Spritualitas Dalam Perjanjian Baru
Menggali Spritualitas dalam Perjanjian Baru Khususnya Injil
Lukas dan refleksinya dalam hidup bergereja di tengah-tengah Pendemi Covid 19
Ewen Josua Silitonga
I.
Pendahuluan
Banyak orang yang mengartikan spiritualitas dalam definisi yang
sempit dan terbatas hanya pada aktivitas keagamaan saja. Ada orang yang
mengartikan spiritualitas terbatas kepada tindakan orang-orang yang bertapa di
tempat-tempat sepi dan khusus. Ada juga yang berpandangan bahwa orang-orang
yang rajin beribadah dan terlibat dalam berbagai kegiatan keagamaan adalah
orang-orang spiritual. Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang
memiliki kemampuan supranatural adalah orang-orang yang memiliki tingkat
spiritualitas tinggi. Bahkan banyak orang yang berpendapat bahwa hamba-hamba
Tuhan seperti pendeta, pastor, alim ulama, biksu, dan sebagainya pasti orang
spiritual
II.
Pembahasan
Spritualitas
berasal dari kata Latin spiritus yang
berarti roh, jiwa, semangat. Dari kata latin ini terbentuk kata Prancis i’esprit dan kata bendanya ia spiritualite. Dari kata ini, kita merujuk pada kata bahasa
Inggris spirituality, yang dalam bahasa Indonesia kita jadikan kata
spiritualitas. Dalam percakapan sehari-hari, spiritualitas sering merupakan
kata yang dilawan dengan kata “materia” atau “korporalitas”. Spiritualitas berarti bersifat atau berkaitan
dengan roh yang berlawanan dengan kata materialitas yang bersifat atau
berkaitan dengan kebendaan, sedangkan korporalitas yang berarti bersifat tubuh,
badani, atau berkaitan hidup saleh dan berbakti kepada Allah.[1]
Berbicara tentang ‘Spirit’, berati kita mau membahas sesuatu yang memberikan
kehidupan maupun semangat bagi seseorang. Spiritualitas merupakan benteng
terluar dalam kehidupan nyata iman relegius seseorang, apa yang dilakukan orang
bila mereka percaya. Spiritualitas tidak sekedar menyangkut ide-ide, meskipun
ide-ide dasar iman Kristen sungguh penting bagi spiritualitas Kristen.[2]
Spiritualitas pada umumnya dimaksudkan
sebagai hubungan pribadi seorang beriman dengan Allahnya dan aneka
perwujudannya dalam sikap dan perbuatan.[3]
Spiritualitas juga mempunyai pengertian yang lebih luas. Spiritualitas terwujud
dalam kehidupan social budaya, ekonomi dan politik. Spiritualitas merupakan
kesadaran dan sikap hidup manusia untuk tahan uji dan bertahan mewujudkan
tujuan dan pengharapan. Spiritualitas bisa menjadi sumber kekuatan dalam
menghadapi penganiayaan, kesulitan, penindasan dan kegagalan yang dialami oleh
orang atau kelompok yang sedang mewujudkan cita-cita atau tujuan hidupnya.[4]
Penulis
menganalisa pemahaman tentang spiritualitas merupakan adanya hubungan yang
intim antara manusia dengan Tuhannya. Artinya spiritual itu merujuk kepada
kedekatan dan pembangunan rohani kita kepada Tuhan. Dengan kata lain
spiritualitas sejati tidak hanya berpusat pada kegiatan keagamaan yang
superfisial, melainkan persekutuan pribadi
dengan Yesus Kristus yang diwujudnyatakan dari kehidupan keseharian manusia.
Spiritualitas
perlu diuji ulang dengan pola penghayatan manusia (dalam situasi yang terus
berubah dan tantangan yang beraneka ragam). Pengujian ulang pola penghayatan
itu dapat ditempah melalui langkah-langkah dan pendekatan sebagai berikut.[5]
1. Spiritualitas
mengedepankan suatu way of life
(jalan hidup) dan bukan rumusan filosofi yang abstrak dan spekulatif sifatnya.
Di dalam way of life sebagaimana
dikemukakan nas-nas suci ini, kita melihat the
Way of God (Mrk 10:52 ; Mat 7:13-14 ; Ibr 10:10). Karena “jalan” ini bukan
“jalan buntu”, maka ia mengantar pemakainya sampai pada tujuan tertentu.
Begitulah “spiritualitas” di pahami pula sebagai jalan yang dapat dipakai untuk
mengantar orang menuju ke kehidupan yang di cita-citakan. Dalam artian, seluruh
buku akan berusaha melacak garis besar spiritualitas Kristen.
2. Spiritualitas
juga mengajukan suatu kehidupan yang tengah dihayati di dunia ini dengan model discipleship (kemuridan). Artinya,
fungsi dan panggilan “kemuridan”, hal menjadi “pengikut”, selalu merujuk pada
hubungan (relasi) dengan guru, sekolah dan lingkungan. Dalam visi Yesus tentang
kerajaan Allah, kemuridanlah yang diutamakan di atas semua yang lain. Aspek
kemuridan ini dalam kehidupan religious dan pastoral acap kali dilupakan.
