Kepemimpinan Pendeta Dalam Perjanjian Baru Dalam Masyarakat 5.0

 


 TRANSFORMASI KEPEMIMPINAN PENDETA DARI PERSPEKTIF PERJANJIAN BARU DAN REFLEKSINYA DI ERA MASYARAKAT 5.0

Ewen Josua Silitonga

 

I.                   PENDAHULUAN

Kepemimpianan dapat dilihat dari banyak sudut pandang yang berbeda-beda. Kepemimpinan merupakan suatu posisi dalam suatu instansi. Kepemimpinan juga merupakan orang yang memiliki pengikut atau anggotanya. Kepemimpinan juga merupakan suatu tidakan. Pemimpin dikenal melalui tindakan yang mereka kerjakan, lakukan atau perlihatkan dalam melakukan pekerjaan. Seseorang bila dikatakan sebagai seorang pemimpin tentukan akan melakukan tindakan, mengambil keputusan untuk memimpin. Dalam pembahasan kali ini saya berusaha untuk menjelaskan kepemimpinan pendeta dari perspektif Perjanjian Baru dan Refleksinya di era masyarakat.

II.                PEMBAHASAN

2.1.Kepemimpinan

Secara harafiah, kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang mengandung arti mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan atau mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik fisik maupun spritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah dan tidak setiap orang mempunyai kesamaan menjalankan kepemimpinannya.

Kepemimpinan menurut Ordway Tead adalah kegiatan atau aktivitas yang mempengaruhi orang-orang agar bekerjasama untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Menurut A. Dale Timple, kepemimpinan merupakan proses pengaruh sosial di dalam mana manajer mencari keikutseraan sukarela dari bawahan dalam usaha mencapai tujuan organisasi.[1]

Kepemimpinan Kristen ialah kepemimpinan yang dimotivasi oleh kasih dan disediakan khusus untuk melayani. Para pemimpin Kristen yang terbaik memperlihatkan sifat-sifat yang penuh dedikasi tanpa pamrih dimungkinkan karena orang Kristen tahu bahwa Allah mempunyai strategi besar dimana ia menjadi bagiannya, keberanian diperbesar oleh kekuatan yang datang dari Roh yang berdian di dalam hati kita, ketegasan datang karena mengetahui bahwa tanggung jawab tidak terletak pada dirinya, belas kasihan/kerendahan hati berasal dari kesadaran bahwa Allah lah yang melakukan pekerjaan tersebut, dan kepandaian persuasif didasarkan pada kesetiaan kepada suatu alasan yang melampaui segala alasan lainnya yang menjadi ciri pemimpin agung.[2]

Kepemimpinan Gereja adalah perwujudan campur tangan Tuhan yang telah diciptakan oleh sang Empunya Gereja. seharusnya warga jemaat menyadari bahwa membangun pertumbuhan jemaat adalah sangat penting. Kepemimpinan Gereja bukan semata-mata duplikat dari sebuah kepemimpinan duniawi yang sudah terbukti keberhasilannya dan begitu saja dengan mudah dapat diterapkan dalam kepemimpinan Gereja.[3] Kepemimpinan dalam gereja bukan pagelaran kekuasaan melainkan pelaksanaan pelayanan. Para pemimpin Kristen memahami dasar kepemimpinan sebagai panggilan untuk menjadi pemimpin yang melayani (Markus 10:42-45). Menurut Tomatala, seorang pemimpin Kristenterpanggil oleh kepada tugas dab tanggung jawab sebagai seorang pelayan dengan status ebagai hamba Allah.[4]

Kepemimpinan dalam Gereja kepribadiannya jauh lebih disoroti dan diamati jika dibandingkan dengan orang-orang lain. Jatuh bangunnya seorang pemimpin Gereja sangat bergantung pada kehidupan pribadinya. Seorang pemimpin Kristen haruslah berkepribadian terbuka dan tidak kaku, sedia menerima pendapat orang lain dan mudah mengakui salah jika memang salah.[5]

Kepemimpinan Kristen bukan hanya berbicara pemimpin yang tunggal yang hanya memerintah dan mengatur tanpa memiliki tujuan yang baik. Seorang pemimpin itu harus berperan secara aktif dalam setiap aspek-aspek kehidupan keanggotaan. Seorang pemimpin Kristen haruslah menjalankan tugasnya, yaitu berperan sebagai pemimpin rohani, berperan sebagai manajer rohani, berperan sebagai oraganisasi rohani, berperan sebagai administrator rohani dan berperan sebagai penatalayanan rohani.

2.2.Pemimpin Menurut Perjanjian Lama

Model kepemimpinan dalam Perjanjian Lama didasarkan pada Alkitab Ibrani dan bagian Perjanjian Lama di Alkitab Kristen. Ada sejumlah model yaitu: nabi, hakim, raja dan imam. Model kepemimpinan dalam Perjanjian Lama pada awalnya yaitu zaman Musa identik dengan kepemimpinan para nabi. Selain dari pada kepemimpinan yang dinampakkan oleh para nabi dapat dilihat juga model kepemimpinan dari raja-raja Israel. Contoh dari mereka adalah raja Saul, Daud, Salomo, Hizkia, dll.

1.                  Model Kepemimpina Nabi.

Dalam pengertian agama samawi, nabi adalah manusia yang memperoleh wahyu dari Tuhan tentang agama dan misinya. Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, nabi adalah pemimpin umat yang dipanggil Allah untuk memperingatkan mereka agar tidak menyimpang dari perintah-perintah Tuhan. Umumnya tradisi kenabian dianggap baru dimulai setalah masa Samuel, hakim yang terakhir yang memimpin Israel sebelum munculnya sistem monarki. Namun para teolog sepakat bahwa tradisi kenabian dimulai sejak masa Yosua yang muncul sebagai pengganti Musa dan yang memimpin bangsa Israel memasuki Kanaan. Itu berarti, selain manjadi hakim, Samuel dapat dianggap juga memainkan peranan kenabian. Para pemimpin ini digolongkan sebagai nabi-nabi awal. Dalam kelompok ini termasuk pula nabi-nabi terkenal lainnya seperti Natan, Elia, dan Elisa. Selain itu ada juga “nabi-nabi palsu”, khususnya mereka yang bekerja di lingkungan istana dan hanya memberikan nasihat-nasihat dusta yang hanya menyenangkan raja (lih. 1 Raja-raja ps.18).

Yang digolongkan ke dalam nabi-nabi yang kemudian adalah mereka yang biasa disebut nabi-nabi besar dan nabi-nabi kecil. Sebutan “nabi-nabi besar (Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan Daniel)” dan “nabi-nabi kecil (Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakaria, dan Maleakhi)” tidak ada hubungannya dengan peranan, kedudukan, ataupun status nabi-nabi tersebut. Istilah ini diberikan kepada mereka hanya dalam kaitannya dengan kitab-kitab mereka. Kitab nabi-nabi besar biasanya identik dengan panjang-panjang, dan pasal-pasalnya relatif lebih banyak dari pada kitab nabi-nabi kecil.

