralatan fasilitas teknologi ramah lingkungan ini akan
terlihat cukup mahal, tetapi dalam jangka panjang akan sangat murah
dibandingkan penggunaan energi fosil dan tidak terbarukan.
5.
Pembuangan
limbah
Permasalahan lingkungan hidup
selanjutnya adalah pembuangan limbah. Hal ini terutama limbah plastik dan
sampah perkotaan seperti di Kali Ciliwung di Jakarta atau kota-kota di
Indonesia. Selain limbah rumah tangga, limbah dari sektor industri yang sering
dibuang ke sungai juga menyebabkan ikan-ikan mati dan hancurnya ekosistem
sungai. Padahal sungai-sungai ini penting bagi ekonomi masyarakat dan penting
untuk memasok sumber makanan bagi masyarakat. Pembuangan limbah ini akhirnya
akan menyebabkan pencemaran laut di indonesia dan merusak ekosistem
laut, sumber perikanan. Tidak kalah penting adalah pembuangan limbah nuklir.
Pembuangan limbah nuklir memiliki bahaya kesehatan yang luar biasa, terutama
akibat radiasi. Plastik, makanan cepat saji, kemasan dan limbah elektronik
murah mengancam kesejahteraan manusia. Pembuangan limbah merupakan salah satu
masalah lingkungan hidup yang mendesak untuk segera dicarikan jalan keluar.
6.
Kepunahan
keanekaragaman hayati
Aktivitas manusia yang
menyebabkan kepunahan spesies dan habitat serta hilangnya keanekaragaman hayati. Aktivitas perburuan satwa yang
tidak berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan protein manusia, seperti perburuan
telur penyu atau kura-kura Indonesia yang menyebabkan
kura-kura sungai punah. Punahnya spesies berarti punahnya sumber pemenuhan
kebutuhan hidup manusia. Ekosistem, yang menempuh waktu jutaan tahun untuk
stabil dan mendukung kehidupan manusia, kini berada dalam bahaya bila ada
populasi spesies yang punah atau hilang. Keseimbangan ekosistem terganggu.
Kerusakan terumbu karang di berbagai lautan, yang mendukung kehidupan laut yang
kaya, menyebabkan ketersediaan ikan di lautan berkurang. Padahal populasi
manusia semakin bertambah.
7.
Deforestasi
atau penggundulan hutan
Persoalan lingkungan yang
tidak kalah penting adalah deforestasi. Pembukaan hutan untuk pengembangan
sektor perkebunan, terutama sawit, menyebabkan pelepasan karbon ke bumi
sehingga meningkatkan perubahan suhu bumi. Hutan yang sesungguhnya berperan
menyerap racun karbon dioksida hasil pencemaran, kemudian mengubahnya menjadi
oksigen, membantu menciptakan hujan, menjadi habitat bagi berbagai jenis satwa
yang penting untuk mendukung bagi kehidupan manudia, hancur digantikan tanaman
monokulutur. Padahal tanaman monokultur tidak akan mampu berperan seperti hutan
di dalam mendukung pemenuhan kebutuhan hidup manusia.
8.
Fenomena
pengasaman laut
Ini adalah dampak langsung
dari produksi berlebihan gas Karbon Dioksida (CO2). Dua puluh lima persen gas
CO2 yang dihasilkan oleh manusia. Keasaman laut telah meningkat dalam 250 tahun
terakhir. Pada tahun 2100, mungkin meningkat sekitar 150%. Demikian menurut
situs global change. Dampak utama adalah pada
punahnya kerang dan plankton, sumber makanan ikan. Jika ikan kehilangan
makanan, apa yang akan terjadi pada manusia?
9.
Penipisan
lapisan ozon
Lapisan ozon merupakan lapisan
perlindungan yang tak terlihat yang menutupi planet bumi, melindungi kita dari
radiasi sinar matahari yang berbahaya. Penipisan lapisan Ozon diperkirakan
disebabkan oleh polusi yang disebabkan oleh gas Klorin dan Bromida yang
ditemukan di Chloro-floro karbon (CFC). Setelah gas beracun mencapai atmosfer
bagian atas, mereka menyebabkan lubang di lapisan ozon, yang terbesar berada di
atas Antartika. CFC kini dilarang di banyak industri dan produk konsumen.