Sebenarnya aspek ini mempunyai dasar-dasar yang tidak tergoyahkan dalam injil.
3. Panggilan
pada jalan kemuridan merupakan suatu undangan untuk masuk kedalam dan terlibat
dalam seluruh dinamika komunitas. Keberadaan seorang murid terjadi dalam kontak
dengan komunitas; dan pada gilirannya komunitas ditopang oleh
penghayatankemuridan sendiri-sendiri dan bersama-sama.
4. Jalan
kemuridan dalam komunitas tersebut mendapat nilainya yang paling tinggi dalam
ungkapan iman, yang disebut ekaristi. Didalam ungkapan iman ini, orang
mensyukuri setiap peristiwa yang telah dikerjakan Allah, yaitu peristiwa yang
terjadi dalam hidup manusia baik individu maupun dalam komunitas.
5. Komunitas
ekaristis orang beriman yang percaya akan Roh-Nya dan karya-Nya itu belumlah
sempurna dan selesai. Ia masih berjalan dalam situasi penderitaan, sakit,
penghiburan dan keberhasilan. Situasi ini menjadi perwujudan iman yang akan
direfleksikan dalam peristiwa pengungkapan iman.
6. Spiritualitas
yang otentik harus mencapai setiap orang tanpa memandang kelas, gender dan
kondisi social.
Ada
banyak orang memiliki pandangan yang ekslusif mengenai spiritualitas. Mereka
adalah orang-orang yang belum tentu memandang struktur-struktur politik dan
ekonomi sebagai sesuatu yang tidak penting, tetapi mereka juga tidak memandang
struktur-struktur itu sebagai sesuatu yang relevan bagi penyelamatan umat
manusia. Bagi mereka, spiritualitas adalah suatu keberadaan diri yang biasanya
dicapai melalui “latihan-latihan rohani” atau suatu keberadaan diri yang
biasanya dicapai melalui “latihan-latihan rohani” atau suatu rangkaian disiplin
tertentu yang tak dapat dilihat dalam pengalaman biasa.[6]
III.
Spiritulitas
menurut injil Lukas
Injil
Lukas adalah kitab pertama dari kedua kitab yang dialamatkan kepada seorang
bernama teofani (Luk 1:1, 3; Kis 1:1). Lukas adalah seorang petobat yang
berasal dari Yunani, satu-satunya orang bukan Yahudi yang menulis sebuah kitab
di dalam Alkitab. Lukas menulis injil kepada orang-orang bukan Yahudi guna
menyediakan suatu catatan tentang segala sesuatu yang dikerjakan diajarkan
Yesus, sampai pada hari ia terangkat (Kis 1:1-2). Fokus utama injil Lukas
adalah pengajaran dan perumpamaan Yesus selama pelayanan-Nya yang luas dalam
perjalanan-Nya ke Yerusalem (Luk 9:51). Bagian mengandung himpunan materi
terbesar yang unik dalam kitab Lukas, dan mencakup banyak kisah dan perumpamaan
yang sangat digemari.[7]
3.1. Penulis Lukas
Tradisi tradisi yang mengaitkan
Injil ketiga dengan seseorang yang bernama Lukas berasal dari abad ke-2 M. Kanon
Muratoria dan Prakata Anti-Marcion pada Injil Lukas, serta Ireneus, Clemens
dari Aleksandria, Origenes dan Tortullianus, semuanya menyebut Lukas sebagai
penulisnya. Tetapi ketepatan tradisi tidak dapat dipastikan. Kitab Injil Lukas
ini merupakan jilid pertama dari dua jilid sejarah mengenai kekristenan
mula-mula yang dilanjutkan dalam Kisah Para Rasul. Gaya dan jenis bahasa yang
digunakan kedua kitab itu begitu mirip sehingga tidak ada keragu-raguan bahwa
keduanya merupakan hasil karya satu orang penulis. Keduanya ditujukan kepada
satu orang yang sama, yakni Teofilus (Luk 1:1-4; Kis 1:1).
Dalam Kisah Para Rasul sang penulis
tidak diragukan lagi, ia turut mengambil
bagian atas apa yang dilaporkannya, karena ia sering menggunakan kata “kami”
adalah suatu petunjuk yang berguna untuk menentukan minat, sifat dan mungkin
jati diri sang penulis. Sedangkan menurut Paulus, Lukas adalah seorang dokter
atau tabib, serimg digunakan dalam Kitab Injil Lukas dan Kisah Para Rasul
menunjukkan pengetahuan khusus tentang bahasa kedokteran, serta perhatian
didalam melakukan diagnosa penyakit.