 

2.                  Model Kepemimpinan Hakim

Hakim (bahasa Ibrani: שןפטים shôpatîm atau Shoftim) pada zaman Israel kuno adalah istilah untuk pemimpin bangsa Israel pada periode setelah memasuki tanah Kanaan di bawah pimpinan Yosua dan sebelum zaman kerajaan Israel (kira-kira 1405-1025 SM). Sejarah periode ini dicatat dalam Kitab Hakim-hakim. Seorang hakim adalah “penguasa atau pemimpin militer, sekaligus orang yang memimpin pengadilan hukum”. Pada waktu itu, 12 suku Israel menempati tanah yang menajdi bagian mereka dari pembagian oleh Musa di Kitab Ulangan dan tidak ada pemerintahan pusat, maupun tata hukum masyarakat, selian hukum Taurat. Ayat terakhir Kitab Hakim-hakim menyimpulkan “pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” (Hakim-hakim 21:25) Di waktu-waktu kesusahan, maka muncullah pemimpin-pemimpin yang disebut “hakim”.

Kitab-kitab Taurat mencatat salah satu tugas Musa adalah sebagai hakim. Kitab 1 Samuel mencatat orang-orang yang bukan merupakan hakim resmi (tidak diangkat menjadi hakim), tetapi menjalankan tugas sebagai hakim atas bangsa Israel, antaralain Eli, Samuel, Yoel (putra Samuel), dan Abia (putra Samuel). Juga Kitab Yosua menunjukkan bahwa Yosua juga berfungsi sebagai hakim, meskipun tidak disebutkan resmi memegang jabatan tersebut. Kitab Hakim-hakim mencatat sejumlah hakim:

a.       Otmiel (Hakim-hakim 3:7-11)

b.      Ehud (Hakim-hakim 3:12-30)

c.       Samgar (Hakim-hakim 3:31)

d.      Debora (Hakim-hakim 4:1-5:31) dengan Barak sebagai panglima perangnya

e.       Gideon (Hakim-hakim 6-8), kemudian Abimelekh (Hakim-hakim 9)

f.        Tola (Hakim-hakim 10:1-2)

g.      Yair (Hakim-hakin 10:3-16)

h.      Yefta (Hakim-hakim 10:17-12:7)

i.        Ebzan (Hakim-hakim 12:8-10)

j.        Elon (Hakim-hakim 12:11-12)

k.      Abdon (Hakim-hakim 12:13-15)

l.        Simson (Hakim-hakim 13:1-16:31)

 

 

3.                  Model Kepemimpinan Raja

Menurut Alkitab, sebelum kerjaan bersatu, suku Israel hidup dalam konfederasi dua belas suku. Pada sekitar 1025 SM, di bawah ancaman dari orang-orang asing, suku-suku tersebut bersatu membentuk Kerajaan Israel Bersatu. Samuel mengurapi Saul dari suku Benyamin sebagai raja pertama mereka pada tahun 1020-an SM, tetapi dalam penguasaan penerusnya, Daud pada tahun 1000-an SM, kerajaan Israel bersatu menjadi kerajaan yang kuat. Daud, Raja Israel kedua (atau ketiga jika Isyboset dihitung), menetapkan Yerusalem sebagai ibu kota Kerajaan Yehuda milik Daud dan Mahanaim ibu kota Israel di bawah Isyboset, dan sebelum itu Gibea merupakan ibu kota Kerajaan Bersatu di bawah Saul.

Daud benar-benar berhasil dalam mempersatukan suku-suku Israel dan membentuk pemerintahan monarki. Dia berhasil menguatkan kampanye militer terhadap musuh-musuh Israel dan mengalahkan dengan sengit musuhnya seperti orang Filistin, membentuk batas pertahanan untuk Israel. Di bawah Raja Daud, Israel tumbuh menjadi kekuatan di wilayah tersebut. Di bawah wangsa Daud, kerajaan Israel bersatu mencapai kesejahteraan dan keunggulan melebihi tetangga-tetangganya. Di sekitar 930 SM negara terpecah menjadi dua kerajaan: Israel (termasuk kota Sikhem dan Samaria) di utara dan Yehuda (termasuk Yerusalem) di selatan.

4.                  Model Kepemimpinan Imam.

Imam Besar atau Imam Agung (bahasa Ibrani: כהן גדול kohen gadol (kohen: “imam”; gadol: “besar, agung”); bahasa Inggris: High Priest) adalah jabatan imam yang paling tinggi di dalam agama Yahudi yang berkaitan dengan ibadah orang Israel. Imam Besar Israel dipercaya sebagai wakil umat Israel di hadapan Allah, serta berperan sebagai pengantara yang kudus antara umat dengan Allah. Peran sentral dari Imam Besar di dalam keagamaan orang Yahudi terlihat ketika Imam Besar bertugas untuk mempersembahkan ritus kurban tahunan di Bait Suci yang terletak di kota Yerusalem. Di dalam ritus tahunan tersebut, hanya Imam Besar yang diizinkan masuk ke dalam ruang Maha Suci dari Bait Suci.[6]

2.3. Pemimpin Menrut Perjanjian Baru

Dalam Perjanjian Baru yang menjadi dasar dari kepemimpinan adalah keteladanan Yesus Kristus dalam hambaNya. Bahwa karakter seorang pemimpin Kristen sangat penting dan kepribadiannya sangat menentukan pelaksanaan tugas, karena kepribadian itu yang selalu mendapat perhatian untuk diikuti maupun diteladani. Kepeminpinan Kristen juga sangat menekankan kepribadian seorang pemimpin, terutama kehidupan rohaninya. Karakter seorang pemimpin Kristen terkait dengan kehidupan rohaninya sebagai pemimpin, memiliki sifat seorang gembala yang sederhana, penuh perhatian, maupun melindungi dan selalu berkorban untuk orang-orang yang dipimpinnya. Seorang pemimpin Kristen harus mengandalkan Allah kerena tidak mudah untuk menjadi seorang pemimpin. Kepemimpinan yang baik merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan, kestabilan dan kemajuan Gereja, karena tanpa kepemimpinan yang baik, gereja akan rentan konflik serta rawan perpecahan, oleh sebab itu sulit bertumbuh atau berkembang.[7]

Sejak pelayanan dalam menumbuhkan gereja, Paulus amat menaruh perhatian terhadap tugas pengembalaan di gereja-gereja yang baru didirikan (Kis. 14:22-23). Memang tidak setiap bentuk kepemimpinan akan menolong keluarga Allah yang didiami oleh Roh. Peran Kristen pada zaman gereja mula-mula juga merasa betapa penting kepenilikan/kepemimpinan dalam gereja. sebab itu, mereka mengatakan “..Orang yang menghendaki jabatan penilik jemaat menginginkan pekerjaan yang indah” (1 Tim. 3:1).

Para rasul secara langsung memerintahkan para penatua gereja untuk mengembalakan jemaat Allah. Dalam 1 Petrus 5:2, para penatua diperintahkan begini “Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu...” Dalam Kis. 20:28, para penatua diperingatkan demikian: “Jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk mengembalakan jemaat Allah yang diperolehNya dengan darah Anak-Nya sendiri.

Catatan Perjanjian Baru dengan jelas menyatakan bahwa tugas pengembalaan dalam gereja mula-mula dilakukan oleh dewan para penatua. Hal tersebut berlaku dalam jemaat Kristen Yahudi yang mula-mula sekali di Yerusalem Yudea, daerah-daerah di sekitarnya dan juga dalam jemaat Kristen non-Yahudi mula-mula.