Lapisan ozon penting bagi manusia karena mencegah radiasi Ultraviolet (UV) yang
berbahaya jika mencapai bumi. Ini wajib menjadi perhatian.
10. Hujan asam
Hujan asam terjadi karena
adanya polutan tertentu di atmosfer. Hujan asam dapat disebabkan karena
pembakaran bahan bakar fosil atau akibat meletusnya gunung berapi atau
membusuknya vegetasi yang melepaskan sulfur dioksida dan nitrogen oksida ke
atmosfer. Hujan asam merupakan permasalahan lingkungan yang dapat memiliki efek
serius pada kesehatan manusia, satwa liar dan spesies air.
11. Rekayasa genetika
Produk makanan, peternakan,
pertanian saat ini benyak dihasilkan oleh teknologi rekayasa genetika atau
modifikasi genetik. Modifikasi genetik makanan menggunakan bioteknologi disebut
rekayasa genetika. Modifikasi genetik dari hasil makanan, secara umum, akan
meningkatkan racun dan resiko penyakit bagi menusia. Genetika tanaman atau
satwa yang dimodifikasi dapat menyebabkan masalah serius bagi kesehatan manusia
serta keseimbangan ekosistem.
2.3.Ekologi Dalam Perjanjian
Lama
Dalam cerita penciptaan
dikatakan bahwa manusia diciptakan bersama dengan seluruh alam semesta. Itu berarti
bahwa manusia mempunyai keterkaitan dan kesatuan dengan lingkungan hidupnya.
Akan tetapi, diceritakan pula bahwa hanya manusia yang diciptakan sebagai
gambar Allah ("Imago Dei ") dan yang diberikan
kewenangan untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan segala isinya. Jadi di
satu segi, manusia adalah bagian integral dari ciptaan (lingkungan), akan
tetapi pada lain segi, ia diberikan kekuasaan untuk memerintah dan memelihara
bumi. Maka, hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya seperti dua sisi dari
mata uang yang mesti dijalani secara seimbang. Allah
menciptakan manusia secara berbeda seperti ketika Ia menciptakan makhluk hidup
lainnya. Kejadian 1:27 mengatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar-Nya.
Menurut Robert P. Borrong teks Kejadian 1:26-28 adalah satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Memahami mandat penguasaan atas alam terkait pemahaman tentang
hakikat penciptaan manusia sebagai gambar Allah.[6]
1. Kesatuan Manusia dengan
Alam[7]
Alkitab menggambarkan
kesatuan manusia dengan alam dalam cerita tentang penciptaan manusia:
"Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah" (Kej. 2:7),
seperti Ia juga "membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala
burung di udara" (Kej. 2:19). Dalam bahasa Ibrani, manusia disebut
" adam ". Nama itu mempunyai akar yang sama dengan
kata untuk tanah, " adamah ", yang berarti warna
merah kecokelatan yang mengungkapkan warna kulit manusia dan warna tanah. Dalam
bahasa Latin, manusia disebut " hom ", yang juga
mempunyai makna yang berkaitan dengan "humus", yaitu tanah. Dalam
artian itu, tanah yang biasa diartikan dengan bumi, mempunyai hubungan lipat
tiga yang kait-mengait dengan manusia: manusia diciptakan dari tanah (Kej.
2:7; 3:19, 23), ia harus hidup dari menggarap tanah (Kej. 3:23),
dan ia pasti akan kembali kepada tanah (Kej.
3:19; Maz. 90:3). Di sini nyata bahwa manusia dan alam (lingkungan hidup)
hidup saling bergantung sesuai dengan hukum ekosistem. Karena itu, kalau
manusia merusak alam, maka secara otomatis berarti ia juga merusak dirinya
sendiri.
2. Kepemimpinan Manusia
Atas Alam
Walaupun manusia dengan
alam saling bergantung, Alkitab juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan
manusia dengan unsur-unsur alam yang lain. Hanya manusia yang diciptakan
segambar dengan Allah dan yang diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan
bumi dengan seluruh ciptaan yang lain (Kej.
2:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan hidupnya (Kej. 2:15).
Jadi, manusia mempunyai kuasa yang lebih besar daripada makhluk yang lain. Ia
dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang dimahkotai kemuliaan dan
hormat (Maz.
8:6). Ia menjadi wakil Allah yang memerintah atas nama Allah terhadap
makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di dunia sebagai duta Allah. Ia adalah
citra, maka ia ditunjuk menjadi mitra Allah. Karena ia menjadi wakil dan mitra
Allah, maka kekuasaan manusia adalah kekuasaan perwakilan dan perwalian.
Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang terbatas dan yang harus
dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa, yaitu Allah. Itu sebabnya
manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak boleh menjadi
"raja lalim". Kekuasaan manusia adalah kekuasaan " care-taker".
Maka, sebaiknya manusia memberlakukan secara seimbang, artinya pengelolaan dan
pemanfaatan sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau
pelestarian alam.
Kata "mengelola"
dalam Kejadian
2:15, digunakan istilah Ibrani "abudah", yang sama maknanya dengan
kata ibadah dan mengabdi. Maka, manusia sebagai citra Allah seharusnya
memanfaatkan alam sebagai bagian dari ibadah dan pengabdiannya kepada Allah.
Dengan kata lain, penguasaan atas alam seharusnya dijalankan secara bertanggung
jawab: memanfaatkan sambil menjaga dan memelihara. Ibadah yang sejati adalah
melakukan apa saja yang merupakan kehendak Allah dalam hidup manusia, termasuk
hal mengelola (" abudah ") dan memelihara
(" samar") lingkungan hidup yang dipercayakan kekuasaan
atau kepemimpinannya pada manusia.
3. Kegagalan Manusia
Memelihara Alam
Alkitab mencatat secara
khusus adanya "keinginan" dalam diri manusia untuk menjadi sama
seperti Allah dan karena keinginan itu ia "melanggar" amanat Allah (Kej. 3:5-6).
Tindakan melanggar amanat Allah membawa dampak bukan hanya rusaknya hubungan
manusia dengan Allah, tetapi juga dengan sesamanya dan dengan alam. Manusia
menghadapi alam tidak lagi dalam konteks "sesama ciptaan", tetapi
mengarah pada hubungan "tuan dengan miliknya". Manusia memperlakukan
alam sebagai objek yang semata-mata berguna untuk dimiliki dan dikonsumsi. Alam
diperhatikan hanya dalam konteks kegunaan. Manusia hanya memerhatikan tugas
menguasai, tetapi tidak memerhatikan tugas memelihara. Dengan demikian, manusia
gagal melaksanakan tugas kepemimpinannya atas alam.
Akar perlakuan buruk
manusia terhadap alam terungkap dalam istilah seperti: "tanah yang
terkutuk", "susah payah kerja", dan "semak duri dan rumput
duri yang akan dihasilkan bumi" (Kej.
3:17-19). Manusia selalu dibayangi oleh rasa kuatir akan hari esok yang
mendorongnya cenderung rakus dan materialistik (baca Mat.
6:19-25 par.). Secara teologis, dapat dikatakan bahwa akar kerusakan
lingkungan alam dewasa ini terletak dalam sikap rakus manusia yang dirumuskan
oleh John Stott sebagai "economic
gain by environmental loss". Manusia berdosa menghadapi alam tidak
lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi sekaligus untuk memenuhi
keserakahannya. Dengan kata lain, manusia berdosa adalah manusia yang
hakikatnya berubah dari "a needy
being" menjadi "a greedy
being". Kegagalan dalam melaksanakan tugas kepemimpinan atas alam
merupakan pula kegagalan manusia dalam mengendalikan dirinya, khususnya
keinginan-keinginannya.
2.4.Ekologi Dalam Perjanjian
Baru
Alkitab, khususnya
Perjanjian Baru, mencatat bahwa Allah yang Mahakasih mengasihi dunia
ciptaan-Nya (kosmos) sehingga Ia mengutus anak-Nya yang tunggal ke dalam dunia,
yaitu Tuhan Yesus Kristus (Yoh. 3:16). Tuhan Yesus Kristus yang disebut Firman (logos)
penciptaan (Kol. 1:15-17; Yoh. 1:3, 10a) telah berinkarnasi (mengambil
bentuk materi dengan menjelma menjadi manusia: Yoh. 1:1, 14);
dan melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib serta kebangkitan-Nya dari
antara orang mati, Ia telah mendamaikan Allah dengan segala sesuatu (ta panta)
atau dunia (kosmos) ini (Kol.