Lukas disebut tiga kali dalam
Perjanjian Baru. Pada setiap kesempatan dikatakan ia bersama Paulus, dan di
dalam surat Kolose Paulus berkata Lukas bukan orang Yahudi. Jika ia memang penulis
Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, maka mungkin sekali ia satu-satunya penulis
Perjanjian Baru yang bukan orang Yahudi.Menurut Eusebius, Lukas berasal
dari Antiokhia di Siria, salah satu
naskah kuno yang memberitahu secara tersirat ia di Antiokhia ialah jemaat
disitu menerima berita tentang bahaya kelaparan yang akan menimpa mereka (Kis
11:28). Penulis Lukas ini merupakan orang yang berpendidikan tinggi dan
memiliki kecerdasan yang cukup tinggi pula.
3.2.Ragam gambaran
Spritualitas dalam kitab injil Lukas
Rasanya tidak ada kitab lain dalam
seluruh Perjanjian Baru yang menggambarkan Yesus dengan begitu hidup sebagai
sahabat dan juruselamat manusia dan memang itulah tujuan Lukas, sebab penting
bagi jemaat pada masanya untuk menyadari bagaimana misi mereka diseluruh dunia
didasarkan dengan kokoh atas pengajaran dan teladan Yesus sendiri.
Spiritualitas
Yudaisme pada abad-abad Kristus berdasarkan ibadat di Baittullah di Yerusalem
dan di sinagoge-sinagoge. Dasar ibadah di sinagoge adalah doa-doa yang diangkat
dari kitab-kitab perjanjian lama serta puji syukur. Ada beberapa gagasan yang
sangat kuat untuk menjelaskan spiritualitas Yudaisme, yaitu: 1. D’ath[8]
adalah semacam pengetahuan, yang bukan melulu tentang sesuatu, melainkan juga
pengenalan orang lain secara pribadi; 2. Shekinah
berarti berdiamnya Yahwe, yaitu Tuhan bersama umat-Nya yang disadari oleh
orang beriman;[9]
3. Pada zaman Bapa-bapa bangsa Israel, kekayaan dianggap suatu tanda bahwa
Tuhan berkenan pada seseorang. Tetapi berbeda dengan Yudaisme. Mereka meyakini
jika didunia ini tidak ada harapan lagi, maka berbagai kelompok religius
mengembangkan paham apokaliptis, yakni keyakinan bahwa Tuhan akan datang dengan
segera untuk menghakimi segala sesuatu yang jahat di bumi.[10]
a. Mendengar
Perumpamaan dalam PL
dipakai bagi setiap macam ungkapan yang bukan dalam arti biasa, termasuk ucapan
nabi-nabi, persamaan, dongen dan hikayat, dan teka-teki. Riwayat-riwayat
semacam itu diceritakan oleh guru-guru Yahudi, kendati mtuut
perumpamaan-perumpamaan Yesus. Ketika
itu kemudian murid-murid itu kemudian menanyakan kepada Yesus apa arti perumpamaan itu. Ia memulai
dengan memberi suatu pernyataan umum
mengenai pe ggunaan umum mengenai perumpamaan
yang mana orang-orang lain menolak menerima pesan Yesus, dan karena itu
disampaikan kepada mereka dalam bentuk terselubung, sehingga jika mereka tidak
berusaha untuk memahaminya , maka mereka sekali-sekali tidak akan belajar dengan demikian mereka
akan memenuhi nubuat dalam Yes. 6:9-10 tentang orang yang tidak mengerti arti
dari apa yang mereka dengar. Kata-kata dalam penjelasan mengenai perumpamaan
tentang penabur adalah berlainan dariipada yang ada dalam injil Markus dengan Lukas dan tentu telah
menekankan beberapa hal penting buat pembaca-pembacanya. Ia memperlihatkan
dengan jelas bahwa kedatangan firman Allah perlu disambut dengan iman dan
ketekunan jika pendengar akan menjadi
jenis tanah yang menghasilkan buah yang baik. [11]. Perumpamaan ini banyak menyinggung tentang tindakan “mendengar”.
Dalam terjemahan LAI:TB kata dasar “mendengar” muncul 14 kali. Yang dimaksud
dengan “mendengar” dalam teks ini pasti. bukan sekadar mendengar dalam arti
yang hurufiah. Nasihat “barangsiapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!” yang
diucapkan di akhir perumpamaan, menyiratkan bahwa dibutuhkan lebih dari sekadar
indera pendengaran untuk menaati nasihat ini.“Mendengar” di sini dikaitkan
dengan “melihat”, “mengerti”, atau “menanggap” Walaupun demikian, “mengerti”
dalam konteks ini juga tidak boleh dibatasi pada pemahaman secara intelektual
belaka. Murid-murid Tuhan Yesus sudah disebut sebagai orang-orang yang mengerti rahasia
kerajaan Allah, padahal mereka belum mengerti arti dari perumpamaan tentang
penabur [12]“Mendengar”
yang dimaksud adalah mendengar secara spiritual. Hal ini terlihat
jelas dari bagian sisipan (13:9-17) di antara isi perumpamaan (13:3-8) dan
penafsirannya (13:18-23). Bagian sisipan ini menerangkan dua kelompok orang:
mereka yang dikaruniakan rahasia kerajaan Allah (13:10, 16-17) dan mereka yang
tidak mampu mengerti dan menanggap sekalipun mereka mendengar dan melihat
(13:11-15). Ketidakmampuan ini tidak dihubungkan dengan intelektual, tetapi
hati. Ayat 15 menjelaskan bahwa hati mereka telah menebal
dan mereka tidak mengerti dengan hati! Ini berbicara tentang
keadaan rohani seseorang di hadapan Allah. Mereka yang hatinya tuli tidak akan
mampu mendengar secara spiritual, sekalipun kebenaran disampaikan berkali-kali
kepada mereka.