Perjanjian Baru tidak hanya mencatat keberadaan para penatua di banyak jemaat, tetapi juga memberikan pengajaran/perintah yang sungguh-sungguh tentang para penatua. Dalam kenyataanya, Perjanjian Baru memberikan pengajaran yang lebih banyak mengenai para penatua daripada masalah-masalah gereja yang penting lainnya seperti perjamuan Kudus dan Baptisan.[8]

Paulus dalam Perjanjian Baru telah banyak berbicara tentang pelayanan (diakonia) yang menunjuk pada kasih tanpa memiliki status jabatan apa pun. Ciri pelayanan yang penting adalah hal membantu kemajuan jemaat (1 Kor. 16:15; Ef. 4:11-12).[9] Secara sederhana dapat disebutkan bahwa penyelidikan terhadap jabatan-jabatan gerejawi tidak dapat dipisahkan dari latar belakang pelayanan kasih. Sebenarnya Kristus sendiri yang membangun jemaat-Nya oleh firman dan Roh-Nya. Tetapi dalam pekerjaan-Nya itu Ia menggunakan pejabat-pejabat sebagai alat-alatnya. Jadi jabatan adalah suatu “pekerjaan”. Dan pekerjaan itu bukanlah “pekerjaan biasa”, tetapi adalah suatu pekerjaan yang indah dan penuh makna. Jabatan itu harus diberikan berdasarkan atas “panggilan Tuhan” dan jabatan itu harus diterima hanya dari Tuhan. jabatan itu adalah suatu karunia Kristus kepada jemaat-Nya (Ef. 4:8-11).

Bentuk lahiriah dari gereja sebagaimana tercermin dalam surat-surat Paulus pada dasarnya sama dengan yang dikemukakan dalam Kisah Para Rasul, dengan beberapa penekanan pada beberapa perbedaan penting. Gereja adalah kelompok-kelompok orang percaya yang tersebar di seluruh kawasan Laut Tengah dari Antiokhia ke Roma yang tidak memiliki organisasi eksternal atau formal yang mengikat. Satu-satunya petunjuk yang jelas tentang organisasi eksternal atau formal yang mengikat mereka adalah otoritas kerasulan. Paulus sebagai seorang rasul mengklaim otoritas, khususnya dalam ajaran yang diwajibkannya untuk diakui oleh seluruh jemaat. Namun sifat otoritas ini adalah rohani dan moral, dan bukan formal dan legal. Kisah Para Rasul memperlihatkan otoritasnya pada keonfrensi di Yerusalem menurut kenyakinan dan bukan otoritas jabatan. Keputusan akhir diambil oleh rasul-rasul dan penatua-penatua beserta seluruh jemaat (Kis. 15:2).

Dalam pembentukan jemaat di Efesus, sekali lagi kita melihat banyaknya peraturan dalam kelompok penatua. Paulus dalam jabatannya sebagai rasul, mengangkat penatua-penatua jemaat di Efesus. Dalam suratnya kepada jemaat Efesus, Paulus menyebutkan tentang para pemberita Injil dan pengajar-pengajar. Pemberita Injil adalah pengkotbah-pengkotbah yang menjalankan pengutusan Injil dengan mengkhotbahkan Injil, namun tanpa disertai otoritas kerasulan. Istilah ini lebih menekankan fungsinya daripada jabatanna. Dalam surat Efesus Paulus menyebutkan petunjuk kepada penatua agar mereka mengembalakan, mengawal dan memberi kawanannya makan (Kis. 20:28). Hal unik juga dapat dilihat Efesus 4:11, sekali lagi peranan-peranan dalam jemaat digambarkan sebagai “karunia-karunia”. Susunan ini mencakup rasul-rasul, nabi-nabi dan pengajar-pengajar seperti terdapat dalam 1 Korintus 12:28, tetapi juga ditambahkan pemberita-pemberita Injil dan gembala-gembala. Sekali lagi fungsional ditekankan. Bagi Paulus yang terpenting ditekankan bahwa pekerjaan pelayanan jauh lebih penting daripada suatu hierarki jabatan.[10]

2.4.Gereja dan Kesetaraan Jender

1.4.1.      Gereja

Gereja adalah orang-orang yang mengaku milik Kristus. Selain itu, definisi lain dari Gereja berasal dari bahasa Portugis “Igreya”, yang berasal pula dari bahasa Yunani “Ekklesia” yang artinya orang-orang yang dipanggil keluar dari dunia untuk menjadi milik Tuhan Yesus. Sehingga akar kata dari Gereja adalah bukan hanya sekedar berhubungan dengan suatu gedung, namun lebih kepada orang-orang percaya atau beriman.[11] Jemaat dalam pengertian eklesia adalah persekutuan orang-orang percaya yang berasal dari segala tempat dan Gereja yang berkumpul di suatu rumah untuk memuliakan Tuhan dan menjadi satu kesatuan yaitu tubuh Kristus. Dalam ajaran Protestan, Gereja di artikan sebagai yang memberitakan firman Allah secara murni dan yang melayangkan sakramen secara murni. Karena sakramen tidak bisa tanpa Firman Allah maka Gereja dapat dijadikan satu, yaitu dimana firman Allah diberitakan secara murni.[12]

Selain dengan pengertian Gereja, Gereja juga memiliki fungsi-fungsinya, yang diantaranya:

a.       Gereja Adalah Kudus

Kata “kudus” berarti disendirikan, diasingkan, dipisahkan dari yang lain, berbeda dari yang lain. Kekudusan Gereja bukan karena ia kudus adanya, tetapi karena dikuduskan oleh Kristus. Rasul Paulus menyebutkan bahwa jemaat adalah mereka yang dikuduskan di dalam Kristus (Fil. 1:1; 1 Kor. 1:2; Efesus 1:1). Gereja adalah kudus, diasingkan tapi bukan “mengasingkan diri”, karena Gereja diutus ke dalam dunia ini adalah untuk dipakai dalam karya penyelamatan Allah

b.      Gereja Adalah Am

Gereja adalah Am, universal, tersebar di seluruh dunia. Am berarti umum, oleh sebab itu Gereja “menerobos” segala pembatas dan memiliki perspektif yang umum. Gereja sebagai yang Am harus bersifat universal, sebab kasih Allah itu ditunjukkan kepada dunia. Jadi Gereja bukan dan janganlah jadi suatu “golongan elit”. Gereja tidak terbatas pada suatu daerah, suku, bangsa atau bahasa tertentu, tapi meliputi seluruh dunia (2 Kor. 5, 19). Gereja tidak terbatas pada suatu zaman, tetapi meliputi zaman yang lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang.

c.       Gereja Adalah Persekutuan Orang Kudus

Gereja adalah persekutuan orang percaya yang telah mengakui tindakan Allah dan yang kini ingin mengungkapkan kembali tindakan itu melalui kehidupan mereka sebagai Gereja. warga Gereja menyadari arti eksistensinya melalui Gereja (ekklesia), sebagai umat yang di kumpulkan Tuhan dari antara segala bangsa, bukan hanya berasal dari Kristus, tapi juga selalu bergantung kepada kehariranNya yang diyakini sebagai suatu aktivitas yang terjadi ditengah umat terus menerus yaitu penyertaan-Nya. Gereja adalah persekutuan orang percaya atau kudus di dalam Kristus dan saling bergantung satu sama lain.