1:19-20; 2 Kor. 5:18-19). Tuhan Yesus telah memulihkan hubungan Allah
dengan manusia dan dengan seluruh ciptaan-Nya dan memulihkan hubungan manusia
dengan alam. Atas dasar itu, maka hubungan harmonis dalam Eden (Firdaus) telah
dipulihkan.[8]
Orang Kristen menyakini
bahwa Allah adalah pribadi yang memulai alam semesta, hal ini sesuai dengan
keyakinan Perjanjian Lama dan pengajaran Yesus yang dicatat dalam Markus 13:19.[9] Kristus adalah dasar segala
sesuatu (Kolose 1:16) segala berarti juga seluruh alam ciptaan. Penebusan
Kristus (Kol 1:20-23) juga mencakup semua dunia ciptaan. Peran kreatif Kristus
dalam ciptaan serta peran penyelamatan mencakup pemulihan hubungan yang rusak
antara manusia dan ciptaan.[10] Dengan mengambil alih konsep
hikmat dari Perjanjian Lama yang melalui-Nya dunia diciptakan (Ams. 8:25-27).
Kedatangan Kristus dipahami sebagai pertanda dimulainya penciptaan manusia baru
(2 Kor. 5:17) dan seluruh alam semesta (Rm. 8:19-21).[11] Paulus dengan berani memberitakan
Allah yang ia sembah itu adalah Allah yang telah menjadikan bumi dan segala
isinya, ia yang adalah Tuhan atas langit dan bumi (Kis. 17:24), khusus
Penciptaan-Nya juga terlihat dalam pernyataan bahwa manusia adalah
keturunan-Nya (Kis. 1:29). Dalam surat-surat Paulus dikemukakan secara jelas
adanya hubungan antara pencipta dan makhluk-makhluk ciptaan-Nya (bnd. Rm. 1:25)
yang mencerminkan karya penciptaan-Nya (Rm. 1:20). Penulis-penulis perjanjian
baru tidak membahsas mengenai cara penciptaan. Dalam surat kepada orang-orang
Ibrani dinyatakan bahwa “alam semesta telah dijadikan oleh Firman Allah” (Ibr.
11:3), yang artinya Firman Allah yang mempunyai kuasa dalam proses
menciptakan (bnd. Kej. 1:3). Hikmat pencipta yang tak terbatas dalam hal
membuat penciptaan berpusat pada Kristus dan bukan kepada manusia, kecuali
dalam arti manusia sejati yang hanya digenapi dalam Yesus Kristus (Ibr. 2:8).
Perjanjian baru menyatakan tentang Kristus sebagai manusia sejati dan gambar
Allah di atas bumi ini. Dalam kedudukan yang demikian, kepadaNya diberikan
segala kuasa, baik di surga maupun di bumi (Mat. 288:18). Dalam Efesus 1:10
Paulus mengingatkan bahwa segala sesuatu, baik yang terdapat di bumi atau yang
dapat di surga disatukanNya di bawah satu kepala yaitu Yesus Kristus. Allah
memperdamaikan diriNya dengan segala sesuatu (Kol. 1). Memperdamaikan,
mengimplikasikan pembebasan, demikian juga dikatakan dalam hal pasal-pasal yang
lalu. Kalau begitu, apa saja yang dikatakan sebagai “Penaklukan bumi” itu,
haruslah dipahami sebagai pembebasan bumi melalui persekutuan dengan-Nya. Kalau Roma 8 berkata
tentang seluruh ciptaan terikat dan yang ditaklukan kepada kesia-siaan, tetapi
yang dengan sangat rindu menantikan saat anak-anak Allah dinayatakan, maka
dalam perbuatan pendamaian yang dilakukan Allah itu, pembebasan telah berlaku.