Dalam ay.4 Berkatalah
Ia dalam suatu perumpamaan. Perumpamaan ini dikisahkan dan ditafsirkan oleh ketiga Injil Sinoptik
(Mat. 13:13-23; Mrk. 4:3-25).Perumpamaan merupakan contoh yang mencolok dari
metode mengajar yang dipakai Tuhan.Perumpamaan ini biasanya dikenal
sebagai Perumpamaan tentang seorang Penabur, tetapi sesungguhnya
lebih tepat disebut sebagai Perumpamaan
tentang Macam-macam Tanah.Para murid akan melihat kebenaran baru melalui
perumpamaan-perumpamaan tersebut; orang lain hanya akan menganggap perumpamaan
sebagai cerita yang menghibur. Perumpamaan tentang Penabur termasuk di antara
sedikit perumpamaan yang ditafsirkan sendiri oleh Yesus.Penafsiran tersebut
merupakan kunci untuk memahami metode pengajaran-Nya, dan juga cara berpikir
yang ada di balik perumpamaan tersebut.Firman Allah adalah
kebenaran Allah, baik tertulis maupun lisan.Di dalam perumpamaan ini, Tuhan
memaksudkan ajaran-Nya sendiri yang disampaikan kepada orang banyak itu.[13]
Yang menjadi implikasi bagi
orang percaya pada masa kini adalah berbuah adalah satu keharusan bagi kita
selaku orang percaya. Menjalankan Firman Tuhan adalah suatu keharusan. Tapi
dari perumpamaan yang diajarkan Tuhan Yesus dalam seminar ini, kita tidak boleh melupakan bahwa ada
proses yang dimulai dari benih sampai benih itu tumbuh dan berbuah. Proses itu
demikian: benih itu harus “masuk” benar ke dalam tanah yang baik, berakar
perlahan-lahan ke bawah dan bertumbuh perlahan-lahan ke atas.
Benih yang
jatuh di tanah yang baik digambarkan sebagai orang yang setelah mendengar
Firman itu, menyimpannya dalam hati yang baik dan mengeluarkan buahnya dalam
ketekunan (ay. 15). Artinya, orang yang demikianlah yang harus dicontoh di mana
dia memegang teguh dan menjalankan Firman Allah itu, dia memberikan dirinya
dikuasai oleh Firman Allah. Firman itu dipakai untuk mengatur kehidupannya, ketika
ada pergumulan dan pencobaan, dia tekun dan tabah menjalaninya sampai pada
akhirnya berbuahlah Firman Allah itu dalam kehidupannya. Pada masa kini banyak
orang –orang yang mendengar hanya sebatas mendengar saja tetapi tidak
melaukannya dengan baik . dalam hal firman Tuhan banyak orang yang mendnegar
firman Tuhan tetapi belum tentu mau melaosanakan atau melakukannya
b. Pengharapan
Mesias
Lukas 1:26-38: Dalam bulan yang ke enam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi kesebuah kota di Galilea bernama Nazaret, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria. Ketika malaikat itu masuk kerumah maria, ia berkata: “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau.” Maria terkejut mendengar perkataan itu, lalu bertanya didalam hatinya, apakah arti salam itu.” Kata malaikat itu kepadanya: “jangan takut, hai maria, sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah. sesungguhnya engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Allah Yang MahaTinggi. Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhurnya, Dan ia akan menjadi Raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.” Kata Maria kepada malaikat itu: “ bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” jawab malaikat itu kepadanya: “ Roh kudus akan turun atasmu Dan kuasa kuasa Allah yang mahatinggi akan menaungi engkau sebab itu anak yang akan kau lahirkan akan disebut kudus, anak Allah.
Pengharapan disini dihubungkan kepada keselamatan dan
pada dasarnya karena doa kecil juga iman dan kasih
yang
membuat
kita
yakin
bahwa Allah adalah sumber kekuatan kita, jika kita mengharapkan sesuatu maka kita juga harus percaya kepada Tuhan dengan tidak merasa malu menanti dengan sabar dalam penderitaan yang kita alami dan tetap berdoa kepada Allah. harapan selalu mengarah kepada yang baik, orang yang tidak mempunyai pengharapan adalah orang yang tidak mempunyai Tuhan atau hidup tanpa Tuhan
IV.