d.      Gereja Adalah Satu

Gereja adalah kesatuan umat Kristen, tempat bersekutu sesuai dengan kehendak Yesus Kristus, Raja Gereja. satu dalam memberitakan Injil (Mat. 28, 18-20), satu dalam mengamban misi, mengasihi sesama dan mengasihi Tuhan (Mat. 22, 37-40), satu dalam iman dan pengharapan (Ef. 4:4-5). Oleh sebab itu dalam kepelbagaian kita, Tuhan mempersatukan kita. Di dalam kepelbagaian itu kita dapat bersatu menampakkan kepatuhan kita sebagai Gereja kepada Tuhan Yesus (Yoh. 17,21).[13]

Gereja memahaminya dengan merefleksikan dirinya sendiri dengan karya Roh Kudus di dalam dirinya. Gereja itu ilahi, berasal dari Yesus dan berkembang dalam sejarah. Gereja itu bersifat dinamis, tidak sekali jadi dan statis, oleh kerena itu sifat-sifat Gereja tersebut harus selalu diperjuangkan. Dengan melihat pada sifat-sifat Gereja, maka hakekat dan tujuan dari Gereja sebagai Tubuh Kristus, tujuan Gereja adalah menjadi alat Tuhan untuk mendatangkan kerajaan-Nya.[14]

1.4.2.      Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan Menurut Alkitab

Bagi orang Kristen, baik kaum laki-laki maupun perempuan, Alkitab berfungsi sebagai sumber ajaran, sumber moral, sumber inspirasi. Dalam penciptaan yang Allah lakukan selama enam hari lamanya, Allah menciptakan manusia pada hari keenam setalah segala sesuatu ada. Manusia dijadikan untuk menjaga isi dunia ini. Puncak semuanya ini, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan yang pertama adalah Adam, tetapi dia tidak sendiri, karen Allah juga menciptakan manusia perempuan yang pertama yaitu Hawa yang adalah Ibu semua yang hidup. Dalam Perjanjian Lama, terdapat tekanan antara dinamika Allah yang membebaskan umat-Nya dan memandang kaum pria dan wanita sederajat. Dalam Kejadian 1:27 maka jadilah laki-laki dan perempuan, diciptakan setara satu sama lain, menurut gambar Allah. Dari ayat ini, jelas bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda secara biologis dan seksual, namun memiliki atribut dan kekuatan Ilahi yang sama.[15]

Selain itu, pada kenyataannya diantara kedua jenis kelamin itu terdapat perbedaan postur tubuh. Biasanya seorang laki-laki memiliki tubuh yang lebih tinggi, besar dengan tulang dan otot yang kuat, sebaliknya dengan seorang perempuan.[16] Laki-laki dan perempuan adalah sama, walaupun secara fisik mempunyai kekhasan yang berbeda. Alkitab memperlihatkan bahwa perempuan mempunyai peran dalam kepemimpinan yang sama dengan laki-laki. Perjanjian Lama mengungkapkan beberapa tokoh perempuan yang berperan sebagai pemimpin (Debora dalam Kitab Hakim-hakim, Ester dalam Kitab Ester, Sifrah dan Pua dalam Kitab Keluaran).

Dalam surat-surat Paulus menyebutkan kaum perempuan sebagai rekan kerja Paulus yang asli memberitakan juga gelar-gelar misionaris kepada kaum perempuan seperti rekan sekerja (Priskila, Kis 16:3), diakonos (Febe, Roma 16:1), dan Rasul (Yunia, Rom 16:7). Paulus juga mengakui kesederajatan kaum yang bekerja bersamanya seperti Eudia dan Sintikhe yang telah “berjuang bersamanya” (Fil 4:2-3).[17]

Sikap Tuhan Yesus juga tercermin dalam pemberian tempat terhadap perempuan. Misalnya: Dia berbicara kepada perempuan Samaria (Yoh 4), mengajar perempuan (seperti melayani di rumah Marta dan Maria, Luk.10:38-42). Tuhan Yesus juga memperlihatkan betapa pentingnya pemberian seorang janda miskin (Luk. 21:1-4). Dengan cara yang sama, Tuhan Yesus memberikan anugerah khusus kepada perempuan yang menjamah jubah-Nya, dan Dia pun memuji imannya (Mat. 9:20-22). Setelah kebangkitan-Nya, Tuhan menampakkan diri pertama kali kepada perempuan sehingga mereka berani membawa berita baik kepada para Rasul (Mat. 28:8-10, Yoh. 20:4-16).[18]

2.5.Pendeta

Dalam konteks Alkitab, pendeta dapat disebut dengan istilah “Poimen” dan “Doulos” dari Bahasa Yunani. “Poimen” artinya gembala, pendeta, direktur, seorang yang mengawasi dan mengontrol orang lain, memiliki komitmen dan memberi perintah, aturan atau ajaran untuk di patuhi oleh mereka. Kata kerja dari “Poimen” ini adalah “Prosistemi”, artinya memimpin, berwenang terhadap anggota, mengurus, membantu, melindungi, memberi perhatian kepada mereka yang di pimpin.[19]Doulos” yang artinya Hamba. Hamba adalah seorang yang bekerja dan melaksanakan kepentingan orang lain. Dalam kehidupan agama Israel, istilah hamba digunakan untuk menunjukkan kerendahan hati seseorang dihadapan Allah dan wujud penyerahan diri kepada Allah.[20] Dalam Bahasa Inggris pendeta/pastor disebut juga “Shepherd” (gembala). “Shepherd” menunjukkan posisinya sebagai pemimpin, pelindung, pemelihara, memperdulikan dan fungsinya sebagai pemberi makanan, memperdulikan dan merawat dan mengurusi orang lain.[21]

Perlu diawali dengan pemahaman bahwa menjadi seorang pendeta adalah sebuah “panggilan”. Yeremia 1:4-5 mengatakan bahwa, “Firman Tuhan datang kepadaku, bunyinya sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menentapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsanya”. Ayat ini menyiratkan sebuah panggilan, bahwa Tuhan telah merencanakan juru bicaraNya sejak awal keberadaan seseorang. Pelayan Kristen juga harus yakin akan rencana Tuhan untuk hidup mereka seperti yang terungkap dalam panggilan mereka untuk pelayanan Kristen. Keyakinan tentang kehendak Tuhan ini lebih dari sekedar pilihan karier berdasarkan inventaris kepribadian; itu adalah pengakuan akan pengangkatan ilahi. Sebagaimana Yahweh memilih Abraham untuk memimpin umat baru (Kej. 12:1-3) dan mengutus Musa dalam misi penebusan (Kel. 3:10), maka Tuhan memanggil dan mengutus pelayan. Tanggapan mereka terhadap panggilan Tuhan harus seperti Yesaya: “Ini aku. Utuslah aku!” (Yes. 6:8).[22]

Kata “pendeta” dalam tradisi gereja, bahkan di Eropa tidak menemukan akar kata yang kuat. Sebutan Pastorlah yang tersemat bagi seorang pelayan Tuhan. sebutan pendeta hampir tidak pernah disebutkan. Panggilan pendeta, disinyalir merupakan gelar pengakuan terhadap para pemimpin agama di era pasca-Reformasi, kemungkinan di abad ke-17.