Alam semesta juga dibebaskan (Rom 8:19-23). Manusia yang dipanggil ke dalam
pendamaian dengan Allah, juga dipanggil untuk menempatkan alam semesta dalam
relasi yang lebih bertanggungjawab dengan dirinya. Etika yang tadinya berupa
perjuangan untuk ada, menurut istilah Moltman, dimana prinsip eksploitasi,
dominasi dan manipulasi diterapkan, harus diubah menjadi etika keberadaan secara
serasi dimana prinsip solidaritas dipraktekkan.[12]
2.5.Sikap dan Tanggung Jawab Serta
Solusi Terhadap Kelestarian Lingkungan
Manusia adalah salah satu faktor
penyebab kerusakan lingkungan dikarenakan cara pandang manusia atau cara
manusia melihat alam. Cara pandang manusia itu sendiri yang menyebabkan
kerusakan lingkungan hidup (fundamentalis-filosofis).
Fundamentalis-filosofis adalah cara
pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan
ekosistem. Pada akhirnya, kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku yang
keliru terhadap alam. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan dari
dalam konteks alam semesta seluruhnya. Inilah awal dari semua bencana
lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Kesalahan cara pandang ini bersumber
dari etika antro-posentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam
semesta dan hanya manusia yang mempunyai nilai, sementara alam dan segala
isinya sekedar alat bagi pemuasan kepentingan dan kebutuhan hidup manusia.
Manusia dianggap berada di luar, di atas dan terpisah dari alam. Bahkan,
manusia dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa saja
terhadap alam. Cara pandang ini melahirkan eksploitatif tanpa kepedulian sama
sekali terhadap alam dan segala isinya yang dianggap tidak mempunyai nilai pada
diri sendiri.[13]
Walaupun manusia dengan alam saling bergantung, Alkitab
juga mencatat dengan jelas adanya perbedaan manusia dengan unsur-unsur alam
yang lain. Hanya manusia yang diciptakan segambar dengan Allah dan yang
diberikan kuasa untuk menguasai dan menaklukkan bumi dengan seluruh ciptaan
yang lain (Kej. 2:26-28), dan untuk mengelola dan memelihara lingkungan
hidupnya (Kej. 2:15). Jadi, manusia memunyai kuasa yang lebih besar daripada
makhluk yang lain. Ia dinobatkan menjadi "raja" di bumi yang
dimahkotai kemuliaan dan hormat (Maz. 8:6). Ia menjadi wakil Allah yang
memerintah atas nama Allah terhadap makhluk-makhluk yang lain. Ia hidup di
dunia sebagai duta Allah. Ia adalah citra, maka ia ditunjuk menjadi mitra
Allah. Karena ia menjadi wakil dan mitra Allah, maka kekuasaan manusia adalah
kekuasaan perwakilan dan perwalian. Kekuasaan itu adalah kekuasaan yang
terbatas dan yang harus dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa, yaitu
Allah. Itu sebabnya manusia tidak boleh sewenang-wenang terhadap alam. Ia tidak
boleh menjadi "raja lalim". Kekuasaan manusia adalah kekuasaan "care-taker". Maka sebaiknya manusia
memberlakukan secara seimbang, artinya pengelolaan dan pemanfaatan
sumber-sumber alam diimbangi dengan usaha pemeliharaan atau pelestarian alam.[14]
III.