Penerapan
Spiritual Dalam Ruang Lingkup Gereja dan dalam masa Pendemi covid 19
4.1.
Ruang Lingkup Gereja
Banyak
orang yang mengartikan spiritualitas dalam definisi yang sempit dan terbatas
hanya pada aktivitas keagamaan saja. Ada orang yang mengartikan spiritualitas
terbatas kepada tindakan orang-orang yang bertapa di tempat-tempat sepi dan
khusus. Ada juga yang berpandangan bahwa orang-orang yang rajin beribadah dan
terlibat dalam berbagai kegiatan keagamaan adalah orang-orang spiritual. Ada
juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang memiliki kemampuan supranatural
adalah orang-orang yang memiliki tingkat spiritualitas tinggi. Bahkan banyak
orang yang berpendapat bahwa hamba-hamba Tuhan seperti pendeta, pastor, alim
ulama, biksu, dan sebagainya pasti orang spiritual.
Menurut Rahmiati
Tanudjaja, ada beberapa tolok ukur yang sering dipakai oleh orang Kristen pada
zaman ini untuk mengukur spiritualitas seseorang: Pertama,
keterlibatan seseorang dalam aktivitas-aktivitas kerohanian, contohnya, semakin
sering ia mengikuti persekutuan doa atau ke gereja maka ia dinilai lebih rohani
dari yang tidak melakukannya. Kedua, keterlibatan seseorang dalam
berbagai pelayanan sosial, misalnya, orang yang banyak terlibat dalam menolong
dan berjuang untuk orang lain yang terkena bencana atau dilecehkan sesamanya,
maka orang tersebut dinilai memiliki kepekaan rohani yang lebih tinggi dari
yang lain. Ketiga, penampakan fenomena supranatural melalui
kehidupannya, misalnya, orang yang dapat mendemonstrasikan berbagai macam
mujizat atau orang yang mengalami berbagai macam kejadian yang bersifat
supranatural, maka ia dinilai lebih dekat hubungannya dengan Tuhan dibandingkan
dengan yang tidak memiliki pengalaman yang demikian. Keempat,
penampakan pola hidup yang menjauhkan diri dari kegiatan “duniawi”, misalnya
orang yang tidak pernah pergi ke bioskop, tidak pernah ke kafe atau ke
pesta-pesta dansa dinilai lebih kudus dari orang yang suka pergi ke
tempat-tempat seperti itu. Kelima, pemakaian atribut kristiani,
misalnya orang yang selalu bawa Alkitab, pakai aksesori Kristen (kalung salib,
anting salib, T-Shirt berselogan atau bergambar kristiani) atau selalu
mendengarkan lagu-lagu Kristen dianggap lebih cinta Tuhan dari yang tidak
memakainya. Akan tetapi ukuran di atas tidaklah
dapat dikatakan sebagai tolok ukur yang tepat karena spiritualitas sejati tidak
berpusat pada kegiatan keagamaan yang superfisial,dan spiritualitas sejati
tidak didasari pada tatanan nilai moral serta kewajiban-kewajiban di dalamnya.[14]
Untuk meluruskan
pemahaman diatas bahwa spiritualitas adalah suatu sifat atau keadaan hidup
seseorang yang diakibatkan oleh kehadiran spirit. Kehadiran spirit yang
mengalir, terhembus atau tertiup dalam diri seseorang akan mengilhami,
menginspirasi, menyadarkan dan menyalakan semangat dalam diri seseorang yang
terwujud dalam sikap, perasaan dan tindakannya. Dengan demikian spiritualitas
merupakan sikap, perasaan dan tindakan seseorang sebagai akibat hembusan,
aliran atau kehadiran spirit atau roh dalam dirinya.
Spiritualitas
bukanlah spiritisme. Spiritisme adalah sikap pendewaan dan pemujaan terhadap
roh-roh yang berupa kuasa-kuasa takhyul yang berdiam baik di bumi mau pun di
luar bumi ini. Sedangkan spiritualitas adalah sikap hidup yang memberlakukan
kebaikan Allah yang adalah Roh Pencipta hidup dan sejarah dalam kehidupan
sesehari manusia.[15]Spiritualitas juga tidak dapat disamakan dengan kesalehan (piety).
Kesalehan adalah buah yang sepatutnya dan yang seharusnya sebagai tanda sudah
menerima Injil. Hidup yang sungguh-sungguh saleh dalam pengertian Kristen
mencakup penglahiran iman dalam bentuk pertobatan, melawan cobaan, mematikan
dosa.[16]
Sebetulnya kata sifat “spiritual” (artinya “rohani”) merupakan suatu istilah
kristiani. Paulus memakai kata itu (untuk pertama kali) waktu ia menyebut orang
kristiani “orang rohani”, karena mereka hidup dipimpin oleh Roh (bdk. 1 Kor.