Masa reformasi gereja di Eropa, kaum pelayan menyapa rekan sepelayanan dengan sebutan reverend brethren. Jika diterjemahkan bebas disebut “saudara pendeta”. Namun jika kita merujuk gereja mula-mula, kata itu diartikan bebas sebagai pemimpin. Sebutan pendeta, yang dipakai kemudian mengacu kepada sifat dari jabatan, bukan kepada individual.[23]

            James Glasse memberikan keterangan bahwa pendeta adalah seorang profesional religious yang harus memuwujudkan lima karakteristik penting yaitu:

a.       Terpelajar, menguasai beberapa ilmu pengetahuan. Pengetahuan disini adalah pengetahuan diluar buku rohani yang penting untuk menunjang pelayanan.

b.      Seorang ahli, master dari kelompok keterampilan vokasi tertentu seperti komputer, pertukangan, dan sejenisnya. Kemampuan ini, meskipun membutuhkan bakat, dapat dipelajari dan diperbaiki melalui latihan dan pengawasan.

c.       Orang kelembagaan, yang berhubungan dengan masyarakat dan melayani orang melalui lembaga sosial, di mana pendeta sebagian sebagai abdi dan sebagian lagi menjadi tuan.

d.      Orang yang bertanggung jawab yang “profess/mengaku” untuk bertindak secara kompeten dalam situasi apa pun yang membutuhkan layanannya. Ini termasuk bertanggung jawab dengan melakukan perilaku etis.

e.       Orang yang berdedikasi yang juga “profess/mengaku” untuk memberikan sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat.

Noyce menjelaskan bahwa pendeta termasuk dalam kategori profesional yaitu pendeta yang telah berlajar teologi, dan melangkah ke dalam pelayanan tidak hanya dalam kaitannya dengan melalui denominasi ke seluruh gereja, tetapi juga kepada rekan-rekan dalam pelayanannya. Semua ini dengan jelas ditujukan untuk misi Kristus dan perluasan iman Kristen, melalui tujuan pelayanan yaitu pendampingan pastoral dan pertumbuhan gereja.

Menurut beberapa teolog pendeta adalah:

1.      Menurut Notohamidjojo: pemimpin (pendeta) adalah orang dewasa dengan wibawanya berusaha untuk mencapai tujuan organisasiniya atas dasar kerjasama yang baik menurut peraturan yang ditetapkan bersama serta kebijaksanaan yang sewajarnya untuk mencapai tujuan.

2.      Menurut G.D. Dahlenburg, pendeta adalah seorang hamba dan pengikut Kristus yang diutus Tuhan untuk melayani dan bertanggung jawab dengan apa yang Tuhan percayakan untuk menyampaikan injil kebenaran kepada semua orang. Dahlenburg: berpendapat bahwa Pendeta dipanggil oleh gereja (sinode) untuk melayani di jemaat tertentu juga sebagai seorang penilik/episkopos. Ia juga mengutip pernyataan Luther: “kalau kita orang Kristen, maka kita semua adalah Pendeta”. Tetapi pendeta-pendeta yang kita panggil untuk melayani atas nama kita dan jabatan mereka sebagai pendeta merupakan suatu pelayanan saja. Karena tidak semua orang mampu dan boleh berkhotbah, mengajar, memimpin, maka harus ada orang yang dipercayakan dan diutus dengan doa dan penumpangan tangan di hadapan Tuhan dan jemaatnya yang kemudian memegang jabatan sebagai pendeta. Dalam menjalankan tugasnya bukan untuk kepentingan jabatan tersebut melainkan untuk melayani semua anggota yang lain. .[24]

Pilihan untuk menjadi seorang pendeta adalah sebuah panggilan profesional. Jika pendeta adalah seorang profesional maka ada standar praktik profesional yang berlaku untuk pelayanan Kristen yang mencakup enam kewajiban etis berikut:

1.      Pendidikan (2 Tim. 2:15). Pendeta akan mempersiapkan pelayananya melalui pendidikan akademik yang diikuti dengan pelatihan-pelatihan yang menunjang pelayannya.

2.      Kompetensi (1 Kor. 12:7-11). Gembala gereja akan mengembangkan dan memurnikan karunia pastoral dan keterampilannya untuk bertindak secara kompeten dalam situasi apa pun yang membutuhkan pelayanannya.

3.      Otonomi (Yoh. 13:1-16). Pendeta dipanggil untuk menjalani kehidupan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab yang melibatkan konsekuensi yang berpotensi berbahaya. Sebagai pemimpin rohani, pendeta akan membuat keputusan dan menggunakan otoritas pastoral dalam terang model hamba-pemimpin yang dicontohkan oleh Kristus.

4.      Layanan (1 Kor. 13). Motivasi pendeta untuk pelayanan bukanlah status sosial atau imbalan finansial melainkan cinta “agape”, untuk melayani orang lain dalam nama Kristus.

5.      Dedikasi (Rom. 1:11-17). Pendeta akan profess/mengaku” untuk memberikan sesuatu yang sangat berharga, kabar baik tentang keselamatan Tuhan dan demonstrasi kasih Tuhan melalui pelayanan Kristen. Untuk nilai-nilai inilah panggilan Allah didedikasikan.

6.      Etika (1 Tim. 3:1-7). Sehubungan dengan jemaat, rekan kerja, dan komunikasi, serta dalam kehidupan pribadi, yang ditahbiskan akan hidup di bawah displin etika yang menjunjung standar tertinggi moralitas Kristen.[25]

Jika kita merujuk kepada sejarah, Kristen Indonesia yang memakai pendeta. Kata pendeta lebih dekat dengan sebutan pandita dalam tradisi Hindu. Pandita berubah lapal menjadi pendeta (bahasa batak “pandita”). Dalam agama Hindu kata pendeta memiliki kekuatan yang mengikat umat. Pandita adalah insan yang suci. Dilihat dari kemampuannya memiliki pengetahuan, sikap, dan prilaku yang baik sehari-hari. Bahkan, keputusan ucapannya yang bijaksana.

Pendeta (bahasa Sanskerta: Pandita) berarti brahmana, guru agama dalam tradisi Hindu atau Budha. Ucapan pandita adalah suara kebenaran, atau darma. Karena itu, ada empat sifat pandita yaitu:

1.      Sang Satya Wadi artinya selalu membicrakan kebenaran.

2.      Sang Apta artinya selalu dapat dipercaya.

3.      Sang Patirthan artinya tempat memohon kesucian.

4.      Sang Penadahan Upadesa artinya pandita memiliki kewajiban memberi pendidikan moral kepada masyarakat.

Oleh karenanya, pandita disebut Adi Guru Loka yang artinya guru utama dalam setiap linggkungan masyarakat.

            Pandita berpaling dari pengertian “bhisama”. Lagi-lagi dalam agama Hindu, pada bait kakawin Ramayana disebutkan bahwa bhisama berarti bahaya untuk dilanggar karena bhisama sesuatu yang menakutkan. Berasal dari buah pikiran pendita suci. Artinya ucapan pandita harus ditaati. Pandita juga kata lain daripada pandito, diartikan penempa. Padanan istilah pendeta untuk agama Islam disebut ustadz, untuk Kristen Katolik adalah pastor, sedangkan untuk Budha adalah biksu.

Tradisi Kristen Indonesia sesungguhnya mengadopsi bahasa Sanskerta, pandita menjadi pendeta. Tidak ada yang salah. Pendeta diartikan memiliki kewajiban untuk menentukan suasana dalam jemaat, sehingga jemaat dapat lebih giat memenuhi penggilannya. Penuntun sebuah komunitas yang belajar-mengajar. Pendeta adalah pengajar jemaat. Ia, juga merupakan seorang pengajar khusus, dimana sang pandito berjibaku melibatkan diri secara langsung.