Refleksi
Teologis
Allah menciptakan langit beserta seluruh
isinya begitu sangat indah dan mengangumkan sehingga proses keberlangsungan
hidup manusia serta makhluk hidup lainnya dapat berjalan dengan baik. Bisa kita
bayangkan ketika tidak ada lagi air bersih di muka bumi bagaimana dengan
kehidupan yang sedang berlangsung saat ini hingga kehidupan di masa mendatang.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu apalagi teknologi semakinn berkembang
banyak sekali perubahan yang bisa kita lihat di alam semesta ini mulai dari
musim hujan yang terlalu gampang untuk diprediksi, cuaca semakin panas, bencana
banjir, longsor dan lain-lain ada di mana-mana dan masih banyak lagi yang
memang sangat merugikan bumi dan seluruh isinya termasuk mengancam kehidupan
manusia. Oleh karena itu hendaknya manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling
sempurna harus menjaga dan merawat lingkungan yang ada karena kerusakan yang
terjadi sekarang akan sangat berdampak pada kehidupan mendatang. Firman
Tuhan yang tertulis dalam Kejadian 2:15
“Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden
untuk mengusahakan dan memelihara taman
itu”. Setelah penciptaan langit, bumi serta seluruh isinya termasuk manusia
maka Allah menyuruh manusia untuk mengusahai dan memelihara. Jumlah penduduk
dunia setiap tahun selalu bertambah, akan tetapi dalam situasi seperti ini
manusia juga harus berkhiktmat dalam mengelola “ruang dunia ini” sehingga tetap
terjaga dan tidak mengakibatkan kerusakan yang besar. Coba kita bayangkan apa
yang akan terjadi ratusan ribu tahun atau jutaan tahun ke depan jika kita umat
manusia semena-mena dalam mengolah lingkungan kita dan tidak peduli terhadap
kelestarian lingkungan kita.
IV.
Kesimpulan
Dari seluruh pemaparan di atas, penulis
dapat menyimpulkan bahwa:
1. Ekologi merupakan suatu ilmu yang berhubungan
dengan lingkungan atau tempat di mana makhluk hidup tumbuh dan berkembang. Akan
tetapi seiring perkembangan zaman dan juga populasi semakin meningkat maka
lingkungan juga dewasa ini semaki rusak.
Hal ini harus kita perhatian kita karena apabila lingkungan terus memburuk bisa
kita bayangkan bagaimana kehidupan yang akan datang.
2. Di
dalam Perjanjian Baru Yesus sudah memperdamaikan ciptaan dengan Allah Bapa
sehingga kita umat-Nya bertanggungjawab untuk memelihara bumi untuk
kemulian-Nya. Oleh karena itu menjaga dan memelihara serta melakukan segala
sesuatu di alam semesta ini adalah salah satu tanggungjawab manusia terhadap
pencipta-Nya.
V.
Daftar
Pustaka
Sumber
Buku:
Borrong, Robbert P., Etika Bumi Baru, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004.
Borrong, Robert P., Jurnal Pelita Zaman Volume 13 No.01,
Bandung : PKPZ, 1998.
Browning,
W.R.F., Kamus Alkitab, Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2009.
Budi,
Widiarnoto, Membumikan Etika Lingkungan, Yogyakarta:
Kanisius, 2011.
Drummond,
Celia Deane-, Teologi dan Ekologi,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.
Guthrie,
Donald, Teologi Perjanjian Baru Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1991.
Keraf,
A. Sonny, Etika Lingkungan Hidup,
Jakarta: Kompas, 2002.
Link,
Christian, Ecological crisis and
Christian ethics, Theology Digest, Volue 31, Number 2, Summer 1984.
R.E.
Soeriaatmadja, Ilmu Lingkungan Bandung
: ITB Bandung, 1981.
Siahaan, N.H.T, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan Jakarta
: Erlangga, 2004.
Sumber
Internet:
[1]N.H.T Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (Jakarta : Erlangga,
2004), 18.
[2]R.E. Soeriaatmadja, Ilmu Lingkungan (Bandung : ITB Bandung, 1981), 20.
[3] Christian Link, Ecological crisis and Christian ethics, Theology Digest (Volue 31,
Number 2, Summer 1984), 149.
[4] Budi, Widiarnoto, Membumikan Etika Lingkungan, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), 79.
[5] https://dlh.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/masalah-lingkungan-hidup-di-indonesia-dan-dunia-saat-ini-15,
diakses pada hari Rabu, 23 Februari 2022 pukul 14.40 WIB.
[6] Robbert P. Borrong, Etika Bumi Baru, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004), 237.
[8] Robert P. Borrong, Jurnal Pelita Zaman Volume 13 No.01 (Bandung : PKPZ, 1998), 16.
[9] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 47
[10] Celia Deane-Drummond, Teologi dan Ekologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 36
[11] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 323
[12] Celia Deane-Drummond, Teologi dan Ekologi, 37-38
[13] A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup (Jakarta: Kompas, 2002), Xii.
[14] Ibid, 240