2:15; 3:1; 5:3). Namun ternyata kini kata “spiritualitas” dipakai umum untuk
kemampuan manusia dalam transendensi diri (self-transcendence) tanpa
memperhatikan apakah transendensi diri itu bersifat religius atau tidak.[17]
Melalui
penjelasan tersebut, penulis menganalisa
bahwa spiritual dalam ruang lingkup gereja ialah saat seseorang percaya dan menerima
Yesus sebagai Juruselamat pribadinya. Orang tersebut diberi kuasa oleh Allah
sebagaimana telah dinyatakan dalam firman Tuhan, “Tetapi semua orang yang
menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang
percaya dalam nama-Nya; orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau
dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki,
melainkan dari Allah” (Yoh. 1:12-13). Ayat ini menjelaskan bahwa setiap orang
percaya, diberi kuasa oleh Allah untuk menjadi anak-anak Allah yang bersikap
dan hidup seturut dengan kehendak Allah. Sikap dan cara hidup yang seturut
dengan kehendak Allah itulah yang disebut dengan spiritualitas Kristen.
4.2. Spritualitas di masa Pendemi Covid.
Dalam Lukas 21:5-19, kita
bisa memahami penyakit sampar dan kelaparan yang terjadi sebelum penghancuran Bait Suci di Yerusalem. Kata
“penyakit sampar” ini adalah terjemahan dari kata Yunani “λοιμοὶ”
(limoi) yang bisa diarti sebagai
penyakit sampar sebagi tulah atau hukum atas keberdosaan manusia.Meskipun “λοιμοὶ” bisa diartikan sebagai tulah karena
dosa, tetapi di dalam konteks Lukas 21 ini tidak jelas apakah penyakit sampar
ini sebagi kutukan atas keberdosaan manusia.Lepas dari kutukan atau bukan,
penyakit ada setelah keberdosaanAdam, ada kalanya Allah mengizinkan sakit
penyakit ini menimpa manusia, tidak terkecuali bagi orang percaya.Namun di
Lukas 21 ini sebagai tanda yang mendahuli penghancuran Bait Suci.
Tanda lain untuk menjadi fokus
masalah ini adalah kelaparan, yang ditulis dalam teks berbahasa Yunani dengan
kata “λιμοὶ” (limoi). Kelaparan ini
jelas karena keberdosaan manusia, tetapi di sini juga jelas apakah sebagai
kutukan Allah.Fungsi kelaparan ini juga sebagai tanda yang mendahului
kehancuran dan pengrusakan Bait Suci.
Perlu diperhatikan komentar Wiersbe
terhadap penyakit sampar dan kelaparan yang dinubuatkan Yesus.Ia berkomentar,
katanya: “... wabah sakit penyakit, serta bencana kelaparan itu sendiri
bukanlah tanda kedatangan-Nya sudah dekat. Peristiwa-peristiwa itu selalu
terjadi sepanjang sejarah dunia”.Yesus pun memperingatkan para murid, katanya:
“... Sebab semuanya itu harus terjadi dahulu, tetapi itu tidak berarti
kesudahannya akan datang segera” (Luk 21:9).Fakta sejarah membuktikan bahwa
penyakit sampai dan kelaparan benar-benar terjadi sebelum penghancuran Bait
Suci.[18]Nubuat
Yesus ini tentang sakit penyakit dan kelaparan akan terus terjadi sepanjang
sejarah dunia sebelum dunia sekarang ini berakhir pada saat dunia yang akan
datang mengantikannya pada waktu hari TUHAN, saat kedatangan Yesus Sang Mesias
sebagai Raja diraja. Jadi jika sakit penyakit dan kelalaparan terjadi, ingat
peringatan Yesus: “... janganlah kamu terkejut ...: (Luk 21:9). Kata “terkejut”
(πτοηθῆτε, ptoethete) berarti takut
dalam kepanikan.
Setelah mempelajari Lukas 21:11 dalam
terang konteksnya, kita dapat menyimpulkan bahwa penyakit dan kelaparan
hanyalah tanda sebelum kesudahan, yaitu hari TUHAN di mana Sang Mesias akan datang
dalamkemuliaan- Nya sebagai Raja. Penyakit dan kelaparan terjadi sepanjang
sejarah kehidupan manusia di dunia sekarang ini, dan bisa menimpakan semua
orang, termasuk orang percaya.Penyakit dan kelaparan terjadi karena dosa
manusia, tetapi orang yang tertindas penyakit dan kelaparan bukan semata-mata
karena dikutuk Tuhan sebab dosanya.Jika orang
percayaharusmengalamisakitpenyakitdan kelaparan bukan berarti Allah tidak
peduli mereka.Allah tetap mengendalikan jalannya dunia ini.Demikian ciri atau
karakteristik sastra apokaliptis.Allah
tetap memelihara umat-Nya di
tengah-tengah bencana sakit penyakit dan kelaparan. Dan siapa saja yang
bertahan di dalam iman kepadaSangMesiasmeskimengalamisakit penyakit dan
kelaparan, ia akan memperoleh kehidupan yang sejatidan penuh, yaitu kehidupan
kekal.