Alih-alih ucapan pandeta berisi petunjuk, aturan yang bertujuan untuk menata, memantapkan, dan mengarahkan umat. Dalam ruang yang lebih luar berarti penuntun umat. Seorang pandita mesti mengerti kitab suci. Hal lain, yang tatkala penting tata prikehidupannya. Ia, bukan hanya ketika berada di atas mimbar suci dalam tanda petik, tetapi integritasnya diuji di lakon kehidupan sehari-harinya. Maka, kepatutannya memperlihatkan sikap mulia.

Sang pendeta, pemberian sabda didasari oleh pengalaman nyata bersama Tuhan. dalam tuntunan agama, merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dan dipakai sebagai acuan umat. Dan yang pertama dan yang utama yang menjadi kekuatan di dalam diri pendeta adalah keyakinannya. Jauh di dalam lubuk hatinya, bahwa Tuhan telah memanggil dia menjadi seorang pelayan, bukan untuk dilayani. Jika itu melakat, dialah sang pendeta penuntun umat.[26]

Pendeta tidak boleh menjadi tuan atas domba-dombanya, tetapi harus berjuang menjadi hamba dari jemaat yang telah Tuhan tentukan bagi kita. Sayang sekali, sikap sombong dari banyak pemimpin sangatlah berbeda dengan apa yang Kristus ajarkan. Ada tiga jenis pendeta pelayan. Pendeta yang memiliki hati hamba akan memberi ketimbang menerima dari orang lain. Tiga jenis pendeta pelayan yakni:

1.      Pendeta Diakoneo: Mereka adalah pendeta yang menunggu seseorang. Diakoneo adalah kata Yunani yang berbicara mengenai menunggu seseorang yang lain, atau berperan sebagai pembawa acara, seorang teman, atau seorang guru. Hal ini adalah pelayanan penuh kuasa. Marta adalah contoh baik dari seorang diakoneo (Yoh. 12:2-3).

2.      Pendeta Dikonia: orang-orang ini adalah pembantu atau asisten seseorang yang lain. Diakonia berasal dari kata Yunani yang berkaitan dengan memberi bantuan atau pelayanan kepada seseornag. Banyak pendeta dipanggil untuk menolong seseorang. Keadaan akan menjadi kacau bila seseorang yang dipanggilnya adalah untuk menolong, tetapi dipaksa menjadi kepala sebuah gereja. banyak pendeta pemimpin tidak bisa menjadi asisten yang baik, dan banyak asisten handal bukanlah pendeta pemimpin (wahyu 2:19; 2 Kor 11.7-8).

3.      Pendeta Diakonos: mereka adalah pendeta-pendeta yang melaksanakan segala sesuatu dan melakaukan pekerjaan kasar. Diakonos adalah kata Yunani yang menjelaskan fungsi seorang pelayan, seorang pramusaji di meja atau pekerjaan kasar lainnya. Janganlah malu mengerjakan pekerjaan kasar apapun. Banyak pekerjaan kasar sesungguhnya adalah pekerjaan pelayan. Seringkali, membenci pekerjaan kasar artinya membenci palyanan sendiri (Kol. 4:7).[27]

 

2.6.Era Industri 5.0

Konsep revolusi 5.0 merupakan konsep yang secara fundamental dapat mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berhubungan satu dengan yang lain. Berkembangnya era revolusi industry 5.0 tentunya berdampak dalam kepemimpinan. Era revolusi industry 5.0 telah mengubah cara berfikir tentang pemimpin. Perubahan yang dibuat bukan hanya cara memimpin, namun yang terpenting adalah perubahan dalam perspektif konsep pemimpin itu sendiri. Oleh karena itu, pengembangan diri untuk saat ini dan masa depan harus melengkapi kemampuan pemimpin dalam dimensi pedagogic, keterampilan hidup, kemampuan untuk hidup bersama (kolaborasi) dan berpikir kritis dan kreatif.

Revolusi industry 5.0 dalam kepemimpinan menekankan pada pemimpin karakter, moral, dan keteladanan. Hal ini dikarenakan ilmu yang memiliki dapat digantikan oleh teknologi sedangkan penerapan soft skil maupun hard skill yang dimiliki tiap pemimpin tidak dapat digantikan oleh teknologi. Pengembangan diri juga merupakan salah satu hal yang mampu mengarahkan dan membentuk karakter pemimpin agar siap menghadapi revolusi industry 5.0. Pimpinan juga perlu memiliki sikap yang bersahabat dengan teknologi, kolaborasi, kreatif dan mengambil resiko, memiliki selara humo yang baik, serta memimpin secara menyeluruh (holistic).

Pada era 5.0, industry mulai menyentuh dunia virtual, berbentuk konektivitas manusia, mesin dan data, semua sudah ada dimana-mana, dikenal dengan istilah internet of things. Era revolusi 5.0 telah mengubah cara berpikir tentang pemimpin. Perubahan yang dibuat bukan hanya cara memimpin, namun yang terpenting adalah perubahan dalam perspektif konsep pemimpin itu sendiri. Tetapi sebenarnya Revolusi Industri 5.0 bukanlah hal baru. Karena merupakan antithetis dari Revolusi 4.0, era yang kembali pada masa industry. Kolaborasi manusia dengan teknologi dan digital semakin nyata. Banyak robot yang sudah mulai diarahkan untuk berkolaborasi dalam proses kemampuan, baik dalam ruang tempat yang nyata maupun virtual seperti sekarang ini. Pemimpin bisa saja berhadapan dengan robot yang dikendalikan pemimpin. Tetapi, dengan adanya sistem yang baru di era ini, peran pimpinan tidak akan tergantikan oleh teknologi. Karena di sini terdapat peran pimpinan yang tidak akan pernah bisa digantikan oleh teknologi, diantaranya adalah interaksi secara langsung di tempatnya, ikatan emosional antara pimpinan dan pemimpin, dan juga penanaman karakter dan teladan seorang pimpinan.[28]

Menurut Michael, perbedaan antara society 5.0 dengan society 4.0 adalah teknologi dan informasi itu dimanfaatkan untuk kemakmuran dan menekankan konsep human-centered society yang didukung oleh teknologi, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Selanjutnya, Sajidan memberikan kriteria atau indicator dari society 5.0 yakni kemampuan untuk berpikir kritis termasuk mengidentifikasi masalah dan juga mampu mengidentifikasi solusi, dan bisa mendeterminasi skala prioritas. Kompetensi utama dari society 5.0 adalah kreativitas, yang bisa mengimajinasikan informasi, bisa berinovasi atau membuat solusi terbarukan, tidak hanya memunculkan ide, tetapi juga kritis terhadap ide tersebut. Deguchi mengatakan ciri khas utama society 5.0 adalah perkembangan ekonomi, dan resolusi dari masalah, serta kualitas kehidupan. Deguchi juga mengatakan visi dari society 5.0 adalah mengharuskan manusia memikirkan dua jenis hubungan yaitu hubungan antara masyarakat dan teknologi dan hubungan yang dimediasi oleh teknologi antara individu dan masyarakat. Tujuan society 5.0 adalah menyerukan masyarakat supersmart dan melihat masyarakat secara keseluruhan. Ciri utamanya adalah konvergensi tingkat tinggi dari ruang siber dan ruang fisik, menyeimbangkan pembangunan ekonomi dengan resolusi masalah sosial, masyarakat yang berpusat pada manusia.[29]