Relevansinya
bagi Gereja di masa pandemi Covid-19
Dunia zaman sekarang sedang
dilanda sakit penyakit yang mengerikan, yaitu Covid-19 yang disebabkan oleh
virus Corona.Penulis katakan mengerikan karena meski dapat sembuh, namun belum
ada obat yang dapat menyembuhkan dan tidak sedikit orang yang terjangkit serta
meninggal dunia karenanya. Penularan sakit penyakit ini sangat mudah, sehingga
sebagian pemerintah melakukan kebijakan untukme-“lock-down” negara, bahkan “lock-
down” antar kota, kebupaten dan wilayah yang lebih kecil. Pemerintah
Indonesia, di mana kita sebagai umat Tuhan tinggal, meski tidak mengambil
kebijakan untuk “lockdown”, tetapi
“Pembatasan Skala Berskala Besar” (PSBB) yang harus dijalankan oleh Gubernur,
Walikota atau Bupati tiap-tiap daerah. Akibat kebijakan ini, ekonomi Indonesia
pun tergangu.Terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), penghasilan rakyat
menurun, terjadi pengangguran dan lain sebagainya.Nah, selanjutnya akan muncul
pertanyaan, “Menyikapi fenomena seperti ini apa yang harus gereja lakukan?”.
Ada
beberapa sikap yang harus diambil oleh Gereja di tengah-tengah pandemi Covid-19
ini yang sedang melanda dunia di sekitar kita.
Pertama, gereja harus berbahagia. Gereja bukan
berbahagia karena sakit penyakit dan kelaparan yang menimpa negeri kita
Indonesia yang tercinta, tetapi berbahagia karena memahami mengapa penyakit dan
kelaparan “diizinkan” terjadi di negeri kita bahkan dunia. Ditengah-tengah
pandemi yang berlangsung, tangan Allah tidak melepasakn kita sebagi umat-Nya.
Yesus berkata: “Tetapi tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang” (Luk
21:18). Berbahagia di sini adalah “μακαριος” (makarios), yang bisa juga diartikan “blessed” (terberkati). Di tengah- tengah pandemi Covid-19, Allah mengizinkan
umat-Nya sakit dan kelaparan, tetapi Ia tidak lepas tangan, Itulah bahagia dan
berkat umat Tuhan.
Kedua, gereja pada masa kini tidak menjadi terkejut,
takut dan panik mengadapi penyakitan dan krisis ekonomi yang mengakibat
kelaparan. Dengar apa yang Yesus katakan: : “janganlah kamu terkejut”. Penyakit
dan kelaparan itu terjadi bukan hanya pada masa kita sekarang, tetapi dari dulu
dan generasi gereja mendatang.Gereja sekarang jangan merasa paling menderita
sehingga menjadi takut dan panik.
Ketiga, masa sulit bukan hanya tidak boleh disikapi
dengan takut dan panik, melainkan sebagai kesempatan untuk bersaksi. Yesus
berkata: “Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi” (Luk 21: 13).
Ceritakan bahwa sakit penyakit itu adalah tanda yang mendahului kedatangan Sang
Mesias.Siapa Mesias itu?Ia adalah Raja yang mengendalikan jalannya dunia. Dia
adalah Yesus.Ia akan datang dalam kemuliaan-Nya dan menghakimi dunia.
Keempat, bisa jadi sakit penyakit dan
kelaparan yang menimpa kitamenyebabkan kitameninggal.Banyakberitayangberedar,
para Pendeta dan orang Kristen, meninggal dunia karena diserang virus Corona,
tetapi jangan membuat kita takut. Gereja harus menguatkan umat-Nya bahwa
barangsiapa tetapbertahandalamimankepadaMesiasdi
tengah-tengah penderitaannya, ia akan memperoleh hidup yang sejati dan
penuh, yaitu hidup kekal. Bagaimana gereja bisa yakin akan memperoleh hidup
yang kekal? Yesus berkata: “Kalau kamu tetapbertahan,
kamu akan memperoleh hidupmu” ( Luk 21:19).
DAFTAR PUSTAKA
Hardjana
M Agus, Religiositas, Agama &
Spiritualitas, Yogyakarta: Kanisius, 2005
McGrath
E Alister, Spiritualitas Kristian, Bina
Media Printis: Medan, 2007
Heuken Adolf, Ensiklopedia Gereja (IV), Jakarta: Yayasan
Cipta Loka Caraka, 1994
J.B. Banawiratma, (ed), Jurnal Spiritualitas Transformatif: Suatu Pergumulan
Ekumenis, Yogyakarta
Kristiyanto Edyy, Spiritualitas
dan Masalah Sosial, Bogor: OBOR, 2005
Baskara
T. Wardaya, Spiritualitas Pembebasan:
Refleksi atas Iman Kristiani dan Praksis Patoral, Yogyakarta: Kanisius,
1995
https:/sinta.unud.ac.id/oploads/wisuda/1290171008-2-Bab%20%dan20%II.pdf.
Sj
Heuken A., Spiritualitas Kristiani:
pemekaran hidup rohani selama dua puluh abad, Jakarta: Yayasan Cipta Loka
Caraka, 2002
Simanjuntak
A. tafsiran Kitab Matius-Wahyu
http://www.golgothaministry.org/lukas/lukas-8_4-21.htm,
diakses pada05 Juni 2022, pada pukul 14:51 WIB
https://perikopalkitab.blogspot.com/2020/03/perumpamaan-tentang-seorang-penabur.html.
Di akses pada 05 Juni 2022, pada pukul 14:46 WIB
Tanudjaja Rahmiati, Anugerah demi
Anugerah dalam Spiritualitas Kristen yang Sejati, Jurnal Veritas, 2002
Tanja I Victor., Spiritualitas,
Pluralitas, dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 1996
dkk Douglas D J , Ensiklopedi Alkitab
Masa Kini, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2003
Harjanto Wahyu, “Spiritualitas dan/atau
Teologi” dalam Berbakti dengan Spirit dan Nalar, Jurnal
Filsafat dan Teologi, No. 14, Tahun 2001, Yogyakarta: Kanisius,
2001
Warren
Wiersbe, Seri Tafsiran Lukas 14-24: Teguh
di dalam Kristus Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2012
[1]Agus M. Hardjana, Religiositas, Agama & Spiritualitas, (Yogyakarta:
Kanisius, 2005), 64.
[2]Alister E. McGrath, Spiritualitas Kristian, (Bina Media
Printis: Medan, 2007), 3
[3]Adolf
Heuken, Ensiklopedia Gereja (IV), (Jakarta:
Yayasan Cipta Loka Caraka, 1994) 227.
[4]J.B.
Banawiratma, (ed), Jurnal Spiritualitas Transformatif: Suatu Pergumulan Ekumenis, (Yogyakarta:
Kanisius, 2990), h. 57-58.
[5]Edyy
Kristiyanto, Spiritualitas dan Masalah
Sosial, (Bogor: OBOR, 2005), 12-15
[6]Baskara T. Wardaya, Spiritualitas
Pembebasan: Refleksi atas Iman Kristiani dan Praksis Patoral, (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), h.28.
[7]
https:/sinta.unud.ac.id/oploads/wisuda/1290171008-2-Bab%20%dan20%II.pdf.
[8]D’ath
atau da’at merupakan pengalaman dan
pengenalan yang menyangkut hubungan
antara subyek dan obyek konkret. Allah dikenal sebagai yang mewahyukan
diri dalam sejarah keselamatan Israel. Pengenalan seperti ini melahirkan
hubungan pribadi dan merupakan dasar pada kepercayaan.
[9]Shekinah
merupakan
kehadiran yang kudus ditengah-tengah dunia profan bagaikan cahaya matahari yang
bersinar dimana-mana. Shekinah terdapat
didalam orang yang berkharisma. Dengan mempertahankan monoteisme Yudaisme, maka
gagasan Kristen mengenai Roh Kudus dapat disejajarkan dengan Roh Shekinah.
[10]A. Heuken Sj, Spiritualitas Kristiani: pemekaran hidup
rohani selama dua puluh abad, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2002),
25-26
[11] A. Simanjuntak tafsiran Kitab Matius-Wahyu hal 211
[12]http://www.golgothaministry.org/lukas/lukas-8_4-21.htm, diakses pada 05
Juni 2022, pada
pukul 14:51 WIB
[13]https://perikopalkitab.blogspot.com/2020/03/perumpamaan-tentang-seorang-penabur.html. Di akses pada 05
Juni 2022, pada
pukul 14:46 WIB
[14]Rahmiati Tanudjaja, Anugerah demi
Anugerah dalam Spiritualitas Kristen yang Sejati, Jurnal Veritas, 2002, 10-11
[15]Victor I. Tanja, Spiritualitas,
Pluralitas, dan Pembangunan di Indonesia, (Jakarta: BPK-GM, 1996), 8.
[16]J. D. Douglas, dkk, Ensiklopedi Alkitab
Masa Kini, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2003), 341.
[17]Wahyu Harjanto, “Spiritualitas dan/atau
Teologi” dalam Berbakti dengan Spirit dan Nalar, Jurnal
Filsafat dan Teologi, No. 14, Tahun 2001, (Yogyakarta: Kanisius,
2001), 110.
[18]Warren Wiersbe, Seri Tafsiran
Lukas 14-24: Teguh di dalam Kristus (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2012),
hlm. 121