Sebenarnya konsep revolusi industry 4.0 dan society 5.0 tidak memiliki perbedaan yang jauh. Yaitu revolusi industry 4.0 menggunakan kecerdasan buatan sedangkan society 5.0 memfokuskan kepada komponen manusianya. Konsep society 5.0 ini, menjadi inovasi baru dari society 1.0 sampai society 4.0 dalam sejarah manusia. Mulai dari society 1.0 manusia masih berada di era berburu dan mengenal tulisan. Pada society 2.0 adalah pertanian di mana manusia sudah memulai mengenal bercocok tanam. Lalu pada society 3.0 sudah memasuki era industry yaitu ketika manusia sudah mulai menggunakan mesin untuk menunjang aktivitas sehari-hari, setelah itu muncullah society 4.0 yang kita alami saat ini, yaitu manusia yang sudah mengenal computer hingga internet juga penerapannya di kehidupan. Jika society 4.0 memungkinkan kita untuk mengakses juga membagikan informasi di internet, society 5.0 adalah era di mana semua teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri. Internet bukan hanya sebagai informasi melainkan untuk menjalani kehidupan. Sehingga perkembangan teknologi dapat meminimalisir adanya kesenjangan pada manusia dan masalah ekonomi pada kemudian hari.

Indonesia merupakan Negara berkembang yang bahkan bisa dikatakan hanya segelintir orang yang mengenal revolusi industry 4.0 ataupun society 5.0. hanya di kalangan akademis yang melek akan kemajuan zamannya, pebisnis yang memang punya kepentingan keberlangsungan usahanya, juga pemangku kebijakan politik yang memperhatikan. Institusi pendidikan yang dikategorikan unggulan di Indonesia pun belum menerapkan sistem industry 4.0 dan society 5.0 ini. Dari mulai sistem pendidikannya, cara berinteraksi pendidik dan yang terdidik, serta pemupukan paradigm berpikir modernnya. Adapun komunikasi dan organisasi beberapa memang secara mandiri membahas mengenai revolusi 4.0 dan society 5.0, tetapi hanya cukup menjadi konsumsi pribadi karena keterbatasan kekuasaan.[30]

Gereja sebagai instansi yang termasuk di dalam masyarakat Indonesia tentu berhadapan dengan persoalan yang sama. Yang paling nyata adalah, sejak munculnya pandemic Covid-19, komunitas agama dipaksa untuk terbuka dengan kemungkinan baru dan perubahan. Di masa awal pandemic, terlihat respons yang beragam terhadap kebijakan pemerintah terkait pembatasan beribadah dari berbagai komunitas agama. Di tengah krisis ini justru gereja menjadi terbuka terhadap berbagai kemungkinan seperti konsep gereja digital yang sudah tak asing sekarang ini. Hali itu menunjukkan perubahan zaman perkembangan budaya, merupakan suatu kenyataan yang harus dihadapi gereja termasuk kedalam konsep society 5.0.

Di era pandemic Covid-19 yang sedang melanda, era revolusi industry 5.0 dan segala teknologi yang ada pada era ini dirasakan sangat membantu. Bahkan sekarang ini, semua bergantung pada teknologi yang ada. Teknologi bak malaikat dan penolong satu-satunya dalam menjawab situasi yang sedang terjadi. Dari kemampuan, belajar dan pemahaman konsep, kemudian bahan ajar dan hasil belajar semua diperoleh melalui teknologi

III.             KESIMPULAN

·         kepemimpinan merupakan kata pimpin yang mengandung arti mampu mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan atau mempengaruhi. Pemimpin juga mempunyai tanggung jawab baik fisik maupun spritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpinnya.

·         Kepemimpinan Gereja merupakan perwujudan campur tangan Tuhan yang telah diciptakan oleh sang Empunya Gereja. Kepemimpinan Gereja bukan semata-mata duplikat dari sebuah kepemimpinan duniawi yang sudah terbukti keberhasilannya dan begitu saja dengan mudah dapat diterapkan dalam kepemimpinan Gereja. Kepemimpinan dalam gereja bukan pagelaran kekuasaan melainkan pelaksanaan pelayanan.

·         Seorang pemimpin Kristen bukan hanya berbicara pemimpin yang tunggal tetapi harus berperan secara aktif dalam setiap aspek-aspek kehidupan keanggotaan. Seorang pemimpin Kristen haruslah menjalankan tugasnya, yaitu berperan sebagai pemimpin rohani, berperan sebagai manajer rohani, berperan sebagai oraganisasi rohani, berperan sebagai administrator rohani dan berperan sebagai penatalayanan rohani.

·         Model kepemimpinan dalam Perjanjian Lama didasarkan pada Alkitab Ibrani dan bagian Perjanjian Lama di Alkitab Kristen. Ada sejumlah model yaitu: nabi, hakim, raja dan imam. Model kepemimpinan dalam Perjanjian Lama pada awalnya yaitu zaman Musa identik dengan kepemimpinan para nabi. Selain dari pada kepemimpinan yang dinampakkan oleh para nabi dapat dilihat juga model kepemimpinan dari raja-raja Israel

·         Dalam Perjanjian Baru yang menjadi dasar dari kepemimpinan adalah keteladanan Yesus Kristus dalam hambaNya. Bahwa karakter seorang pemimpin Kristen sangat penting dan kepribadiannya sangat menentukan pelaksanaan tugas, karena kepribadian itu yang selalu mendapat perhatian untuk diikuti maupun diteladani.

·         Didalam Perjanjian Baru penekanan sebagai pemimpin tidak begitu menjadi penekanan tetapi yang menjadi penekanan adalah peranan pengembalaan. Yang menjadi gembala didalam Perjanjian Baru yaitu Rasul dan juga penatua.

·         Didalam Alkitab beberapa yang berperan sebagai pemimpin itu tidak mempengaruhi mengenai jenis kelamin (gender). Laki-laki dan perempuan adalah sama, walaupun secara fisik mempunyai kekhasan yang berbeda. Alkitab memperlihatkan bahwa perempuan mempunyai peran dalam kepemimpinan yang sama dengan laki-laki.

·         Panggilan pendeta, disinyalir merupakan gelar pengakuan terhadap para pemimpin agama di era pasca-Reformasi, kemungkinan di abad ke-17. Dalam konteks Alkitab, pendeta dapat disebut dengan istilah “Poimen” dan “Doulos” dari Bahasa Yunani.

·         Poimen” artinya gembala, pendeta, direktur, seorang yang mengawasi dan mengontrol orang lain, memiliki komitmen dan memberi perintah, aturan atau ajaran untuk di patuhi oleh mereka.Doulos” yang artinya Hamba. Hamba adalah seorang yang bekerja dan melaksanakan kepentingan orang lain. Dalam kehidupan agama Israel, istilah hamba digunakan untuk menunjukkan kerendahan hati seseorang dihadapan Allah dan wujud penyerahan diri kepada Allah.

·         Pendeta berisi petunjuk, aturan yang bertujuan untuk menata, memantapkan, dan mengarahkan umat. Menjadi seorang pendeta adalah sebuah panggilan profesional. Pendeta tidak boleh menjadi tuan atas domba-dombanya, tetapi harus berjuang menjadi hamba dari jemaat yang telah Tuhan tentukan bagi kita.

·         Konsep revolusi 5.0 merupakan konsep yang secara fundamental dapat mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berhubungan satu dengan yang lain. Revolusi industry 5.0 dalam kepemimpinan menekankan pada pemimpin karakter, moral, dan keteladanan. Pimpinan juga perlu memiliki sikap yang bersahabat dengan teknologi, kolaborasi, kreatif dan mengambil resiko, memiliki selara humo yang baik, serta memimpin secara menyeluruh (holistic).

·         era revolusi industry 5.0 dan segala teknologi yang ada pada era ini dirasakan sangat membantu. Bahkan sekarang ini, semua bergantung pada teknologi yang ada. Teknologi bak malaikat dan penolong satu-satunya dalam menjawab situasi yang sedang terjadi.

 

IV.             DAFTAR PUSTAKA

4.1.Kepustakaan

Becher, Jeanne., Perempuan, Agama & Seksualitas, (Jakarta: BPK Gunung Mulai, 2004).

Boscma, H., Ringkasan Pengajaran Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006).

Browning, W. R. F., Kamus Alkitab: A Dictionary of the Bainle, (Jakarta: BPK-GM, 2010).

Danlenburg, Pdt. G. D., Siapakah Pendeta itu? (Jakarta: BPK-GM. 2002).

Fakih, Dr. Mansour., Analisa Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).

Gian, Karsen., “Ia Dinamai Perempuan” (Bandung, Yayasan Kalam Hidup, 2009).

Gintings, E. P., Pengembalaan, (Bandung: Jurnal Info Media, 2009).

Guthrie, Donald., Teologia Perjanjian Baru 3, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993).

Hadiwijono, Harun., Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007).

Hutagalung, Dr. Stimson, S.Th., M.Fil, Strategi Pelayanan & Penginjilan, (Yayasan Kita Menulis, 2021).

Hutahean, Dr. Wendy Sepmady, S.E., M.Th., Kepemimpinan Dalam Perjanjian Lama, (Malang: Ahlimedia Press, 2021).

Keating, Charles J., Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1991).

Keller, W. Philip., The Art Of Shepherdings, (Lux Verbi.Bm, 2010).

Notohamidjojo, O., Tanggungjawab Geredja dan Orang Kristen di Bidang Politik, (Bandung: Grafika, 1969).

Putra, Eka Darma., Kepemimpinan Pespektif Alkitab, (Jakarta: STT, 2001).

Retnowati, Perempuan-perempuan Dalam Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulai, 2008).

Rostikawati, Dian., Kepemimpinan Di Era Revolusi Industri 5.0, (Surabaya: Cipta Media Nusantara/CMN, 2021).

S, Pamudji., Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986).

Sipayung, Buku Kenangan dan Syukuran Usia ke-56 Tahun Pdt. Dr. Jon Riahman., Layanilah Tuhan dengan Semangat Menyala-nyala (Roma 12:11), (Medan: cv. Sinarta, 2021).

Sopater, Sularso., Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja, (Jakarta: Sinar Harapan, 1998).

Strauch, Alexander., Manakah Yang Alkitabiah: KEPENATUAAN ATAU KEPENDETAAN, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2016).

Thayer, Joesph Henry., Greek-English Lexicon Of The New Testament, (American:Book Company, 1889).

Tomatala, Yakob., Kepemimpinan yang Dinamis, (Jakarta: Leadership Foundation, 1997).

4.2.Jurnal / Tabloit

Tabloid REFORMATA, Edisi 157 Tahun IX 1- 30 November 2012, hlm 29.

Veritas Lux Mea, Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen, (Vol. 3, No. 2, 2021), hlm 244.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 



[1] Dr. Wendy Sepmady Hutahaean, S.E., M.Th, Kepemimpinan Dalam Perjanjian Lama, (Malang: Ahlimedia Press, 2021), hlm 1.

[2] Pamudji S, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1986), hlm 5.

[3] Charles J. Keating, Kepemimpinan: Teori dan Pengembangannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm 27.

[4] Yakob Tomatala, Kepemimpinan yang Dinamis, Jakarta: Leadership Foundation, 1997, 46.

[5] Sularso Sopater, Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja, (Jakarta: Sinar Harapan, 1998), hlm. 222.

[6] Dr. Wendy Sepmady Hutahaean, S.E., M.Th, Kepemimpinan Dalam Perjanjian Lama, hlm 1-5.

[7] Eka Darma Putra, Kepemimpinan Pespektif Alkitab, (Jakarta: STT, 2001), hlm 82.

[8] Alexander Strauch, Manakah Yang Alkitabiah: KEPENATUAAN ATAU KEPENDETAAN, (Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2016), hlm 1-4.

[9] Donald Guthrie, Teologia Perjanjian Baru 3, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm 90.

[10] Buku Kenangan dan Syukuran Usia ke-56 Tahun Pdt. Dr. Jon Riahman Sipayung, Layanilah Tuhan dengan Semangat Menyala-nyala (Roma 12:11), (Medan: cv. Sinarta, 2021), hlm 217-219.

[11] O, Notohamidjojo, Tanggungjawab Geredja dan Orang Kristen di Bidang Politik, (Bandung: Grafika, 1969), hlm 27.

[12] Harun Hadiwijono, Iman Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2007), hlm 362-363.

[13] H. Boscma, Ringkasan Pengajaran Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), hlm 164-165.

[14] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, hlm 374-390.

[15] Jeanne Becher, Perempuan, Agama & Seksualitas, (Jakarta: BPK Gunung Mulai, 2004), hlm 7.

[16] Dr. Mansour Fakih, Analisa Gender & Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm 10.

[17] Karsen Gian, “Ia Dinamai Perempuan” (Bandung, Yayasan Kalam Hidup, 2009), hlm 61.

[18] Retnowati, Perempuan-perempuan Dalam Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulai, 2008), hlm 74.

[19] Joesph Henry Thayer, Greek-English Lexicon Of The New Testament, (American:Book Company, 1889), hlm 527.

[20] W. R. F. Browning, Kamus Alkitab: A Dictionary of the Bainle, (Jakarta: BPK-GM, 2010), hlm 131.

[21] E. P. Gintings, Pengembalaan, (Bandung: Jurnal Info Media, 2009), hlm 24.

[22] Dr. Stimson Hutagalung, S.Th., M.Fil, Strategi Pelayanan & Penginjilan, (Yayasan Kita Menulis, 2021), hlm 13.

[23] Tabloid REFORMATA, Edisi 157 Tahun IX 1- 30 November 2012, hlm 29.

[24] Pdt. G. D. Danlenburg, Siapakah Pendeta itu? (Jakarta: BPK-GM. 2002), hlm 25.

[25] Dr. Stimson Hutagalung, S.Th., M.Fil, Strategi Pelayanan & Penginjilan, hlm 15-20.

[26] Tabloid REFORMATA, hlm 29.

[27] W. Philip Keller, The Art Of Shepherdings, (Lux Verbi.Bm, 2010), bab 25.

[28] Dian Rostikawati, Kepemimpinan Di Era Revolusi Industri 5.0, (Surabaya: Cipta Media Nusantara/CMN, 2021), hlm 1-4.

[29] Veritas Lux Mea, Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen, (Vol. 3, No. 2, 2021), hlm 244.

[30] Dian Rostikawati, Kepemimpinan Di Era Revolusi Industri 5.0, hlm 1-4.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url